30. After That

Happy Reading !

****

Maya mengetuk jendela kamar pada tengah malam, aku membukakannya. Dia baru saja datang setelah menemui Sammy. Dia tidak bisa pulang lewat pintu depan karena Tante Emily tidur di kamar bawah.

Maya melempar heels-nya ke lantai lalu memanjat masuk dengan telanjang kaki. Udara di luar berembus dingin, tapi dia tidak tampak kedinginan. Mukanya berseri-seri. Sepertinya obrolannya berjalan baik.

"Aku sudah cerita semuanya pada Sammy, tentang masa laluku dengan Rangga, masalah traumaku setelahnya, dan alasan aku lari darinya. Sammy memelukku dan bilang kalau dia sangat bersyukur kalau itu penyebabnya, dia kira aku lari karena tidak menyukainya. What a nerd," cibir Maya meski senyum tidak bisa hilang dari bibirnya.

Maya mendapat penyelesaian yang ia inginkan.

"Kami ciuman." Maya mengeluarkan cekikikan kecil sambil memeluk kedua lututnya duduk di lantai. "Andai saja aku nggak trauma mungkin adegan rating 'D' yang bakal terjadi setelahnya. Aku tahu Sammy juga berpikir begitu lewat remasannya di pantatku sebelum dia ingat masalahku dan melepaskan tangannya. Kurasa untuk selanjutnya kami akan jadi pasangan kuno seperti itu. Yang punya hubungan intim tanpa 'berhubungan intim'."

"Itu hubungan yang manis."

Maya mendesah hangat, "Ya. Itu manis sekali. Dan bagian terbaiknya, dia menerimaku. Dia ingin menjalani hubungan ini pelan-pelan, sesuai waktuku."

Aku turun dari kasur dan melebarkan tangan untuk memberikannya pelukan. "I'm so happy for you." Maya membalas pelukanku dengan melingkarkan tangan di bahuku. Kurasakan bahunya terangkat dan meski tidak kulihat kuduga Maya sedang tersenyum selebar pipinya.

Dia layak mendapat semua kebahagiaan ini. Dia telah menanggung semua masalahnya selama bertahun-tahun sendirian, kini waktunya untuk mendapat kebahagiaan tiba. Andai saja aku bisa lapang dada melihat Maya sebahagia ini bukannya iri.

"Kamu dan Dirga gimana?" Maya melepas pelukannya. "Kalian sudah bicara?"

Aku menjauhkan tubuhku dari Maya, tidak ingin terekspos terlalu banyak akan sesuatu yang ingin kupendam. Aku sudah menangis selama satu jam karena kejadian tadi malam. Bekas air mataku masih tersisa di sarung bantalku. Aku tidak mau mengingat kejadian tadi malam dan menangis lagi.

"Sudah." Aku menelan ludah dan berusaha tersenyum tegar. "Nggak berakhir baik." Bulir-bulir air mata kembali bangkit dan menyerang pertahananku.

Maya menarikku ke dalam pelukan, lalu dengan gemetaran aku kembali terisak di bahunya.

****

"Kenapa dia ada di apartemenmu?"

Aku memejamkan mata. Akhirnya, kalimat itu keluar juga dari mulut Dirga. Sejujurnya aku tidak menyangka dia bisa menahannya selama ini, sejak sejam lalu dia nongol di pintu apartemenku. Aku tahu pasti Dirga terheran-heran atas alasan sialan apa Raka yang harusnya tidak kukenal ada di apartemenku pada malam-malam begini dan bersama aku dan Maya. Tetapi dia mengesampingkan semuanya itu dan memastikan keadaan Maya.

Dirga bahkan sempat bertengkar dengan Maya saat di apartemen tadi karena Maya mendadak ingin bertemu Sammy. Aku tahu kenapa Maya ingin bertemu Sammy, namun Dirga tidak tahu. Yang dia tahu pasti ada alasan bagus dibalik mengapa Maya kabur dari rumahnya Sammy, karena itulah Dirga melarang mereka bertemu.

"Kamu nggak harus menemuinya sekarang cuma karena dia mau ketemu," kata Dirga waktu itu untuk menentang Maya.

"Bukan untuk Sammy. Untuk aku." Maya bicara tanpa gentar. "Sammy nggak berbuat salah apa pun. Aku yang belum move on dari traumaku dengan Rangga."

"Tapi ..."

"Dia bukan Rangga. Setidaknya itu yang ingin kupastikan."

Dan atas alasan itu, Dirga memaksa mengantar Maya ke rumahnya Sammy. Kuamati bangunan bertingkat dua yang bentuknya seperti gabungan tiga buah kubus yang kira-kira sepuluh menit lalu pintunya menelan Maya dan Sammy. Aku penasaran apa pembicaraan mereka berjalan baik, semut merah pun tahu kalau keduanya serasi.

Lewat udara dingin dari ac mobil yang menerpa mukaku saat menengok ke jendela, aku tersadar kalau aku masih berada di mobil bersama Dirga. Dirga menunggu jawabanku.

"Raka menyewa apartemenku," kuharap aku bisa berhenti sampai di ucapan itu saja, tapi Dirga terus menatapku, "dengan uang ganti rugi perbaikan mobilnya."

Terjadi kesunyian yang tidak nyaman. Aku sampai menahan napas beberapa detik saking tidak nyamannya.

"Jadi itu benar," desah Dirga sambil menyandarkan dahinya pada setir, "aku sudah menebak alasan kenapa selama ini kamu nggak mau aku datang ke apartemen bukan karena Mindy dan masalah mobil yang kamu tabrak itu, aneh kamu menyelesaikannya dengan mudah. Aku meyakinkan diriku kalau itu nggak betul, meski di sofa ruang tamumu tadi ada kaos jersey." Dirga menegakkan badannya, nada suaranya masih sama datar tapi wajahnya menyiratkan dia sama sekali tidak baik-baik saja. "Kenapa kamu melakukan semua ini?"

"I don't know," kataku, meski saat menerima Raka masuk ke apartemenku, aku tidak dalam dalam pengaruh alkohol, sadar seratus persen. "Aku merasa kepepet saat Maya pindah dan menemukan orang yang mau berbagi apartemen di tengah semester itu nggak mudah, jadi itulah yang terjadi ..., maaf."

"Kamu menawari cowok yang sama sekali nggak kamu kenal untuk tinggal bersama karena kebetulan mobilnya kamu rusak?"

"Raka kehilangan tempat tinggal dan aku nggak bisa bayar uang ganti rugi."

"Kamu menempatkan dirimu di situasi yang berbahaya! Raka bukan orang baik, aku sudah pernah ngomong sama kamu untuk menjauhinya, tapi kamu menyimpannya di rumahmu selama ..." jeda sebentar, Dirga menghitung jari tangannya, "hampir dua bulan? Apa yang kamu pikirkan?" Kira-kira Maya memang pindah hampir dua bulan lalu.

"Aku baik-baik saja. Untuk beberapa minggu ini kami bahkan pisah tinggal, aku tinggal di rumahnya Maya, dia menetap di apartemen." Dengan alasan yang amat berbeda dari yang bisa Dirga bayangkan, stalker.

"Ya, penyelesaian yang bagus sekali," sindirnya.

Mestinya aku membiarkan pembicaraan kami selesai di sana, menunggu waktu yang tepat untuk membahas masalah ini saat Dirga mau mendengarkanku. Tapi, aku tidak melakukannya. Saat itu aku merasa sudah seharusnya Dirga mengerti posisiku, aku sudah mengaku salah dan sudah menjelaskan alasanku, aku keberatan dia terus-terusan menyerangku.

"Ini mungkin bukan penyelesaian yang terbaik, tapi waktu itu aku nggak punya pilihan."

"Semua orang pasti punya pilihan."

"Kamu nggak mengerti. Kamu nggak ada selama situasi itu."

"No! Kamu selalu punya pilihan, kamu cuma nggak peduli untuk melakukannya!" bentak Dirga menghentikanku.

Dia tidak lagi berhasil membungkus kekesalannya dalam bentuk sindiran. Petir di dahinya sampai tampak saking tebalnya awan hitam berpetir di mukanya.

"Aku nggak tahu kenapa kamu begini. Pertama, kamu bohong tentang kerjaanmu, lalu soal Mindy. Lalu kamu nggak memberitahuku soal Raka kemudian kamu bilang, kamu terpaksa. Apa lagi kebohongan tentangmu yang perlu aku tahu? Kamu bukan Nola dan sebenarnya mukamu itu kulit topeng murahan?"

Aku meremas wajahku kesal. "Aku sudah bilang aku menyesal, aku sudah bilang aku salah. Kenapa kamu bertingkah seperti ini sesuatu yang sangat besar dan sangat salah di saat aku yang menjalaninya, baik-baik saja?"

"Karena ini nggak baik-baik saja."

"Bagiku, iya."

"Nggak untukku," sambungnya dalam sekali napas. Tangannya berada di setir, tetapi ucapannya seperti baru saja mendorongku jatuh. Dia menatapku tepat di mata, lama, seolah dia ingin mengatakan semuanya sekaligus dalam satu detik. "I don't know how to trust you anymore."

Dan ucapannya itu seperti mendorongku jatuh terperosok ke lembah yang lebih, lebih dalam.

Aku menelan ludah, mataku berkaca-kaca seolah sebentar lagi tangis akan meleleh keluar. Dirga mengacuhkannya seolah dia tidak melihatku dari kaca cermin belakang sedang menghapus air mata meleleh ke pipiku dengan punggung tangan.

Yang setelahnya terjadi adalah dia memindahkan persneling dari N ke D, lalu menyuruhku agar hari itu tidur di rumah Tante Emily saja dan tidak usah menunggu Maya. Pembicaraan Maya dan Sammy sepertinya akan lama.

Selama perjalanan pulang, dia memberiku kotak tisu namun sama sekali menahan bicara atau menatap mukaku.

****

I'm so sorry for the delayed !
Untuk siapa pun yang khawatir karena lama sekali nggak update, terima kasih perhatiannya tapi aku untungnya sehat.
Aku cuma kena penyakit para penulis (writer's block) dan kali ini yang terlama dan terparah 🙂 padahal sudah mulai nulis dari tiga minggu lalu.

Semoga agak terpuaskan dengan bab ini.

Terima kasih sudah membaca !
Semoga minggu depan updateannya bisa lebih cepat :')

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top