Seminggu lalu, pada saat Maya mengumumkan kepindahannya ke rumah tantenya, satu pertanyaan ini menyangkut di benakku, 'Bagaimana denganku setelah ini?'.
Semenjak aku pindah ke Surabaya, aku dan Maya telah tinggal di apartemen itu berdua. Walau biaya sewa apartemen di dekat kampus itu tingginya mencekik leher, kami bisa menyanggupinya dengan membagi biaya sewa. Sekarang, bagaimana caranya aku bisa membayar sewa dua setengah juta per bulan?
Berbekal kekhawatiran itu, esoknya aku menjelajahi daerah sekitar kampus, menelusuri pelosok-pelosok lorongnya untuk mencari kamar kos yang sesuai. Aku tahu ini tidak mudah. Di tahun ajaran baru, banyak mahasiswa, dari luar daerah maupun lokal-biasanya dilakukan mahasiswa lokal yang punya rumah jauh atau mereka yang memang berniat hidup mandiri-yang berburu tempat tinggal, bahkan sejak sebelum memasuki tahun ajaran baru. Kos-kosan biasanya penuh karena para pemburu tempat tinggal ini. Dan, sepertinya tidak terkecuali tahun ini.
Setelah setengah hari berjalan, mengunjungi pintu-pintu yang tertutup dan bertanya pada para penjaga kos, kuketahui semua kos yang kukunjungi dan layak dihuni telah penuh.
"Nggoleki kos lebih awal toh, Mbak. Kabeh kos neng kene wis full. Jangankan mau milih, ada kamar kos yang kosong saja udah untung," ledek salah satu penjaga kos dengan logat Jawa kentalnya.
Aku memandanginya dari luar pagar setelah selesai memijat kakiku yang tegang karena kelelahan, menahan geram dalam hati, meski tanganku sudah ingin sekali mencubit bibir monyong yang mencerocos tanpa peduli hati itu.
Kalau saja aku tahu sebulan lebih awal kalau sahabatku itu akan pindah dari apartemen kami, aku juga pasti akan mencari lebih cepat!
Mana ada orang yang seceroboh itu, tahu kalau minggu depan ia akan terluntang-lantang di jalan, tapi dia hanya duduk diam menunggu semesta memberinya jalan keluar atas masalahnya? Berharap akan muncul alasan logis yang membuat temannya tidak jadi pindah?
Konyol.
Sialnya, tindakan ceroboh itu kulakukan. Sepanjang minggu itu, sambil memantau ada tidaknya kamar kosong di website Mamikos, diam-diam aku berharap keluarga Maya berubah pikiran, atau paling tidak keluargaku mau memberiku uang saku lebih untuk biaya sewa. Namun, sampai hari Sabtu siang, hari terakhir Maya tinggal di apartemen, aku masih belum menemukan solusi.
Kuamati Maya yang sedang berbicara dengan petugas pengangkut, mereka mengamati seluruh barang Maya yang berjejalan di lantai ruang tengah, memutuskan perjalanannya cukup sekali, lalu mulai memindahkan barang.
Barang-barang Maya ada cukup banyak. Butuh tiga puluh menit buat mereka memindahkan seluruh barang Maya ke mobil boks. Ketika semua kardus-kardus telah dipindahkan, apartemen dua kamar kami yang tidak begitu besar itu terasa begitu lapang dan kosong.
Maya menarikku dalam pelukan, dan aku balas memeluknya. Meski kami berdua tahu kami hanya terpisah sejauh sepuluh kilometer, aku pasti akan ketemu dia besok, dan kepindahan Maya tidak mengubah hubungan kami. Tapi, ada perbedaan dari tinggal bersama dan berkunjung ke rumah teman. Rasanya sama seperti saat melepas kakak pergi berkuliah, walau tiga orang penghuni rumah itu sudah banyak, hari itu kami merasa sangat kesepian.
Orang-orang sering memperingati, jangan tinggal serumah dengan sahabatmu kalau kamu mau persahabatan kalian langgeng. Tinggal bersama kerap kali memicu konflik karena perbedaan gaya hidup dan sifat buruk seseorang paling mudah kelihatan di tempat yang ia anggap aman seperti rumah. Tapi sepanjang aku dan Maya tinggal bersama, kami baik-baik saja.
Aku pasti akan merindukan Maya sebagai teman sekamar.
"Aku akan sering-sering berkunjung," janjinya setelah melepas pelukan.
"Jangan lupa bawa masakan tantemu juga. Semua anak kos setiap saat kelaparan."
Maya tertawa ringan, menghapus linangan air mata di sudut mata dengan jarinya.
"Pasti. Aku akan bawa satu kulkas, sampai perutmu meletus." Mata Maya sekali lagi menatap berkeliling ruangan ini. "Nggak kerasa ya udah setahun aja. Kayak baru kemarin kita pindahin barang bareng Dirga ke apartemen ini."
"Semua yang berawal, pasti punya akhir," balasku, ikut terserang nostalgia.
Maya mengambil pot tanaman kaktus yang ia letakkan di meja depan. Ia sengaja mengambilnya dari kebun beranda sebagai oleh-oleh. "Jangan lupa menyiram tanaman dan bersihkan kamar mandi sekali seminggu. Sekarang kamu yang memegang kendali atas apartemen ini."
Maya berjalan lambat-lambat ke pintu, dan kutahu ulur-ulur waktu itu karena apa. Maya masih merasa bersalah telah meninggalkanku tinggal sendirian di sini. Melihatnya begitu, aku jadi tidak tega menyalahkannya, jadi kudorong punggungnya dan berkata kalau aku akan baik-baik saja. Meski kuyakin semuanya setelah ini tidak akan baik.
Maya berhenti di depan pintu. "La, soal sewa apartemen," ia memandangiku gugup seperti sedang menimbang-nimbang, "aku mungkin bisa bilang sama pemiliknya buat nurunin harga sewa sebulan karena sementara cuma dihuni kamu. Tapi, buat seterusnya, kalau kamu masih mau tinggal di sini, kusarankan carilah teman sekamar."
Kemudian, Maya keluar. Dan aku mematung di depan pintu, mengolah ide cemerlang darinya barusan yang sepertinya bisa memecahkan masalahku.
****
Seharusnya aku tidak boleh terlalu pede merasa telah menemukan pemecahan masalah tempat tinggalku.
"Tinggal di apartemen? Seru, tuh! Aku dari dulu kepengen sewa apartemen tapi nggak punya duit banyak. Sayangnya, aku barusan bayar lanjutan sewa kos sampai setengah tahun. Kamu mau nunggu enam bulan lagi, nggak?"
"Duh, nggak yakin bisa, La. Papa nggak ngebolehin ngekos di luar."
"Apartemen tuh lebih seru tahu kalau ditinggal sendiri! Apa? Biaya sewa apartemen? Emangnya mahal?"
Adalah tiga jawaban berbeda dari teman fakultasku, dan dua teman ekstrakulikulerku. (Darahku sampai naik ke kepala saking geramnya dengan jawaban terakhir, dikiranya semua orang mampu bayar sewa kos pakai uang sendiri, yah salahku juga mengira para orang tajir bisa mengerti kehidupan anak kos miskin).
Pada hari kamis itu, aku duduk di ruang tamu, tengah menggumulkan bagaimana nasibku yang sepertinya tidak akan mendapat teman sekamar, juga bulan depan akan kehilangan tempat tinggal, ketika Maya mendadak menghubungiku.
Maya meminta tolong mengantar sisa-sisa barangnya ke rumahnya. Dia mengiming-imingiku memakai bubur Menado buatan tantenya-dia tahu aku sukar menolak makanan gratis-dan menyuruhku ke sana memakai mobilnya yang ia tinggalkan. Tanpa dia menawarkan itu semua, aku telah tergoda pergi. Aku sudah terlalu lelah dengan masalah tunawisma wanna be ini, aku butuh rehat dari perasaan cemas.
Kutanyakan kenapa dia tidak kemari mengambil barangnya besok saja, tapi Maya terlalu memahamiku. "Sampai kapan kamu akan menyia-nyiakan SIM-mu? Kamu nggak lolos test mengemudi untuk memajangnya di dompet! Jangan jadi penakut! Datang ke sini, sekarang! Tanteku sudah memasak satu panci untuk kita!"
Maya menutup teleponnya. Aku pergi ke kamarnya, mengambil satu kardus barang yang tertinggal, lalu mengambil kunci mobil yang disimpan di asbak rokok-punya penghuni sebelumnya, kami sekarang memakainya sebagai tempat kunci-dan meluncur ke parkiran mobil. Saat aku duduk di mobil punya Maya dan keluar dari parkiran, aku masih merasa aku-mengemudi bukan ide yang bagus.
Menurutku, ada hubungan dekat antara usia dewasa dan kemampuan mengemudi. Itu seperti lambang kedewasaan, kalau kamu telah cukup matang untuk bertanggung jawab atas orang lain dan dirimu. Karena itu, pada usiaku yang ketujuh belas tahun, aku mulai belajar mengemudi bersama Papa, dan pada setahun lalu aku lolos ujiannya dan memperoleh SIM. Aku rasa aku mampu berkendara, aku telah belasan kali mengantar-jemput Mama ke swalayan. Tapi, aku tidak pernah berkendara di jalan raya sepadat punya Surabaya.
Aku juga tidak berani berkendara dalam kecepatan tinggi, merasa panik tiap mendengar klakson dari pengemudi lain menegurku telah menyetir dengan lambat, merasa berdosa kalau salah mengambil jalur, butuh berkali-kali berpikir dan berkali-kali mataku mengecek spion buatku memutuskan menyalip mobil lain supaya bisa mengambil jalur kanan untuk belok kanan. Semua keluargaku sepakat berpendapat aku adalah pengemudi yang penakut.
Namun, aku membuat satu sejarah baru dalam hidupku. Selama lima belas menit belum ada kepanikan yang berarti. Aku bisa mengendalikan perhatian otak dan mataku untuk mempelajari GPS, jalan, lalu mengambil alternatif jalan terbaik. Aku juga menyalakan radio, memilih lagu musik pop yang sedang tenar, lalu bersenandung dengan santainya. Katanya, fake it until you make it. Aforisme itu betul juga.
Aku bisa mengemudi! Aku adalah orang dewasa yang tinggal di apartemen sendirian di kota asing penuh petualangan ini, punya tanggung jawab sewa apartemen yang harus kubayar bulan depan yang membebani bahuku, dan bisa mengemudi! Rasanya tubuhku begitu ringan sampai bisa terbang, aku ingin menurunkan cepat-cepat kaca mobil dan berteriak dengan bangga pada pengemudi lain, 'Athalia Nola telah dewasa!'.
Aku tidak pernah berpikir kesombongan sesaat itu akan membawa petaka.
Beginilah kejadiannya. Seluruh kepanikanku telah luruh sepenuhnya ketika aku telah sampai di depan rumah tantenya Maya. Karena rumah itu adalah jenis rumah tanpa halaman parkir, jadi aku memarkir mobil itu secara pararel. Semuanya mudah. Pertama, aku harus berbelok ke kanan, lalu memajukan persneling ke huruf R untuk memundurkan mobil, selagi mundur aku harus menginjak rem, pelan-pelan aku memutar setir ke kiri sambil melihat ke kaca spion untuk mengukur jarak mobil dan trotoar.
Sayangnya, aku linglung. Daripada pedal rem, kakiku malah menginjak pedal gas sampai penuh. Dengan kecepatan penuh, mobil mundur dan berputar ke kiri. Bunyi gedebuk suatu benda keras yang diakhiri bunyi renyah kaca terinjak, terdengar di belakangku. Cepat-cepat kuangkat kaki dan menarik tuas rem tangan. Semuanya berlangsung sangat cepat.
Ketika aku membuka mata, aku bisa merasakan sakitnya ikatan seatbelt melintang dan menekan dadaku. Trotoar jalan tampak miring di depan, yang sedetik kemudian aku sadar mobilku-lah yang parkir miring. Dengan tergopoh-gopoh, aku turun dari mobil dan mengecek belakang mobil Maya.
Sebuah SUV tanpa pengemudi diparkir di belakang mobilku. Tidak ada jarak antara buntut mobil Maya dan moncong mobil itu. Rahangku turun menyadari buntut mobil Maya menekan moncong mobil hingga penyok, kaca lampu kanannya pecah dan menganga.
Otakku langsung berkabut, kepalaku pening, jantungku jumpalitan jutaan kali, dan seluruh rumah asing yang berjejeran di sana tampak menakutkan. Aku bersandar di badan mobil karena rasanya aku bisa pingsan kapan saja, tapi kepalaku makin pening menyadari kalau semua kejadian ini nyata.
Mati aku, mati aku.
Dengan setengah sadar, aku melompat masuk ke mobil, memutar kuncingnya cepat-cepat, dan ketika aku telah sadar sepenuhnya aku telah melaju jauh dari sana.
****
Kalau kamu suka cerita ini dan pengen memberi apresiasi, kamu bisa klik tombol bintang di sebelah kiri bawah untuk vote atau komen di kolom komentar, atau add cerita ini ke library kamu, supaya kamu bisa jadi yang pertama tahu kalau aku telah update chapter berikutnya!
Kalau mau kasih kritik dan saran, monggo di sini, di DM, atau di kolom komentar. Asal jangan bertamu ke rumah, aku nggak punya nastar buat jamu kalian hehe
Terima kasih sudah membaca 👋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top