41. Train Station
Happy Reading!
****
Mari kita susun kronologinya ulang.
Jurnalis afro menerima pesan dari unknown number untuk datang ke lorong loker anak Akuntansi karena akan ada berita HOT yang harus diliput. Berita HOT itu adalah fotoku dan Raka masuk ke pintu apartemen yang sama, ditempel di lokerku. Jurnalis membumbuinya dengan cerita kami lama tinggal bersama dan berita panas itu menyebar ke satu sekolah.
Dirga melakukan investigasi sendiri—meski kularang—demi mencari siapa yang menempelkan foto. Dia pun melalukan investigasi saksi, yaitu jurnalis afro. Namun, sampai saat hari ini pun Dirga tidak mengumumkan hasil itu. Apa penyebab dia menyembunyikannya?
Apa karena dia mengetahui kalau pelaku itu orang yang ia kenal dan ingin melindunginya? Atau karena dia tidak mau aku memarahinya melakukan investigasi sendiri?
Dua pikiran itu berputar di kepalaku kala pencarianku di sekeliling gedung kampus Ekonomi untuk menemukan orang yang kupercaya terlibat atas semua kekacauan ini: Febby Anastasia Wikasa.
Hasilnya, nihil.
Aku telah mengunjungi kelas-kelas mahasiswa setingkat di atasku—mengandalkan silabus kelas dari bagian administrasi, mengunjungi kelas-kelas anak manajemen bisnis lain yang sepantaranku—siapa tahu dia mengulang kelas.
Aku mendapat sedikit pencerahan dari menyapa salah satu mahasiswa kelas itu, katanya, "Febby? Dia sudah beberapa minggu enggak masuk kampus. Katanya sih, cuti kuliah, yang adalah aneh. Kita di pertengahan semester dan dia mendadak cuti kuliah."
Kemudian, aku ingat.
"Aku belum bisa memastikan, tapi dia nggak ada di kota kemarin."
Itu perkataan Dirga saat kami bertengkar di mobilnya. Dirga menduga Febby tidak ada di kota kemarin atau bahkan berminggu-minggu lalu.
Temuan itu tidak memuaskanku. Febby mungkin sedang dilanda masalah (mungkin keluarga seperti yang dikatakan Dirga, kalau itu bukan bohong) makanya ambil cuti kuliah, tetapi dia pasti masih di kota.
"Nona Febby masih tercatat sebagai penghuni apartemen," ucap resepsionis apartemen setelah mengecek informasi tentang Febby di komputernya.
Aku datang ke apartemen untuk membuktikan dia masih di kota. Coret untuk masalah finansial, dia masih punya apartemen.
"Apa dia sedang di apartemen?"
"Untuk soal itu saya enggak bisa beritahu. Lebih baik temannya sendiri yang menanyakan." Dia menadah tangan menunjukku dengan sopan. "Tunggu. Bukannya kamu penghuni di sini juga? Unit ... 311?"
Aku baru melihat resepsionis ini hari ini sepertinya dia resepsionis baru pantas saja tidak mengenalku.
"Kalau aku penghuni di sini apa kamu bisa bantu aku ketemu Febby?"
Dia menghalangiku bicara, bergumam sambil mengingat-ingat, "Tapi mana mungkin, unit 311 seingatku cowok tinggi yang tampan itu. Rasyid atau Rasyad, namanya?"
"Maka aku bukan penghuni di sini! Hahaha!"
Celaka kalau ada yang tahu aku menyewakan apartemen orang kepada orang lain, itu menyalahi aturan penyewa.
Aku menarik napas, kehabisan akal. "Begini, aku pernah jadi penghuni di sini dan aku butuh menghubungi Febby. Anggota keluarganya sedang di rumah sakit dan aku harus membawanya ke sana tapi dia enggak mengangkat telepon. Apa kamu bisa membantuku?"
****
Nona Febby enggak ada di tempat. Dia terakhir kali terlihat dua minggu lalu. Dia membawa tas besar, seperti orang minggat dari rumah. Awalnya kami pikir masa sewanya sudah selesai jadi dia pergi, tapi pemilik apartemen mengabari kalau masa sewa dia selesai tahun depan."
Sampai saat ini dia tidak pernah pulang?
"Belum, Mbak. Ini sebenarnya bukan kasus langka. Banyak tamu apartemen berasal dari luar kota dan pada waktu-waktu liburan pulang sampai berminggu-minggu. Febby juga pernah beberapa kali begitu, pergi bawa koper lalu pulang pada malam hari. Waktu dua minggu ini waktu terlamanya pergi."
Apa dia pernah mengatakan dia pergi ke mana?
Resepsionis dengan nametag Martha itu menggeleng. "Dia enggak pernah mengatakannya jelas, sih, Mbak. Aku juga enggak mau tanya-tanya banyak, ntar dikira kepo. Seingatku dia pernah satu kali bilang mau ke stasiun kereta. Itu aja. Jadi gimana, Mbak? Apa saya perlu lapor polisi? Keluarganya pasti khawatir pas tahu dianya ngilang, mana orang tuanya lagi sakit lagi."
Aku kabur sebelum Mbak Marta, sang resepsionis, melapor kehilangan orang ke polisi dan itu akan makin memperumit kebohonganku. Informasi yang kudapat memang di luar dari bayanganku, Febby tidak ada di kampus maupun di apartemen—mungkin juga tidak ada di kota—tetapi informasi itu membuka jalan baru dengan Mbak Martha memberi kata kunci "stasiun kereta".
Ada tiga koneksi yang menghubungkan stasiun kereta dan Febby.
Yang pertama, isi pesan yang disembunyikan Dirga saat dia datang ke rumahku membawa bubur sebagai permintaan maaf: Aku sudah memikirkannya baik-baik. Mungkin aku akan pergi besok. Aku harap kamu bisa ikut denganku. Aku sendirian di stasiun. Semoga saja dia datang seperti janjinya. Febby mengirimkan pesan itu, yang membuatku marah Dirga masih menemui Febby saat pacaran denganku.
Yang kedua, ucapan Dirga di balik pintu kamar Febby saat aku dan Raka menyusup ke kamar Febby untuk mencari bukti dialah penerorku. Dirga berkata pada Febby yang dikiranya ada di kamar, "Maaf, aku nggak ada pada saat mendesak. Aku bukan orang yang baik. Tapi kalau kamu masih menganggapku sebagai teman kuharap kamu nggak ke terminal lagi."
Lalu yang ketiga, kertas-kertas karcis stasiun Gubeng yang sudah dirobek.
Aku tidak memberitahu ini pada Raka karena mengira penemuanku tidak penting. Namun saat kami menyusup di kamarnya Febby waktu itu, di samping sastra klasik, Anne wih Green Gables dan Harry Potter yang berderet rapi di rak perpustakaan, aku menemukan sebuah kotak.
Kotak penyimpanan itu terbuat dari kayu, bentuknya persis seperti kotak penyimpanan jam tangan, sehingga benda di dalamnya seharusnya sesuatu yang berharga bukan? Bisa jam tangan, perhiasan, atau bisa saja sebuah flashdisk yang berisi foto-fotoku dan Raka masuk di apartemen. Anehnya, yang kutemukan malah segopok kertas karcis yang sudah dirobek dan telah kadaluarsa.
KAI
nomor identitas/id number : 33xxx
kereta api/train : PENATARAN/433
berangkat/ departure : SURABAYA GUBENG (SGU)
tiba : STASIUN BLITAR (BL)
Waktu itu, kupikir Febby punya kecenderungan hoarding disorder sampai mau menimbun barang rongsokan. Lebih anehnya dia hanya mengumpulkan karcis pergi, karcis pulang Blitar-Surabaya tidak ada.
Apa pun alasan Febby mengumpulkan sampah karcis itu, aku yakin ada sesuatu yang Dirga dan Febby sembunyikan. Hanya satu cara untuk mengetahuinya, aku harus menginterogasi Dirga, atau menemukan cewek itu.
****
Kereta terakhir menuju Blitar berangkat pada jam setengah enam sore. Waktu tempuhnya kira-kira tiga jam tiga puluh menit, yang berarti aku akan sampai ke Blitar pada pukul sepuluh malam.
Pada jam lima sore, aku sampai ke stasiun, menukar tiket, lalu mengantre di pintu zona dua untuk pengecekan identitas. Walau sampai tiba di sana pun, aku masih merasa ide ini terlalu gila.
Pertama, aku tidak tahu Febby tinggal di mana. Kedua, aku tidak bisa menghubungi wanita itu. Yang ketiga, aku bahkan tidak tahu apa yang harus kutanyakan padanya selain, "Kamu sudah menghancurkan hubungan orang, sialan! Berhenti mengejar Dirga!" karena untuk saat ini aku bahkan tidak peduli dia culprit-ku atau tidak. Aku cuma membencinya.
Sebenarnya apa yang ditunggu Febby hingga berkali-kali pergi ke stasiun tetapi tidak pernah naik kereta? Kenapa dia melibatkan Dirga dengan masalahnya?
"Tiket dan kartu identitas," sebut petugas pengecekan tiket dengan lelah dan marah saat aku tiba di antrian depan, seolah-olah masalah dunia terjadi karena orang sepertiku yang tidak menyiapkan KTP dan tiket saat diminta.
Aku menyerahkan KTP-ku. "Hari yang melelahkan, huh? Aku satu hari ini jalan keliling kampus untuk mencari seseorang. Ternyata, dia enggak lagi di kota."
"Itu lebih baik daripada satu hari berdiri dan mengobrol dengan orang asing." Dia menyerahkan tiket dan identitasku. "Kuharap mereka segera pulang supaya aku bisa pulang. Sayangnya, beberapa orang suka membuat onar dan memilih terlantar di sini." Dia menatapku dengan judes sebelum berteriak pada orang di belakangku, "Next!"
Gemuruh kereta api terdengar saat aku ke luar ke pintu zona 2. Semburat senja dari bagian bangunan yang tidak dilindungi atap, mewarnai kursi-kursi tunggu warna biru pucat dan lantai semen kasarnya.
Tidak banyak orang yang menunggu kereta datang, kemungkinan karena itu bukan hari libur dan bukan jam pulang kerja. Kereta yang parkir pun hanya ada dua. Satunya sedang memuntahkan orang-orang ke luar dari kereta, dan yang satu lagi sedang parkir adalah kereta menuju Blitar.
Para penumpang kereta Blitar yang menunggu di peron mereka mulai memasuki kereta saat pintunya buka. Aku pun ikut masuk. Saat mengantre di belakang pria yang menggendong tas besar di lengan kanan dan kirinya, untuk menuju ke kursiku: nomor 25C, tidak sengaja dari kaca jendela kulihat seseorang sedang duduk di bangku peron sendirian. Sebuah koper besar seukuran dirinya berdiri di sampingnya.
Kupikir, "oh, ini orang terlantar yang petugas itu bicarakan," namun ketika kali kedua melirik, aku menyadari kalau aku mengenal cewek terlantar itu.
Dia tidak seperti ingatanku. Rambutnya masih cokelat kekuningan tetapi gelombang rambut yang indah itu malah diikat satu dan acak-acakan. Dia pun tidak memakai baju mahal, hanya baju training hitam-hitam dan sepatu crocs. Kalau orang tidak kenal, mereka pasti mengira cewek itu hanya anak SMA yang kabur dari rumah.
Pintu kereta berderak-derak saat ia bergerak menutup, aku meminta permisi, permisi, permisi, pada semua orang yang menghalangi di lorong dan turun dari kereta sebelum pintu menutup sempurna. Roda-roda kereta menggelincir di rel terdengar sayup-sayup pergi.
Cewek yang kucari selama satu hari ini dan hampir membuatku pergi ke Blitar untuknya, malah kutemukan duduk menunggu di kursi tunggu stasiun. Febby benar-benar selalu punya cara membuatku kesal.
"Dirga?"
Kakiku berhenti menapak. Aku kini berada setengah meter di belakangnya, sedang berpikir cara menyerangnya dengan kata-kata atau dengan tas kecil yang berisi perlengkapan mandi dan baju seadanya. Botol sampo pasti bisa melukai pipinya, namun mendadak dia menyebutkan nama Dirga.
"Kaukah itu?" Kepala Febby tidak berpaling saat bertanya, sepertinya dia malu menunjukkan mukanya. "Kukira kamu enggak akan datang. Ternyata ada bagusnya juga aku berada di titik terendahku, itu membuatmu menghampiriku."
Aku berkacak pinggang, tidak habis pikir cewek itu setidakpunya urat malu itu. Dia yang membuatku putus dan dia masih punya keberanian untuk menghubungi Dirga? Dan lagi, mengontrol Dirga dengan berpura-pura sedih?
"Apa kamu datang ke sini untuk bilang, I told you so? Bilang aja. Semua memang berjalan seperti yang kamu duga. Ibuku meninggalkanku. Lagi." Febby menarik napas dalam-dalam, bahunya bergerak naik. "Seharusnya aku bisa menebak dari alasan mendadaknya pergi dari Surabaya waktu itu. Dia bilang keluarganya sakit jadi dia harus pulang kampung. Bodoh sekali aku percaya sama alasan itu."
Febby menyentuh matanya, sepertinya dia sedang menangis.
"Ibu kandungku penipu. Ini karma yang sangat layak kan untuk seorang pembohong? Aku berbohong tentang kamu pada Nola, lalu aku mendapat ibu yang berpura-pura baik dan menawariku tinggal bersama secara tulus. Dia membuatku percaya untuk memberinya kesempatan kedua untuk mengenalnya setelah dia membuangku. Enggak tahunya, dia cuma orang tua picik yang terlilit utang dan ingin memanfaatkanku."
Aku menutup mulutku dengan tangan saat sadar aku menarik napas terlalu besar. Informasi barusan itu ..., maksudnya apa?
"Orang memang enggak bisa berubah ya walau dikasih kesempatan tiga kali pun? Kurasa itu juga berlaku tentang kita, ya? Walaupun aku mencoba curang, kamu pasti akan tetap memilih Nola. Apa kamu membenciku karena itu, Dir?" Febby berpaling saat dia tidak mendengar jawaban dariku. "Dirga?"
Ketika kami bertemu mata dia terkesiap. Di saat itu aku merasa seperti baru ditelanjangi dan perutku tergoncang turun. "Kenapa kamu ada di sini?" katanya dengan setengah berdiri.
Aku membiarkan kata-kata gagap keluar dengan acak dan tanganku mengangkat karcisku. "A-aku ..., kereta ..., naik," kataku, malu kepergok menguping. Andai aku bisa berteleportasi kuinginkan kalimat itu adalah rapalan. Tetapi kereta ke Blitar sudah menggelincir jauh di rel.
****
Akhirnya satu rahasia terungkap juga 🤧
Agak mulai jelas enggak hubungan Dirga dan Febby? Kalau masih kurang jelas, simak episode depannya hehe
Tenang kok semua yang belum jelas mendekati akhir pasti bakal jelas 😆
.
.
.
Oh ya kalian pasti benci sama Febby, tapi apa kalian enggak penasaran tentang apa yang terjadi setelah This is not a good love story? Apa alasan Dirga pacaran sama Febby padahal selama ini dia suka Nola?
Untuk yang mau tahu aku buat side story tentang itu dengan judul Getaway Car (Febby's Special Chapter)
Cerita ini hanya tersedia di Karya Karsa di akun rinasuiii(hayuk berteman di sana ^^)
Baru aku published 3 chapter.
Prolog dan bab 1 nya gratis, selanjutnya ada fee baca (Rp 2000/chapter)
Aku taruh linknya di sini ya
https://karyakarsa.com/Rinasuiii/prolog-539179
Getaway Car hanya menceritakan kisah sebelum dan (sedikit bagian) selama cerita SOWL ini mengambil POV Febby. Jadi, untuk pembaca SOWL it's okay kok kalau enggak mau baca cerita itu dan hanya baca SOWL. Alur SOWL enggak bakal diganggu karena sejak ditulis awal dan akhirnya sudah ditetapkan 👌
Cuma kalau kamu mau baca kisah lebih lengkapnya tentang lebih banyak tokoh kamu bisa baca cerita itu. Cerita itu mengandung unsur keluarga yang bikin bawang 🧄 lebih dramatis, dan dibawakan sama karakter utama dengan pandangan dunia lebih tajam (ya iyalah villain).
Thank you for reading this!
Terima kasih sudah selalu mendukung cerita ini. Luv you all, muah! 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top