3. The Guy That We Love

Suara kayu terbanting-banting membuatku terbangun. Kamarku gelap gulita. Hanya ada sedikit cahaya bulan yang menembus jendela kamar menyinari meja belajar, dinding, sampai ke lantai kamarku. Aku pasti lupa menutup jendela kamar. Tirai dalam jendela sedang berkibar diembus-embuskan angin malam, dan dapat kupastikan bunyi kayu terbanting-banting itu berasal dari kusen pintunya yang tidak rapat.

Dengan superhati-hati aku merangkak turun melewati tubuh Maya yang meringkuk tidur menyamping di sebelahku, lalu berjalan merapatkan kusen pintu jendela. Aku menguap, bermaksud melanjutkan tidur karena mataku masih lelah, saat satu buku cokelat dalam deretan buku di rak meja belajar masuk di mataku. Entah ini karena pengaruh cahaya bulan yang membuat segalanya tampak magis atau karena omongan Maya sebelum tidur, seperti tersihir, jariku menarik buku cokelat yang ada di tengah deretan itu.

'Memory'

Itu judul besar di cover depan, tepat di bawah foto langit biru berawan yang disematkan di tengah-tengah cover. Kubalik halaman demi halaman buku itu, satu per satu. Segalanya persis sama seperti dalam ingatanku. Urutannya, foto-foto, juga kenangannya yang selalu mampu membuatku ingin mengulang kembali masa-masa menyenangkan itu.

Pada foto Dirga, Maya, dan aku berdiri berdempetan dengan muka cemberut di depan pohon bugenvil, adalah hari pertama Dirga pindah ke kompleks kami dan kami masih canggung. Pada foto yang lainnya, Dirga dalam versinya yang masih gempal dan kecil memegang kue ulang tahun dengan muka bersungut-sungut. Foto berikutnya, Maya mencolek kue itu dan menempelkannya pada pipi Dirga, dan aku di belakang menertawai mereka. Ada foto Maya, Dirga, si kembar Rumondor, Kak Nara, juga aku, di masa SMA, memamerkan gulungan kertas dari permainan Secret Santa. Pada lembar terakhir, ada foto gulungan kertas tertulis tangan nama Dirga, buku Harry Potter, juga buku scrapbook ini sebagai hadiah Secret Santa dariku untuknya.

Kuambil selembar amplop yang terselip pada lembar terakhir. Amplop putih yang warnanya pudar kekuningan dengan stiker hati sebagai perekat surat. Di bawah cahaya rembulan yang terang, selembar kertas terlipat berbayang di dalamnya.

Tanpa membaca pun aku sudah tahu apa isinya. Bahkan menghapal setiap kalimat yang ada di sana tanpa kendali, seperti ada yang berbisik di telingaku layaknya orang berkekuatan super yang mampu membaca satu buku selama semenit hanya dengan meraba. Kalau bisa memilih kekuatan super, aku memilih untuk menghapus ingatan.

Kugeser tempat sampah di bawah meja memakai kaki, berniat membuang surat itu dan melenyapkannya dari bumi. Lalu, suara gaduh terdengar dari luar.

Pada jalanan di depan apartemen, ada dua orang sedang berseteru. Si wanita berjalan cepat menuju pintu masuk apartemen, yang segera dihadang si pria dengan mencengkram tangan wanita itu. Si pria menjelaskan sesuatu dengan payah, yang dipotong si wanita dengan nada membentak. Adegan itu berakhir dengan si wanita menghempaskan cengkraman tangan pria itu, lalu kabur ke dalam apartemen.

Aku menarik napas lega. Tanganku sudah sigap ingin meraih gagang telepon untuk menelepon satpam kalau-kalau pertikaian itu berakhir buruk. Aku tidak tahu mereka-tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas dari lantai tiga. Tapi untunglah, tidak terjadi apa-apa-

Satu kesadaran menghujam jantungku cepat seperti tembakan peluru. Ketika pria itu berdiri memeluk kepala, menarik rambut cepaknya dengan risau, dan mengerang menyatakan kekesalannya kepada angin, lalu pada satu waktu ia mengangkat kepalanya.

Aku kenal cowok itu.

Dia Dirgantara Wahyu. Dirga-ku.

Dirga berdiri di jalanan, menatap ke arah apartemen kami selama beberapa saat dengan ekspresi seperti hampir menangis, lalu berbalik pergi dengan kepala tertunduk seperti tentara yang pulang kalah berperang. Kuseret tirai jendela menutup, lalu kembali merangkak naik ke tempat tidur.

Kutarik selimut sampai ke atas kepala, lalu meringkuk di kasur seperti bayi. Kututup mata dan dalam kegelapan itu, aku masih dapat membayangkan dengan jelas adegan Dirga menahan tangan Febby, juga wajah sedih Dirga sebelum beranjak pergi dari apartemen.

Dirga adalah orang yang dewasa dan tenang. Dia orang yang selalu bisa kuandalkan. Aku hanya pernah sekali melihat sisi lemahnya, di bukit waktu itu saat meratapi kehilangan mamanya. Dan, hari ini dia menangis karena seorang wanita yang dicintainya.

Bagaimana rasanya dicintai seseorang sampai seperti itu? Dan lagi, bagaimana rasanya dicintai seorang Dirga?

Kurasa selamanya, aku tidak akan tahu. Sebesar rasa aku menginginkannya, sebesar itu juga kemungkinan aku kehilangannya. Lebih baik seperti ini, tanpa hubungan apa-apa. Kami akan tetap baik-baik saja tanpa harus saling melukai.

Mungkin benar, orang-orang yang belum memulai hubungan cinta adalah mereka yang masih ingin menikmati perasaan cinta itu sendiri. Agar tidak terluka, seperti cerita banyak orang.

"Nola, apa kamu pernah jatuh cinta?"

Jawabannya, ya. Seumur hidup aku hanya pernah jatuh cinta sekali, yaitu kepada sahabatku, Dirgantara Wahyu.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top