33. Talk The Talk (II)

Happy Reading

****

Aku tidak bisa tidak menjadi cemas saat mendengar nada urgensi dalam suara Dirga. "Kita harus bicara," katanya. Aku tidak yakin hal yang ingin dia bicarakan ingin kudengar.

Naluriku berkata yang ingin disampaikannya adalah kabar buruk.

"Tentang apa? Kita bisa masuk ke dalam untuk membicarakannya. Kubuatkan teh. Kamu mau teh hijau?" Atau kita bisa minum teh apa saja lalu menunda membicarakan ini besok.

Kurasa kalau menunda sehari aku bisa lebih mempersiapkan diri. Aku bisa menangis semalaman untuk menghabiskan jatah tangisku sebulan dan jogging di keesokan pagi untuk mempersiapkan fisik. Di saat itu, mental dan fisikku lebih siap digempur.

Dirga menggeleng. "Aku mau kita bicara sekarang. Cuma butuh waktu beberapa menit. Ini tentang apa yang kita bicarakan kemarin."

Aku bisa merasakan dadaku mengempis seperti ada yang menekannya, terutama saat Dirga berjalan mendekat. Kemudian ..., huh?

Topi yang tadinya menutupi wajahnya sedikit terangkat saat jarak kami dekat. Anak-anak rambutnya mengintip dibalik topi, menutupi sedikit dahinya. Dari jarak itu juga aku bisa melihat matanya yang berkantung, dagu yang ditumbuhi bulu halus seolah lupa dicukur, dan bagaimana tatapannya melunak. Tidak lagi sedingin es atau datar. Dia tampak kacau. Apa yang terjadi padanya?

"Aku benci bagaimana pembicaraan kita berakhir," katanya, matanya berkedut murung, meruntuhkan karakter Dirga yang selalu tenang yang kutahu. "Sure, kita punya perbedaan pandangan, tapi bukan berarti kita nggak bisa saling mendengarkan."

Dia tidak datang untuk memutuskanku, dia datang untuk mengusahakan sesuatu pada hubungan ini.

Aku mendorong bawah bibirku dan melumatnya untuk satu detik karena rasa haru. "Iya, aku juga berpikiran begitu." Matanya bercahaya saat mendengar jawabanku.

"Kenapa denganmu? Kenapa kamu nggak mau jujur kalau kamu punya masalah? Kamu tahu kalau kamu membicarakannya sama aku, aku pasti akan membantumu."

"Aku ingin sekali membicarakan masalahku, sungguh, tapi semuanya sedikit rumit setelah kamu putus dengan Febby, lalu persoalan surat cintaku, dan Raka." Raka kehilangan tempat tinggal karena aku merusak "tempat tinggalnya" itu penjelasan lengkapku sampai aku menangkap nama "Raka" memberi kedut tegang pada pipinya Dirga. Dirga masih membenci Raka. "Aku cuma ingin cepat menyelesaikan masalah tanpa perlu melibatkan siapa pun."

Dirga menahan diri menyanggah, dan melanjutkan, "Lalu setelah kita pacaran?"

"Aku takut hubungan kita hancur karena kesalahpahaman Raka tinggal di rumahku. Aku nggak mau itu membebanimu."

Alis Dirga menukik ke bawah seolah dia ingin mengatakan itu mustahil membebaninya.

"Ini ..., hubungan pertamaku dengan orang pertama yang kucintai. Aku ingin membuat segalanya sempurna. Telat kusadari perbuatanku itu yang menghancurkannya."

Kulihat di tanah siluet Dirga mendekatiku dan bayangan kami menyatu. Kurasakan tangannya mengusap rambutku sebelum menyelipkan seberkas rambutku ke belakang telinga.

"Bodoh," cetusnya. "Kamu kira kamu saja yang menjalani hubungan ini, kenapa kamu berpikir untuk mempertahankannya sendirian?" Dirga membungkuk agar mata kami setara. "Aku nggak pacaran sama kamu karena menyukaimu saja, aku pacaran karena ingin menjagamu. Kamu seharusnya memanfaatkan niatku itu dan bersandarlah lebih banyak."

Dirga benar-benar bersungguh-sungguh mengatakan itu, aku tahu, namun kebulatan tekadnya sangat menawan sampai-sampai terdengar lucu. Dia keliru menyangka aku mengiranya berbohong.

"Aku sungguh-sungguh," katanya tersinggung. "Aku ingin kamu bersandar sama aku. Sama seperti Dirga yang kamu telepon saat kamu menabrak mobil orang. Aku ingin menjadi orang yang seperti itu untuk kamu."

Aku tersenyum haru. "Kamu tahu kamu selalu menjadi orang itu buatku."

"Sesuaikan ucapanmu dan tindakanmu. Kamu mencari cowok lain saat kena masalah. Itu menyebalkan." Tatapannya melekat padaku, ketika dia berjalan mendekat aku mendongak. "Aku yang seharusnya lebih tahu tentangmu karena aku pacarmu."

Aku menggandeng tangannya gemas karena dia cemburu. Sangat jarang melihatnya begitu. Dirga melepaskan tangannya, berkilah belum siap dekat denganku karena dia masih marah padaku jadi dia butuh ruangnya sendiri. Namun, aku kembali menggandeng tangannya, dia kembali mengeluh ingin sendiri tapi dia akhirnya membiarkan tanganku melingkari lengannya.

Menyukai seseorang adalah hal yang membahagiakan, namun itu tidak semembahagiakan saat kalian saling memiliki. Kurasa inilah perbedaan menjadi pasangan dan saat menyukai seseorang. Saat memiliki pasangan, kamu tahu akan selalu ada satu orang yang selalu berada di sampingmu. No matter what happen.

Aku berjinjit dan mencium pipi Dirga.

****

Setelah hari itu, aku keluar dari rumahnya Maya. Maya sedikit sedih karena kehilangan teman sekamarnya untuk kedua kalinya, namun semakin lama aku tinggal di rumah Tante Emily semakin mungkin orang kampung-keluargaku-tahu aku kehilangan tempat tinggal. Aku juga tidak bisa membebani Tante Emily secara finansial lebih lama lagi.

Apartemenku tetap dihuni oleh Raka. Ini bukan dasar kasihan, ini keputusan terbaik. Aku tidak yakin bisa membayar biaya sewa apartemen yang begitu besar, apalagi tanpa gaji part-time di restoran (aku dikeluarkan karena dianggap fisikku tidak cukup kuat kerja di sana, no hard feelings, aku pingsan saat bekerja). Jadi kupikir untuk sisa waktu sewa kuserahkan pada Raka saja yang memang butuh tempat tinggal, sementara aku mencari tempat tinggal lain yang lebih ramah di kantong.

"Raka boleh tinggal di apartemen itu asal kamu tinggal di apartemenku." Dirga melayangkan kompromi terakhir darinya setelah kalah debat tentang di mana aku harus tinggal. Aku tidak bisa pulang ke apartemen karena Dirga tidak suka aku tinggal sama Raka, sementara itu aku tidak mungkin mengusir Raka pergi.

Kulayangkan tatap pada barang-barangku yang bertumpuk-tumpuk di kursi belakang dan bagasi mobil, yang bisa saja hari ini terlantar karena kurelakan rumah untuk Raka. "Aku, tinggal di apartemenmu?" Aku butuh tempat tinggal, tapi sama sekali tidak membayangkan situasinya akan berubah begini.

"Iya."

Aku tersipu. "Jujur, itu akan menyenangkan, tapi aku nggak yakin papamu akan suka ide tinggal bersama kalau dia tahu aku pacarmu."

Sisi baiknya, kami akan jadi couple yang tinggal bersama! Aku juga bisa melihat Dirga saat bangun, dengan piyama beruang, dan muka bantalnya, dia pasti terlihat manis sekali.

"Kamu tinggal di apartemenku, bukan tinggal di rumah papaku dan aku tinggal," Dirga meralat. "Aku menyewa satu apartemen dekat kampus. Kukira itu bakal jadi hadiah yang bagus waktu kamu mencari tempat tinggal, tapi kemudian kamu bilang Mindy mau tinggal bersamamu. Kejutan itu jadi mubazir," keluhnya, tangannya santai memutar setir mobil.

Aku mempelototinya, selama beberapa detik aku tidak bergerak. Like WTF ....

"Kamu menyewa apartemen, selama beberapa bulan ini, buat tempatku tinggal?!"

"I know, itu sedikit berlebihan untuk seorang teman atau pacar satu bulan, tapi kamu membutuhkannya." Dirga merasa terpojok karena aku terus mempelototinya. "Aku cuma menyewanya 6 bulan saja kok, punya temanku, jadi harganya harga teman. You have nothing to worry."

Aku punya amat sangat banyak hal untuk dicemaskan, dan amat sangat banyak hal untuk disesalkan setelah mengetahui semua ini. Coba saja aku tahu ini semua dua bulan lebih cepat.

Akhirnya, dengan rasa sungkan yang amat sangat besar, barang-barang yang hampir terlantar di jalan, dan hati nurani untuk mencatat dalam hati hutang budi dan membayar pinjaman uang sewa ke Dirga suatu saat nanti—yang jumlah pastinya belum tahu karena Dirga menyembunyikannya, aku pun setuju pindah ke apartemennya Dirga untuk sementara waktu sampai aku mendapat tempat tinggal lain.

Apartemen itu berjarak lima belas menit jalan kaki dari kampus dan bila memakai mobilnya Dirga hanya memakan waktu lima menit. Ukuran studio, dalamnya bersih, dan perabotnya lengkap hingga kuyakini yang punya pasti orangnya perfeksionis. Microwave, piring makan, sampai semprot kaca saja tersedia. Meski begitu, awalnya aku sedikit cemas. Itu kali pertama aku tinggal sendirian.

"Siang!" Dirga membuka pintu apartemen, melepas sepatu, lalu berjalan dengan dua tangan penuh kantong plastik. "Kuharap kamu belum makan karena aku membeli kwetiau untuk makan siang." Dia menaruh kantong plastik di atas meja dapur.

Selama aku tinggal di apartemen, Dirga sering sekali mampir. Kadang-kadang, dia mampir setelah pulang dari kelas. Kadang-kadang, dia mampir untuk menghabiskan waktu sebelum pergantian kelas sore. Kadang-kadang juga hanya iseng datang untuk makan siang atau mengerjakan tugas kuliahnya. Kehadirannya membuatku sampai lupa aku tinggal sendirian. Mungkin saja, itu satu alasan mengapa dia selalu datang kemari, agar aku tidak merasa kesepian.

Aku memundurkan kursi ke meja makan. Dapur dan kamar tidur hanya dibatasi meja panjang yang berguna untuk menaruh pajangan, meja belajar, dan meja makan. "Apa ini base camp-mu? Kenapa kamu terus ke mari?"

Kusentuh gulungan kertas panjang dari tasnya yang tergeletak di lantai, isinya gambar rancangan bangunan. Ugh, perhitungannya membuatku ingin muntah.

"Ini waktunya makan siang," jawabnya dengan nada seperti, 'kenapa kamu bertanya pertanyaan seperti itu?' Dia membuka kwetiau dan plastik sumpit untukku dan untuknya.

Atau mungkin Dirga hanya suka datang kemari karena tidak mau rugi menikmati fasilitas ruang istirahat yang dia sudah bayar.

"Wahh ..., apa itu, bunga?"

Dirga melihat buku sketsa yang tengah kugambar. Gambar itu belum selesai. Inginnya gambar itu tentang orang-orang yang lagi kasmaran di taman bunga, lalu satu orang duduk merenungi nasib sebagai satu-satunya orang yang tidak punya pasangan.

"Ini taman," ralatku. "Ester memintaku cepat selesaikan sketsa kasar buat pameran, tapi sampai sekarang aku belum tahu harus menggambar apa."

Dirga melihat dari sisi lain. "Sekarang aku bisa lihat ini gambar taman. Apa tema pameranmu?"

"Tentang obsesi sosial terhadap cinta." Aku membuang napas berat. Semua gambarku tampak mainstream, kekanak-kanakkan, atau tidak punya makna mendalam. "Menurutmu, kenapa orang-orang terobsesi pada cinta?"

"No idea. Aku nggak pernah memikirkan banyak soal cinta sebelumnya."

"Sampai setelah ketemu aku?" Aku memancingnya, menahan senyum geli.

Dirga mengaduk kwetiaunya sambil memutar bola matanya malas meladeniku. Dia tidak membantah.

"Apa yang mengubah pandanganmu?"

"Kamu masih ingin memancing pujian? Kamu tahu alasannya."

Aku cekikikan, gemas melihatnya malu. "Aku serius pengen tahu, tauk! Apa yang mengubah pandanganmu dari yang nggak peduli soal cinta sampai menginginkan cinta?"

"Aku nggak akan membicarakannya."

"Huh! Ayolah!!!" Aku menarik lengan bajunya Dirga, menuntut. "Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya ada di pikiran seorang Dirga soal cinta."

Kami adu tatap selama beberapa detik selang dia berpikir, adu ketahanan mata dan adu mental. Dirga yang pertama mengedip. Dia kalah.

"Kamu benar-benar sesuatu, Nola. Seharusnya orang-orang tahu ada rubah licik dibalik wajah puppy-mu ini." Dirga menurunkan sumpit dan kwetiaunya.

Aku tersenyum bangga.

Dirga menghela napas. "Pernikahan orang tuaku nggak bahagia. Mamaku terlalu mencintai papaku sedangkan papaku nggak menyukainya padahal mereka menikah sampai bertahun-tahun, bahkan sampai mamaku meninggal. Kukira mencintai seseorang cuma perbuatan bodoh yang cuma membuat orang menderita. Cuma orang-orang bodoh yang terobsesi mendapatkannya cinta. But you prove me wrong."

Dirga menatapku. Kurasakan sensasi aneh di perutku seolah itu kali pertama kami bertatapan.

"I like you. Meskipun aku deny perasaan itu bertahun-tahun, memendamnya, perasaan itu masih tetap ada. Dan saat kamu bersama cowok lain, perasaan itu berubah jadi I want you to like me too." Dirga menyandarkan badannya di kursi. "Kemudian, saat tahu papaku juga mencintai mamaku selama ini, bahkan sampai hari ini pun dia belum melupakannya—dia menolak semua wanita yang mendekatinya, kuakui cinta itu beneran ada.

"Mungkin aku dulu bersikeras menolaknya karena ingin melampiaskan kesedihanku dan kemarahanku pada sesuatu atau seseorang setelah kehilangan Mama. Aku tahu, cinta itu nyata. Aku bisa merasakannya padamu," dia mengambil jeda, berpikir dua kali sebelum senyum kecil tercipta di wajahnya, "iya, itu cuma padamu. Sejak dulu selalu kamu."

Seharusnya pembicaraan ini ada untuk mempermalukan Dirga, namun seluruh kata-katanya seperti menggelitiki bulu ke seluruh badanku atau telingaku, atau menggelitiki jantungku. Atau ketiganya. Aku sangat malu juga sangat senang.

Dirga memejamkan matanya, tersiksa karena reaksiku. "Tolong katakan sesuatu. Ini akan semakin memalukan kalau kamu cuma diam."

"Itu perkataan yang sangat, sangat cringey, aku nggak percaya kamu sudah mengatakannya. Juga, sangat manis."

Aku menarik kerah baju Dirga, lalu mencium bibirnya. Sentuhan hangat menekan bibirku. Kami sudah melakukan ini beberapa kali, namun entah mengapa ciuman ini terasa seperti kali pertama. Aku sudah lama sekali kenal Dirga, sebagai teman lalu sebagai pacar, namun kali ini rasanya aku seperti mengenalinya lebih dalam lagi.

As if I can't love a guy more than this.

Saat bibir kami lepas, lalu dia memegang wajahku dan menciumku lebih dalam, aku merasakan ciuman itu di seluruh tubuhku.

****

Thank you for reading!
Jangan lupa untuk like, share, dan masukkan cerita ini di daftar pustakamu 🥰
See you in the next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top