34. It All Leads to Her

- Happy Reading -

****

Dirga memiliki kelas pukul setengah satu siang. Jadi, setelah kami bersantap mi kwetiau yang sudah dingin karena kami kebanyakan mengobrol, aku mengantarnya keluar dari apartemen.

Ketahuilah, badanku masih hangat dan aku masih mabuk kepayang setelah ciuman itu dan setelah pernyataan cinta yang sangat manisnya. Tetapi, aku memiliki satu hal yang menganggu pikiranku meski aku terus menekannya, sesuatu semengganggu memiliki lendir menggantung di tenggorokanmu setelah minum obat batuk rasa mint.

Kami berhenti di depan pintu yang terbuka. Dirga berdiri di luar pintu. Aku di dalam. Tangan kami masih saling menggenggam. Ketika dia berputar agar kami berdiri berhadapan, genggamannya merenggang, tetapi dia mempertahankan ujung-ujung jari kami saling berkaitan.

Bibirnya mengerucut, merajuk, tapi tetap berusaha tersenyum. "Aku benci kelas siang. Etika dan Pranata Pembangunan sebenarnya enggak penting-penting amat."

"Iya, kalau kamu mau jadi arsitek yang immoral." Aku melepas genggamanku, tetapi dia menahan tanganku. "Hei, kamu bisa terlambat kelas!"

"Aku akan pergi asal kamu bicara apa yang lagi kamu pikirkan."

"Hm?"

Dirga memerhatikanku. "Daritadi kamu kelihatan enggak fokus. Kamu bicara sama aku, tapi sepertinya kepalamu berada di tempat lain, juga sebagai tambahan kamu memakai sepatuku sekarang."

Aku menurunkan pandang ke kakiku. Oh benar, sneaker Adidas hitam-putih ada di kakiku. Dirga berdiri di lorong bertelanjang kaki. Mode autopilot badanku selalu tidak bisa diandalkan pada saat-saat penting.

"Apa yang menganggu pikiranmu?" Dirga menggoyangkan tanganku saat melihat aku menggigit bibir meragu. "C'mon. Say it!"

"Aku cuma bingung." Satu hal mengangguku itu akhirnya keluar juga dari otakku. "Kamu bilang aku satu-satunya yang kamu sukai, tapi sebenarnya enggak begitu."

Dirga mengangkat sebelah alisnya, berusaha memahami.

"Febby." Aku memberinya jawaban. "Kalian pernah pacaran. Aku enggak jealous. Hubungan yang kalian punya terjadi di masa lalu dan enggak ada alasan membawa itu ke hubungan sekarang. Aku tahu. Tapi, sejak menemukan pesan dari Febby yang kamu sembunyikan, itu memberi gangguan di kepalaku dan aku jadi ingin sedikit berhati-hati."

Dirga melepas napas halus. "Aku membuat kesalahan waktu itu."

"Kesalahan karena menyembunyikan pesannya Febby atau karena kamu baru sadar pacaran sama Febby itu kesalahan?" kataku, menuntut lebih. "Apa sih yang kamu sukai dari dia? Dia sangat egois."

Kalau bukan karena dia, suratku untuk Dirga terkirim dua tahun lebih awal, tidak ada kesalahpahaman perasaan yang membuat seseorang menangis, dan kami mungkin berpacaran dua tahun lebih awal?

"Febby memang egois, itu sifat bawaannya, tapi dia punya alasan mengapa akhirnya dia bersikap begitu."

Jawabannya masih meninggalkan banyak kepingan puzzle acak untukku, tetapi dia melirik arlojinya dan membaca waktu sudah jam setengah satu kurang sepuluh menit. "You have nothing to worry about her," dia berpesan begitu sebelum meluncur ke dalam lift turun. Tetapi bahkan sampai saat itu pun, aku tidak bisa tidak gelisah.

****

Pukul tiga sore aku hendak berangkat kampus untuk mengikuti kelas terakhirku hari itu. Ketika sedang mengemasi notebook dan buku ilustrasiku yang panjang ke dalam ransel seukuran kotak asbak, Raka mengirim pesan di ponselku: Aku sudah menyelidiki calon pelakunya. Bukan Olivia. Kita coba orang lain yang kamu pikirkan."

Waktu tempo hari Raka menyeret Olivia pergi, kupikir mereka ada sesuatu. Mereka pernah punya hubungan asmara dan berdasarkan pantauanku sendiri, hubungan Raka dengan para kaum hawa saat ini lebih kering dari Sahara. Ternyata, itu semua hanya ada dalam pikiranku.

Usai kelas, kami janjian bertemu di lapangan basket kampus. Lapangan itu memutari taman mahasiswa gedung universitas tehnik (tempat bagian desain, arsitektur, teknik sipil, otomotif, dkk). Aku mencari Raka di taman di antara mahasiswa kampus yang sedang asyik bercengkrama atau mengerjakan tugas kuliahnya di laptop atau hanya menonton pertandingan basket dadakan. Beberapa mahasiswa punya stamina sangat bagus hingga masih bisa olahraga di malam hari setelah menjalani perkuliahan yang melelahkan. Kutemukan Raka menjadi salah satu orang berlari di lapangan basket.

Raka berlari membawa bola dengan cepat. Punggungnya seperti memiliki sayap, mata tajam serupa elang, dan ketangkasan setara kucing. Dia menghindari lawan satu demi satu yang menghalaunya dari kiri dan kanan dengan mulus seperti sedang menari. Di area luar garis tiga poin, satu pemain datang meloncat merebut bola, tetapi Raka yang tangkas melempar bola ke ring lebih dulu. Bola melesat dengan cepat di udara lalu jatuh ke dalam ring.

Orang-orang bersorak merayakan lemparan three point. Raka melakukan selebrasi dengan berlari mengelilingi lapangan dan bertos kepalan tangan dengan teman-teman timnya.

Aku bertepuk tangan di pinggir lapangan. Tidak pernah meragukan gimana Raka selalu berhasil mencetak poin kriteria cowok populer, tetapi lemparan basketnya yang barusan amat cantik hingga terlalu mendiskreditkan untuk dikatakan mampu saja. Seseorang yang berdiri di sampingku berteriak, "That's my boy!" lalu bertepuk tangan keras sekali seolah tangannya adalah dua simbal.

Itu seorang pria dewasa yang rambutnya mulai beruban. Kira-kira usianya di umur 40 atau 50. Ketika kupikirkan betapa beragamnya demografi fansnya Raka, keganjilan lain kurasakan karena penampakan pria itu akrab di mataku. Penampilannya seperti model pria yang biasa memerankan peran ayah di iklan Diabetasol dengan senyum kebapakan yang manis dan badan tinggi tegap. Getarannya sama seperti saat pertama kali aku melihat Raka.

"Ayahnya Raka." Aku menarik napas kaget lalu membekap mulutku dengan tangan. Kata yang seharusnya kukatakan di otakku malah kusampaikan ke dunia nyata.

Pria itu menoleh ke arahku dengan cepat sekali—sangat cepat hingga kupikir lehernya akan sakit. Matanya melotot dan bibirnya sedikit terbuka, di situlah aku tahu dugaanku betul.

"Maaf sekali. Aku nggak berniat memanggil dengan nggak sopan, aku cuma kaget karena bapak mirip sekali temanku."

Mungkin karena mendengar kata "teman"-ku, pertahanannya melunak. Dia mengulas senyum tulus layaknya seorang ayah yang bangga anaknya punya teman.

"Nggak apa-apa. Aku mengerti. Banyak yang mengatakan kami mirip." Dia memperkenalkan diri. "Aku memang ayahnya Raka. Kamu tidak salah."

Saat dia tersenyum matanya menyipit seperti bulan sabit persis Raka saat tersenyum, lesung pipit pipinya juga mirip. Jadi begini rasanya melihat hasil asli dan fotocopy.

"Jadi, kamu pacarnya Raka?"

Aku kelabakan. "Nggak. Kami cuma teman." Mantan teman kamar, lebih tepatnya.

"Aku pernah melihat kalian di kampus waktu pulang setelah mengajar kelas. Kalian kelihatan akrab. Kamu tahu, Raka akrab dengan banyak orang, tapi cuma beberapa yang dia temani pulang kampus."

"Kami nggak seakrab itu." Satu-satunya alasan dia menemaniku pulang kampus, itu karena rumah kami searah. Itu pun hanya dua kali di awal kami tinggal serumah, lalu Raka kembali pulang bersama teman-teman kerennya.

Ayahnya meragukanku. "Tidak banyak orang yang tahu aku. Orang tahunya ayahnya Raka pemilik perusahaan minyak atau pengacara terkenal yang suka berpergian ke luar negeri. Bukan orang yang mendadak muncul di kampus dan berpakaian dosen seperti ini."

"Bapak muncul di satu percakapan."

"Kutebak kamu juga tahu kondisi keluarga kami."

Ucapan itu meninggalkan hening mematikan pada percakapan kami. Karena sejujurnya aku tahu. Aku tahu Raka kabur dari rumah karena tidak tahan tinggal dengan ayahnya yang penggila wanita. Aku juga tahu ayah dan ibunya Raka cerai karena itu. Aku juga tahu ibunya Raka telah menikah dan memulai keluarga baru yang bahagia, hingga Raka tidak sanggup menghancurkan kebahagiaan ibunya dengan kedatangannya kembali.

Hening yang terjadi adalah saat-saat aku menyesali apa yang telah kuketahui.

Ayahnya Raka melihat reaksiku, tidak mundur atau menghindar, reaksinya sangat tenang seperti sudah menduga aku tahu.

"Beberapa orang melakukan kesalahan dan bisa memperbaiki, yang lainnya menumpuk banyak kesalahan hingga terlalu terlambat untuk memperbaiki. Ketika enggak bisa memperbaiki orang cenderung menyesal." Dia menarik napas yang sendu kepada lapangan. "Aku cuma bisa melihatnya sejauh ini. Cuma bisa melihatnya." Raka berlari membawa bola, sekumpulan orang mengikutinya lari dan memojokkan Raka saat berhasil mengepungnya di pinggir lapangan. "Apa dia hidup dengan baik?" tanya ayahnya Raka.

Raka melirik kiri-kanan mengawasi bak elang, lalu memantulkan bola ke celah kaki orang di kanannya. Bola diterima rekan setim Raka yang berdiri di belakang kumpulan tiga orang itu lalu berlari ke ring dan meloncat melakukan lay up. Sorakan kedua kembali terjadi, tetapi tidak semarak yang pertama.

"Iya. Dia cukup kuat," jawabku.

Ayahnya Raka mengulas senyum lega. "Senang mengetahuinya baik-baik saja." Namun, wajahnya tertunduk murung seolah ia memikirkan hal yang tidak mungkin ia katakan.

Raka membenci ayahnya. Semua orang tahu itu. Aku pun berada di sisi Raka setelah mendengar cerita Raka. Ayahnya layak mendapat semua penyesalan atas perbuatan yang ia lakukan pada Raka dan keluarganya. Tetapi mendengarnya memperhatikan Raka dari jauh, mencemaskan anaknya, dan melihatnya tersenyum lega hanya karena mendengar kabar anaknya baik-baik saja. Itu membuatku sadar bahwa semua orang tua, mereka tidak akan bisa tidak peduli pada anaknya meskipun merekalah alasan anaknya tidak berbahagia.

Sumpritan peluit berbunyi. Permainan selesai dengan tim Raka sebagai pemenangnya. Ayahnya Raka melihat arlojinya, dia mengatakan itu sudah waktu baginya ke kantor. Raka juga pasti tidak mau melihatnya.

Sebelum pergi, dia menuliskan nomornya dalam secarik kertas. Dia meminta untuk menghubunginya bila Raka mengalami kesulitan.

Raka berlari ke pinggir lapangan lalu menyambar botol air dan handuk yang diserahkan seseorang di kursi pinggir lapangan. Mereka berbincang tentang sesuatu, yang sepertinya persoalan teknis. Ketika aku turun ke pinggir lapangan dan menyapa mereka, aku menyadari sosok seseorang berhidung tinggi dan kulit putih mulus itu adalah Olivia Amora.

Raka yang pertama melihatku. Dia melebarkan tangannya menyambutku, terkejut. "Hei. Aku enggak tahu kamu sudah datang." Handuk masih bertengger di bahunya dan kaosnya basah dengan keringat. "Kamu menikmati permainanku?"

"Yup." Kumasukkan kedua tanganku di saku, lalu melirik Olivia yang pura-pura minum jus hijau sehat di botol minum 1,5 liternya. "Apa kita bisa bicara di tempat lebih privat?" bisikku.

Olivia masih minum, tetapi matanya seperti mengintai kami. Mereka berdua di sini itu interaksi yang sedikit aneh, tapi ini bukan saat yang tepat mempersoalkannya.

Aku menurunkan suaraku. "Aku rasa aku tahu pengirim foto itu siapa. Itu Febby. Dia membenciku."

Alis Raka terangkat tinggi-tinggi. "Kamu yakin?"

"Ya. Aku sudah memikirkan cara mengambil foto itu kembali tapi aku butuh bantuanmu."

****

Terima kasih sudah membaca dan sampai jumpa minggu depan 🥰

Oh iya, aku berencana buat cerita baru di sini tentang kriminal/adventure tokohnya anak SMA. Kalau aku jadi buat, apa kalian berminat baca cerita seperti itu? Tulis pendapat kalian di sini kalau berkenan 😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top