1
Rosa mungkin tidak pernah menyangka, akhirnya ia akan berada pada tempat ini; di posisi ini; di keadaan seperti ini. Mungkin, memang inilah saat yang baginya tepat, pergi dari dunia fana ini lewat cara kotor. Hah, siapa peduli? Lagipula, angka nol di pergelangan tangan itu sudah cukup menyakinkan mengapa Rosa tidak perlu takut merenggang nyawa lebih cepat.
Tidak akan ada orang yang mempedulikannya.
Ia tidak berharga bagi siapa-siapa.
Kepergiannya saat ini, pasti bukanlah masalah besar.
Helai rambut cokelat pendek itu bergerak tertiup angin, Rosa mengeratkan pegangan pada pagar besi pembatas, lantas kepalanya menunduk ke bawah sana. Sungai gelap yang tampak dalam, sebentar lagi akan memeluknya dalam dingin tiada akhir.
Ah, memikirkannya saja Rosa sudah lemas. Kematian, hanya takdir itulah yang satu-satunya Rosa genggam. Dan kini, semuanya sudah cukup menyakinkan Rosa, bahwa ia pantas mati.
Salah satu kakinya melangkah; mengawang di angin, Rosa membebaskan pegangan tangan; lengan dibuka lebar menyentuh udara dingin, lalu kaki lainnya menyusul langkah; gravitas bumi membawanya tertarik ke bawah sana; jatuh.
Akhirnya, kematian.
Mata dipejamkan, dingin menyelimuti dengan lembut seakan-akan membawanya dalam kematian yang begitu indah. Namun, kelopak mata Rosa terbuka lebar ketika suatu kehangatan memeluk tubuhnya.
Apa?
Byur!
Sakit, Rosa ingin tertawa, bagaimana ia lupa kalau tenggelam adalah salah satu cara menyakitkan untuk mati?
Tapi, rupanya tidak sesakit itu. Masih ada kehangatan yang tersisa, kehangatan janggal yang kemudian Rosa sadari bahwa itu bukan imajinya belaka. Bahwa kini, seseorang memeluknya, mendekapnya dalam hangat yang samar, lantas bergerak membawanya ke pinggiran sungai.
"Uhuk! Uhuk!"
"Hei! Kau masih sadar?! Bertahanlah sebentar!"
Rosa tidak dapat melihatnya dengan jelas, pandangannya kabur akibat air dingin yang memberikan efek lemas bagi tubuh mungilnya. Ia ingin tertidur, sampai tak lama; tubuhnya segera menyentuh permukaan keras, daratan.
Rosa terbatuk-batuk keras, diikuti pula dengan suara laki-laki yang sempat ia dengar.
"Uhuk, uhuk! Apa kau baik-baik saja?"
Gadis itu menoleh, sosok pria rambut jingga segera tertangkap indera penglihatannya. Seketika Rosa terdiam, maniknya menyipit; memandang sinis orang asing yang baru saja menyelamatkannya.
Sang pria rambut jingga menyadari tatapan itu, namun, manik koral itu balik menatapnya dengan tenang dengan sedikit gurat ketegasan di baliknya.
Sialan.
Ada sesak yang meremukannya; setetes kristal bening cair jatuh dari sudut mata, membingkai wajahnya yang pucat, tanpa sadar, Rosa menangis. Sialan, sialan, sialan, Rosa terus mengumpat dalam hati. Kepedihannya semakin terkoyak, kenapa? Padahal sebentar lagi ia bisa bebas, tapi kenapa? Kenapa justru seperti ini?
"Keparat! Kenapa kau melakukannya?!"
Gadis itu tidak bisa mengungkapkan kekesalannya lebih dari ini, perih dan menyakitkan, ia masih hidup dan rasanya benar-benar bajingan.
Pemuda asing ini, sosok tak dikenal itu, tahu apa tentang Rosa yang memilih bunuh diri?!
Isak itu perlahan berubah jadi lirihan pedih yang memilukan. Pemuda di depannya tidak bicara apa-apa. Beberapa detik berlalu dalam hening, tangis Rosa bak didengar baik-baik oleh si pemuda; dan Rosa membenci itu.
Kilat beberapa kali menyambar, awan mendung kelaparan; tetesan hujan turun membasahi bumi. Saat itu, tangis Rosa berangsur-angsur teredam. Hingga akhirnya si gadis benar-benar berhenti tersedu. Mungkin, ia sudah lelah, bahkan untuk sekadar kembali mengumpat, tampaknya ia tak mampu lagi.
Ayolah, kenapa?
"Jangan seperti itu." Suara sang pemuda kembali mengudara, Rosa tak sudi untuk mengangkat wajah. "Hidupmu masih panj--"
Plak!
Satu tamparan, keras menyakitkan. Ada bekas kemerahan di sana, si pemilik iris koral terhenyak; seketika bergeming di tempat.
Ia telah mengucapkan kalimat yang salah.
"Hidup? Hah! Tahu apa kau tentang hidup?! Tahu apa kau tentang hidup orang asing yang baru saja ingin bunuh diri?!"
Ah. Rosa kelepasan. Kata-kata barusan cukup kasar dengan nada tinggi yang memecah gemerisik percikan hujan. Tapi, memang, ia semarah itu, sekesal itu, sefrustasi itu.
"Kau benar." Pelan, sahutan sang pemuda membuat Rosa mengemeretakan gigi. "Aku minta maaf."
Hening.
Desir dingin mengisi kekosongan dalam detik yang berlalu, Rosa menghela napas panjang, energinya terbuang sia-sia hanya demi berbicara omong kosong dengan pemuda asing sok simpatik ini. Ia masih ingin mengutuk pemuda itu.
"Nama." Rosa bertanya, matanya memicing, "siapa namamu?"
Pemuda jingga mendongak, iris koralnya berkilat, "Luke. Luke Pearce."
"Berapa nomor di pergelanganmu?"
"Sepuluh."
Rosa mendecak, iri.
"Punyamu?" Luke balik bertanya.
"Nol."
Lagi, sepertinya hening akan menjadi teman terbaik mereka di pertemuan tak terduga ini. Samar-samar Rosa berpikir untuk kembali membuat garis merah di tangannya, sebelum kemudian suara itu lagi-lagi membuatnya terkejut.
"Kalau begitu, aku akan jadi satu-satunya orang yang akan menghadiri pemakamanmu. Tapi, tolong, jangan sekarang."
Rosa mengernyit.
Aneh. Sangat aneh hingga membuat jantungnya kembali berdenyut nyeri; sudut mata itu kembali basah.
"Aku tidak tahu apa-apa tentang hidupmu, kau benar. Jadi, apakah kau mengizinkanku untuk mulai mengenal hidupmu?"
.
.
.
To be continued ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top