4. The Awkardness living in The Big Strange City
Aku belum pernah pergi ke banyak tempat. Jadi, pada usiaku yang kedelapan belas tahun, ketika kuputuskan akan menempuh ilmu selama empat tahun ke depan di kota Surabaya, berbekal surat penerimaan universitas, keberanian, koper, dan dus-dus bertumpuk di bagasi minivan Dirga, aku merasa antara campuran senang, gugup, dan tersesat.
Bila kurang bisa dibayangkan, itu seperti perasaan ketika hari pertama kamu diantar masuk ke gerbang sekolah TK. Kamu berjalan bersama anak-anak kecil lain yang tidak kamu kenal dan disambut guru-guru asing yang menyambutmu ramah tetapi tetap sanggup buatmu was-was. Lalu ketika kamu ingin mendapat ketenangan dengan menengok ke belakang, orang tuamu di luar pagar hanya melambai menyuruhmu masuk sembari pergi ke mobil mereka. Akhirnya, kamu menangis kejer karena takut ditinggal sendirian, lalu ibumu terbirit masuk menenangkanmu. Mama jarang memelukku, tapi sekarang aku merindukan pelukan beraroma bumbu masak itu.
Sayangnya, itu tidak akan terjadi karena pagi ini mereka sudah melepasku sebagai anak botot yang hidup di bawah lindungan ketek mereka, sebagai orang dewasa. Itu terjadi pada jamuan makan pagi yang sebenarnya terlalu berat untuk sarapan: dengan nasi rawon dan botok tempe. Satu kalimat Mama, yang sepertinya akan kuingat sampai empat tahun ke depan, adalah ketika dia menyendokkan nasi ke piringku dan bilang, "Sering-seringlah pulang ke sini di hari libur."
Mama mengucapkan kalimat itu dengan tenang, namun aku bisa merasakan kesedihan dalam nadanya. Dua tahun lalu Kak Nara merantau ke Yogyakarta untuk kuliah, tahun ini giliran anak bototnya. Membayangkan keduanya nanti akan makan berdua di meja berempat itu saja, sedikit mengiris hatiku.
Padahal tiap kali Mama menyuruhku pulang jangan sampai maghrib, aku selalu merutuk dan membayangkan bagaimana rasanya hidup terpisah dengan mereka. Saat hari itu akhirnya datang, aku tidak segirang yang kubayangkan.
Bagaimana kalau aku tidak senang tinggal di kota asing ini? Apa yang menantiku nanti di kota ini?
Keraguan itu masih membengkak dalam kepalaku, sampai saat aku duduk di kursi belakang minivan Dirga. Menatap pohon-pohon asing yang berkelebat di jendela, mengamati gedung-gedung pencakar langit dan papan reklame artis dari yang pernah kulihat sampai yang tidak pernah kulihat di TV, mempertanyakan mengapa begitu banyak coffee shop dan tidak ada satupun dari mereka yang buka di Mojokerto, berusaha memahami seluk beluk jalanan kota yang amat rumit dibanding kampung halamanku, dan kuharap disela otakku bisa mengingatnya.
Maya memutar radio di kursi penumpang untuk mencari lagu bagus, pilihan siarannya berhenti di lagu Grow milik Conan Gray. Dirga bersenandung sambil memutar setir dengan mudahnya, layaknya perompak yang baru pulang menjarah, dengan seluruh harta berhargaku di bagasi belakang.
Bahkan sampai saat itu pun, semua masih terasa tidak nyata.
"Setelah taruh barang di apartemen kita langsung ke carefour, ya." Suara Maya segera melenyapkan kemelut pikiranku.
Dia melanjutkan, "Kita kekurangan peralatan masak dan kontainer untukmu. Semalam aku sudah beli ayam, wortel, kentang, dan laksa untuk masak sup ayam, tapi mereka nggak punya barang-barang dasar kayak panci atau mangkuk. Jadinya, aku harus masak pop mie malam-malam. Bikin tambah lemak aja," gerutunya, memikirkan badan langsingnya yang mungkin hanya naik satu gram.
Maya sampai lebih awal dariku untuk mengurus tetek bengek tempat tinggal kami. Alasan sebenarnya adalah supaya dia bisa ketemu pacar mahasiswanya lebih cepat. Aku tidak apa dengan alasan manapun, karena memang Surabaya terlalu asing untuk kutelusuri seorang diri, apalagi untuk mencari tempat tinggal.
"Boleh. Mobil pindahanku juga bakal datang kira-kira besok. Kurasa lebih baik mencatat apa yang kurang di apartemen, dan apa yang harus kita beli."
"Ah, iya lampu. Lampu toilet kita juga mati. Ingatkan aku membelinya nanti ya, La." Katanya lagi pada Dirga, "Dir, bentar mampir apartemen ya. Bantu angkat barang dan ganti lampu."
"Oke, oke. Nggak usah tanya lagi apa aku mau nggak jadi supir atau tukang," keluh Dirga keras-keras namun Maya tidak peduli.
Kucatat perlengkapan apa saja yang mungkin kami butuhkan di apartemen. Perutku yang bergejolak semenjak makan pagi (kurasa karena gugup bukan karena nasi rawon), kini mulai mereda, dan aku mulai semangat memikirkan barang-barang yang kuinginkan ada di apartemen kami nanti. Mama dan Kak Nara selalu mengambil peran itu di rumah karena mereka orangnya sangat pemilih dan punya selera bagus. Aku bahkan tidak bisa bebas memilih keset kaki depan kamarku karena Kak Nara terus memprotes, "pilih warna gelap untuk keset kaki supaya nggak cepat kotor".
Keset kaki bulu domba putih, benar, itu yang akan kubeli. Dan mulai sekarang tidak ada satu pun yang bisa memprotes keputusanku. Sepertinya, memulai hidup mandiri tidak buruk juga.
Setelah setengah perjalanan, Maya mengeluh lapar dan kami pun singgah di suatu warung makan kecil yang menjual makanan prasmanan. Katanya, ayam gulai di sana enak, jadi aku memesan satu dan Maya pergi memesan es jeruk degan di kasir.
Tinggallah aku dan Dirga berdua di meja makan. Diam-diaman dengan meja kosong menunggu makanan kami selesai dimasak. Selama di perjalanan tadi, atau selama tiga tahun terakhir ini, aku belum pernah bicara berdua lagi dengan Dirga.
Segalanya terasa aneh. Tiga tahun lalu dia masih menjadi tetangga yang bisa kulihat setiap hari sampai aku bisa mengenali semua baju di lemarinya. Lalu dia pindah, dan sekarang aku hampir tidak mengenalinya.
Dirga telah banyak berubah. Dia jauh lebih jangkung, kulitnya memutih mungkin semenjak kuliah aktivitasnya lebih banyak dalam ruangan, badannya mengurus walau hari itu dia memakai jaket hoddie biru tua. Tulang pipinya lebih menonjol dan lemak pipinya kempes menegaskan struktur tulang rahangnya. Dia menjadi versinya yang lebih dewasa. Kecuali, rambutnya yang dipangkas cepak. Belakangan, dia mengaku gaya rambut itu dipakainya karena lebih praktis daripada harus bolak-balik ke salon. Kuliah banyak menyita waktunya.
Percakapan kami dimulai dengan basa-basi canggung yang membosankan. Dia bertanya, "Gimana perjalanannya tadi?" dan aku menjawab dengan sok asik, "Lebih pendek dari mobil, harusnya aku lebih berani datang ke sini lebih awal." Kemudian, kami mengeluarkan tawa untuk membuat suasana canggung ini mencair, yang akhirnya malah membuatnya semakin canggung. Lalu, hening yang janggal itu kembali datang, sampai Maya datang membawa segelas es degan jeruk dan pelayan membawakan pesanan kami.
****
Maya memperingati setibanya kami di parkiran apartemen,"Siapkan dirimu. Pemilik apartemen sebelumnya punya selera yang agak nyentrik."
Baik aku dan Dirga tidak berharap apa-apa, namun sesampainya di apartemen, aku mengerti sifat nyentrik apa yang Maya maksud.
Apartemen yang akan kami huni adalah apartemen kenalan tantenya Maya. Dia berasal dari Flores, dan penghuni sebelumnya merupakan anaknya yang sekarang tengah menempuh pendidikan S2 di Sydney. Dan dapat kubilang kalau si 'anak' itu amat terobsesi dengan hal-hal berbau pantai dan laut.
Begitu kami membuka pintu kamar, mata kami langsung bertemu dengan satu jendela besar yang menghadap langsung ke beranda. Lantai kayu cokelat terang menghampar di depan kami seperti hamparan pasir. Langit-langit apartemen dihiasi gambar ombak biru dari cat, seperti sedang beriak-riak di atas kami. Cahaya lembut menerangi ruangan itu dari sinar langsung sang maha kuasa. Di setiap sudut ruangan mudah ditemukan tumbuhan, seperti tanaman palem pot besar di samping sofa, tanaman merambat di depan kamar, juga kebun kecil yang dibuat di beranda. Sebagian besar perabot di sana terbuat dari kayu. Ada juga papan selancar yang dialihgunakan sebagai rak pajangan di atas TV.
Apartemen itu tidak besar, terdiri atas dua kamar, ruang tengah, dan dapur. Amat dasar. Kurasa pemilik sebelumnya bosan dengan model apartemen yang itu-itu aja, jadi dia merombaknya menjadi rumah pantai.
"Kita dapat diskon untuk sewa bulanan kalau sanggup merawat semua tanaman di sini," ungkap Maya, yang untuk sesaat membuatku sulit bernapas. Dia meraba salah satu daun pohon palem. "Tanaman asli, sudah kuduga." Dia berujar dengan gugup.
Ada lukisan pohon palem yang tampak sangat nyata digantung di atas sofa ruang tengah (warnanya biru terang dan bantal kerangnya lucu, sayang bahannya bludru, aku tidak yakin bisa makan cokelat di sana).
"Aku sudah menyingkirkan pop art portrait pemilik sebelumnya di kamarmu milik ke gudang, sepertinya lukisan ini akan bergabung dengannya," tunjuk Maya pada lukisan palem itu.
Bahuku bergidik membayangkan lukisan muka orang yang tidak kukenal memandangku selama tidur.
Ketika aku sedang mengamati satu pigura 'I Love Beach' dari kerang yang tergantung di dinding, Dirga telah berdiri di belakangku.
"Apartemen ini seperti rumah pantai, ya kan?" Tangannya masih memegang tangkai koper oranyeku.
Aku menanggapinya dengan anggukan, lalu membawa pergi koperku. Sampai saat ini pun, aku tidak bisa bersikap wajar di depan Dirga. Untung saja, aku tidak harus menghadapinya lebih lama karena ada banyak hal yang harus kulakukan: menurunkan koper-koper dari mobil, mengambil kunci tambahan, mengangkat koper ke kamar kami di lantai tiga (kerjaan Dirga), membongkar barang, mencatat barang apa yang harus kami beli, membeli perabot, lalu membongkar dan menatanya di apartemen.
Setelah mengeluarkan satu liter keringat dan belasan tisu, kami mencapai perkembangan yang cukup pantas dengan berhasil membersihkan ruang tamu dari kardus-kardus berisi barangku dan perabot baru. Hari sudah malam dan perut kami kelaparan. Maya memutuskan kalau kerja kami sudah cukup hari ini, lalu memesan pizza sebagai makan malam, seperti yang sudah dijanjikannya.
Kunyalakan lilin kecil dalam mangkuk kaca berbentuk teko teh yang sengaja kubeli di online shop seharga lima puluh ribu, untuk dekorasi apartemen. Meletakkannya di tengah-tengah sebotol cola satu liter, dan tiga buah gelas kertas-kami membeli semuanya kecuali gelas. Dirga mematikan lampu dapur dan ruang tengah, menyemburat cahaya lampu kuning redup dari lampu duduk dan lilin di sekeliling ruangan. Maya mengeluarkan loudspeaker kecil dari dalam kamarnya, namun sebelum ia menyetel lagu, ponselnya berbunyi. Itu telepon dari pengantar pizza yang menyuruhnya turun mengambil pesanan.
Aku baru menyadari kepergian Maya saat menenteng cemilan kentang dan keripik tortilla yang kutata dalam mangkuk, ketika hanya menemukan Dirga di ruang tamu. Dirga yang sedang menuang cola ke gelas menangkap tatapan kikukku dan menjelaskan, "Maya turun mengambil pizza."
Sofa kami hanya punya dua dudukan, jadi mau tak mau aku duduk di sampingnya. Suara desisan cola yang ditumpahkan dalam gelas, mengisi keheningan lagi.
"Bisa nggak kita mulai bicara?"
Begitu ucapannya, bersamaan dengan suara mangkuk kacaku menumbuk meja kayu. Seolah dia sudah menunggu waktu ini daritadi.
"Tentang apa?" tanyaku.
Diam-diam aku melirik pintu keluar. Semoga Maya segera datang.
"Tentang yang seharusnya sejak dulu kita bicarakan. Tentang perasaanku, juga sebaliknya."
Aku masih berusaha bertahan dalam kenyataan dan ketenangan walau nyatanya jantungku serasa baru saja jatuh ke perut. Baik aku maupun Dirga, walau belum pernah dibicarakan, kami secara sepakat yakin kalau ranah perasaan adalah sesuatu yang sensitif antara kami. Karena itu juga sebisa mungkin aku menghindarinya saat dia datang ke kampung, dan begitu pula sebaliknya. Jadi, bagaimana bisa dia membicarakan ini sekarang? Saat kami baru saja bertemu kembali?
"Bisa kita bicarakan lain waktu? Aku lelah sekali."
Dirga menahan pergelangan tanganku, membuat gerakanku berhenti dan aku kembali terduduk. Dia menatap tepat di mataku.
"Inilah kenapa aku nggak mau memberitahumu. Aku tahu kalau kamu akan jadi bingung begini," katanya. "Tapi, aku nggak mau kita jadi canggung atau main kucing-kucingan lagi karena surat itu."
Surat itu. Akhirnya kehadiran surat itu terbukti ada di tengah-tengah kami setelah tiga tahun berlalu. Febby tentu saja memberitahunya.
"Dir, kita bicarakan itu lain kali," mohonku.
Dirga menggeleng. "Kalau kamu terbebani sama perasaanku, aku mau kamu tahu kalau semuanya sudah selesai. Aku tahu setelah pernyataan itu semuanya akan berbeda, tapi haruskah kita jadi begini?"
Dirga menghela napas, menanggapi kebisuanku.
"Sudah cukup kita saling kehilangan sekali. Apa kita nggak bisa kembali jadi teman?"
Aku ingin bilang kalau dia tidak pernah kehilangan aku. Akulah yang seharusnya mengatakan itu, kalau aku takut dia menjadi canggung berteman denganku setelah tahu perasaanku padanya, makanya aku menjauh. Alih-alih itu semua, aku melerai tangannya di pergelanganku.
"Walau aku temanmu, aku nggak bisa mengatur siapa yang kamu sukai," kataku. "Aku cuma kecewa. Kamu nggak pernah membahas perasaanmu sama sekali, juga hubunganmu, lalu kamu pergi begitu saja. Setelah kamu ada di kota lain, kamu menghubungiku seolah semuanya baik-baik saja."
Aku tidak bisa menyembunyikan kegetiran dalam nadaku, dan Dirga menangkapnya. Dia menunjukkan wajah tak enak.
"Maaf." Diam sejenak. "Saat itu, yang ada di pikiranku adalah bagaimana kita kembali berteman. Aku nggak sadar kalau itu menyakitimu."
Melihat Dirga menundukkan kepala menyesal, membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya kuinginkan dan kepuasan apa yang kucari dari Dirga. Apa waktu itu aku ingin membahas semua sakit hati yang kudapat setelah menemukan cintaku bertepuk sebelah tangan karena Dirga menyukai cewek lain? Apa waktu itu aku ingin meminta pertanggungjawaban darinya karena telah membuatku jatuh cinta? Apa rasanya itu akan lebih baik daripada pernyataan cintaku diabaikan?
"Tapi aku nggak menyesal." Ucapannya membuatku menatapnya. "Sekarang, aku bisa berdiri dan bicara santai denganmu lagi. I kinda miss this."
Aku mematung di sana. Semua pertanyaan yang membengkak di kepalaku menjadi kosong melompong. Apa katanya? Dia merindukanku?
Ketika aku ingin berucap, "Ngomong opo, kon? Sing jelas, toh!" Dirga memalingkan wajahnya dariku. Dan entah ini efek lampu kuning atau AC ruangan ini mendadak mati hingga dia kepanasan, samar-samar dapat kuliat sapuan kemerahan di pipinya.
"I miss you," ucapnya.
Sapuan merah di pipi Dirga menjangkiti kulit pipiku. Menjadi hangat. Memerah. Panas.
Tiga tahun membentang di antara kami rasanya menipis menjadi sejarak setengah meter. Seolah tiga tahun kemarin tidak pernah ada, dan baru kemarin aku menyerahkan surat cintaku pada Dirga, lalu dia datang ke rumahku, dan kami membicarakan ini. Seandainya saja skenarionya semudah itu, tidak melibatkan Febby datang ke rumahku, mengembalikan surat dan scrapbook untuk Dirga, dan dia tidak pernah berkata, 'jangan mengganggu cowokku dengan surat bodohmu itu'. Atau seengaknya Dirga menghubungiku kalau semua yang dikatakan Febby adalah bohong besar. Seandainya saja semudah itu.
Seandainya saja, aku lebih berani. Sesuatu mungkin berbeda.
"I like you," ucapku, masuk kembali dalam tenggorokan ketika mendengar suara kenop pintu diputar, dan suara omelan cempreng Maya memasuki ruangan, "Sorry kelamaan, guys! Pengantar pizza-nya keliru mengira lobby apartemen ada di belakang .... Eh, kalian berdua kenapa?"
Dirga terjerembab di bawah sofa. Hidungnya mencium lantai, kutahu karena itulah kenapa saat dia bangun dia memegang hidungnya dan meringis kesakitan. Dirga diam-diam melirikku tajam. Aku pura-pura bersimpati dengan membantunya bangun walau sebenarnya akulah yang mendorongnya sampai jatuh karena terlalu kaget mendengar suara Maya.
"Nggak apa-apa. Ponselku cuma jatuh ke kolong meja," bohong Dirga pada Maya, tapi saat mengatakannya dia melirik menyalahankanku.
Aku pura-pura tidak tahu, lalu mengambil satu kantung pizza di tangan Maya. "Nggak apa-apa lama, yang penting masih anget. Sini, kubuka."
Di belakang Maya, pintu yang seharusnya melayang menutup itu, ditahan oleh seseorang.
"Masih cukup buat berempat, kan?"
Adalah seorang wanita tinggi semampai masuk ke apartemen kami, rambut kecoklatannya panjang sampai ke pinggang, wajahnya manis, dan ada semilir parfum mawar sesuatu yang elegan darinya. Ketika mengangkat wajah, aku yakin tahu siapa dia.
"Febby?" sebut Dirga mendahuluiku. Tatapannya seperti baru saja melihat makhluk spesies baru yang harusnya ada di lab, bukan di dunia manusia. Aku pun begitu. Kenapa cewek ini ada di sini?
Maya melangkah ke tengah-tengah kami.
"Aku temuin anak buruk rupa ini di lobby," kata Maya, menunjuk Febby. "Udah aku cuekin nggak balas sapa dia, dia malah maksa banget minta nomor kamar kita. Pengen kutinggal di lift, tapi ini anak gesit banget keluar lift. Mantan penghibur lapangan, emang jago ya."
"Cheerleader," ralat Febby, keberatan.
"Jangan memaksaku bilang itu."
Dirga merangsek ke depanku, sepertinya dia yang paling penasaran di sini.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Kamu bilang Maya dan Nola pindah di apartemenku, jadi pastilah aku harus menyambut mereka. Ngapain sih, kamu sembunyi-sembunyiin mereka dari aku? Aku harus cari tahu nomor kamar mereka dari satpam. Malah jadinya buntutin Maya kemarin kayak tamu nggak diundang."
Lah, emang nggak undang, kan? balasku dalam hati.
Kepada Maya dia menyodorkan sebungkus besar kantong tisu, yang ternyata sedari tadi ada di genggamannya.
"Nih. Kubawakan tisu sebagai hadiah pindahan."
Maya menerimanya dengan enggan. "Makasih, bakal kutaruh di toilet."
Ia lalu menyapaku dengan senyum, seolah sejak tadi tidak melihatku di sana.
"Halo, Nola." Matanya memindaiku sekilas. "Kamu ... nggak berubah."
"Kita nggak ketemu selama tiga tahun. Tentu, nggak ada banyak perubahan," balasku ramah, meski hatiku dongkol.
Semua orang tahu kalimat "kamu nggak berubah" adalah penghinaan terburuk. Selama tiga tahun tinggiku bertambah lima sentimeter, rambutku dipendekkan sampai bahu, dan aku menghabiskan beratus-ratus ribu untuk uang skincare. Dan, sekarang, aku masih dikatai, "kamu nggak berubah?!"
"Kamu juga nggak berubah. Masih aja ngintilin Dirga," ucap Maya menyokong kekalahanku dalam adu mulut ini. Maya memang sahabat sejati!
Raut meremehkan Febby mencair, berubah menjadi kebingungan. Kening berlipat.
"Ngintilin?" tanyanya sambil bertolak pinggang.
"Iya, kamu selalu ngikutin Dirga kemana pun. Nggak di SMA, nggak di kuliah. Kayak anak ayam baru netas saja." Iya. Dirga itu jantan, bukan betina yang melahirkan anak ayam! Ngapain dikuntit terus?!
Febby mengabaikan ucapan Maya, kini ia beralih ke Dirga, "Kamu nggak bilang sama mereka tentang hubungan kita?"
Tiga pasang mata yang awalnya menyudutkan Febby, kini beralih pada Dirga. Sekilas, Dirga menatapku. Wajahnya gugup seperti sedang tertangkap basah selingkuh di depan istri sahnya.
"Aku belum sempat bilang," jawab Dirga gugup.
Baik Maya dan aku memelototi tangan Febby yang lalu menyelip lengan Dirga mesra, seakan memberi jawaban telak pada situasi penuh pertanyaan ini. Kami sama-sama berlomba menarik napas seakan ruangan ini hampir kehilangan udaranya.
Di waktu itu, aku merasa makin yakin kalau kota dan tempat ini adalah era lain dari yang lain. Aku mulai memahami kalau kecanggungan yang kurasakan sepanjang pagi ini adalah jenis penolakanku untuk tidak pernah ada di kota ini.
Permulaan hari pertamaku di sini saja diawali dengan hatiku yang kembali patah berkeping-keping. Kurasa, aku tidak akan suka dengan apa pun yang menantiku setelah ini.
"Kami pacaran." Febby mengumumkan. "Karena kalian teman dekat Dirga, kita pasti akan sering ketemu. Mohon bantuannya, ya."
****
Sorry update-an kali ini agak lama 🙏
Juga, makasih buat kalian yang udah nunggu 🥰
Gimana dengan chapter ini, guys?
Sudah bisa menebak cerita ini mau dibawa ke mana?
Terima kasih sudah membaca!
Seperti biasa, kalau kamu menyukai cerita ini, silakan klik tombol vote, like, atau share.
See you next week ! 👋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top