8. Late Night Talk

Malam penyambutan telah mencapai puncaknya ketika piring-piring disingkirkan, meja-meja disambung menjadi panjang, kakak-kakak senior mulai mengajarkan permainan 3, 6, 9, werewolf, atau spin the bottle kepada anggota baru, dan diam-diam para senior yang nakal mulai membuka botol minuman haram. Aku, Syifa dan Davina menyelinap keluar ketika suasana mulai semrawut.

"Pulang ya, Kak!" pamit Syifa pulang dan Davina melambai di boncengan motor.

Aku melambai pada mereka, mengamati motor mereka melaju menuju arah pulang sampai perlahan-lahan tenggelam di ujung pembelokan gang.

Bunyi kesunyian kembali mengambil alih malam. Lampu jalan berpendar di sepanjang jalan setapak.

Aku berdiri seorang diri di teras restoran, di samping mobil SUV biru yang parkir di depan restoran, mulai memeriksa aplikasi Grab. Semua pemilik transportasi yang kukenal ada di dalam, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berniat pulang. Kalau saja Michael tidak menghancurkan mood senang-senangku dengan mengataiku sebagai 'perawan tua potensial', aku pasti masih bersenang-senang di dalam.

Sialan, padahal ayam di restoran ini enak dan aku baru makan dua. Aku juga tidak makan nasi tadi karena tidak berselera makan. Di rumah hanya ada stok mie instan!

'Sial, sial, sial!' umpatku dalam hati menyadari baterai ponselku habis dan layar pemesanan Grab meredup, lalu mati.

Aku ingin menggeram keras atau menendang kerikil kencang-kencang kalau saja lantai semen di sana tidak sangat bersih dari pasir. Kujatuhkan diriku di atas lutut, merasa tidak berdaya. Rasanya aku mau menangis. Kenapa para pegawai pemurung yang tidak suka boyband Korea bisa sangat rajin bersih-bersih? Kenapa tidak ada satu pun hal yang benar terjadi hari ini?

"Kamu baik-baik saja?"

Aku bergidik mendengar suara makhluk selain suara jeritan hatiku. Yang ternyata adalah milik manusia lain, tepatnya cowok yang berdiri di atasku, tangannya hendak meraih bahuku kalau aku tidak segera menengadah. Tampilannya bersih dan muda, sepertinya salah satu mahasiswa di dalam.

"Siapa?" tanyaku.

Cowok itu terheran-heran. "Raka Rasyad. Yang tadi melerai pertengkaranmu dengan Michael. Juga, kalau kamu ingat, yang mengantarmu ke gedung Bahasa waktu kamu tersesat di depan papan penanda kampus?"

"Ohhhh ...," aku bangkit berdiri, mulai mengenali siapa dia, "Raka Rasyad, si selebriti jurusan arsitektur?"

"Iya, itu juga." Dia tersenyum miring, mungkin bertanya-tanya dari mana aku tahu itu.

"Kakak mau pulang? Apa aku menghalangi mobil Kakak pulang? Ini mobil Kakak?" tunjukku ke mobil belakangku.

"Aku belum mau pulang," tolaknya. "Aku cuma kemari karena mengkhawatirkanmu. Kamu baik-baik saja?"

Dia pasti membicarakan soal perdebatan dengan Michael tadi. Tapi, dia mengkhawatirkanku? Kenapa dia melakukannya?

"Sudah nggak apa-apa. Kak Michael cuma mabuk," ucapku, lebih kepada diri sendiri untuk tidak memasukkan setiap kata menusuk Michael di hati. Hanya orang gila yang mau menanggapi orang mabuk, dan sialnya, itu kulakukan dengan sukarela.

"Kamu pemaaf sekali." Raka melesakkan tangannya ke saku celana. "Kalau aku, aku pasti akan mengatai-ngatainya. Dia pantas mendapatkannya setelah apa yang dia lakukan padamu. Aku temannya, tapi aku tahu sikapnya berengsek dan nggak sensitif, dan perangainya jauh lebih buruk kalau sudah mabuk."

"It's okay. Makasih juga Kak, sudah menolongku tadi."

"Itu bukan masalah besar," jawabnya, lebih daripada basa-basi, dia menyentuh-nyentuh bawah bibirnya seperti sedang menimbang sesuatu. "Tapi, kalau kamu mau menebus pertolonganku, daripada kata 'makasih', apa kamu bisa membantuku?"

"Membantu?"

"Bisakah kamu bicara menghadapku," aku memiringkan badan meski masih bingung, "Berbicaralah panjang dan keluarkan wajah sedihmu. Berpura-puralah murung. Mereka sedang memperhatikan kita."

"Mereka ..., siapa?" bisikku tegang, coba-coba melirik ke dalam restoran memakai sudut mataku dengan sangat hati-hati, jangan bilang ada pembunuh bayaran di dalam?

"Michael dan Ester," jawabnya, ikut berbisik. "Michael terus-terusan memaksaku minum, dan Ester mendesakku gabung bermain permainan kekanakkan seperti spin the bottle atau apalah itu. Aku benci ada di situasi itu. Jadi, kubilang saja kasihan melihatmu sendiri di sini dan pengen menghiburmu setelah barusan kamu ditindas Michael. Tapi, kamu malah memaafkan Michael begitu saja, ini jauh dari rencanaku."

Oh, kukira dia benar-benar mengkhawatirkanku.

"Apa ini cukup?" Kuseka bawah mataku.

"Tutup wajahmu pakai tangan dan tundukkan kepalamu."

Kulakukan petunjuknya. "Seperti ini?"

Dia memegang bahuku. "Betul, betul. Getarkan bahumu, pura-puralah menangis, beraktinglah seperti aku baru saja mengabari anjingmu mati. Ikuti aku, huhuhuhu ...."

"Huhuhuhuuu ...."

Kruyukkkkkkkk.

Suara terakhir bukanlah bunyi yang aku rencanakan keluar. Kuintip Raka dari celah jari-jariku, semoga dia tidak dengar.

Dia. Melihatku.

Tapi, walau kami telah bertatapan, kurasa cowok se-gentle Raka yang melerai pertengkaranku dengan si berengsek Michael pasti tahu sopan santun, dengan pura-pura tidak mendengar suara janggal tadi ....

"Kamu ... belum makan?" tanya Raka kikuk.

Dari kejauhan aku bisa mendengar suara ayam berpetok-petok, mencemooh kelakuan memalukan perutku barusan. Kututup mukaku dengan tangan lagi, menggetarkan bahuku, dan rasanya aku benar-benar akan menitikkan air mata.

****

Baik Raka dan aku bersepakat untuk tidak kembali ke restoran. Aku sendiri telah berniat berlari pulang setelah momen pengemis di perutku berteriak dan mempermalukanku, tapi Raka menghadangku pergi dengan bilang, "Aku tahu tempat makan dekat sini yang enak dan murah."

Secara teknis, kami bukan orang asing. Kami telah tahu nama masing-masing dan setidaknya telah bertemu sebanyak dua kali. Aku juga tidak mau pulang berjalan kaki larut malam begini dan baterai ponselku tidak ada harapan. Jadi, daripada terjebak dalam situasi tidak pasti, kuikuti dia saja.

Raka membawaku ke warmindo yang letaknya di dekat situ. Beberapa mahasiswa yang dari piyamanya kiranya tinggal di dekat sana, sedang menyantap mie kuah ketika kami masuk. Aku jarang makan di tempat seperti ini, karena benci asap rokok dan tidak ada yang mengajakku pergi, tapi kukira Raka pelanggan di sana. Saat dia duduk, dia berteriak pada mas-mas yang memasak, "Seperti biasa, Mas. Dua!"

Harum gurihnya kecap dan micin masuk ke indra penciumanku ketika menerima sepiring mie instan hangat. Di meja Raka, diletakkan dua botol bir-kurasa itu special request dari pelanggan VIP di sini karena kulihat pengunjung lain hanya minum es teh atau air mineral.

"Makanlah, lalu berterima kasihlah telah kuajak ke sini," katanya.

Kukira, itu cuma omong kosong. Apa bedanya juga makan mie instan di rumah sama di warung?

Ternyata, beda sekali.

Bumbu dan kecapnya meresap sampai ke seluruh bagian mie. Teksturnya tidak lembek walau basah, dan campuran telur orak ariknya terasa nendang di mulut. Udara di sana juga segar walau kipas angin kecil tua yang menempel di dinding itu soak, angin malam masuk dari jendela tingkap yang dibiarkan terbuka pada sisi depan warung.

Piring keduaku sedang kuhabiskan ketika kusadari tatapan Raka di atas kepalaku.

"Aku cuma makan sedikit di restoran tadi karena nggak selera makan, jadi agak sedikit kelaperan," ucapku tanpa ditanya. Aku pasti kelihatan rakus sekali sampai dia menatapku terheran begitu.

"Aku bisa melihat sekali nafsu makanmu sudah datang," singgungnya. "Kamu nggak merasa kita sedikit aneh? Kita berdua orang asing yang baru ketemu beberapa kali, tapi sekarang kita makan bersama."

"Iya, sekarang juga aku masih merasa sedikit canggung."

"Bagaimana kalau kita cerita tentang kehidupan masing-masing supaya nggak canggung? Kayaknya kamu punya cerita menarik untuk dibagi."

"Kehidupanku biasa-biasa. Kurasa, kehidupan Kakak akan lebih menarik."

"Karena aku tampan, terkenal, dan dijuluki selebriti jurusan?" katanya, sangat-sangat lancar dan lantang.

"Iya," akuku, setengah ingin. Deskripsinya sangat spesifik sampai membuatku tidak rela memujinya.

"Tapi bagaimana ya, aku punya satu hal yang membuatku penasaran."

"Apa itu?" Kuseruput mie dan mengunyahnya.

"Apa betul kamu belum pernah pacaran?"

Helaian mie yang belum tergerus sempurna tak sengaja kutelan dan menggantung di tenggorokanku. Aku bisa mencium bumbu dan kecap mie menyiksa tenggorokanku. Aliran oksigenku tersumbat dan aku megap-megap. Dengan cekatan, Raka memberiku botol air dan aku langsung meminumnya. Mienya pun turun. Tenggorokanku perlahan mereda.

"Kakak tahu itu dari mana?" cegatku setelah tenggorokanku plong.

"Mindy memberitahuku," jawabnya. "Aku tanya kamu dan Michael bertengkar soal apa, dia bilang kalau Michael menjahili anak baru dengan memaksanya minum alkohol, tapi kamu menggantikannya. Lalu, kamu marah karena dikomentari 'perawan tua' karena kamu belum pernah pacaran."

Mindy. Aku jadi makin yakin untuk tidak menjadikannya teman sekamar. Dia bahkan bilang aku 'perawan tua', kosakata Michael tidak seluas itu.

"Aku memang belum pernah pacaran."

"Seumur hidup?" timpal Raka syok, matanya sampai hampir melompat keluar.

"Um. Iya," jawabku enggan.

"Aku belum pernah ketemu orang yang belum pernah pacaran seumur hidup," ungkapnya takjub, membuatku makin terhina. "Tampangmu nggak jelek, dan kudengar kamu menolak kencan sama temannya Michael. Kamu pasti punya suatu alasan penting sampai nggak pacaran."

"Nggak ada alasan spesial. Aku cuma belum pacaran aja."

"Yakin?" Dia mengusap dagunya. "Aku kok nggak yakin alasannya sesimpel itu. Nggak banyak orang yang mau bertengkar dengan Michael karena dia orangnya arogan, nggak sensitif, dan nggak suka ngalah. Bertengkar sama orang kayak gitu cuma buang-buang waktu, tapi kamu bertengkar dengannya. Itu menjelaskan beberapa hal."

Dengan menanyakan hal ini saja sudah membuktikan kamu juga tidak sensitif seperti Michael.

"Aku baik-baik saja." Aku ingin membatasi percakapan ini berkembang lebih jauh, jadi kualihkan pembicaraan. "Apa Kakak nggak terlalu banyak minum alkohol? Makanlah juga mienya, makanan di sini enak."

Mienya belum disentuh, tapi botol birnya sudah yang kedua. Aku bingung apa dia datang ke sini untuk minum bir atau makan mie.

"Karena kita orang asing, kita bisa leluasa bicara apa pun yang kita mau," potongnya, membelokkan kembali percakapan kami. "Kalau kamu malu, aku bisa duluan cerita."

Kucium bau-bau lain dari percakapan ini.

"Aku nggak tahu kenapa Kakak bersikap seperti ini. Waktu kita ketemu di kampus pertama kali, dan sekarang ini, Kakak baik sekali." Kuselipkan rambut ke belakang telinga, bicara dengan ragu, "Apa ... jangan-jangan Kakak tertarik sama aku?"

Akhirnya, argumen yang telah tumbuh dan membengkak di kepalaku sejak tadi keluar juga. Maya menyuntikkan pemahaman itu berkali-kali sampai aku mulai meyakininya.

"Aku memang tertarik sama kamu."

"Hah?" pekikku, menyebar ke seluruh warung yang berbunyi sepi.

Melupakan pengunjung lain yang masih bernaung di warung. Mereka melirikku tajam minta diam, sedang si pemilik yang sedang menghitung uang di kasir melirik kami dengan pandang ingin tahu. Kurendahkan suaraku dan memanjangkan leher merapatkan jarak kami.

"Kakak suka aku?"

"Ya nggaklah. Aku nggak menyukaimu!"

Suntikan Maya sepertinya membawa efek terlalu kuat dalam aliran darahku, hingga ketika mendapati fakta tidak mencengangkan ini pun, aku tercengang. Semu merah merangkak mewarnai pipiku karena malu.

"Loh, jadi tadi Kakak bilang tertarik sama aku, itu maksudnya apa?"

"Aku cuma tertarik, bukan suka. Dua hal itu beda sekali. Lagipula, tidakkah itu sedikit aneh? Kamu suka aku? Itu bisa terjadi karena aku tampan. Aku suka kamu? Mustahil! Kalau aku suka sama kamu berarti aku bisa suka sama sembarang cewek, kan?"

Ouch, harga diriku. Tapi yang dikatakannya memang masuk akal. Ini bukan drama romansa picisan tentang si cakep yang menyukai si culun.

"Kalau begitu, apa yang membuat Kakak tertarik?"

Raka melipat tangannya di dada. "Aku tertarik karena kamu nggak terpesona sama tampangku yang sempurna ini. Kamu bisa bicara dengan santai sama aku selama tiga puluh menit ini, banyak cewek nggak bisa melakukannya."

Makananku hampir melonjak keluar dari tenggorokan ketika dia mengatakannya. Serangan culture shock terhadap dunia kenarsisannya ini benar-benar hal baru.

Dia melanjutkan, "Orang-orang terkenal yang bilang kalau mereka nggak sadar memikat, itu bohong besar. Aku tahu semua cewek sangat mudah menyukaiku karena tampang dan karismaku."

"Tapi sekarang aku menemukan lebih banyak hal yang bisa kubenci daripada kusukai." Aku bergumam.

"Apa?"

"Nggak apa-apa. Terus, kenapa menurut Kakak itu jadi masalah? Kakak bisa tetap menikmati perhatian dari orang-orang yang menyukai Kakak dan mengabaikanku."

"Kadang, itu menyenangkan karena harus berakting nggak sadar kalau mereka menyukaiku, meski aku bisa melihat jelas rasa suka dari gelagat tubuh mereka. Tapi, kadang juga itu membawa masalah."

"Masalah seperti apa?"

"Seperti saat kamu mencintai seseorang, tapi orang yang kamu cintai nggak memandangmu, tapi memandang ketenaran dan tampangmu. Atau saat kamu berusaha meyakinkan dia, kalau dialah satu-satunya yang kamu sukai ketika kamu selalu menikmati dan menerima perhatian cewek-cewek lain."

"Kakak pernah merasakannya?"

Matanya tersentak ketika bertemu mataku, kusadari ada beberapa detik buatnya bergumul sebelum bicara, "Iya."

Raka mengembuskan napas, ia memegang botol bir dan menatapnya nanar, bukan sedang menghitung berapa banyak alkohol yang ia habiskan, kurasa dia sedang mereka ulang kenangan dalam benaknya.

"Aku pernah merasakan keduanya. Pernah menjalani kisah cinta yang menggelikan seperti kebanyakan orang, mencintai satu cewek sampai membuatku hampir gila. Aku melakukan semua yang dia mau. Aku memutus semua komunikasiku dengan cewek lain karena dia nggak suka itu. Mengiriminya pesan manis pagi-pagi karena dia suka tindakan kecil itu. Aku pernah menyembunyikan bunga di lokernya dan puisi waktu valentine persis seperti para remaja yang mabuk cinta."

"Itu klise, tapi manis." Aku tersenyum membayangkannya.

"Klise dan manis." Dia ikut tersenyum. "Pada malam valentine itu, kami makan di rooftop restoran, semua romantis dan magical, sampai dia meng-upload foto romantis kami. Selama sisa malam, dia habiskan dengan membalas chat-chat excited dan iri teman-temannya. Dia sepenuhnya mengabaikan kehadiranku sebagai partnernya. Pada akhirnya, cuma aku yang peduli pada kencan itu.

"Aku sampai harus makan mie keong amis karena dia ingin meng-upload-nya di Instag. Kenapa orang-orang suka bereksperimen dengan bahan yang sebenarnya nggak layak dimakan?"

"Setelah itu, kalian putus?"

Raka mengangguk. "Kata orang, kamu harus usaha untuk mendapatkan cinta. Di realitanya, kamu bisa jadi nggak mendapatkannya juga. Itu bukan karena usahamu kurang, tapi mungkin kamu memberinya pada orang yang nggak tepat.

"Kupikir, mantanku bertingkah begitu, karena dia bukan orang yang tepat buatku. Aku sadar kalau menyukainya cuma membuang-buang waktu. Harga diriku sudah cukup rendah memaklumi semua kelakuannya, tentu saja aku minta putus."

"Itu cerita yang menyedihkan." Aku menyorong kedua piringku yang habis menjauh dan menyandarkan siku di pinggiran meja. "Pacaran ternyata nggak selalu membuat orang bahagia."

"Ada orang yang merasa bahagia waktu ada yang mencintainya. Ada juga orang yang bahagia kalau dia bisa mencintai seseorang. Dan, ada juga yang berharap bisa bahagia dengan berpacaran. Kebahagiaan orang sering sekali berputar dalam persoalan cinta, karena itu orang-orang mengejarnya, meskipun akhirnya bisa jadi nggak sesuai harapan."

"Apa Kakak menyesalinya?"

"Bohong kalau bilang kalau aku nggak menyesal, aku sudah mencurahkan banyak untuknya untuk mendapat kecewa. Tapi, ada juga saat-saat hatiku berkelepak-kelepak karena dia. Ada masa baik dan buruknya juga, sama seperti kebanyakan orang yang pernah pacaran." Lalu, ia tersadar. "Ah, kamu belum pacaran, mana mungkin kamu mengerti maksudku."

"Belum pacaran, bukan berarti nggak punya perasaan. Aku juga pernah jatuh cinta dan merasa hatiku melompat-lompat."

"Hati mana bisa melompat. Berdebar-debar, berdenyut-denyut, berkelepak-kelepak, melayang, itu yang benar," protesnya.

"Berdebar-debar," koreksiku, astaga cowok ini cerewet sekali. "Orang jomblo bukan orang yang nggak punya perasaan dan menganggap cinta dan kisah cinta itu konyol jadi nggak mau pacaran. Mereka cuma menganggap ada yang lebih penting dari itu jadi menundanya dulu, atau memang punya pengalaman buruk soal cinta bertepuk sebelah tangan."

"'Aku bukannya nggak mau pacaran, tapi aku telah terluka karena cinta', itu seperti penggalan lagu cinta picisan yang dinyanyikan remaja-remaja galau."

"Kita sendiri juga pernah jadi remaja galau."

"Itu kamu. Aku dari janin udah keren."

Tanganku mengepal ingin kali mengetuk kepalanya karena keangkuhan level tinggi ini. Seseorang seharusnya memukul kepalanya agar dia sadar kalau dia terlalu narsis!

Aku benar-benar ingin menampar sisi diriku yang pertama kali menilainya gentle. Gentle, apanya coba!

"Walau pernah mengalami pengalaman buruk, bukannya terlalu ekstrem sampai nggak mau pacaran?" Raka menuang birnya lagi ke gelas. "Aku rasa pandangan itu cuma buat menyiksa diri. Kalau kamu suka seseorang, sukai saja dia. Kalau kamu mau membagi cintamu, bagilah dengan pacaran. Kalau belum bersedia untuk itu, ya jangan lakukan, karena kalau kamu lakukan dengan sembarangan, kamu akan menyakiti hatimu, juga hatinya."

Ia menyodorkan gelas bir yang baru saja ia isi ke mejaku.

"Pertanyaan pentingnya, apa kamu nggak mau pacaran karena memang masih senang sendiri atau ini caramu untuk melupakan rasa sakit hati?"

Kutatap bayanganku yang tercermin di permukaannya.

"Sebelum kujawab, aku mau bertanya satu hal." Di dalam gelas, cewek berwajah bulat dan mata besar itu, menatapku sambil terdiam dan tidak puas. "Kalau kamu mengabaikan rasa sukamu, apa jadinya?"

"Kamu akan bergantung padanya." Raka menghabiskan gelasnya dalam sekali teguk, lalu mengerang nikmat. "Hal yang nggak bisa dimiliki akan berlangsung selamanya."

"Seperti Kakak dan mantan pacar Kakak?"

Dia menggeleng. "Seperti kamu dan cowok di kepalamu itu."

Kini giliran aku yang menggeleng.

"Dari perkataan kakak tadi, aku bisa memastikan kalau aku masih senang sendiri. Bukannya aku nggak bisa melupakannya karena nggak bisa memilikinya. Kami cuma telah melalui banyak hal sebagai teman. Daripada rasa cinta, yang kurasakan mungkin semacam penyesalan. Aku telah membuang-buang waktuku cuma untuk mendapat cinta bertepuk sebelah tangan."

Dirga dan perasaanku sudah menjadi sejarah. Meskipun mungkin ada beberapa saat dia membuatku tersipu, juga beberapa saat awal kuliah aku mengharapkan dia menyukaiku, tapi itu tidak berarti apa-apa. Sekarang semua sudah berlalu. Aku cuma memandangnya sebagai teman berharga yang hadir di masa mudaku, sama seperti aku dan Maya.

Pertengkaranku dengan Michael terjadi karena selama beberapa hari ini semua orang menyudutkanku pacaran. Itu benar. Selama setahun ini, buktinya aku bisa menerima Dirga dan Febby pacaran ....

Mataku tanpa sadar berpendar keluar jendela mengecek langit karena tiupan angin di mukaku mulai ribut. Ketika kupikir lebih baik kami pulang karena mungkin sebentar lagi hujan, sosok jangkung berkacamata, pemuda yang kira-kira mahasiswa dari cara berpakaiannya memakai hoodie dan rambut cepak, lewat di jendelaku. Ia mengobrol akrab dengan cewek di sebelahnya.

Jantungku berdenyut keras seakan-akan sedang disetrum alat kejut jantung sampai membuat dadaku sakit melihatnya. Kuikuti mereka sampai melewati warung.

Dirga dan Febby?

Dua nama itu baru saja tercetus dari kepalaku ketika kulihat jam digital yang menyala dalam gelap dipakai pemuda itu dan tas selempang yang talinya terlalu panjang sampai pantat.

Bukan Dirga.

Badanku langsung lesu dan lega menyadari aku benar-benar payah mengenali orang. Mana mungkin juga Dirga ada di daerah sini malam-malam?

Mataku berkedip sekali, tersenyum kembali mengingat salah sangkaku, lalu kupalingkan wajahku kembali ke meja. Kemudian, mataku bertemu sepasang mata cokelat itu. Seperti ia telah lama mengintaiku.

Kami saling bertatapan dalam keheningan selama beberapa saat.

Dia menunjuk jendela.

"Bukan cowokmu?"

Sialan, dia melihatnya!

"Bukan. Maksudku, ini bukan seperti yang Kakak pikirkan."

"Pantas saja kamu nggak melirikku, ternyata kamu sudah suka cowok lain!"

"Bukan seperti itu, Kak! Beneran!"

Dia menyeringai. "Pipimu merah, tuh."

Kuraba pipiku yang panas seperti ada kompor di lapisan kulitnya. "A-aku cuma mabuk!"

"Tapi birmu masih penuh."

"Aku baru mau meminumnya!"

Kuteguk gelas bir itu sampai habis meski lidahku akhirnya kebas. Di seberang meja, Raka mengikik puas telah menguak rahasia yang bahkan tidak kusadari.

Kalau mungkin, aku masih menyukai Dirga.

****

Lampu kamar dengan tempurung kotak menjadi benda pertama yang kutemukan saat membuka mata. Seluruh kamarku gelap gulita. Dengan sisa tenagaku, aku bangun. Tapi, kakiku kembali goyah karena kepalaku langsung diserang pening. Kutarik tirai jendela di sebelah kasur, dan cahaya lembut matahari pagi masuk dari sana.

Ke mana celanaku?

Kusibakkan atasanku-masih kaos oversize kuning yang kupakai kemarin-lalu menggosokkan mata lagi, dan kembali melihat bagian bawahku yang hanya tertutupi cd. Apa aku melepasnya waktu tidur karena panas?

Derit pintu membuka terdengar ketika aku sedang sibuk dengan kepalaku. Menyembul kepala di baliknya.

"Sudah bangun?" sapa orang itu.

Mataku hampir melonjak keluar. Rahangku sepertinya bergeser dari letaknya karena aku menganga sangat besar melihat sesosok manusia ini, yang bukan dari kaum hawa itu. Bukan Mindy, atau lagi Maya.

Raka mengangkat sekantung berisi dua kotak makanan. "Aku membelikan kita bubur penghilang pengar. Keluar dan makanlah. Kutunggu di depan, oke?"

Lalu, dia menutup pintu. Dengan superbiasa dan supersantai.

Lututku lemas. Aku tersungkur di lantai. merasa dunia sedang bergeser dari porosnya. Berandai aku sedang ada di alam mimpi. Atau galaksi Bimasakti lain.

Bagaimana bisa Raka ada di rumahku?!

****

Ps : Maaf chapter ini panjang dan update-nya telat lagi. Aku pengen update secepatnya, tapi kondisi real life agak kurang baik.

Gimana tanggapan kalian tentang chapter dan cerita ini?
Tulis di kolom komentar tentang kritik, masukan, atau tanggapan apa pun.

Terima kasih sudah mau menunggu dan sampai jumpa minggu depan!

(20/3/2022)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top