9. About Last Night

Thank you for waiting
and
Happy reading!

****

"Pacaran itu entah kenapa rasanya sangat nggak nyata. Aku nggak pernah membayangkan diriku menjadi milik orang lain, atau orang lain menjadi milikku. Itu seperti ..., 'kehidupanku bukan lagi kehidupanku'? Lihat. Mengucapkannya saja sudah aneh."

Raka duduk di seberangku, mendengarku berceloteh di antara botol-botol bir kosong berserakan dan piring kosong bertumpuk sebagai pemisah meja kami. Dari wajahnya yang lelah dan matanya yang setengah menutup, kukira dia sedang ada di antara ambang realitas dan mimpi.

Mungkin dia tidak mendengarku. Sama seperti pemilik kedai yang sedang mengepel lantai kedai dan telah lelah mencoba menguping pembicaraan kami. Dia telah berkali-kali mendengkus dan menatap kami tajam, kiranya menyuruh kami, pelanggan terakhirnya pulang, supaya bisa menutup kedai.

Raka menggoyangkan botol bir dalam keadaan terbalik, dari moncong bir beberapa tetes air keluar dan membasahi celananya. Ia meletakkan botol kosong itu kembali ke meja dengan wajah kecewa.

"Sangat aneh," jawab Raka, ternyata dia mendengarku. "Tapi, ya kalau dipikir-pikir memang seperti itu. Setiap pilihan dan tindakanmu bukan lagi milikmu sendiri, kamu juga harus memikirkan perasaan pasanganmu juga."

"Pilihan seperti apa?"

"Misalnya, kalau kamu sekolah ke luar kota, kamu harus memikirkan bagaimana perasaan pasanganmu ditinggal dan bagaimana itu bisa berpengaruh ke kelanjutan hubungan kalian. Atau, hal-hal yang dulunya kamu pandang normal, seperti menghabiskan akhir pekan bareng teman, nggak bisa bebas kamu lakukan lagi kecuali seijin pacar."

"Apa pun bisa jadi sumber masalah."

"Untuk beberapa orang, iya."

"Bagaimana seseorang punya pengaruh begitu besar pada orang lain cuma karena berubah status?"

"Itulah intinya. Nggak ada bukti lain selain pacaran untuk menjamin perasaan seseorang."

"'Nggak ada bukti lain selain pacaran untuk menjamin perasaan seseorang'," ulangku ingin mengingatnya dalam hati, aroma alkohol merebak di setiap napasku dan aku harus menutup mata lambat-lambat karena kelopak mataku terasa berat untuk dibuka.

Kepalaku ingin sekali berbaring di tempat tidur, tapi malam masih panjang dan seru. Segala hal, pikiran dan badanku, terasa sangat amat tenang dan nyaman, saking nyamannya aku ingin berteriak.

"Wah! Kalimat itu keren sekali! Dari mana Kakak mendapat kutipan itu? Dari film?"

"Nope. Itu cuma melintas di kepalaku." Raka mengangkat sebelah bahunya, bertingkah seolah itu bukanlah hal besar.

"Amazing." Aku bertepuk tangan heboh. "Kakak kerjanya dosen, ya? Kok bisa pintar sekali? Atau professor? Oh, nggak, nggak, pujangga, ya? Penerus Pak Sapardi? Muantapppp!"

Raka mengibaskan tangannya, tertawa malu. "Cuma mahasiswa tahun ketiga biasa. Ke-wise-an aku memang agak sedikit di atas rata-rata."

"Eh, Kakak mau pesan bir lagi? Kutraktir! Sebentar lagi aku jadi gelandangan, udah nggak butuh uang sewa tempat tinggal." Aku mengangkat tangan. "Mas, pesan birnya satu lagi!" teriakku girang sekali.

Raka menarik turun tanganku.

"Kamu nggak terlalu banyak minum bir? Kayaknya kamu udah mabuk."

"Nggakkk," senandungku sambil menggoyangkan jari telunjuk tak tentu arah. "Aku baik-baik saja! Aku masih sadar! Sehat wal a fiat! Sekarang, kita minum-minum lagi!"

Raka memundurkan badannya ke belakang karena jari telunjukku tidak sengaja menyentuh ujung hidungnya. Dan, itu membuatku tertawa, aku menyentuh hidungnya seperti tombol yang bisa buat muka orang kecut! Haha!

"Kamu mabuk." Raka semakin yakin melihatku tertawa kegirangan.

Dia mungkin tidak salah.

Kepalaku rasanya seringan balon. Bila aku bangkit, mungkin tubuhku akan melayang dan mengawang sampai langit-langit kedai. Dan, seluruh hal terasa lucu dan mulutku seperti haus untuk tertawa.

Kami sudah menghabiskan satu, dua, tiga, empat, enam ..., setelah enam berapa, ya? Ah, tapi mungkin aku baru minum dua botol! Ini bukan apa-apa!

"Apa pentingnya kalau aku mabuk dan nggak mabuk? Toh, mana pun itu, aku jomblo dan nggak ada yang mengkhawatirkan aku!" Ketika kuulangi kedua kali, "Nggak ada yang mengkhawatirkanku ...." Kurasakan desakan untuk menangis, lalu bulir-bulir air mata turun dari mataku.

"Kamu nggak apa-apa?" Raka menatapku cemas pada betapa cepatnya mood-ku berubah.

Aku menggeleng, lanjut terisak. "Kenapa nggak ada yang menyukaiku? Apa aku sejelek itu sampai nggak memikat satu pun cowok? Orang-orang seusiaku kebanyakan sudah punya lima mantan dan aku nggak ada satu pun! Aku nggak nyangka bakal jadi jomblo di usia gede! Kenapa pilihanku cuma cowok narsis bin ajaib dan anggota BEM yang sukanya nongol pas acara makan doang supaya bisa makan gratis?!"

"Jadi ..., kamu mau punya mantan?"

"Nggak!" pekikku histeris. "Kenapa nggak ada cowok yang bisa ngerti maunya cewek, sih?"

"Aku cowok tapi juga kadang nggak bisa ngerti apa yang aku mau. Mungkin yang kita butuh itu mesin pembaca keinginan. Seperti barang canggih Doraemon di masa depan."

"Jangan bohong! Kamu tahu keinginanmu tapi menguburnya, kan karena kamu malu keinginanmu dinilai konyol orang lain? Yang konyol itu orang semacam itu. Kebohongan yang kamu biarkan itu bisa berkembang jadi fitnah! Orang fitnah dan pembohong kalau mati masuk neraka! Jadi, jangan berbohong!"

"Sial, aku ketahuan. Aku nggak berharap ada kucing yang bisa keluarkan alat canggih dari masa depan dan mengubah hidupku." Raka menutup mulutnya.

"Kamu bohong lagi! Nggak ada orang yang nggak mau hidupnya diubah!"

"Aku ketahuan lagi." Raka memukul mulutnya.

"Aku juga akan ngomong jujur sekarang." Kugeplak meja. "Aku iri dengan badan langsingnya Febby dan kaki jenjangnya. Dia juga punya rambut yang berkilau seperti korona cahaya di kepalanya dan alisnya ... alisnya yang selalu on fleek. Aku mau punya itu. Aku pernah mau menirunya pakai tutorial youtube tapi jadinya kayak ulat bulu! Alisnya kayak Gunung Fuji, dan aku ulat bulu! Ulat bulu!"

Raka membuka poniku dengan dua jarinya seperti membuka tirai jendela dan mengintip alisku.

"Ulat bulu." Dia berucap sambil mengangguk-angguk.

Mengikuti kelakuan Raka, kusingkirkan anak-anak rambut yang keluar dari tatanan rambutnya, yang jatuh ke dahinya. Alis punya Raka tebal, tegas, dan tercukur rapi.

"Bahkan, alismu lebih bagus dari alisku," kataku bersungut-sungut.

"Kamu jujur sekali." Dia menutup mulutnya terpukau. "Keren sekali."

Kutekan alisku sendiri dan merengek, "Ulat bulu!"

****

"Gunakan waktumu isilah hidupmu. Tekunlah belajar, giatlah bekerja. Berantas kebodohan prangi kemiskinan ...."

Kumatikan rekaman secuplik lagu yang dinyanyikan kacau dan off-tone ke mana-mana. Bila aku orang lain, aku pasti mengiranya sebagai erangan monyet baru lahir, tapi aku adalah aku. Aku tahu itu suaraku.

"Aku sedikit ingat sampai bahasan ulat bulu, tapi kenapa kita menyanyi lagu 'Wajib Belajar'?"

Raka mengambil balik ponselnya. "It's a little blur. Tapi aku ingat kamu cerita kalau kamu merindukan masa-masamu di sekolah, kangen sama teman-temanmu di masa itu, terus mendadak kamu nyanyi lagu itu. Ada versi video dan foto-fotonya saat kamu nangis dan marah-marah ke dinding pas selesai lagu. Kocak sekali! Mau lihat?"

Kudorong ponsel Raka pelan-pelan, menatapnya ngeri. "No, thanks. Sudah cukup." Yang kudapat dari tontonan itu hanyalah rasa malu dan trauma. "Lalu, setelah itu kita gimana?"

"Kita diusir pemilik warmindo karena kamu nggak berhenti teriak-teriak, setelah itu kamu minum segelas bir dan ambruk, lalu kubawa pulang ke sini. Sebagai informasi, aku mengambil KTP dan kartu unit di dompetmu tanpa ijin karena kamu mabuk. Sudah kuteriaki berkali-kali minta alamat rumahmu, kamunya nggak bangun-bangun."

"Makasih sudah melakukannya," desahku sambil memijit dahiku yang bertambah pening sejak bangun, kali ini bukan karena pengaruh alkohol.

Berkat bubur yang dibelikan Raka, awan pengarku sedikit terangkat, yang membuahkan level kesadaranku meningkat. Aku mengingat setiap detail kejadian kemarin-terima kasih lagi buat Raka sebagai pengadu kelakuan burukku kemarin yang menceritakannya secara detail-dan itu sama sekali tidak baik. Kalau Raka tidak ada di sini, mungkin aku akan membenturkan kepalaku ke dinding supaya bisa melupakan kejadian kemarin.

Semenjak kemarin, aku bukan manusia lagi. Aku hewan terendah dari segala hewan. Kecoak pun masih bisa mengendalikan diri untuk tidak pergi ke tempat terang dan penuh manusia walau ada mangsa di sana. Sedangkan aku, mabuk, berteriak-teriak sampai diusir, bernyanyi, dan diantar pulang dalam keadaan tepar dengan orang yang tidak kukenal!

Oh, Tuhan. Kenapa Tuhan tidak melenyapkan minuman alkohol dari muka bumi saja daripada menyuruh manusia tidak meminumnya? Kasihan beberapa orang baik yang mencicipi benda haram itu, tidak sengaja terlena, dan harus menanggung kenangan buruk esoknya atas kelakuan yang terjadi di luar kendali dirinya. Semua orang tahu, kenangan buruk susah dilupakan. Semoga itu hanya berakhir menjadi kenangan buruk, bukan masa depan yang buruk.

Kusesap teh hangat manis yang ia buat, berpura-pura tenang, meski kakiku di bawah meja tidak berhenti goyang.

"Setelah itu ..., kita nggak ngapa-ngapain, kan?"

Raka mengunyah bubur di mulutnya dengan lebih cepat dan menelannya, sedang dadaku jumpalitan jutaan kali selama menunggunya bicara.

"Aku memapahmu pulang ke sini, lalu menidurkanmu di kamar, selama itu kamu terus mengeluh panas, jadi aku memberimu selimut ...."

Deg. Deg. Deg.

"... terus aku ketiduran di sofa, kemudian waktu aku buka mata hari sudah pagi."

Kakiku berhenti goyang. Jantungku seper sekian detik berhenti berdetak, sebelum kemudian ia menemukan irama normalnya kembali.

"Begitu saja?" desahku, tanpa sengaja sejak tadi aku menahan napas.

"Iya. Memangnya mau apa lagi?"

Air mataku rasanya mau meleleh. Dari kejauhan aku bisa mendengar terompet surga berbunyi megah dan agung menyelamatiku.

Kami tidak melakukannya! Kami tidak melakukannya! Aku masih suci, Ma, Pa!

"Tunggu ...," Raka menyentuh atas bibirnya dengan jari dan memandangku penuh selidik, "kurasa aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan."

Oh, no. "A-aku memikirkan a-apa?"

"Kamu mikir kita berhubungan badan karena kita pulang dalam keadaaan mabuk dan pagi ini aku ada di rumahmu?" tebaknya, tepat sasaran. "Iya, kan?"

"Ng-ggak! Aku sak ..., kak ..., nggak pi-pikir kayak gitu!"

"Bicara gagap, mata nggak fokus, omongan nggak jelas, muka merah! Aha! Aku tahu aku betul!"

"Orang bisa berpikiran aneh juga pas bangun mereka nggak pakai celana," beberku, ingin dimengerti.

"Aku membuangmu ke tempat tidur lalu meninggalkanmu, mana aku tahu kalau kamu tidur kepanasan dan buka celana," bela Raka.

"Itu bisa terjadi, tapi-"

"Lagipula," potong Raka, "pandangan itu terlalu merendahkan. Masa karena aku cowok, maka aku akan gelap mata pas cewek mabuk dan terlihat seksi sedikit. Berpikir paha, dada, paha, dada, kayak ayam saja. Cowok juga punya harga diri dan akal sehat. Mereka nggak berpikir sekehendak t*t*t saja."

"Aku nggak kenal Kakak. Kondisi itu bisa membuat orang berpikir sedikit skeptis."

"Permisi, film porno apa yang biasa kamu tonton?" timpal Raka tak terima. "Malam Panas bersama Pria Asing? Jatuh ke Ranjang Kakak Iparku? Duda Impianku? Berapa terabyte folder yang kamu punya di laptop, bisa ku-copy?"

Pipiku bersemu merah. "Aku nggak pernah nonton begituan! Aku sekedar memastikan, dan kenapa Kakak teriak-teriak?!"

"Aku teriak karena kamu teriak! Kita turunkan suara!"

"Oke!" teriakku, lalu tersentak oleh kesadaran dan mulai berbicara lembut, "oke."

Baik Raka dan aku lalu saling memalingkan pandang. Telah terlanjur tercelup malu, sesal, dan lelah marah-marah. Hening yang memanjang menjadi kecanggungan yang kian lama kian menyesakkan kemudian terjadi. Melebihi kesalahan kemarin, aku lebih ingin memotong diriku atas kesalahapahamanku. Dan bila penyesalan bisa mengubah salah di masa lalu, maka aku sangat menyesal tidak pulang duluan kemarin malam.

Sebelum sempat aku meminta maaf atas kesalahpahamanku, Raka mengangkat mukanya dan batuk dengan malu-malu, "Kalau sekarang, kamu sudah pakai celana, kan?"

****

Usai sarapan pagi yang kikuk itu selesai dan sesi singkat perebutan bak cuci tentang 'siapa yang mencuci piring' yang dimenangkan oleh pemilik rumah, aku, Raka permisi pulang.

Aku tidak berniat menahannya, tapi setelah tidak sengaja mencium aroma muntahan darinya-semoga bukan muntahanku-kuambil kaos kutang big size berlogo bir "Bintang" di gantungan jemuran dan menyuruhnya mengganti baju di kamar Maya.

"Ini punyamu?" tunjuknya pada kaos kutang yang pas di badannya saat keluar dari kamar Maya.

"Bukan. Kubeli di pasar karena nggak aman dua cewek tinggal sendiri. Kami biasa menjemurnya di langkan depan untuk mencegah orang mesum."

Dia menarik leher kaosnya. "Ini ntar kucuci dan kubawa ke kampus."

"Buat Kakak saja. Aku juga nggak bisa memakainya." Entah rumor apa yang tumbuh jika tiba-tiba Raka si tampan datang ke gedung fakultasku mencariku sambil menyodorkan kantong baju, aku tidak sanggup menghadapi cercaan cewek-cewek genit semacam Mindy.

"Teman kamarmu sepertinya belum pulang. Dari tadi aku nggak melihatnya. Barang-barangnya juga nggak ada, kamarnya agak kosong."

"Kamar itu memang kosong. Temanku pindah dari sini dua minggu lalu. Rencananya, bakal kusewakan lagi ke orang lain, tapi aku masih mencari-cari yang cocok."

"Untuk apartemen semacam ini, kamu pasti mudah dapat orang yang mau." Raka memasukkan tangannya ke saku sembari mengamati apartemenku. "Dekorasi ruangnya terkonsep. Nautical style or you can say, beach house. Aku suka ide kebun di balkon, juga papan selancar di atas TV yang menambah kesan otentik, gradasi warna ombak deep aqua, pale blue, navy, dan white di atas, juga sebagian besar pencahayaan di rumah ini adalah dari cahaya matahari. Tekanan airnya juga sangat bagus di toilet tadi dan sirkulasi udaranya bangus banget nggak buat gerah walau nggak pakai ac ...,"

Mendadak Raka terdiam. Meski awalnya aku risih Raka menilai apartemenku sedetail ini (apa semua mahasiswa jurusan arsitek sedetail dia?), melihatnya begitu membuatku ketakutan dan bertanya-tanya, apa jangan-jangan dia ketakutan melihat foto pohon palem di belakang sofa yang belum kami turunkan-percayalah makin mencekam sejak terakhir kali kulihat-karena itu dia menatapnya begini lama?

"..., aku nggak mendengar suara," sambung Raka.

"Suara semacam apa?" Jangan-jangan Maya lupa memberitahu kalau apartemen ini punya semacam penunggu dan Raka tipe manusia indigo.

Raka mengedip bingung. "Unit sebelah kosong juga ya? Aku nggak mendengar suara percakapan, hair dryer, musik, atau semacamnya."

"Iya." Aku ikut kebingungan. "Sejak aku datang kemari, kamar sebelah belum pernah terisi, kayaknya pemiliknya memang sengaja nggak menyewakan."

Mata Raka mengamati apartemenku lagi berkeliling seolah dia adalah penilai harga apartemen dan aku bertugas memuaskannya.

"Kurasa, kamu akan segera mendapat teman sekamar. Tempat semacam ini cepat terjual," katanya.

Aku mengangguk-angguk membalasnya, walau dalam hati berkata, 'sama sekali tidak mudah mendapat teman sekamar untuk dekorasi semacam ini, aku sudah ditolak tiga orang dalam dua minggu ini'. Denting ponsel menyeruak di antara aku dan Raka-yang kiranya sedang melakukan single home-tour.

Kutemukan ponselku tergeletak di bawah rak sepatu. Pasti terjatuh dari tasku saat sedang mabuk. Kuambil dan kucek layarnya, jangan-jangan ada yang retak.

Muncul belasan notifikasi pesan dan panggilan tidak terjawab kebanyakan dari Maya, hanya satu dari Dirga. Dari waktunya, sepertinya dikirim kemarin malam dan dari betapa gregetnya Maya menelepon, sesuatu pasti sedang terjadi.

"Nola! Kabar besar! Kabar besar!" adalah pesan pertamanya sebelum barisan pesan lain berisi, "kamu sudah tidur?" dan "telepon tidak terjawab pada pukul ....",

Buk!

Raka di belakangku terperanjat. Dia berjalan mendekat ingin tahu apa yang kulakukan, lalu melihat ponselku yang jatuh dari tanganku meluncur ke lantai.

"Hei, kamu menjatuhkan ponselmu." Raka mengangkat ponselku sementara manik matanya tak sengaja melirik layar ruang chat yang masih menyala, "..., Dirga dan Febby putus ..., siapa mereka? Temanmu?"

Raka melambaikan tangannya di depan wajahku. "Hellowww? Ada orang di sini? Kamu nggak apa-apa? Masih mabuk?"

Aku memandangi Raka, kosong seperti orang kesurupan.

Tidak, Raka. Aku sedang apa-apa.

Karena aku baru saja mengetahui hubungan Febby dan Dirga, setelah tiga tahun terjalin, telah resmi putus.

****

Akhirnya ada kabar baik setelah 9 bab ini😘

Selamat datang buat pembaca baru ! Tenang aja, kalian belum ketinggalan banyak kok, cerita ini masih on going soalnya.

Buat pembaca lama, makasih sudah menunggu cerita yang kurang gercep update ini ❤

Terima kasih sudah membaca!

Sampai jumpa minggu depan !

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top