6. Someone to Rely On
Thank you for waiting and happy reading
****
Satu-satunya yang kupikirkan ketika menepi di jalanan sepi yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan tanah lapang-sepertinya digunakan anak-anak sana sebagai lapangan bola karena ada gawang di kedua sisi lapangan-menjauh dari pemukiman penduduk, adalah menghubungi seseorang.
Aku tidak bisa menghubungi Maya karena mobilnya baru saja kutabrakan, atau kakakku karena kami beda kota dan aku tidak sedang butuh dimarahi. Aku butuh seseorang yang ada di kota ini dan bisa berpikiran logis. Dirga, orangnya.
Jantungku dag dig dug selama nada sambungan berbunyi, dan ketika kudengar surat berat itu menyapa, "Halo?" Tangisku langsung pecah.
"Kamu kenapa, Nola?" ujar Dirga, suaranya terdengar khawatir.
Kutarik napas untuk meredakan isakan, namun napasku jadi pendek-pendek seperti orang terserang asma karena menangis. Dengan susah payah aku bicara melawan isakan, walau itu lebih terdengar seperti orang disengat tawon di bibir.
"Agu bagu gaja habrak mobil. Hagu nggak tahu bogil itu bi sana dan hwagu memakai bwogil Mayaaa!" (Aku baru saja menabrak mobil. Aku nggak tahu mobil itu di sana dan aku memakai mobil Maya!"
"Mobil Maya kenapa? Bicaralah pelan-pelan supaya aku mengerti kamu kenapa!"
"Kakiku sagak gesidak rem! Agu nggak twahu, hwatu bodoh sekaliii! Huhuhuhuuuu!" (Kakiku nggak mengijak rem! Aku nggak tahu, aku bodoh sekali!)
"Kamu nggak menginjak rem ...?" tangkap Dirga dengan otak pintarnya, lalu mengulang kata-kataku dan mencernanya, "Mobil Maya. Rem. Tunggu, apa maksudmu kamu salah menginjak gas dan menabrak seseorang saat mengendarai mobil Maya?"
"Nggak! Aku menabrak mobil!" ledakku tambah histeris.
"Kamu di mana sekarang?" Aku menggeleng walau Dirga tidak bisa melihatku karena masih terlalu panik untuk berpikir jernih, tapi Dirga menyadari ini dalam keterdiamanku, "Kamu nggak tahu kamu di mana? Apa ada penanda jalan di sana?"
Aku mengendarkan pandanganku yang mengabur karena air mata, menoleh kiri dan kanan. Sepertinya ini masih dalam kawasan kompleks rumah tantenya Maya karena model jalanannya mirip, mungkin lebih ke pelosok karena aku tidak melihat satu pun rumah. Ada pembatas jalan di ujung jalan, sebagai pertigaan antara dua lorong di ujung kiri dan kanan.
"Ada lapangan bola di samping kiriku. Di depanku jalanan buntu," kusipitkan mata memandang ke seberang jalan, pada papan penanda yang menancap di depan lorong terakhir di sisi kanan jalan, "di seberang, ada belokan ke Anaya VI, kayaknya itu blok terakhir deh."
"Anaya VI, oke. Kebetulan aku juga lagi di daerah Timur. Tunggulah di sana."
Dirga menawari untuk tidak menutup telepon dan menemaniku bicara supaya aku tidak ketakutan sendiri, namun aku menolaknya dan menyuruhnya cepat datang. Aku tidak mau mendengar kabar satu kecelakaan lagi hari ini yang disebabkan kecerobohan pengemudi.
Kupeluk lutut, berjongkok di pinggir trotoar. Mengabaikan mobil Maya di depanku yang memanggil-manggil meminta pertolonganku memperbaiki bokongnya yang tidak mulus lagi. Aku tidak berani mengecek belakang mobil untuk memeriksa seberapa besar kerusakannya.
Betapa apes nasibku. Setelah teman sekamar, apartemen, lalu kecelakaan mobil? Bagaimana caranya aku menyampaikan kecelakaan ini pada Maya?
Waktu berlalu sangat lambat dan menyiksa, lalu kudengar suara kerikil terinjak-injak, embusan angin mengipasi wajahku lalu berhenti di depanku. Di depanku, berhenti mobil minivan biru dengan plat L yang kukenal. Dirga turun dari sana.
"You look like a shit," ceplosnya lalu melebarkan jaketnya menutupi bahuku. Dia mengitari mobilnya Maya, mata dan mulutnya melebar melihat bokong mobil yang penyok. "And so does this car."
"Buruk sekali, ya?" Kuhapus semua jejak air dari seluruh lubang di wajahku-mata, hidung, kulit dahi, dan mulut memakai punggung tangan, dengan cara yang jauh dari kata elegan.
Dirga sepertinya tidak mendengarku, dia sibuk mengangkat kedua tanganku, dan memeriksa sesuatu di balik punggung dan kepalaku, matanya memindai tubuhku seperti sedang mencari suatu permata yang hilang.
"Kamu nggak terluka, kan?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Siapa yang menyuruhmu menyetir sendiri sampai sejauh ini? Maya yang menyuruhmu, ya? Ini bahaya sekali."
"Aku sudah dapat SIM dari tahun lalu," jawabku dengan suara parau. Kutelan ludah berkali-kali, tak sanggup lebih banyak bicara, aku bisa merasakan tangisan gelombang kedua itu hendak naik ke tenggorokanku. Seperti buih-buih air yang mendorong-dorong tutup panci di atas api panas yang menyala dan membara.
Dirga mengabaikan perkataanku, dan lanjut mengomel, "Kamu belum lancar bawa mobil, ini pertama kalinya kamu menyetir di kota besar, dan kecelakaan. Kamu tahu, kamu cukup beruntung kali ini cuma belakang mobil yang rusak. Bayangkan kalau kamu menabrak orang atau menabrak pohon dan kecelakaan. Parah sekali."
And, that's it. Amarahku melonjak dan meletup.
"Aku tahu aku memang pengemudi yang payah! Makanya aku meneleponmu supaya kamu membantuku, tapi kenapa kamu memarahiku?" bentakku diiringi ledakan air mata dan sedu-sedan.
"Apa yang harus kulakukan, Dir?" Kuseka mataku yang terus berair dan beranak-pinak. "Aku sudah menabrak mobil! Mobil orang!"
Aku kembali terisak dan Dirga mengelus-ngelus punggungku kuat, seperti bisa membuatku membatukkan kesedihanku.
Dia membawaku ke mobilnya ketika aku sudah cukup tenang. Aku terlalu trauma untuk kembali duduk di jok mobil Maya. Kuceritakan padanya bagaimana kronologi kejadiannya secara detail, aku juga mengungkapkan kalau ini pertama kalinya aku mengendarai mobil di Surabaya, dan bagian Maya menyuruhku memakai mobilnya untuk membawa barang-barangnya. Kukatakan itu untuk sedikit mendapat pembelaan.
Dirga menyikapi cerita dari sisiku dengan kepala dingin, dia tidak memihakku, tapi mengatakan pendapatnya dan memaparkan langkah-langkah yang mesti kulakukan. Daripada dorongan emosional, dalam keadaan sulit begini aku lebih perlu perhatian yang didasari logika dan ketegasan. Dan, Dirga memberikannya.
Dirga menelepon Maya mengabari mobilnya, bagaimana kejadiannya, apakah mobil Maya punya asuransi, dan di mana kami sekarang. Itu jenis percakapan yang tenang dan dewasa. Kemudian saat ia menutup telepon, kudekati dia.
"Maya nggak marah," kata Dirga. "Dia nggak menyalahkanmu. Sebagian salahnya juga karena telah memaksamu pergi, padahal kamu sudah menolak. Katanya, aku harus di sini menenangkanmu sambil menunggu mobil derek datang. Mobil itu diasuransikan, jadi soal biaya kamu bisa tenang."
Lalu, aku kembali menangis terharu pada kebaikan hati Maya.
Setelah lima belas menit penuh linangan air mata, dadaku terasa ringan dan wajahku terasa lengket karena jejak air mata. Sore itu kami duduk di mobil dengan mesin penyejuk mobil menyala, radio tidak dinyalakan hingga kami dapat mendengar jelas suara keheningan, kusandarkan kepalaku yang terasa lelah ke pundak Dirga. Dari jarak itu, aku bisa mencium aroma tubuhnya-citrus dan harum sabun yang segar-dan itu sedikit membuatku tenang.
Di luar sana, anak-anak kecil berlarian mengumpul menuju lapangan bola. Mereka tertawa, saling meledek, dan bergurau. Satu anak yang paling belakang melempar bola dari luar lapangan. Bola itu mendarat ke muka gawang dan seperti kumpulan semut melihat gula, kumpulan anak-anak itu memecah dan berlari mengejar bola yang menggelinding.
"Menurutmu, apa mobil yang kutabrak tadi masih di depan rumah Maya?" tanyaku mulai berandai-andai. "Seharusnya, kita pergi mengeceknya sekarang daripada menonton permainan bola ini."
"Sudah terlalu terlambat. Kamu terlanjur jadi buronan. Lebih baik nikmati menonton pertandingan bola ini, bisa jadi ini yang terakhir."
Aku mengangkat kepalaku dari pundaknya dan menatapnya ngeri. "Beneran?"
"Enggak." Dirga mendengkus geli seakan wajah ketakutanku itu lucu, lalu dia menyandarkan kepalaku kembali berbaring di pundaknya. "Tenang aja. Aku sudah menyuruh Maya mengecek depan rumahnya. Mobil itu sudah nggak ada. Mau mencarinya juga, kita nggak tahu plat nomornya berapa. Maya sudah tanya orang-orang sekitar tapi nggak ada yang kenal sama mobil itu."
"Jadi aku resmi jadi pelaku tabrak lari?"
"Untuk sekarang, iya. Kita tunggu saja besok-besok apa pemilik mobilnya datang mengecek ke rumah Maya."
Aku menggigit bibir. "Masalah apartemen belum selesai, sekarang ini."
"Kamu masih belum ketemu teman tinggal yang cocok?"
"Tepatnya belum ketemu yang mau. Pilihanku sekarang antara terluntang-lantang di jalan atau minta duit ke orang tua." Pilihan kedua yang terburuk. Walau mereka tidak bilang, aku tahu keuangan kami menurun semenjak minimarket 24 jam itu buka di dekat rumah dan mengambil cukup banyak pelanggan. Aku tidak sanggup menambah masalah mereka lagi dengan masalah uang sewaku, meski aku juga tahu mereka pasti dengan rela hati memberinya.
"Kalau tinggal sama aku?"
Deg. Kujauhkan diri dari Dirga, antara takut dia menyadari kegugupanku dan mau tahu apa yang sedang ada di pikirannya sampai dia bicara hal yang setidak lucu itu. Dirga balik memandangku dengan pandang netral dan murni. Oh, dia hanya bicara sekadarnya saja.
Kupalingkan muka ke jendela, rasanya ingin menghilang karena baru saja kegeeran sendiri.
"Jangan konyol, ah! Kamu dan papamu susah payah pindah ke sini buat memperbaiki hubungan kalian, terus sekarang kamu mau keluar dari rumah?" Aku melipat tangan dan menyilangkan kaki, berpura-pura cemberut. "Kalau kamu mau bantu, kamu bisa coba menghiburku sekarang."
Dirga terkekeh kecil, mungkin merasa perkataanku ada benarnya.
"Mau makan Mi Mala Jumat besok?"
Aku bangkit. "Boleh! Kamu yang traktir, kan? Aku sudah nggak ada duit!"
"Mhm-hm. Aku akan traktir semua yang kamu mau. It will be Nola's day."
Mendapat kesempatan emas untuk ditraktir seharian adalah surga bagi anak kos miskin. Diam-diam kurancang dalam otak, tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Seharusnya kami bisa pergi dari sore, karena besok kuliahku hanya sampai siang dan sorenya ada pertemuan perdana klub ilustrasi, harusnya itu tidak memakan waktu lama. Kemudian, semangatku langsung lenyap mengingat sesuatu yang lebih penting untuk dikhawatirkan.
"Febby pasti nggak akan mengizinkanmu kalau kita pergi berdua. Dia nggak suka sama aku atau Maya."
"Dia punya banyak orang yang nggak dia sukai. Itu bukan salah kalian." Aku tahu Dirga hanya mengatakannya untuk menghiburku.
Walau Febby tidak pernah mengatakannya secara gamblang, aku sadar dia tidak pernah menyukaiku. Kami tidak pernah makan berempat dan dia tidak pernah repot-repot berteman walau kami teman dekat pacarnya. Kuingatkan lagi pada diriku, siapa pun pasti akan mendirikan tembok besar kepada seseorang yang pernah kedapatan menyukai pacarnya.
"Kamu dan Febby baik-baik saja?"
Aku menyadari Dirga agak terkejut mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terdiam, dengan setengah melamun ia memandang ke jendela depan, tapi dapat kulihat dia sedang berpikir, mengingat sesuatu yang tidak bisa dikatakannya. Aku tahu sekali ini soal apa, ini tentang pemandangan yang kulihat malam minggu lalu di jendela kamarku.
"Nggak." Dadanya mengembang ketika ia menarik napas panjang. "Kami bertengkar lagi." Lalu, ia tertawa hambar. "Kami lebih sering bertengkar daripada kencan. Apa pasangan lain kayak begitu juga, ya?"
Aku menggeleng. "Ada kalanya aku merasa Maya lebih sering bertengkar dengan pacarnya yang sekarang, dia suka mengeluhkan pacarnya lebih milih main game daripada mengajaknya kencan, betapa nggak pekanya dia kalau Maya sedang ngambek, tapi dari yang kulihat, Maya lebih bahagia sekarang."
"Dia nggak pernah lagi mengeluhkan mau putus atau meminta dikenalkan seseorang." Dirga membenarkan.
"Dia bertahan dengan Sam selama setahun ini dengan baik. Jadi kukira, pertengkaran pasti selalu ada dalam pacaran."
"Tapi nggak sesering kami," timpal Dirga. "Kata orang, pertengkaran terjadi karena kamu peduli sama pendapat mereka, makanya kamu berusaha menyatukan pendapat dengan berdebat. Tapi sepertinya itu nggak selalu terjadi. Semakin kami bertengkar, aku semakin merasa pemikiran kami sangat berbeda jauh sampai kadang aku nggak bisa memahaminya. Seperti, dunia yang kami jalani berbeda.
"Kami sering sekali bertengkar dan marah, sampai kami lupa apa yang sebenarnya kami pertengkarkan dan apa yang sebetulnya diperjuangkan. Setelah itu, kalau bertemu kami akan bicara seperti biasa. Kalau pertengkaran itu besar, aku yang harus meminta maaf, walau itu bukan salahku. Aku tahu sejak berteman sifatnya egois, tapi levelnya yang sekarang berbeda."
Seperti kepergok, Dirga berhenti bicara. Ia memandangiku dengan was-was seperti sedang mencoba membaca pikiranku. "Apa aku barusan terdengar seperti orang picik yang membicarakan keburukan pacarnya di belakangnya?"
Ini pertama kalinya dia menceritakan hubungannya padaku. Dirga bukan orang yang suka membeberkan perasaan atau hubungan pribadinya. Anehnya, melihatnya begini agak mengejutkanku. Walau sering bertengkar, kukira selama ini mereka bahagia.
"Nggak. Kamu terlihat seperti orang normal yang sedang kesal."
Raut wajahnya yang muram segera lenyap. Dia melebarkan seringai geli.
"Kamu sedang menghiburku?"
"Nggak. Aku paham kekesalanmu. Aku tahu pacarmu egois dan menyebalkan. Semua orang tahu itu. Kukira cuma kamu yang nggak tahu."
"Hahaha!"
"Aku serius, tahu!" Kugeser badanku menyamping, menghadapnya. "Kalau kamu nggak suka menghinanya, aku bisa menghinanya untukmu. Karena aku membencinya dan ada di pihakmu. Itu gunanya teman."
Dirga tertawa lagi. Kini jauh lebih keras. Alisku berkerut bingung memandanginya begitu, di mana letak kelucuan dari ucapanku tadi?
Dia meletakkan tangannya di puncak kepalaku dan memandangiku dengan bangga. "Nggak nyangka dari sekian banyak orang yang sedang kesusahan, kamu yang ada di sini menghiburku." Ia mengacak rambutku. "Ternyata, aku sudah membesarkanmu dengan baik."
Kugigit jarinya yang nangkring dengan enaknya di atas kepalaku, tapi dia jauh lebih cepat menjauhkannya dan tangannya menabrak kaca jendela. Saat dia mengaduh, giliran aku yang menertawainya.
Kami pulang saat langit jingga mulai menggelap. Dirga berpesan untuk segera menghubunginya kalau si pemilik mobil mencariku. Aku berterima kasih padanya atas semua jasanya hari itu dan betapa aku merepotkan dia.
"It's okay," katanya, sebelum aku turun dan melepas tali seat belt. "Sebenarnya, aku sedikit berharap kalau kamu lebih sering menghubungiku kalau ada masalah. Di kota asing ini, seberapa pun dewasanya orang, kita tetap butuh seseorang untuk bersandar dan diandalkan. Kuharap, untuk seterusnya, kamu menganggapku sebagai orang itu."
****
Tebusan minggu lalu update lama, minggu ini dua kali update
Hihihi
Semoga kalian masih mengikuti cerita ini, ya ^^
Kalau kamu suka cerita ini dan ingin memberikan apresiasi, silakan tekan tombol bintang di sisi kiri bawah layar untuk vote dan komen di kolom komentar.
Kamu juga bisa add cerita ini di pustaka kamu, supaya kamu bisa jadi yang pertama tahu kalau aku update chapter baru.
Sampai jumpa minggu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top