31. Are We Broke Up?
Happy reading!
****
"Maya. Kamu lihat jas Tante di ruang cuci? Tante kemarin gantung di atas mesin."
"Itu kupinjam kemarin. Kugantung di kamar .... Wait! Tante jangan naik ke atas!"
Percakapan orang di lantai bawah merambat naik dari lantai ke kasur tempatku berada. Kepalaku pening, mataku berat dan kering karena belum tidur semalaman. Ketika kudengar bunyi langkah kaki dua orang menaiki tangga lalu melewati lorong, kepalaku tambah pening.
Langkah kaki mereka perlahan makin jelas saat mendekati pintuku. Bisik-bisikkan ikut terdengar. Tanpa membalik badan melihat pintu, aku tahu itu Maya dan Tante Emily. Kupejamkan mata dan menarik selimut sampai ke kepala, pura-pura tidur.
"Nola nggak bisa berangkat kampus." Kudengar Maya bicara.
"Why?"
"Erggh ..., dia ..., hm ..., sakit."
"Hah? Sakit apa?" Bunyi kenop pintu diputar terdengar memilukan di kamar tanpa penerangan ini. Lampu lorong memberi jejak cahaya lebar pada lantai. Itu pasti Tante Emily yang membuka pintu, ingin mengecek keadaanku.
"Tante!" teriak Maya.
Pintu berderit menutup bersama jejak cahaya pada lantai menghilang.
"Nggak sopan menutup pintu di depan muka orang tua, Maya. Tante harus ngecek Nola sakit apa."
"Nola nggak sakit. Semalam dia cuma ..., mengalami hal buruk."
"Hal buruk?" Tante Emily diam sejenak. "Apa itu ada hubungannya dengan temanmu datang mengantar Nola ke rumah kemarin malam? Dia diputus sama Dilan-Dilman itu, ya?
"Sst! Sst! Nola bisa dengar!" desis Maya kencang sekali. Belum tahu saja percakapan mereka diserap dengan aman oleh dinding. Seharusnya mereka tahu suara mereka tidak terlalu pelan untuk disebut bisik-bisik. "Belum jelas apa yang terjadi, tapi sepertinya mereka ada masalah."
Diskusi singkat terjadi di depan pintu, tentang haruskah aku dibangunkan atau tidak, sebelum kudengar langkah-langkah kaki menjauhi pintu lalu menghilang. Kamar kembali menjadi sunyi dan remang.
Benda kotak tipis menatapku dari nakas. Aku mengambilnya, lalu mengecek panggilan terbaru dan kotak pesan. Tidak ada balasan pesan satu pun dari Dirga. Aku penasaran apa dia masih marah padaku atau memang beginilah cara hubungan kami selesai. Kalau tahu begini cara hubungan kami selesai, aku pasti sangat menyesal pernah memulainya.
Ting!
Bunyi pesan masuk datang ke ponselku. Cepat-cepat aku mengeceknya. Bukan pesan dari Dirga, anehnya dari dia.
"Punya waktu sebentar siang?"
****
Aku dan Ester janjian ketemu di kantin gedung Ekonomi. Ester dan aku satu jurusan, dia senior satu tingkatku. Jadwal kelas kami tidak pernah sama jadi kami jarang sekali berpapasan di lorong apalagi ketemu berdua di luar jam klub seperti sekarang. Dari pesannya meminta ketemu, sepertinya dia punya sesuatu penting untuk dibicarakan. Pasti tentang siapa yang dia pilih untuk melakukan live painting performance, pikirku. Makanya itu membuatku tambah-tambah gugup.
"Aku memilih orang lain untuk pertunjukan," ucap Ester lugas seperti pembaca berita.
Emosi selalu tidak tampak pada diri Ester. Dia selalu kokoh bagaikan pohon. Andaikan saja aku bisa sedikit sepertinya, mungkin aku tidak akan banyak kecewa. Setelah kabar-kabar buruk kemarin-kemarin, aku benar-benar mengharapkan satu kabar baik saja. Tetapi sampai akhir pun hidupku konsisten tragedi.
"Siapa yang kamu pilih? Maira, ya? Gambarnya memang detail dan berkarakter."
"Baca saja pesan di grup kalau mau tahu siapa yang terpilih. Aku panggil kamu ke sini bukan untuk bahas itu."
Denting alat makan mengisi jeda waktu Ester bicara. Kantin hari ini lengang karena ini sudah lewat jam makan siang. Isinya hanya beberapa mahasiswa yang pulang kelas dan para penjaga warung yang sibuk mencuci alat makannya.
Ester menyatukan jarinya di atas meja seperti sedang berdoa. "Aku tertarik dengan konsep gambarmu. Tempo hari kuberikan tema 'masalah sosial' dan beberapa mengumpulkan ide-ide masalah yang cukup umum."
Apa ideku terlalu ribet makanya aku enggak terpilih?, itu yang ingin kutanyakan tapi tidak mau kegeeran. "Terus?" balasku.
"Menggambar di atas panggung itu harus praktis, sarat makna, dan harus berhasil memukau. Tidak sama halnya dengan gambar yang dipajang di galeri yang butuh dinikmati lebih lama untuk diresapi makna dan keindahannya. Keunikan cara pandang jadi hal yang dicari. Aku suka dengan ide gambarmu: obsesi masyarakat terhadap cinta. Itu terdengar pesimis tapi menarik."
"Ehm, tidak juga ...." Mewakili orang jomblo dan hampir jomblo, kedengarannya ide itu lebih seperti rasa dengki yang dikemas sebagai kritikan. Itu hanya terdengar miris.
"Kupikir itu akan jadi ide yang menarik untuk dipajang di dinding pameran utama."
Ester sedang mengaduk es tehnya, mukanya masih datar seperti papan wajan, sampai aku khawatir apa dia serius dengan ucapannya. "Pa-pameran utama?"
"Hm-mh. Itu kalau kamu mau dan kamu berhasil mengeksekusinya dengan baik."
Jantungku berdetak kencang, lidahku sampai kelu karena berita ini.
"A-aku mau!"
Aku tidak pernah merasa sebersemangat ini, seperti jiwa kreativitas yang sudah lama koma kembali mengaliri seluruh aliran tubuhku. Pameran utama sama seperti bintang utama acara suatu pertunjukan. Hanya gambar terbaik dari yang terbaik yang biasanya dipajang di sana. Meski ini dalam skala universitas, sungguh terhormat bila gambarmu dipajang di sana.
"Aku sudah dengar mentahannya, kalau bisa kamu segera kirimkan sketsa kasar dan konsep gambarmu lebih lengkap supaya bisa aku evaluasi."
"Iya, segera kukerjakan!" teriakku semangat empat lima.
Ester menutup kupingnya. "Tidak usah pakai toak juga jawabnya. Kita duduk semeja kok."
"Baik ...," kataku menuruti.
Ini akan jadi proyek terbesar dan paling bermakna yang pernah kukerjakan. Kuharap aku bisa memberitahu seseorang tentang kabar baik ini.
Ester masih tidak tampak puas. "Kamu beneran bisa ngerjain ide ini, kan? Sedikit aneh kamu mengangkat ide obsesi pada cinta saat kamu sendiri berpacaran."
Aku menanggapinya dengan tawa garing. Andai saja dia tahu kabar hubunganku.
****
Kayaknya ini udah jadi kali kesekianku buat minta maaf keterlambatan update.
Ntah napa susah bet nyari kesempatan buat nyelesain cerita ini. Maaf, ya 🙏
Terima kasih atas perhatian dan cinta teman-teman terhadap karya ini. Aku terharu banyak yang nanyain kesehatan penulis dan kabar tulisan ini 😢
Aku benar-benar enggak nyangka sih masih ada yang masih ikutin meski updateannya gaje banget. Makasih, makasih, makasih bangettttt
(Luv you all so muach 🥰)
Aku janji bakal lebih rajin nulis.
Kita selesain cerita ini sama-sama.
Terima kasih sudah membaca ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top