7. Messy Dinner Night
• Happy Reading •
****
Kemarin malam, sebelum aku menyeduh teh bubuk chamomile yang ditinggalkan Maya sekotak di atas kulkas, aku mendapat pesan dari Maya kalau perbaikan mobilnya telah diurus papanya. Dia bilang aku tidak usah khawatir soal biaya, karena tingkat keparahannya tergolong minor dan masih bisa ditanggung oleh asuransi. Aku bersyukur karena itu, dan menyampaikan kekhawatiran tentang bagaimana tanggapan papanya.
Tentu saja Om Arief marah besar. Bukan padaku, tapi pada Maya. Maya mengaku tidak sengaja menabrak mobil yang parkir di depan rumahnya dan menceritakan seluruh kronologis kecelakaanku sebagai kesalahannya. Selama sejam penuh Maya kena omel, kupingnya sampai panas. Untung saja Om Arief tidak sampai hati menahan STNK mobil itu sebagai hukuman. Aku bertanya kenapa Maya tidak menjawab jujur saja, dan dia menjawab, "Anggap saja ini tebusan hutangku karena sudah meninggalkanmu sendirian menyewa apartemen."
Aku sadari kalau akan lebih rugi bila Maya mengatakan yang sejujur-jujurnya, Om Arief tentu akan lebih marah karena Maya meminjamkan mobil tanpa pengawasan kepadaku yang masih pemula, dan bisa jadi meminta ganti rugi pada orang tuaku. Meski begitu, aku tetap memandang soal apartemen dan mobil itu tidak impas dan makin merasa tidak enak. Ini salahku, bukan Maya.
Jadi, untuk menebus kebaikan hati Maya, per hari ini aku akan menjadi sahabat terbaiknya, seperti yang telah dilakukannya padaku.
"Kamu nggak pernah cerita cowok yang bersamamu waktu itu, Raka Rasyad!"
Pesan masuk dari Maya menghajar notifikasi ponselku bertubi-tubi. Buru-buru kupencet tombol silent, menyusupkan ponsel ke saku celana, dan menebarkan senyum baik-baik saja kepada seluruh anggota UKM ilustrasi. Ester, ketua kami, memergoki aksiku. Ia menatapku tajam seperti bisa membolongi kepalaku dengan laser, untungnya hanya sejenak, karena seluruh perhatian anggota tengah mengarah padanya, lalu lanjut menerangkan rencana kegiatan klub ilustrasi untuk semester ini secara singkat.
Kuamati sekilas para anggota klub yang bosan, mengantuk, dan beberapa yang baru mencatat sesuatu di bukunya, dari sudut meja segiempat ini aku bisa memperhatikan mereka semua. Lalu, tanganku pelan-pelan mengambil ponsel di bawah meja.
Sebagian chat berisi Maya yang memanggil namaku, dan belasan tulisan 'ping' untuk dibalas cepat. Kulakukan terapi napas, menarik dan membuang napas selama tiga kali. Aku hari ini adalah sahabat yang baik, sahabat yang baik tidak gampang marah. Sahabat yang baik tidak gampang marah.
Kuketik ini dengan cepat, "BISA DIAM SEDIKIT NGGAK, SIH? AKU LAGI PERTEMUAN KLUB ILUSTRASI!"
Beberapa detik kemudian tiga balon pesan Maya berdatangan. "Selow berow, sisss. Nyante. Capslock jangan jebol-jebol-lah. Aku ngebet karena terlalu excited kalau ternyata kamu deket sama selebriti jurusan arsitek."
"Selebriti jurusan arsitek? Siapa? Kak Raka?"
"Ya iyalah! Masa mantan gebetanku! Eh, eh, jangan deh, ngomong sembarangan. Ntar nggak kejadian lagi. Uupss!"
"Hayoloh. Pacarnya Sam!"
"Semua orang bolehlah bermimpi. Ikan saja boleh tidur nggak merem tapi bisa mimpi."
"Jadi, dia sejurusan sama Dirga, dong. Wah, ternyata dia orang terkenal?"
"Ho-oh. Jadi, gimana kalian? Ada perkembangan?"
"Nggak ada perkembangan karena memang tidak terjadi apa-apa."
"Kalian nggak saling kontakkan! Wow, Nola! Kamu nggak tahu apa yang sudah kamu lewatkan!" Kemudian balon chat Maya masuk lagi. "Iya sih, selera Raka pasti nggak kayak kamu. Minimal kayak aku. Cantik dan anggun. Anak-anak menyingkir!"
Maya masih menulis balasan ketika mendadak ponselku dirampas seseorang. Aku hendak menghardik orang itu, namun begitu berbalik kupamerkan senyum pepsoden yang kikuk berharap itu bisa meluluhkan hati orang itu.
"Kak, Ester ...."
Kacamata kotak bergagang besi tipis mengilap diterpa cahaya lampu, ia mengangkat ujung kacamata dengan jari, sedang tangan yang lainnya memegang ponselku erat. Aku tahu aku mendapat masalah.
"Setiap anggota dilarang memakai gadget saat jam klub berlangsung. Anggota baru ataupun anggota lama. Tanpa pengecualian," tegurnya tegas.
"Sorry, Kak. Tadi ada pesan mendesak yang harus segera kubalas." Ini adalah kebenaran kalau alasan mendesak itu adalah Maya yang memborbardir ruang chat-ku dengan tulisan 'ping!'.
"Tanpa pengecualian," ulang Ester lagi, namun tangannya mengembalikan ponselku. "Tapi, kamu bisa menebus kesalahan itu, kalau kamu menghubungi restoran ayam 'Chickin' sekarang untuk memesan tempat."
"Siap!" jawabku cepat sebelum memprosesnya di otak. "Heh ...? Memesan tempat? Buat apa?"
"Buat perayaan penyambutan anggota baru." Ester menepuk pundakku. "Kuserahkan semua acaranya sama kamu."
"Ta-tapi aku ...."
Ester melenggang keluar. Kulihat cewek anggota baru di sampingku-kalau tidak salah namanya-Syifa, meringkus barang-barangnya ke dalam tas. Lalu, kupandangi anggota lainnya yang berbuat hal yang sama. Aku dan Maya chatting lama sekali sampai tidak sadar kalau ini sudah waktunya pulang.
Kulihat jam di ponselku, was-was begitu jarum jam menunjuk angka setengah enam. Dirga dan aku janjian makan jam enam. Aku punya waktu tiga puluh menit untuk memesan tempat dan mengatur pesanan orang-orang.
Aku harus cepat.
Selama lima belas menit aku berkutat dengan memesan tempat dan mengatur transportasi ke sana. Kami pergi memakai mobilnya Ester dan dua senior lainnya, sedang yang punya motor memakai motornya. Ketika aku selesai mengkoordinir orang-orang dan semua telah tahu lokasi tujuan, ponselku kembali berdenting. Pop up pesan muncul ketika layar terbuka. Dari Dirga.
"La, sorry. Kayaknya sebentar kita nggak bisa makan bareng. Aku tiba-tiba ada urusan."
****
"Cheers!"
Dentingan dari tubrukan gelas milik Ester yang berdiri di meja tengah restoran, mengawali dentingan gelas-gelas milik anggota lain dan terus tersalurkan sampai seluruh anggota, bak menjatuhkan susunan domino. Euforia malam itu mendorong setiap anggota tertantang meneguk seluruh isi gelas selayaknya itu bentuk solidaritas sebagai keluarga baru. Andai solidaritas bisa dibuktikan semudah itu, maka perpecahan kelompok bisa diselesaikan dengan mabuk cola.
Untunglah dunia tidak bekerja memakai cara seperti itu (kecuali mungkin karyawan coca cola), jadi baik-baik saja bila aku menurunkan gelas ketika lidahku kebas karena sensasi menggigit cola. Tapi Mindy melihatnya, dia mendorong gelasku naik memakai jarinya, memaksaku menghabiskan gelasku. Aku hampir tersedak.
Aku terbatuk-batuk setelah menghabiskan cola, dan mengerang begitu merasakan buih-buih soda keluar dari hidungku-rasanya menyakitkan. Tiga teman dudukku tertawa melihatku begitu, sampai Mindy, wanita mungil berperawakan suku Tionghoa yang memiliki rambut ash brown yang indah, ikut mengerang dan bersendawa cukup besar. Aku ikut menertawainya.
"Sorry." Dia bersendawa lagi. "Aku nggak begitu suka soda."
"Bukan cuma kamu yang begitu," balasku, memangku dagu menghadapnya agar dia bisa melihat seseorang yang hampir dibunuhnya barusan. Aku barusan hampir mati konyol karena pembuktian rasa solidaritas.
"Oh, tolonglah," cibirnya, merendahkan rasa sakitku. Lalu, dia mendorong piring ayam goreng crispy dan yangyeom chicken* ke Syifa dan Davina-dua newbie klub kami. "Makan, makan. Tempat ini punya ayam goreng yang enak."
Perayaan penyambutan anggota klub baru kami rayakan di sebuah restoran ayam Korea kecil yang letaknya beberapa blok dari kampus. Itu adalah sebuah restoran yang tidak besar, berisi delapan meja persegi dari kayu, sebuah bar kecil isi ulang bir, desain ke-korea-korean dengan poster boyband Korea di setiap dinding toko dan lampu neon tertulis 'Chickin is life', dan empat pelayan paruh waktu yang wajahnya selalu muram.
Untuk ukuran klub kecil, perayaan seperti ini sangatlah beradab. Tahun lalu acara penyambutan dirayakan di ruang klub, dengan bucket ayam goreng dan nasi sumbangan dari kos ketua klub sebelumnya. Semenjak Ester diangkat jadi ketua klub, ia membawa banyak perubahan. Seperti penambahan jumlah anggota berkat ide inovatifnya mempromosikan kegiatan klub pada acara-acara kampus (contohnya tahun lalu kami menampilan speed drawing pada acara Pensi), juga membuat aturan mengumpul kas klub per bulan. Alhasil, pundi-pundi uang kas klub menggendut. Kami pun sanggup merayakan acara pelepasan dan penerimaan anggota secara meriah.
Sebenarnya, aku masuk klub ini karena klubnya kecil, hubungan antar anggota pun jadi dekat, dan aku sedikit suka menggambar. Tapi senang juga melihat klub ini jadi sedikit lebih besar. Walau diktator-seperti hari ini dia memaksaku mengurus acara ini-aku kagum pada kegigihan, semangat, dan komitmen Ester dalam mempertahankan klub ini. Pada hari ini pun, dia melakukan strategi mengakrabkan anggota dengan mencampur meja anggota lama dan baru.
Aku iri padanya. Sampai sekarang pun, aku belum pernah punya sesuatu yang ingin kuperjuangkan.
Syifa dengan cerianya me-request lagu Boy in Luv-nya BTS dan pelayan itu mengembuskan napas panjang di depan mukanya seolah permintaan itu sesulit bertemu anggota BTS.
"Kurasa, dia haters," bisik Syifa menenangkanku, walau aku tidak bertanya, tapi aku tidak menyanggahnya.
Aku sedang menggumulkan pembicaraan Ester dan Mindy di mobil tadi. Mindy-seperti biasa-mengeluhkan orang tuanya membatasi jam pulangnya pukul 8 malam padahal kuliah paling malam biasanya berakhir jam setengah 8. Dengan jengkel dia mengeluh bagaimana aktivitas sosialnya dipersempit oleh pemikiran kolot orang tuanya kalau wanita adalah makhluk lemah yang tidak mampu menjaga diri. Jadi dia ingin membuktikan orang tuanya salah dengan pindah dari rumah. Ia bertanya, apa kos punya Ester kosong, dan Ester menggeleng.
Dari kursi belakang waktu itu, aku ingin sekali mengangkat tangan dan berseru, "Aku punya kamar kosong! Ayo, angkat kopermu hari ini ke apartemenku!"
Aku tidak sadar terlalu lama menatapnya sampai Mindy melirikku dan menyinggung, "Kamu nggak takut ya, La?"
Aku kelabakan. "Takut apa?"
"Takut jadi gendut. Makan ayam segitu banyak," tunjuknya pada piringku yang telah terisi satu paha ayam yangyeom chicken, satu dada ayam crispy, beberapa potong kentang goreng, dan semangkuk nasi putih. "Kalau dihitung-hitung kalorinya bisa buat makan siang dua kali. Kayak porsi makan cowok aja."
"Tadi sore aku nggak sempat jajan, jadi laper deh." Kucolek kentang gorengku ke saos sambal dan menyantapnya.
"Kamu makan empat kali sehari?" Dia menganga kaget. "Porsinya segitu semua?"
"Kecuali sore, pas jajan." Ini juga gratis, ngapain diirit-irit makannya?
"Pantas kamu nggak pernah dapat pacar." Dia geleng-geleng. "Gini ya, biar perutmu kayak karet-bisa makan banyak tapi badanmu tetap kurus. Nggak ada cowok yang suka sama cewek makan banyak. Jatuhnya dia illfeel. Sudah nggak anggun, kerjanya cuma tipisin dompet buat puasin pengemis yang ada di perut kamu itu."
Aku melirik perutku sendiri, membanyakan ada pengemis minta-minta di sana. Yang dia mau itu kentang goreng bukan duit, jadi apa salahnya?
"Kalian jangan kayak dia," katanya pada dua anak baru itu. "Cuek bebek sama urusan cowok. Aku nggak bakal heran kalau kamu nggak punya pacar seumur hidupmu. Alasannya terpampang nyata di sini." Dia menggerakkan tangannya menunjukku, dan aku segera merasa seperti ogre berbadan hijau dan berlendir.
Apa sebegitu buruknya bila tidak memikirkan cowok dan melakukan apa yang menyenangkan buat diri sendiri? Aku memang tidak menarik sepertinya yang pandai menggaet cowok dan punya pacar, tapi tidakkah sopan mengatai teman klub sebagai seseorang yang tidak menarik di depan mukanya? Kurasa, aku harus memikirkan ulang seberapa untung aku kalau Mindy menjadi teman sekamarku.
Mindy melanjutkan talkshow mendadaknya, "Kalian pasti pikir saat-saat indah buat pacaran itu pas SMA, ketika kalian masih muda dan baru mengenal cinta. Aku bilang, saat-saat indah dan tepat buat pacaran adalah saat kuliah. Di sini kamu bertemu lebih banyak orang dari berbagai sekolah, suku, jurusan, dan umur kalian telah cukup dewasa buat dihalang-halangi ketentuan orang dewasa tentang 'usia legal' mencintai."
Dia mengutip usia legal dengan jari, kukira sebagai talkshow ini adalah curcol Mindy yang akhirnya dibolehkan pacaran oleh orang tuanya. Good for her.
Syifa dan Davina dengan polosnya mengangguk, mengiyakan. Bertambahlah kepercayaan diri Mindy berlipat-lipat.
"Mau cari pas kerja supaya langsung nikah? Kuda nil bodoh. Mana bisa kamu punya waktu mengenal orang baru ketika kamu sibuk cari uang?"
Sepertinya Davina terlena dengan sandiwara talkshow ini, dia mengangkat tangan.
"Tapi, Kak, kita kuliah kan untuk persiapan dunia kerja. Kita harus belajar, menambah kualifikasi, ikut organisasi, lomba, kerja bakti, dan ekstrakulikuler. Sudah banyak waktu yang tersisa, bukannya cuma buat capek kalau menambah hal setidakpasti pacaran?"
"Harus disempet-sempetinlah," jawab Mindy lihai bak Mario Teguh. "Kamu memang mahasiswi, tapi kamu juga anak muda. Kamu harus memikirkan masa depanmu secara lengkap, bukan cuma dari sisi karir dan pendidikan saja, tapi juga kehidupan dan percintaan. Ketiga hal itu bukan hal yang bertabrakan, tapi berjalan beriringan merangkai masa depanmu. Kamu nggak tahu, jangan-jangan setelah kuliah ini malah langsung ke pelaminan."
Kedua anak baru kompak mengeluarkan gumaman mengerti, lalu sedetik kemudian saling bertatapan dengan malu karena suatu pemikiran. Aku menyenggol lengan Mindy dan menatapnya tajam. Dia malah mengusap bekas senggolanku lalu menatapku balik dengan bingung. "Apa?" katanya.
Bukan hanya bermulut besar, dia juga tidak pandai membaca situasi. Anak-anak ini baru juga masuk kuliah, malah mau diajarin cepat nikah.
"Satu hal yang perlu kalian tahu, kalau ingin rencana kalian berjalan mulus, kalian harus menghindari dua tipe cowok ini," lanjut Mindy, tak peduli tatapan tegasku.
Mindy mengangkat dua jari bentuk 'V' dan menunjuk salah satu jarinya.
"Pertama. Yang sulit dijangkau. Kalau waktu SMA, kamu bisa seenaknya memuja-muja tipe ini diam-diam, tapi percayalah kalau kuliah, kamu cuma buang-buang waktu mengejar-ngejar mereka. Semua wanita pasti menyukainya dan berharap memilikinya. Terlalu banyak saingan. Too risky."
Mindy berdecak kecil, matanya digerakkan ke sesuatu di belakang Davina, ke arah pintu masuk. Saking penasarannya, Davina sampai memalingkan wajah ke belakang.
Pintu masuk didorong oleh cowok bertubuh tinggi tegap dengan gaya rambut undercut dan kulit kuning langsat terang. Rahang persegi, agak kurus, rapi dan tampak acuh, agak mudah ditebak. Walau begitu tak ada yang bisa menyangkal kalau penampilannya menarik.
Saat matanya mencari-cari ke penjuru ruangan, aku bisa merasakan kaum hawa diam-diam meliriknya masuk, dan saat dia tersenyum saat dipanggil temannya, mereka meleleh. Ia berjalan ke meja tengah tempat Ester dan teman-temannya duduk, dan seperti melengkapi image pria impian, dia bertos ria-meninju kepalan tangan-dengan teman-teman prianya, menyapa teman wanita, dan mereka menyambutnya ribut.
Mindy mencolek lenganku.
"Kamu nggak tahu dia, kan?" tanyanya. "Namanya Raka Rasyad. Tahun kedua, jurusan arsitek. Sejak liburan semester lalu, pas kamu balik Mojokerto, dia sering ke ruang klub. Alasannya sih, penat sehabis kelas semester pendek jadi ngikut Ester main ke klub, tapi nggak tahu yah, kalau ada alasan lain."
Mindy senyam-senyum tersipu pada bayangan dalam kepalanya yang tidak ingin kutahu. Walau sebenarnya ingin mengakui kalau ini sedikit mengherankan bagiku, karena Raka Rasyad yang Maya dan aku bicarakan di ruang obrolan ternyata ada sedekat ini.
Aku kembali cemberut dan menegak cola-ku mengingat pesanku yang lain. Dirga membatalkan traktiran makanku karena urusan mendesak. Siapa pun tahu urusan mendesak Dirga pasti melibatkan pacarnya. Kurasa, itu artinya mereka rujuk kembali.
"Kedua," ketika Mindy berujar, seluruh kepala di meja kami berpaling lagi padanya, "Cowok berengsek. Cowok-cowok ini akan mendekatimu dengan pendekatan sama seperti cowok lain, tapi kalau nggak ditanggapi mereka marah. Menyebalkannya lagi, mereka nggak tahu kalau mereka itu berengsek." Memakai suara lirih yang serius, Mindy menegaskan, "Jangan pernah berurusan dengan cowok macam ini."
Pintu masuk kembali dibuka. Masuk cowok tinggi dengan rahang tegas, brewokan, dan rambut kecoklatan. Wajahnya mengatakan cowok itu berada pada akhir tiga puluhan, tapi kaus abu-abu dan kemeja kotak-kotak merah trendy yang membungkusnya, mengatakan dia tidak setua itu. Dia duduk di tempat Raka dan Ester berada. Ia menyisip di antara tempat duduk Miky dan Laura yang sedang bersenda gurau, lalu memberi cengiran tanpa rasa bersalah.
"Namanya Michael Djanra." Menjelaskan pada kami semua-kebetulan kami melirik orang yang sama. "Jurusan Arsitek. Anggota BEM, selalu ikut acara klub kita kumpul-kumpul. Entah mungkin dia nggak punya teman atau mengincar makanan gratis. Tapi, apa pun itu kuharap dia nggak sering datang."
"Kenapa?" tanya Davina, anak baru berkerudung putih itu.
Mindy tersenyum, puas seseorang menanggapi dengan benar. "Kalian pernah nggak melihat di drama-drama ada senior yang suka menggoda anak-anak baru dan sok punya kuasa karena senioritas mereka? Nah, kalian bisa menemukan orang itu di kehidupan nyata."
"Si Michael itu, Kak?" tanya Davina penasaran.
Mindy mengangguk. "Banyak anak semester satu nggak betah di sini karena kakak itu suka datang kemari cari masalah. Kadang-kadang dia memakai ruang klub buat tempat merokok dan mengusir anak-anak yang datang istirahat ke ruang klub, padahal dia bukan anggota kita. Pernah juga dia kedapatan menguntit anggota cewek karena cewek itu bersikap baik padanya, dikiranya dia suka. Untunglah, Ester cukup bijak untuk mengusir cowok itu segera dari klub walau dia anggota BEM ...." Mindy menurunkan volume suaranya dan memandang nyalang ke belakang Davina dengan was-was.
Saat kami baru saja memahami situasi dan menjauhkan kepala kami yang tanpa sadar memusat pada Mindy, suara berat khas perokok menyapa, "Kalian lagi ngomongin apa? Seru banget kayaknya."
Seperti hantu, Michael tersenyum sambil membawa sebotol bir dingin dan gelas kosong di kedua tangannya. Dia berhenti di meja kami, dan meletakkan botol bir di meja depan Davina.
Tak ada seorang pun yang menyambut baik kedatangannya, terutama setelah mendengar isu keburukannya. Ketika ia bersendawa, dari jarakku, aku bisa mencium bau alkohol darinya. Dia baru datang ke sini, tapi sudah mabuk? Aku meragukan ingin tahu tempatnya berkunjung sebelumnya.
Mindy yang pandai bersilat lidah, menghadapinya.
"Biasa. Pembicaraan antar cewek," katanya sambil tersenyum misterius.
Michael terpancing, dia melebarkan tangannya di meja dan menunduk tertarik. "Lain kali kamu juga harus menceritakannya padaku, di antara teman-teman dudukmu ini, atau di tempat private," lalu dia tertawa sendiri, "kalau itu bukan tentang aku."
"Kakak lucu sekali!" balas Mindy memakai suara melengking, ia meninju lengan Michael dengan manja, ikut-ikutan tertawa.
Aku, Syifa, dan Davina ikut tertawa sambil saling lirik, mengisyaratkan kalimat 'kami memang bicara soal kamu, tahu!'.
"Wah, anak-anak baru!" Michael memandang satu per satu wajah Syifa dan Davina seolah sedang menghapalnya. "Akhirnya, klub ini ketambahan anggota juga. Aku nggak berharap banyak waktu Ester membuka pendaftaran klub ini, tapi klub jadi rame juga, ya.
"Hai, aku Michael, aku bukan anggota klub ini, tapi kalian akan sering ketemu aku di sini. Salam kenal," sapanya pada Davina.
Davina mengangguk kikuk, mencicit namanya pada Michael agak tak rela. Ketika melihat Davina yang berwajah manis, mata syahdu, dan berkulit putih mulus, aku melihat mata Michael bercahaya. Aku tahu dia telah menetapkan mangsa berikutnya.
"Aku akan membuat hari pertama kalian berkesan!"
Michael mengetukkan gelasnya di meja dan mengisi bir. Air kuning pucat itu perlahan-lahan terisi naik, membuahkan busa-busa putih yang menggelembung sampai bibir gelas.
"Kumpul-kumpul nggak ada faedahnya kalau nggak ditemani minuman, ya nggak?" Michael menyodorkan gelas itu pada Davina.
"Ini aku yang bayar. Minum sampai habis!" tuntutnya.
Davina, si anak baru yang polos dan taat beragama itu, membeku seketika menatap bir. Tatapannya seperti ingin membolongi busa-busa putih di sana atau otaknya sekarang tengah membolongi dahi Michael sampai tembus.
"Sa-sampai habis, Kak?" Davina menelan ludah gugup.
"Iya, semuanya, sampai tetes terakhir. One shoot!" Menyadari keraguan Davina, Michael mendesak, "Ayo, satu gelas saja! Masa senior kasih minuman malah dianggurin?"
Davina memandangi kami bertiga bergantian untuk meminta tolong, tapi kami bertiga menghindarinya dengan pura-pura tidak melihat. Kami tahu sekali ilegal menawarkan anak di bawah umur minuman alkohol, juga menyadari kalau itu adalah gelas alkohol pertama Davina seumur hidupnya. Davina amat malang, baru masuk klub sudah dijahili sama senior berengsek.
Davina menggeser gelas itu menghadapnya. Memandang gelas itu ngeri bagaikan hendak meminum racun. Beberapa orang mungkin suka sensasi mabuk, tapi sepertinya tidak ada satu pun dari kami mau mabuk di acara kumpul-kumpul ini. Aku pun tidak suka bir karena pahit. Aku pernah tidak sengaja meminum bir punya Papa saat kami acara keluarga di rumah.
"Dia masih di bawah umur, Kak." Di luar kesadaranku, aku merampas gelas di tangan Davina. "Kasih sama yang sudah berpengalaman saja."
"Kamu juga masih di bawah umur, kan? Sembilan belas?"
Aku tersenyum menjawabnya, lalu meneguk 'air kuning itu' sebelum kusadari telah melakukannya. Aroma alkohol merebak masuk ke hidungku, kemudian lidahku kebas karena rasa pahit dan nyelekit. Ketika bir turun ke tenggorokanku, aku mulai menyesali aksi heroik ini.
Perutku terasa kembung, lidahku pahit, dan dadaku panas. Kurasa aku akan muntah.
"The bravest Nola," puji Michael dengan tepuk tangan.
Aku mengelap sisa busa bir di bibirku dan memberinya gelas. Sekilas kulihat kilau bangga dan haru di mata Davina. Dan di saat itulah aku merasa seperti superhero yang pulang ke kota setelah memberantas alien jahat.
Michael menerimanya. "Aku dulunya nggak tahu apa daya tarikmu sampai Kevin tergila-gila sama kamu. Kamu jarang bicara dan jarang berinteraksi, sekarang aku tahu apa yang membuatmu menarik."
Michael menyandarkan tangannya di sandaran kursiku, membuatku berjengit menjauh.
"Kalau kamu nggak suka sama Kevin," dia mengukir senyuman, "kamu bisa denganku."
Aku hampir saja kelepasan meringis.
"Maaf sekali, kuota penuh," tolakku.
"Jangan bohong. Aku tahu kamu sama Kevin sudah selesai." Ia menarik senyum begitu melihat raut heran di wajahku. "Dia bilang kamu menolaknya. Kamu mengabaikan pesannya, jarang mengangkat telepon, dan terakhir kamu bilang, kamu nggak tertarik pacaran. Is it true?"
Sudah anak mama, panci bocor lagi! Satu-satunya yang bagus soal dia mungkin hanya otot tubuhnya, makanya dia memamerkan itu, bukan otaknya!
Kubalas, "Bukannya nggak tertarik, sih. Cuma lagi sibuk aja. Nggak salah kan, utamain pendidikan pas kuliah dibanding pacaran?"
"Nggak salah sih, tapi itu keputusan ceroboh. Kenapa harus milih salah satu kalau bisa usahain keduanya?" desaknya, diikuti anggukan kepala Mindy yang memang sealiran. "Kalau ada cowok baik yang menyukaimu, kamu harus memberinya kesempatan. Wanita nggak selamanya cantik, loh.
"Kamu sok jual mahal sekarang, tahun-tahun ke depan, cowok-cowok udah nggak akan melirikmu karena kulitmu dimakan keriput. Ini sudah hukum alam."
Mendengar argumen misoginis Michael membuat darahku mendidih. Dia kira wanita seperti baju di pasar loak, yang cantik dan masih bagus diperebutkan sedangkan yang lusuh ditinggalkan. Apa-apan?
Davina menyadarkanku. "Kak Nola belum pernah pacaran?" tanyanya penuh kepolosan.
"Dia belum pernah," timpal Michael merasa bisa menggantikanku menjawab, "Aneh kan, cewek kayak dia nggak pernah pacaran?" Lalu, dia menasihatiku lagi, "Sudah bukan masanya lagi orang tertarik sama cewek cantik dan polos yang belum pernah pacaran. Yang ada, mereka akan dipandang aneh. Dikiranya sikap mereka buruk atau terlalu pemilih dan penuntut sampai nggak ada yang mau. Kecuali ..., kalau memang mereka punya gangguan seksual!"
Michael tertawa lepas bak orang kerasukan. Di setiap nada tawanya, entah kenapa membangkitkan sesuatu dalam diriku yang bergejolak. Seperti ada aliran panas mengalir lewat pembuluh darah, membawanya sampai ke ubun-ubunku. Aku menahan diri untuk tidak sumpah serapah atau memelintir tangannya sampai retak.
Cowok ini tidak lebih penting dari kemarahanmu sekarang, Nola. Tahanlah.
"Canda, canda," ucapnya setelah merasakan meja kami menjadi sangat tegang. "Astaga, anak-anak zaman sekarang terlalu kaku, nggak bisa diajak bercanda. Kalian harus belajar rileks. Kalau masuk dunia kerja, fleksibel itu dibutuhkan loh."
Kalau mau fleksibel, pergi senam pilates saja sana!
"Kembalilah ke tempatmu, Kak. Kayaknya kakak mabuk," tuturku sopan.
"Boleh." Michael memiringkan botolnya lagi menghadap gelasku, hendak menuang. "Asal kamu mau minum segelas bir sama aku lagi. Gimana?"
Seperti peluru yang dilesatkan, amarahku melesat sampai ke ubun-ubun. Rahangku mengeras. Kueratkan buku-buku jari pada gelasku, membayangkan melemparnya ke kepala cowok ini supaya diam.
Sebelum kulakukan itu, secara mendadak punggung Michael terdorong ke belakang. Seseorang menggantungkan tangannya di leher Michael dan menariknya.
"Kirain kamu di mana, ternyata di sini, toh." Bagaikan penyelamat, Raka melongok dari pundak Michael dan tertawa renyah. "Kita lanjut minum-minum kuarter kedua. Semua orang sudah menunggumu."
Raka menundukkan kepala sekilas sekali padaku sebagai permintaan maaf, lalu menarik cowok berbadan bongsor itu pergi. Dua cowok itu sejenak perang mulut. Michael terus-terusan melepas rangkulannya sambil menyumpah, tapi Raka terus menariknya kembali ke meja.
"Gila banget," celetuk Mindy, diam-diam melirik bengis Michael yang sedang ditawari sayap ayam goreng.
Davina memegang tanganku lemah, menyadarkanku dari pengaruh alkohol. "Makasih Kak, buat yang tadi." Raut Davina lalu berubah cemas melihat sesuatu di wajahku. "Kakak baik-baik saja?"
Aku mengangguk dan melepas tangannya dariku. Sepanjang makan, ketiga temanku mengobrol, namun aku tidak nimbrung dalam pembicaraan dan mulai mengukir setiap perkataan Michael dalam hatiku.
****
Capek juga ya bacanya?
Chapter kali ini agak panjang karena ada banyak yang dibahas, maapkeun ya 😂
Silakan cuci mata dulu lihat oppa-oppa ganteng setelah baca
Atau bayangin Dirga atau Rakalah minimal, atau ada yang mau bayangin Mark? Si Mark pasti kegirangan kalau ada yang bayangin dia hahaha
Kalau kalian suka cerita ini dan pengen beri apresiasi, cukup dengan menekan tombol bintang untuk vote dan komen bagian mana scene yang seru !
Terima kasih sudah membaca !
Sampai jumpa minggu depan ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top