Prolog: A Girl Who Never Been in Love

Satu bagian dari 'beranjak dewasa' adalah menjadi lebih khawatir pada hal-hal kecil. Aku selalu khawatir pada tampangku ketika harus ke luar rumah tanpa memoles bibir. Berhati-hati dalam memilih pakaian yang akan kukenakan, hanya tidak mau mendapat tatapan mengejek yang secara tidak langsung mengatakan; 'hari ini pakai baju itu lagi, ya', dan selanjutnya, orang-orang akan terkejut ketika aku mengenakan baju baru.

Maya, tetangga sebelah rumahku, juga mengalami masalah yang sama. Saat SMP, tiap minggu dia selalu menanyakan apakah warna kuku kakinya terlalu norak setiap kali mengganti kuteks. Aku selalu menjawab, "itu baik-baik saja", kemudian dia tersenyum kecil dan menatap kuku oranye-nya lebih yakin.

Itu bohong.

Tapi, siapa juga yang akan melihat warna kuteks di kakinya kalau setiap hari dia memakai kaos kaki dan sepatu ke sekolah? (Salahkan siapa yang membuat peraturan anak sekolah tidak boleh memakai kuteks di jari-jari tangan!)

Saat itu, kekhawatiran kami lebih pada hal-hal sederhana. Tentang lebih baik makan bakso atau nasi goreng di istirahat nanti, tentang lebih baik memakai bando atau mengikat gaya ekor kuda hari ini, atau lebih baik menonton film aksi Sylvester Stallone atau berkencan dengan si tampan Ryan Gosling. Tetapi, di pertengahan kelas satu SMP, Maya mendadak menaruh perhatian lebih kepada sesuatu yang dulunya tidak kami pedulikan. Pada hal yang lebih besar dari kehidupan sederhana kami.

"Pacaran itu..., rasanya kayak gimana ya?" desahnya penuh harap, menatap langit-langit berhias lampu chandelier gantung di atasnya.

Aku tidak menjawab. Kembali membalik halaman buku catatan, lalu melipat kaki setinggi pinggiran meja kayu tebal. Aku sedang menghapal rumus volume limas, merapalnya beberapa kali meski otakku terasa sesak. Besok ada kuis matematika dan Bu Miranda sangat memperhitungkan nilai kuis per minggu kalau mau nilai akhir di kelasnya bagus.

Sofa di belakangku bergoyang, sepertinya Maya sedang mengubah posisi. Dia menopang badan dengan sikut di lengan sofa dan berucap, "Teman-teman di kelas kita banyak yang sudah punya pacar. Cuma kita yang belum."

"Kita masih terlalu kecil buat pacaran," jawabku sekenanya, ingin dia berhenti bicara. Sudah sampai mana aku tadi? Tunggu, rumus volume limas itu ... sepertiga luas alas kali pacaran .... Ughhh. Karena Maya aku melupakan hapalanku!

"Nola, Nola. Jangan berpikiran sempit gitu deh. Kamu bicara kayak orang tua aja. Kita juga sudah cukup besar untuk pergi ke mal sendirian," decaknya merendahkan seakan berperangai seperti orang dewasa adalah hal memalukan.

Kudengar napas halus keluar lagi darinya, lalu dengan gaya sentimental ia bergumam, "Juga sudah cukup besar untuk jatuh cinta."

"Aku nggak yakin jatuh cinta akan menyenangkan. Lihat saja, anak-anak cowok di kelas kita nakalnya kayak gimana. Dinasihatin sama guru karena lari-larian di lorong malah ngeyel, dipukul sapu karena kurang ajar malah main lapor orang tua. Belum kalau bergerombol dan ganggu anak-anak cewek yang lewat di lorong, main suit-suitan pula. Dikiranya keren cosplay jadi preman pasar?"

"Nggak semua cowok kayak gitulah. Ada juga yang manis sama cewek dan wajahnya tampan."

"Iya, ada juga yang kayak gitu, tapinya galak," jawabku, teringat sepupu Maya yang baru pindah tiga bulan lalu ke kompleks kami.

Dirgantara Wahyu mungkin punya wajah yang cukup tampan dan punya akal sehat untuk tidak berlarian di lorong memakai dasi terikat di kepala atau menganggu teman-teman cewek Maya yang berkunjung ke rumahnya. Dia lebih baik dibanding anak-anak cowok seusianya yang kukenal, juga lebih galak. Mau beramah tamah menawarkan kue bikinan Mama untuk dibagikan ke tetangga saja, belum sampai bicara, baru bertatapan mata di depan pintu, langsung dibantingkan pintu.

Aku meringis ketika tidak sengaja memegang dahiku yang permukaannya sudah tidak rata sempurna lagi alias benjol, karena ciuman mesra jidatku dan pintu rumahnya Dirga kemarin.

Kupalingkan kepala kepada Maya. Maya tersenyum senang, akhirnya melihat ketertarikan dariku pada percakapan yang terlalu serius untuk sore anak kelas satu SMP ini.

"Kalau suatu saat kamu jatuh cinta, tapi itu nggak seindah yang kamu bayangkan dan malah mengalami patah hati. Kamu siap?"

Cahaya di mata Maya meredup, berganti ragu mendapat pertanyaan di luar sangkaannya. Ia terdiam, kiranya sedang mencerna skenario dariku dalam-dalam. Ketika aku merasa sudah waktunya untuk membuka buku lagi, Maya bersuara.

"Kurasa semua orang memang harus mengalami jatuh cinta dan patah hati, paling nggak satu kali, supaya mereka tahu rasanya cinta sungguh-sungguh itu kayak gimana."

Dia mengakhiri pembicaraan itu dengan menawariku jus markisa dan brownies taburan chocochips yang dibuat mamanya. Sisa malam kami lalui dengan rumus-rumus matematika dan selingan gosip tentang Selvy yang baru saja ditembak Dion di depan orang banyak.

Kupikir, hari ini tidak ada bedanya dengan malam-malam lain. Namun, saat tengah malam, aku menemukan diriku berbaring di tempat tidur tanpa menutup mata. Hanya memandang kepada langit-langit kamar bertabur bintang plastik bercahaya hijau redup dan bekas tempel cabutan stiker di sana yang telah mengering.

Rasa-rasanya, aku ingin meredamnya, tapi pikiran itu terus menyeruduk masuk.

Cinta ... rasanya itu seperti apa?

Apa rasanya seperti membuka pintu ke dunia baru dimana yang ada hanya bahagia tanpa akhir? Ataukah rasanya seperti yang digambarkan dalam lagu-lagu cinta? Ketika bertemu dengannya, jagat rayamu diporak-porandakan dengan cara yang manis, setiap pagi dan malam pikiranmu hanya memikirkan dia, hanya dengan melihatnya kamu merasa bahagia, dan seluruh dunia memendarkan cahaya merah jambu? Tapi, bagaimana kalau setelah jatuh cinta dan pacaran, pacar pertamaku tidak sebaik yang kubayangkan dan mengalami patah hati?

Selama ini kupikir, semua akan jelas ketika menginjak usia dewasa. Kalau hidup diibaratkan sebuah novel, maka bab percintaan ada di belasan bab dari tempatku sekarang. Butuh sepuluh tahun bagiku untuk sampai ke sana. Mungkin saat itu, aku berumur dua puluh tiga atau dua puluh empat.

Saat itu, aku sudah jauh lebih baik secara fisik dan cara pikir. Segalanya sudah pasti, baik cita-cita dan kehidupanku. Hingga aku punya waktu untuk mulai menerima orang lain masuk dalam hidupku. Pacaran, menikah, dan punya anak. Menjalani fase yang sudah ditentukan.

****

Tak pernah ada dalam sangkaanku kalau bab percintaanku datang jauh lebih awal dari yang kuperkirakan. Di usia dua belas tahun, aku jatuh cinta kepada tetanggaku yang cuek bernama Dirgantara Wahyu. Secepat cinta itu datang, secepat itu juga pupus. Pada usiaku yang keenam belas tahun, cinta yang kuharapkan tumbuh sempurna itu tertabrak ekspektasi pribadi dan membuat hatiku patah.

Dirga ternyata menyukai wanita lain.

Apa ada yang lebih buruk dari patah hati karena si doi menyukai wanita lain?

Ada.

Sosok jangkung berkulit sawo matang dan rambut keriting cepak itu menyusuri lorong dengan langkah cepat. Alis tebalnya menekuk tajam mengatakan keseriusannya memikirkan sesuatu. Matanya lalu bergerak mencari-cari seseorang di antara kerumunan mahasiswa yang menghambur keluar dari ruang kelas, lalu tak berapa lama matanya menemukanku.

Kubanting pintu loker cepat-cepat. Memeluk erat buku cetak Perpajakan di dada, meski waktu pergantian kelas Akuntansi Keuangan sudah di depan mata.

"Nola."

Seseorang menghadang jalanku. Si pemilik sneaker Adidas hitam garis putih ini. Dia orang yang memanggil namaku. Walau kukenali siapa pemilik suara ini, kudongakkan kepala menatapnya juga.

"Hai, Dir," sapaku canggung.

Dirga tak menghiraukan. "Aku menemukan sesuatu yang aneh."

Ia mengangkat secarik amplop putih dengan perekat stiker hati merah di sana yang amat kukenali. Aku bisa merasakan darahku berdesir dan jantungku berkelepak-kelepak ingin pergi dari sana ketika ia berkata dengan suara tenang, "Surat ini dikirim di kotak suratku pagi ini. Kurasa ini darimu."

Di usiaku yang kedelapan belas tahun, pria yang kusukai menerima surat cinta dariku yang kutulis saat aku berumur enam belas tahun.

Sudah seharusnya aku tahu surat itu akan menghantuiku lagi.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top