40. The Untold Truth
Happy reading!
****
Hanya menyisakan beberapa minggu hingga Bulan Seni Budaya diadakan, para panitia mulai sibuk menyusun panggung, merapikan susunan acara, dan mendaftar stand-stand makanan yang nanti hadir. Ester berpesan untuk mengumpulkan sketsa kasarku pada akhir minggu untuk dinilai. Jadi, menjelang akhir minggu hanya itu yang kupikirkan.
"Aku suka idenya," kata Ester saat aku menginterupsinya bantu-bantu menyusun panggung untuk menilai sketsaku. "Pesan dalam gambarnya tersampaikan, permainan warnanya juga menarik mata, tapi aku ingin koreksi sedikit di bagian gambar orang-orang ini. Gambar detail wajahnya kurang rapi. Aku mengerti itu karena kain kanvas sedikit bertekstur dan itu bisa sedikit menyulitkan, jadi daripada kamu melukis detail yang berantakan lebih baik gambar wajah orang-orang di belakang itu dengan permainan warna saja."
Aku melihat kecacatannya saat membalik lukisan. "Ahh, iya, ini akan kuperbaiki." Lalu menimbang-nimbang bicara, "begini, aku harus mengaku. Media lukis bukan bidangku, apa aku boleh beralih ke media kertas atau digital saja?"
Ester bertolak pinggang dan dia menarik napas dalam-dalam seolah itu keluhan keseratus yang ia dengar hari ini. "Kalau aku cari orang yang paling pandai melukis, aku pasti enggak memilihmu, tapi aku memilihmu. Aku bisa melihat potensi dari gambarmu."
"Potensi?"
"Kamu tahu orang apa yang orang cari saat ke galeri seni?"
"Melihat gambar terkenal?" Atau mengambil foto candid di depan lukisan agar terlihat estetik dan pintar?
"Hampir betul. Saat orang-orang datang ke galeri seni atau pameran, yang mereka nikmati bukan cuma gambarmu. Mereka ingin melihat bagaimana caramu melihat satu momen dan menangkap esensi dari momen itu, mereka ingin memahami cara pandang dan perasaanmu. Perasaan takut, bingung, senang, sedih, atau kemarahanmu, lalu semoga mendapatkan makna dari itu bisa mereka implementasikan lewat gambarmu. Aku melihat hal terakhir itu di gambarmu dan kuharap orang-orang juga melihatnya."
Saat diminta menjadi perwakilan dari klub ilustrasi untuk mengisi pameran lukis, aku senang dan takut, "apa aku mampu membuat karya yang layak dipajang?", itu ketakutanku. Sampai saat ini pun, setelah melukis sepuluh kanvas gagal dalam beberapa hari terakhir, aku masih takut dan ragu. Tapi, Kak Ester percaya padaku, dan kalau dia yang hebat saja percaya padaku, aku juga ingin percaya pada diriku.
"Aku enggak akan mengecewakanmu."
"You better be."
Ester mengusirku setelah dua panitia perlengkapan datang membawa dua batang besi untuk dipasang di panggung. Konsultasi dengan Ester membuatku tercerahkan. Aku merasa seperti anak kecil yang baru dipuji ibunya punya gambar bagus untuk dipajang di kulkas, kepala dan hatiku panas—bukan dalam artian demam. Kubawa lukisan itu cepat pulang untuk dibuat ulang.
Cowok kemeja putih-celana jeans yang fit untuk tubuh tingginya, menyebrang dari sisi jalan dan masuk pagar kampus saat aku berlari secepat kuda di lapangan agar tidak kena panas dan melelehkan lukisanku. Itu Raka.
Sudah lama sekali tidak melihatnya. Kami tidak berhubungan sejak rumor itu beredar. Aku tidak mau memicu perbincangan "kumpul kebo" atau "perselingkuhan" lagi karena terlihat dekat dengannya. Itu sedikit menyedihkan, aku menghindarinya sementara di malam ketika rumor itu beredar dia mengontakku untuk memastikan keadaanku. Aku mengabaikan pesannya sampai hari ini. Aku jadi merasa bersalah, dia pasti mengalami minggu yang berat, sama sepertiku.
Hm?
Selain aku, ada seorang lagi mengekori Raka. Pengekor itu memberi jarak kira-kira tiga meter sehingga bila tidak memperhatikan orang-orang tidak menyadari kehadirannya. Dia anehnya tidak tampak asing. Kemeja, tas kantor, celana kain, dan pria tinggi itu ..., di mana aku pernah melihat dia, ya?
Pria itu tiba-tiba menoleh melewati bahunya, membuatku lantas meloncat ke balik pohon dan bersembunyi. Aku ingat di mana melihat pria itu. Dia ayahnya Raka!
Ayahnya Raka mengamati sekitar dengan cara mencurigakan—seperti dia hendak melakukan transaksi illegal dengan pengedar narkoba—kemudian mempercepat langkahnya dan menyapa Raka di dekat tiang listrik.
Bagi orang-orang yang tidak tahu, hubungan Raka dan ayahnya penuh ketegangan, Raka membenci ayahnya, dan alasan Raka tinggal di apartemenku karena dia ingin kabur dari rumah ayahnya. Jadi pertemuan ini bukan temu kangen anak biasa tapi keajaiban kalau Raka mengobrol dengan ayahnya.
I got this feeling on the summer day when you were gone ....
"Fuck!" umpatku.
Ringtone ponsel di tas selempangku berbunyi dengan volume maksimal di saat aku menguping pertemuan penting antara ayahnya Raka dan Raka (ugghh!). Kucari benda berisik itu dan mematikannya sebelum dia bernyanyi, "I don't care, I love it! I don't care!" dengan suara jedag jedug yang lebih kencang.
Ketika aku mengangkat kepala, untuk menguping pembicaraan Raka dengan ayahnya, kedua orang itu sudah menghilang dari depan tiang listrik. Sial, padahal tadi bisa jadi kejadian seru.
"Tebak aku lagi sama siapa?" Maya mengirimkan pesan itu. Dari videonya, aku melihat dinding warna putih dengan garis biru dan loker kuning di kanan belakangnya. Dia pasti ada di lorong sekolah.
"Sama Sam Claflin," sindirku, sebal teleponnya masuk di saat tidak tepat.
"Aku sudah melewatkan satu momen besar karena telpon ini. Ini harus kabar bagus banget."
"Kalau sama Sam Claflin mah aku habisin waktu foto berdua, ngapain telepon kamu." Maya sewot. "Tapi ini bener sih kabar baik. Aku lagi sama orang iniii!" Maya memutar kameranya.
Awalnya, aku tidak kenal siapa pemilik rambut keriting afro pendek, berkulit cokelat, kacamata kotak itu dan wajah cemberut yang lagi dicekal lehernya oleh Sammy, si cowok yang disorot kamera—aku menduga itu penyanyi rapper favoritnya Maya—tetapi saat melihat di sampingnya ada foto dua mahasiswa masuk ke sebuah apartemen dengan notes tulisan "Hot news! Dua mahasiswa tertangkap basah tinggal bersama!", aku tahu siapa dia.
"Kamu menangkapnya?"
Kamera kembali pada Maya. "Yup! Aku enggak bicarakan ini sama kamu karena kamu pasti bakal melarang, tapi diam-diam aku dan Sammy mencari culprit fotomu untuk memberi pelaku pelajaran. Dan sampailah kami ke orang ini!"
"Kubilang, bukan aku yang memajang foto itu di lokernya!" Cowok afro pendek berkacamata itu menginterupsi.
Maya berteriak padanya, "Enggak usah bohong! Kamu yang menyebar foto itu pertama kali di sosmed! Theo itu hacker terhandal dia enggak mungkin salah. Aku sudah bayar dia banyak!"
Di kamera aku hanya bisa lihat wajah Maya bicara saja, tapi dari video aku bisa dengar cowok afro itu meringis. Sepertinya Sammy mempererat cekalannya.
"Aku memang yang menyebar foto itu pertama kali, tapi bukan aku yang memotret foto itu. Itu nyampah namanya. Kayak 'Raka tidur sama cewek'? Memangnya itu kabar baru?" Kudengar cowok itu kembali berteriak kesakitan. "Iya, iya, mereka enggak ngeseks tapi tinggal serumah doang. Enggak usah main cabut bulu tangan, tolong. Nyawaku bisa melayang."
"Jadi, kamu tahu siapa yang memotret foto itu?" tanyaku pada cowok afro.
Maya mengarahkan kamera kepada cowok itu, dia memandangi Maya dan Sammy di belakang layar dengan muka ketakutan. Aku ingat muka itu, dia juga melakukannya saat Dirga merampas ponselnya saat kejadian di depan lokerku. Dirga hampir menghajarnya kalau saja tidak kutengahi.
Cowok afro itu menggeleng. "Pagi itu aku cuma terima pesan kalau ada kabar HOT di lorong loker anak Akuntansi. Aku enggak kenal siapa pengirimnya tapi harusnya anak ekonomi karena enggak banyak orang tahu aku jurnalisnya koran kampus kita, GEMA. Aku cuma datang mengeceknya saja karena kukira itu pesan iseng. Semua jurnalis pernah menerima pesan seperti itu, ingin kuabaikan, tapi insting jurnalisku berkata jangan diabaikan. Lalu ..., instingku ternyata benar."
Dari unknown number?
Cowok afro berusaha melepas tangan Sammy di lehernya. "Hei, selingkuhannya Raka. Bisa bilang sama teman-temanmu ini untuk melepasku?" Sammy terlalu kuat untuk cowok afro ceking kalahkan, Sammy masih mencengkram belakang lehernya. "Aku sudah menjelaskan ini semua sama cowok kacamata yang merampas ponselku. Dia sudah menghajarku. Aku sudah dapat hukuman."
Maya berteriak, "Dia bukan selingkuhan Raka bodoh!" dan kamera bergerak-gerak menyorot cowok afro menahan kepalanya dari pukulan Maya dengan balas memelas, "Itu lebih halus dari Jalang, kamu mau kupanggil dia apaaaa ...." Kemudian video call itu mati.
Aku merasa kasihan cowok afro yang punya mulut kurang ajar harus berhadapan sama Maya yang setia kawan dan berdarah panas (cowok afro itu pasti dapat pelajaran—dan jotosan—penting untuk tidak menyebar gosip panas tentang orang-orang di sekitar Maya). Tetapi, dari omongan cowok afro kurang ajar itu aku jadi tahu satu hal yang ingin kutahu.
"Pesan dari unknown number" dan "Dirga tahu itu tetapi tidak memberitahuku?"
****
Mendekati akhir ceritanya makin ruwet
Makin susah juga cari waktu buat nulis karena kerjaan 😭
Makasih guys yang masih minta cerita ini update di kolom komentar 🥺
Bakal rindu deh sama kalian kalau ceritanya nanti kelar
Terima kasih sudah membaca 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top