38. One Thing You Shouldn't Have Known
Maaf atas keterlambatan chapter ini.
Makasih buat yang masih mau menunggu ❤
Happy Reading!
****
Dirga menyeberangi taman. Tangannya memegang satu bungkus kotak makan plastik dan satunya lagi minuman dingin. Aku memanjangkan badan untuk membuka pintu sopir membantu Dirga masuk mobil.
"Sori, kelamaan. Antrian siomay goreng panjang karena ini jam makan siang." Dirga membagikan satu bungkus siomay hangat kepadaku. "Kamu pasti lapar."
Aku memandangi batagor itu, tidak bersemangat. Biasanya tampilan potongan siomay goreng disirami saus kacang selalu membuatku bersemangat santap siang, tapi makanan macam apa pun tidak bisa menghibur mahasiswa yang baru saja mendapat teguran Kaprodi (Ketua Program Studi).
"Saat orang makan mereka fokus makan. Saat orang mengantri, mereka fokus memilih makanan supaya nggak memperpanjang antrian. Kalau mereka sudah memutuskan mau makan apa, menurutmu apa yang mereka lakukan saat ada di antrian?"
Dirga membantu membuka bungkusan siomay milikku. "Menunggu?" jawabnya tidak pasti.
"Bukan. Mereka bergosip. Menurutmu, di mana Bu Vince tahu gosip aku tinggal bersama pria?"
"Di kantin?" Ia menjawab lagi dengan gugup.
"Iya." Dirga sedikit lega saat tahu jawabannya benar. "Bu Vince mendengar gosip tentang dua mahasiswa tinggal bersama dari anak didiknya yang khawatir image mahasiswa Ekonomi tercoreng atas kasusku. Bu Vince menginterogasiku sepanjang jam kelas English for Business. Dia bilang kalau 'orang nggak peduli berita palsu atau enggak, mereka cuma menginginkan bahan pembicaraan'."
"Kaprodimu memanggilmu untuk mengatakan itu?"
"Iya, dia juga menanyaiku sebanyak tiga kali apa aku benar-benar nggak tinggal dengan pria, lalu memberiku petuah panjang kalau kampus nggak mendukung tindak asusila."
"Kamu nggak berbuat apa-apa!"
Aku mengangguk. "Tapi tampaknya menyanggah secara tatap muka nggak seefektif orang asing menempelkan foto sensasional di lokermu. Orang-orang cuma peduli apa yang mereka ingin dengar. Yah, untung cuma dikasih petuah bukan surat peringatan."
"But still, it's so unfair." Dirga mendesah dengan frustasi.
Situasi ini sangat tidak menguntungkanku. Bukan karena fotoku dan Raka tersebar, dipercaya sebagai kebenaran-sebagian gosip itu kebenaran-dan digosipi seantero kampus, tetapi kami juga belum tahu siapa si penguntit itu. Penguntit itu bisa bebas bergerak tanpa merasa terancam dan aku tidak tahu apakah akan ada serangan kedua.
"Apa aku harus mencari cowok yang memotret di loker tadi? Mungkin kalau mengancamnya orang-orang bisa berhenti bergosip."
"Percuma melakukannya. Semua orang sudah tahu. Kita cuma perlu menunggu berita ini surut dengan sendirinya. Dan berhentilah mengusulkan ancaman atau memukul orang, kamu bukan tukang pukulku."
Dirga menarik sudut bibirnya sedikit, tahu nada sinisku itu artinya aku sedang mengkhawatirkannya.
"Kita harus menemukan orang yang menerormu." Dirga mengusulkan, seperti bisa membaca kerisauanku. "Seseorang itu pasti berada di kampus kemarin untuk menempelkan foto itu. Kapan terakhir kamu ke lokermu?"
"Kemarin sore." Tepatnya sebelum pergi ke lapangan basket dan bertemu papanya Raka di sana.
"Berarti orang itu ada di kampus kemarin malam. Di waktu orang-orang pulang kampus supaya aksinya nggak ketahuan orang." Dirga mencubit dagunya, berpikir keras. "Di tiap lorong kampus terdapat CCTV. Pasti aksinya terekam di sana. Tapi gimana caranya kita mengeceknya?"
Setelah aku bertemu papanya Raka, aku dan Raka menyelinap ke rumah Febby untuk mencari file foto itu. Kami tidak menemukan foto itu di mana pun.
"Apa kamu tahu kelas terakhir daerah lokermu selesai jam berapa?"
"Kelas terakhir itu kelas anak semester satu, tapi aku nggak tahu selesai tepatnya jam berapa. Kalau tahun lalu, kelasku rata-rata selesai jam setengah delapan atau jam delapan, paling lambat."
Dirga mengungkap hipotesanya. "Dosen biasanya kembali ke kantornya jam segitu. Mahasiswa kerja tugas biasanya ngumpul di hall buat cari wifi kampus. Orang-orang yang mengitari semua lorong di sekolah kalau bukan satpam ya cleaning service."
Aku menarik napas kaget lalu buru-buru menggali tasku. Aku ingat sesuatu. Dirga memerhatikanku dengan penasaran dan takjub aku menemukan semangatku kembali.
Aku tidak menemukan fotoku kemarin, tetapi hari ini di loker itu aku menemukan sebuah kertas terselip berbunyi, "I know what you did, Bitch. Enjoy your Karma".
"I know what you did, Bitch. Enjoy your Karma?" Dirga membaca kertas sticky notes yang kurentangkan di depannya.
"Aku menemukan itu di lokerku. Si penguntit itu ingin mengungkap dirinya padaku lewat itu."
Dirga syok, wajahnya menyampaikan, "apa yang sebenarnya sudah kamu perbuat pada orang ini, Nola?" tetapi dia menyampaikannya dengan, "Jadi, kamu tahu siapa dia?"
Febby orangnya, Dir. Dia orang yang berpapasan denganku saat Raka mengantarku pulang, dia orang yang menyelipkan kertas "Bitch" di lantai kamarku. Cuma satu orang yang pernah memanggilku "Bitch", hanya Febby.
Aku mengangguk. "Orang itu sejak awal nggak menyukaiku jadi kupikir masuk akal kalau dia pelakunya, tapi aku nggak punya bukti untuk menuduh. Jadi kemarin, aku dan Raka menyelinap mencari bukti foto di rumah orang itu. Sayangnya, kami nggak mendapat apa-apa."
Dirga melanjutkan hipotesa, "Dia menemukan kalau kalian mengobrak-abrik rumahnya untuk mencari bukti, marah, lalu balas dendam dengan menempelkan foto itu di lokermu. Kita dapat pelaku dan motifnya! Kita harus mendamprat orang itu sekarang!" Dirga memindahkan persneling dari parkir menuju mode memundurkan mobil. "Di mana rumahnya?"
"Di Apartement Garden City, nomor kamar 510."
Mobil dihentikan secara mendadak. Perpindahan gas ke rem mati itu membuat badanku terhentak ke depan, membuat tali seat belt menekan dadaku. Aku melihat ke kaca belakang. Tidak ada mobil atau dinding yang hampir kami tabrak.
"Kenapa berhenti?" tanyaku pada Dirga yang termenung di kursinya, tangannya masih memegang setir. "Oh. Nomor kamar itu terdengar familiar untukmu?"
Dia menoleh ke arahku dengan kaget. Tetapi dia tetap awas, tidak langsung mengatakan apa pikirannya, dia menungguku bicara untuk tahu sebanyak apa yang aku tahu.
"Aku menerima pesanmu. I'm sorry you have to go throught that. I really am. Tapi aku nggak bisa melakukan lebih dari ini. Ini nggak adil buat Nola. Akhir-akhir hubungan kami jadi lebih baik setelah masalah pelik sebelumnya. Aku nggak mau ini menganggu hubungan kami." Itu semua perkataannya waktu itu. Sampai sekarang pun kata-kata "ini nggak adil buat Nola" masih mengangguku.
"Febby adalah penyebar fotoku dan Raka. Dia orang yang menerorku."
Dirga menatapku dengan kedua kerut di dahinya seolah aku adalah serigala yang suka berbohong. "Itu nggak mungkin."
"Kenapa nggak mungkin? Karena dia mengatakan kalau dia nggak melakukannya padamu?"
"Aku belum bisa memastikan, tapi dia nggak ada di kota kemarin."
"Kamu menghubunginya?" Aku mengeluarkan napas lelah, bergumam, "Nggak heran, kamu ada di sana kemarin."
"Di mana?"
"Di rumah Febby. Aku mendengarmu teriak di depan pintu kamar Febby. Kamu bilang kamu menerima pesannya dan minta maaf nggak bisa membantu."
Raka benar. Aku terlalu takut untuk tahu kebenarannya, aku takut hubungan kami berubah jika saja Dirga memiliki sesuatu yang tidak boleh dengan Febby. Ketika mengatakan ini, lalu melihat perubahan wajah Dirga yang tadinya termenung kini berubah tegang saat aku menyebut "kamu berteriak di belakang pintu". Aku tahu kalau aku mengetahui sesuatu yang tidak boleh kuketahui.
"Sebenarnya ada apa dengan kalian? Aku masih nggak ngerti. Kamu bilang kalian nggak ada hubungan apa-apa, tapi kemarin kamu mendatangi apartemennya?"
"Kami memang nggak ada hubungan apa-apa." Dirga cepat menyanggah.
"Terus?"
"Kami nggak ada hubungan apa-apa. Aku datang kemarin cuma untuk mengecek keadaannya. Itu saja. Kami bahkan nggak komunikasi sama sekali sebelum itu. Sungguhan, ini bukan apa-apa."
Aku benar-benar ingin percaya kalau mereka bukan apa-apa. Namun sulit menghilangkan hipotesis buruk setelah mendapat satu kebohongan atau kebenaran yang ingin disembunyikan. Aku jadi memikirkan telah berapa kali dia bertemu Febby di belakangku? Kenapa dia menyembunyikan ini dariku kalau ini bukan apa-apa?
"Kamu mencemaskannya. Itu alasan kamu datang ke apartemen. Itu sangat bukan apa-apa, Dir."
Dirga buru-buru menjawab. "Dia menghubungiku. Katanya, dia punya masalah dan dia membutuhkanku."
"Masalah apa?"
Muka Dirga berubah jadi sedih. "Aku nggak bisa memberitahumu."
Aku masih tidak menyerah. "Katamu yang lalu kita harus saling jujur. Aku sudah melakukannya untuk masalah Raka. Gimana caranya aku bisa percaya kalau ada yang kamu tutupi?"
"Dia punya masalah keluarga yang rumit. Aku nggak yakin itu tepat menceritakannya."
Masalah keluarga yang rumit, aku tahu jenis kebohongan itu. Febby pasti mengatakan pada Dirga kalau dia punya masalah keluarga seperti orang tua mau bercerai atau apalah, untuk mendapat simpati lagi dari Dirga. Karena tidak bisa mendapat hatinya, mari ambil simpati, dan buat pasangan ini bertengkar. Itu strategi yang mungkin untuk seorang Febby, toh dia sudah melakukannya dengan menumpuk kesalahpahaman antara aku dan Dirga selama hampir dua tahun. Bohong satu dua kali lagi bukan hal sulit untuknya.
"Aku mau kamu jujur, Dir." Aku menghadapkan badanku pada Dirga. "Aku atau Febby? Yang mana lebih penting buat kamu?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Kamu tahu aku pasti memilihmu. Hubungan kami cuma masa lalu, sekarang kami cuma berteman."
"Lalu kenapa dia selalu ada di antara kita?"
Aku menghentikan Dirga yang hendak menyangkal. "'Kenapa kamu mengunjunginya sembunyi-sembunyi di belakangku? Kenapa kamu masih melindunginya setelah tahu apa yang dia perbuat pada kita? Apa yang sebenarnya kalian rahasiakan?' Aku berpura-pura masa bodoh tiap kali aku memikirkannya karena aku takut sekalinya aku bertanya jawabanmu nggak sesuai keinginanku. Sekarang, aku sudah capek, Dir."
"Nggak ada sesuatu yang perlu kamu pikirkan. Kamu tahu aku. Aku memang nggak bisa bilang alasan tentang Febby itu sekarang, tapi setelah dia menyelesaikan masalahnya, kamu pasti jadi orang pertama yang tahu." Dirga memegang tanganku. "Kamu bisa mempercayaiku."
Aku suka tiap kali melihat tanganku dalam genggamannya Dirga. Tanganku tampak mungil dalam genggamannya, dan tangannya selalu hangat. Perasaanku selalu menjadi sedikit lebih tenang.
Ini Dirga yang sama dengan Dirga yang kucintai selama ini. Sebenarnya apa yang kuinginkan? Apa aku ingin menghancurkan hubungan kami hanya karena keraguanku padanya ketika dia berkali-kali mengatakan mereka tidak ada hubungan apa-apa? Aku hanya sudah muak untuk terus menerus mengerti tanpa mendapat alasan apa-apa. Kemudian, sesuatu terpikirkan olehku. "Di malam ketika aku memergoki chatting-mu dengan Febby. Apa alasan kamu datang ke rumahku setelah menemuinya?"
Genggaman tangan Dirga melonggar. Tadinya dia menatap mataku dengan yakin sekarang pandangnya kosong seperti sedang mengingat masa lalu yang tidak menyenangkan. "Kenapa itu penting?" tanyanya.
Kalau kuingat kembali, ketika Dirga datang membawa dua bungkus bubur itu, Dirga tidak memakai sendal jepit, dia memakai sneakers hitam-putih yang selalu ia pakai ketika keluar rumah. Artinya dia baru saja dari suatu tempat, yaitu pergi terminal bersama Febby, lalu sejam kemudian dia buru-buru ke tempatku. Dia bilang dia datang karena merindukanku, tetapi bisa saja itu perasaan bersalah karena ....
"Dia mengatakan sesuatu yang tidak boleh, kan?" tanyaku, Dirga terdiam. "Apa dia menginginkanmu kembali?"
Dirga tidak langsung menjawab. "Ya."
Satu kata itu telah menjawab semuanya. Sejak awal seharusnya aku tahu tidak seharusnya menjalin hubungan dengan seseorang yang belum kelar masa lalunya. Febby adalah masa lalu Dirga dan meskipun dia terus menyangkal, aku tahu selamanya dia selalu peduli. Sungguh bodoh aku selalu memikirkan kalau aku hanya satu-satunya yang dicintainya.
Aku melepaskan genggamannya. "Pulanglah sendiri." Kemudian aku turun dari mobilnya dan berjalan keluar parkiran.
Pada awalnya, kupikir hubungan kami akan berjalan mudah. Kami bersahabat dan sama-sama saling memendam rasa selama bertahun-tahun. Aku merasa beruntung suratku secara tidak sengaja tersampaikan kepadanya, membuat kami sama-sama jujur akan perasaan masing-masing. Sekarang setelah menjalani hubungan kami, aku tidak merasa terlalu beruntung. Aku kehilangan sahabat dan orang yang kucintai hanya dalam beberapa bulan.
Apa seharusnya sejak awal kami tidak mencoba memulai hubungan ini? Dengan begitu, kami selamanya tidak saling tahu perasaan masing-masing, hanya berandai "apa yang terjadi kalau kami pacaran?", lalu hanya meninggalkan pertanyaan itu sebagai impian yang tidak perlu terwujud. Apa itu lebih baik?
Satu hal yang pasti adalah pada saat ini aku tidak bahagia.
****
Terima kasih sudah membaca!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top