35. Sneak Into Febby's Apartment

- Happy Reading! -

****

"Jadi ini yang akan kita lakukan. Pertama, kita akan menyelinap masuk ke kamar apartemen Febby. Karena apartemennya memakai kunci kartu, disediakan sebanyak tiga, dan duanya milik Febby. Kita harus meminjam kunci kartu di resepsionis. Di situlah peranmu sebagai umpan."

"Umpan?"

"Kamu harus merayu resepsionis itu untuk membiarkanmu masuk ke apartemen Febby."

Denting bunyi lift terbuka bergema sepanjang lorong. Percakapan dua orang melebur sesaat setelah lift terbuka. Aku bisa mendengar suara kikikan geli wanita lalu omongan, "Jadi, temanmu menyamar jadi tante-tante agar nggak dipukul pas keluar bar?" Lalu sahutan cowok yang kukenal menjawab, "Ya! Dan kamu tahu dia keluar pakai baju apa? Dress macan! Cuma itu yang bisa dia dapatkan setelah membujuk semua cewek di bar untuk bertukar baju!"

Suara pria itu suara Raka Rasyad. Dia berhasil membujuk resepsionis membukakannya pintu kamar Febby.

Aku bersembunyi di belakang pilar dinding saat Raka dan resepsionis wanita itu keluar dari lift dan berjalan menuju kamar 510.

"Jadi, kamu ketemu Febby di mana?" tanya resepsionis itu. "Di bar? Orang-orang masih cari minum di bar, kan?"

"Di acara makan-makan kampus. Dia salah satu anggota klub dan sifatnya menarik. Aku mencoba menggodanya dengan bir, tapi dia menolak tegas."

"Lalu, suatu hari kamu mencumbunya dan keesokan harinya dompetmu ketinggalan di apartemennya. Kamu terlalu canggung buat ambil jadi kamu minta tolong resepsionis?" Resepsionis mengeluarkan kartunya saat berada di depan pintu kamar 510 lalu menempelkannya di sensor kartu.

"Itulah yang terjadi. Satu hari kamu ditolak, satu hari kamu ONS sama dia."

Aku memutar bola mata. Skenario itu terlalu palsu. Seharusnya Raka ketinggalan dompet di apartemen Febby karena mereka kerja kelompok, bukan ketinggalan dompet setelah bercumbu. Raka selalu saja mengambil skenario ekstrem dan penuh skandal. Syukurlah resepsionis itu percaya.

Bunyi tiga nada tanda pintu dibuka terdengar. Pintu dibuka.

"Silakan masuk cari dompet. Aku akan menunggumu di luar." Resepsionis wanita itu berdiri di samping pintu, mempersilakan Raka masuk.

Itu bukan bagian dari rencana kami. Rencananya, resepsionis itu membiarkan Raka mencari dompetnya, lalu setelah dia pergi, aku menyelinap masuk.

Raka bertolak pinggang. "Kamu ..., nggak percaya aku?"

"Bukan yang seperti itu. Ini cuma ketentuan apartemen ini, untuk meminimalisir potensi kehilangan barang tamu atau kartu hotel, aku harus mengikutimu sampai urusanmu selesai. Kartu apartemen ini juga cuma ada tiga."

"Mau tahu ketentuanku?"

Raka mendekati resepsionis itu. Tubuh resepsionis itu meremang. Dari balik dinding tempatku berdiri, mereka seperti hampir berciuman, tetapi tubuh Raka sedikit membelakangi cewek itu, jadi kukira dia sedang berbisik. Suara Raka cukup kecil tapi aku bisa sedikit menangkapnya dari tempatku.

"Ketentuanku adalah aku nggak akan bisa berhubungan dengan orang yang nggak percaya aku, meskipun itu wanita cantik sekalipun." Raka menyisiri rambut resepsionis itu dengan lembut sebelum menyelipkan seberkas ke belakang telinganya. "Kamu tahu, aku free sebentar malam. Kalau kamu juga bebas, aku ingin mengundangmu ke apartemenku. Apartemenku nggak jauh dari sini."

Resepsionis itu menelan ludah gugup. "Kamu tinggal di sini."

"Aku tahu," Raka mengedip, "so you can anytime make a quick escape."

Resepsionis wanita itu menyetujui ketentuan Raka. Ia meninggalkan Raka kartu, lalu menyuruh Raka mengembalikannya saat ia selesai shift.
"Aku tahu bar dekat sini yang punya minuman enak. Kita harus mengunjunginya," kata resepsionis itu dengan desah menggoda sebelum ia pergi. Tanpa desahan itu, semua orang apalagi Raka juga tahu maksud ajakan itu apa.

"Aku hampir lupa kalau mulutmu sangat manis kepada wanita." Aku masuk ke apartemen ketika melihat resepsionis itu masuk ke dalam lift. "Kamu nggak pernah bersikap manis sama aku."

"Semua cowok akan bersikap manis kalau punya maksud sesuatu."

"Jadi, kamu akan pergi menemui dia setelah ini?"

Raka menutup pintu. "Iya, untuk mengembalikan kartu, nggak untuk ajakannya! Aku sudah merasa seperti gigolo karena harus merayu cewek yang lebih tua tujuh tahun dariku ke apartemenku untuk bisa masuk ke sini. Aku nggak butuh menemaninya tidur karena satu foto paparazzi!"

"Kupikir kamu menyukainya. Dia cantik."

"Aku juga cantik kali kalau dipakaikan wig. Kita mau cari foto itu atau ngobrol aja nih?"

Kami berpencar mengelilingi kamarnya Febby. Kamarnya Febby lebih luas dari apartemenku. Dia punya satu bedroom yang terpisah dengan ruang tengah, ruang dapur dibatasi meja bar yang multifungsi sebagai meja makan. Perabotan masaknya lengkap; oven, kulkas dua pintu, air fryer, wajan dengan berbagai ukuran—kurasa dia suka masak. Ketika masuk kamar, ada queen bed size, bingkai foto menghiasi dinding, foto keluarga di atas meja belajar, dan lemari bukunya dipadati buku-buku. Sastra klasik, Anne wih Green Gables, Harry Potter—menyebalkan sekali dia punya selera bagus. Rumahnya pun jauh lebih bagus dan rapi dari bayanganku.

"Jadi sebenarnya gimana rencanamu? Kamu mau mencari foto itu tergeletak di suatu tempat di kamar ini?" Raka memasuki kamar.

"Nggak. File-nya digital. Karena dia mengirim foto itu lewat komputer warnet, foto itu pasti enggak ada di ponsel meski bisa jadi diambil pakai ponsel. Dan dilihat dari video cctv warnet, dia nggak membawa flashdisk atau kabel USB, kuduga dia mengirim file gambar itu lewat drive goggle atau e-mail-nya."

Kunyalakan laptopnya di atas meja belajar. Dia tidak memasang password. Lucky us!

"Woah." Raka mengambil salah satu bingkai foto di samping tempat tidur. "Ini yang namanya Febby? Wahh, lihat proporsi badannya. Berarti cowok yang beruntung sekali, ya kemarin?"

"Ingat siapa musuh kita, Rak. Jangan terkecoh wajah cantik." Aku memperingatkan.

"Dia musuhmu."

"Kita rekan setim." Masuk ke email google-nya. Loh, dia sudah sign in? Nggak seperti wajah galaknya pengendalian akses pribadi punya Febby ternyata sangat longgar.

"Dalam kasus foto, aku rekanmu. Dalam kasus pertemanan, aku nggak yakin setuju dengan pemikiranmu."

"Pemikiran?"

Raka melipat tangannya di dada. "Kamu dan Dirga," jawabnya. "Aku tahu kalau kesalahanmu nggak jujur sama dia soal tempat tinggal dan kerja, kalian sudah akur, tapi aku masih nggak percaya dia."

"Kenapa?" Menurut tanggal Febby datang ke warnet, seharusnya pesan itu dikirim tanggal 10 sampai 12 bulan lalu. Aku sudah men-scroll kotak pesan terkirim sampai tanggal 8, tapi tidak ada yang mencurigakan selain kiriman file tugas. Tidak satu pun tentang foto itu.

"Dia diam-diam masih berhubungan dengan mantannya. Apa dia pernah menjelaskan mereka punya hubungan apa?"

"Dirga bilang nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Mereka cuma teman biasa."

Apa mungkin dia menghapus pesan terkirim? Tapi aku tidak tahu di mana foto itu disimpan. Tanganku buru-buru mencari sesuatu di laci dan tong sampah, siapa tahu akan mendapat bukti baru. Hanya ada karcis bekas, tisu, kertas-kertas, dan kapas muka bekas. Iuh.

"Kedengaran seperti alasan yang sangat bisa dipercaya." Raka berbicara sarkas, perlawanan yang biasa dia lakukan tiap kali kami membahas Dirga. Biasanya aku baik-baik saja, tetapi kali itu kemarahanku meletus cepat bak roket dilontarkan dari bumi.

Aku menoleh cepat pada Raka. "Kamu sendiri gimana? Kamu mengajak Olivia nonton pertandingan basket setelah dia pacaran dengan sahabatmu."

"Dia kebetulan ada di sana. Apa aku harus mengusirnya menonton pertandingan yang nyata-nyata ada di lapangan terbuka?"

"Dia bisa ada di sana, tapi aku yakin sekali dia nggak datang untuk menonton orang lain. Kamu harus melihat caranya melihatku." Aku ingin memasang gencatan senjata karena takut membuang waktu, tapi aku tidak bisa menelan ini. "Bukannya curiga gimana ya, tapi kurasa dia masih menyukaimu, dan kurasa kamu mungkin masih menyukainya juga. Apa kamu yakin benar-benar memojokkannya saat tanya soal foto papparazi itu?"

Raka berjalan mendekat, mimik wajahnya mengatakan yang barusan kukatakan itu sangat amat konyol. "Aku benar-benar memojokkannya. Aku menuduhnya orang yang obsesif dan nggak punya hati. Setelah memutuskanku dia masih cari kasus dengan semua cewek yang mendekat padaku, bahkan cewek yang sudah punya pacar sekalipun. Itu amat sangat memalukan saat ternyata aku salah."

Suara ketokan pintu samar-samar terdengar.

Raka meneruskan, "Setelah putus dengan Michael, dia memang mencoba balikan denganku, tapi kutolak dan itu saja. Dia hidup sebagai suster biara yang nggak pernah pacaran dengan cowok lain, lalu mendadak semua orang menuduhnya nggak bisa punya pacar karena belum move on dariku."

"Dia bisa saja mengatakan itu supaya bisa merebutmu kembali."

"Nggak semua perempuan licik." Raka mengoreksi. "Nggak, Olivia memang licik, tapi aku kenal dia. Yang nggak bisa aku kenali itu kamu. Kamu memojokkan semua orang, menuduh mereka melakukan ini dan itu ketika yang kamu cuma punya dugaan. Kamu nggak biasanya mencurigai orang tanpa bukti."

"Kita nggak tahu kapan pengirim foto itu akan meneror kita lagi. Sebelum dia bergerak, kita harus lenyapkan buktinya." Setelah foto itu, kertas berisi hujatan diselip di pintu kamarku, aku khawatir tindakan berikutnya makin buruk.

"Kita bisa menculik Febby dan menginterogasi dia seperti orang normal, tapi kamu memilih menyelinap ke kamarnya. Coba katakan, apa kamu dapat sesuatu di sini?"

"Belum, tapi aku yakin ada di sini. Lagipula, kita nggak bisa menginterogasi Febby. Dia wanita licik, dia pasti nggak mengaku. Setelah kita interogasi, menurutmu apa yang akan dia lakukan? Dia akan menyebar foto kita karena dia pikir kita sudah mendekati kebenaran."

"Iya, itu bisa saja terjadi. Tapi kamu mau tahu teoriku?" Raka berdiri di samping kursiku. "Kurasa kamu sedang berusaha menghindari kenyataan. Kamu mengulur-ulur waktu dengan kasus ini, ingin menuduh seseorang atas apa yang terjadi padamu sedangkan kamu nggak mau menghadapi masalah nyata yang ada di depanmu."

"Masalah nyata?"

"Aku tahu kamu juga curiga pada Dirga kalau dia menyembunyikan sesuatu, karena itu kamu ada di sini, di kamarnya Febby untuk mencarinya."

Aku mingkem, tidak bisa menyanggah ucapannya. Niatku memang tidak murni untuk mendapat foto kami.

Raka berhenti sejenak. "Aku juga sadar sejak ciuman yang hampir terjadi itu, kamu jadi aneh. Aku tahu kamu merasakan sesuatu. Because I do too."

Suara bel bergema. Kira-kira dari suara agak teredamnya berasal dari pintu utama. Aku dan Raka berpandangan, lalu cepat-cepat berlari ke pintu depan.

"Bukan Febby," cetus Raka.

Tentu saja bukan Febby, kalau Febby dia pasti langsung masuk dan tidak membunyikan bel.

Wajah cowok di peep-hole itu terhalang kepalanya saat ia menempelkan telinga ke pintu. Ketika dia mengangkat wajahnya, aku bisa melihat pemilik bulu mata lentik dengan bentuk mata berujung tajam. Cowok berkacamata yang selalu suka memakai hoddie biru itu berdiri di luar pintu kamar Febby.

"Dirga!" Raka menoleh dengan mata membelalak padaku. Seolah-olah kami tidak melihat orang yang sama saja.

Jadwal kelas sorenya Dirga sepertinya berakhir lebih cepat karena dia ada di sini sebelum jam enam.

"Febby. Kamu di dalam?" Dirga mengetuk pintu lagi. "Kalau kamu nggak bisa buka pintu, kita bisa bicara di sini saja."

Aku dan Raka merapat ke pintu, berebutan mengintip di peep-hole.

"Dia datang ke sini mencari Febby saat kamu, si pacarnya, ada di sini. This is so messed up!" kata Raka girang seperti tante penggosip mendapat gosip sip terpanas sekampung. Ia kembali mengintip lewat peep-hole.

"Ssst!" desisku.

"Aku menerima pesanmu. I'm sorry you have to go throught that. I really am. Tapi aku nggak bisa melakukan lebih dari ini. Nola nggak akan suka. Akhir-akhir ini hubungan kami jadi lebih baik setelah masalah pelik sebelumnya. Aku nggak mau ini menganggu hubungan kami."

Dirga masih berhubungan dengan Febby setelah kami hampir putus.

"Maaf, aku nggak ada pada saat mendesak. Aku bukan orang yang baik. Aku benar-benar berharap mengulang waktu dan menghalangimu pergi ke terminal sejak awal. Atau setidaknya ada saat kejadian itu." Dirga terdiam sejenak, tangannya berada di pintu. "Hubungi aku kalau kamu sudah lebih baik. "

Dirga mundur setelah berpamitan, lalu sosoknya menghilang dari peep-hole bersama suara derap sepatunya menjauh. Aku jatuh berjongkok di lantai, kurasakan diriku bisa jatuh lebih dalam dari karpet lantai ini sekarang.

"Kamu nggak apa-apa?" Raka mengamatiku dengan cemas. Syok aku mendadak jatuh.

Seharusnya aku merasakan sesuatu, tetapi aku tidak bisa mengartikan apa yang kurasakan. Itu seperti masuk ke rumahmu lalu mendapati seluruh perabotmu berbeda, foto keluarga di tangga wajah orang-orang di dalamnya berbeda, sama seperti terjebak di dunia lain atau terlempar ke metaverse. Seolah apa yang kukenali semuanya berubah asing.

Lalu di situlah aku bingung dengan eksistensi keberadaan tempatku berada, karena versi dunia keberadaanku ini bukan dunia yang kuinginkan kupijak.

Jadi, Dirga dan Febby masih berhubungan ketika dia berpacaran denganku.

Sama seperti kata Raka, this is so messed up.

****

Terima kasih sudah menunggu update-an cerita ini!
Jangan lupa vote, komen, dan share agar cerita ini makin ramai
Terima kasih sudah membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top