27. After The Party
Happy Reading !
****
Aku dan Raka pulang sebelum pesta sepenuhnya usai. Mama terus menahan kami, menawari kami makan malam dekat hotel kedua orang tuaku yang letaknya di Barat. Meskipun Raka ingin, aku menolak. Aku tahu intensi dari tawaran itu lebih dari sekadar makan bersama.
"Dia sangat tampan dan sangat baik. Dia bahkan mengajak nenek-nenek menari. Jangan melepasnya," bisik mamaku terkagum-kagum pada Raka saat mengantar kami di lobi. Lagi-lagi dia beranggapan tanpa tahu cerita sebenarnya.
Kami mengendarai mobil Raka pulang. Lampu-lampu penerangan jalan menyala saat malam tiba, menyinari air hujan turun yang dari bawah tampak seperti cahaya bening yang runcing hendak menancap ke tanah. Hujan selalu jadi pertanda muram, namun di malam hari ini kemacetan kota dimeriahkan datangnya air hujan.
"Besarkan suaranya," suruh Raka melirikku sebelum matanya pindah ke kaca depan kembali. Mobil berjalan sedikit lebih cepat setelah kami melewati lampu merah. Aku membesarkan suara radio, lagu "Terlalu Manis" milik Slank sedang diputar.
Ketika kulihat jendela, harusnya wajah pengemudi-pengemudi dan mobil mereka tampil di sana juga bayanganku, namun di waktu hujan itu yang kulihat adalah wajah cowok berkulit gelap berbulu mata indah yang memapahku jalan saat jatuh dari sepeda, wajah kuyup saat cowok itu memayungiku payung meski sekujur tubuhnya basah, juga Dirga yang mengaitkan jari kelingkingnya di jariku dan berjanji akan mengingatku sebelum kami pisah dari kampung kami.
Aku merindukannya.
Aku merindukannya meski aku marah padanya.
Andai saja aku tidak lihat panggilan Febby dan pesan yang kutemukan setelahnya.
"Mamamu memintaku sekali-sekali datang ke Mojokerto. Dia bilang dia akan memasakkan rawon andalannya." Raka bicara sambil memutar setirnya saat kami belok kiri. "Kurasa dia menyukaiku."
"Kalau kamu bangga karena kamu disukai para wanita, ketahuilah papaku juga. Dia nggak bicara dengan sembarang orang."
"Aku juga pernah disukai pria, merasa terhormatlah papamu paruh baya pertama. Tapi meski kita teman, ingatkan kalau seleraku tetap sama: cewek."
Aku cekikikan. "Bukan suka yang seperti itu. Mereka suka karena mengira kita pacaran." Aku menyederhanakannya. "Artinya, mereka menerimamu."
"Kalau yang itu aku juga tahu kok." Jeda sejenak, dari jendela dapat kulihat pantulan Raka yang menoleh sekilas mengecekku sebelum dia kembali fokus pada jalan. "Kamu kecewa karena bukan Dirga yang datang?"
Kunyalakan layar ponsel yang kutaruh di atas paha. Tidak ada pesan masuk.
"Mana bisa nggak," jawabku, lalu melesakkan ponsel ke dalam tas.
Pembicaraan kami bergulir ke dansa Raka dengan para wanita tua. Raka bilang dansa dengan mereka mengingatkannya pada neneknya, kalau saja neneknya masih hidup saat Raka tahu cara berjalan.
Neneknya meninggal ketika Raka umur satu tahun karena itu tidak banyak yang bisa dia ingat, ingatannya lebih banyak berupa foto dari album foto yang disimpan ibunya. Neneknya sangat suka berfoto, beliau punya banyak sekali album foto. Sebagian besar saat beliau sudah jadi neneknya Raka, sebagian lain saat ibu Raka lajang. Nenek dari ibunya keturunan Jawa asli yang menikahi pria Jawa, dan dia sangat cantik. Kecantikannya menurun ke ibunya. Lalu pada Raka, karena kata Raka gen ayahnya buruk rupa jadi pasti ketampanannya menurun dari ibunya.
"Karena itu kamu disukai nenek-nenek. Karena kamu mirip nenekmu!" cetusku mengandalkan logika asal.
"Tentu saja itu yang terjadi," ujarnya sambil tertawa.
Rumah-rumah dan jalan yang kukenali melintasi pemandangan jendelaku. Tinggal dua blok lagi sampai.
Kupindahkan pandang ke kaca depan dan dari sudut mata kudapati Raka curi-curi melihatku. Ini bukan pertama kalinya, ini mungkin kebelasan kalinya sejak kami masuk mobil. Mungkin ini karena dia jarang melihatku dandan, jarang melihat tatanan rambutku dibuat berombak, gaun sabrina aneh untuk tubuhku atau dia ingin mengatakan sesuatu, yang pastinya tatapan itu membuat tidak nyaman. Seperti jadi binatang di kebun binatang saja. Tak butuh lama, kudapatkan jawabannya.
"Kurasa cuma kamu yang nggak menyukaiku." Raka mengucapkannya seolah itu hal baru yang disadarinya. "Hei, kalau aku orang yang kamu temui di jalan dan nggak pernah ada cerita kita tinggal bersama, apa ada peluang kamu bakal tertarik sama aku? Apa kamu bakal menjulukiku cowok tampan dari terminal, lalu berharap suatu hari nanti jalan kita bersinggungan?"
"Mungkin nggak, aku belum pernah mengalami yang seperti itu. Menyukai orang yang sama sekali asing." Aku bahkan tidak punya guru yang kusukai saat SD ketika siswi lain berimajinasi tentang itu. Satu-satunya orang yang pernah kusukai hanya Dirga.
"Masa, sih?"
"Mhm."
"Kamu bilang begini karena aku nggak bergerak. Kalau aku merayumu, aku yakin kamu pasti akan tergila-gila. Kamu akan begging supaya bisa masuk ke mobilku seperti ini. Begging."
"Begging? Aku?" Itu terdengar sangat konyol.
"Iya," Raka tidak berpendapat itu konyol, "tapi aku nggak akan melakukannya. Mendekati orang yang sudah punya pacar itu sangat melanggar aturan."
"Biarpun kamu melakukannya, aku yakin nggak bakal kepincut."
"Aku sangat meragukannya."
Raka punya kenarsisan yang sangat tinggi untuk dilukai, aku tahu. Biasanya aku akan mengabaikannya beranggapan seenaknya. Tapi ini sangat mengangguku, aku tahu aku benar. Itu seperti aku anjing, Raka kucing, seekor anjing tidak pernah tertarik pada kucing selain untuk memainkan ekor kecil panjangnya.
"Kamu sangat percaya diri aku bakal menyukaimu?"
"Of course," desahnya geli, terkesan meremehkan. Membuatku makin ingin melihatnya salah. Akan sangat menyenangkan pasti melihat wajah memberengutnya saat aku tergelak menertawai rayuannya.
Mobil Raka berhenti tepat di seberang apartemen kami. Hujan tambah deras di luar, tidak lagi serupa jarum bening, sekarang sebesar biji kancing turun dalam jumlah banyak. Raka mengatakan dia punya payung di bagasi untukku pakai, dan entah karena bosan aku mengatakan ini dengan berani,
"Coba lakukan."
Bunyi cetekam semua kunci mobil dibuka terdengar, kini Raka tinggal menarik handle pintu lalu turun namun ucapanku menahannya. Dia memandangiku dengan tampang rumit, memastikan sekali lagi pendengarannya tidak salah.
"Rayu aku." Aku kembali menantang. "Lakukan apa yang The Majestic Raka selalu lakukan untuk cewek-cewek."
"Kamu serius?" ucapnya, kerutan di dahinya makin dalam.
"Kamu punya satu kesempatan untuk membuktikan aku salah."
Raka memicingkan mata curiga, selama beberapa saat menunggu kalimat, "Kena kau!" lalu aku terbahak telah berhasil mengerjainya. Namun dia tidak akan mendapatkannya, karena aku serius. Aku ingin lihat bagaimana ini akan berjalan.
"Jangan menyesal kalau nggak sesuai inginmu, oke?" Dia mengingatkan itu sebelum duduk menghadapku. Lutut kami hampir berhadapan, kalau saja ruang di kursi tidak dibatasi tuas persneling. Aku menunggu rayuannya dengan antisipasi.
Raka menjelaskan, "Oke. Anggap kita baru kenal dan sedang pedekate. Hal yang pertama kulakukan adalah mengajakmu kencan. Kita akan pergi ke bioskop, makan di restoran, melakukan kencan yang biasa. Di tengah makan di restoran, setelah minum segelas wine untuk sedikit pengar dan membuat kamu dan aku terbuka untuk bicara hal pribadi, aku akan menatap matamu dan bilang, 'ini aneh, kita baru ketemu tapi aku merasa seperti sangat dekat denganmu'."
"Gimana kalau kita sudah lama kenalan?" Aku menginterupsi.
"Aku akan bilang, 'aneh, kita sudah lama kenal, tapi aku baru lihat sisi ini tentang kamu, dan sejujurnya," dia mengulum senyum kecil dan menekan-nekan jempol jarinya, badannya dicondongkan kepadaku, "I kinda like this more," bisiknya pelan, seolah itu rahasia kecil kami.
"Uuhh. Pick up line yang bagus."
"Benarkan? Tunggu sampai kalimat pamungkasnya."
Suara radio dimatikan membuat mobil lebih hening. Semua suara kecil lain lebih jelas, bahkan suara desiran lengan Raka saat mengambil tanganku ke atas pahanya, menyelimuti punggung tanganku dengan telapak tangan. Tangannya lebih kecil dan lebih kasar dibanding Dirga. Aneh padahal tubuh Dirga lebih ramping.
Tatapanku terangkat dari tangannya ke wajahnya. Wajahnya disinari lampu mobil membuat kulitnya lebih kuning dari seharusnya. Dia menatapku tepat di mata.
"Aku beruntung memberanikan diri mengajakmu malam ini. Aku pasti akan sangat menyesal bila terlambat menyadari semua ini," katanya tenang, terkendali, meski menyiratkan kerapuhan, "kalau kamu punya sisi yang lucu, cerdik, dan lembut."
Kerapuhan selalu menakutkan. Kamu memberi kendali pada orang lain untuk menilai, makanya itu menakutkan. Tapi mengungkap kerapuhan juga artinya mereka memercayaimu. Mungkin ini salah satu trik Raka yang berhasil karena dia mendapat perhatianku.
Aku baru sadar dia punya tahi lalat kecil di ujung hidungnya. Saat dia mendekat, samar-samar tercium aroma tubuhnya, kutebak dari cologne mahal. Cinnamon dan peppermint. Dia wangi.
Seharusnya aku tidak memerhatikan, seharusnya aku tidak menyadari ini, dan seharusnya ini jadi situasi lucu ketika dia merayu dan aku tertawa. Namun kusadari berubah menjadi sesuatu yang lain.
Pipiku dingin karena diterpa angin ac mobil, dan tangan Raka yang menyentuhnya membuat hangat, "..., punya mata indah, senyum yang indah," aku baru sadar matanya berwarna cokelat karamel. Bola mata karamelnya menjelajah wajahku dengan cara menyajungkan, membuatku merasakan sesuatu asing menyusup di dadaku terutama saat ibu jarinya menempel ringan di bibirku, "dan bibir yang ...."
Dia tidak menyelesaikan kalimatnya ketika matanya turun ke bibirku. Aku bisa melihat pipinya bersemu merah saat kupergoki dia. Namun, dia tidak melepasku. Dia tetap berada pada jarak tiga sentimeter dariku. Menatapku seakan meminta izin.
Aku tahu apa yang ia pikirkan. Karena informasi ini berlarian di otakku: kalau kami hanya berdua di sini, kalau wajah kami sangat dekat, dan kalau jarinya memegang pipiku dan dia bisa kapan saja mengecup bibirku.
Layaknya sedang terhisap dalam waktu itu saja. Tidak memikirkan masa depan. Tidak memikirkan hal lain. Hanya ingin satu ciuman saja yang membuat itu selesai.
Apa jadinya kalau kami berciuman?
Kemunculan wajah Dirga di sudut kepalaku membuatku tersentak sadar kalau ini tidak boleh dilakukan.
Punggungku menabrak pintu saat akal sehatku kembali. Kutarik kenop pintu lalu keluar. Siraman air hujan menyambutku di luar dengan menyambar kaki dan gaunku.
"Selamat malam!" pamitku keluar tanpa buru-buru melihat reaksi Raka.
Titik-titik air yang kubawa membasahi lantai lobby apartemen saat aku masuk. Napasku terengah-engah. Sekujur tubuhku basah dan aku tidak repot-repot mengeringkan dengan menepuk-nepuk pakaianku. Aku tidak percaya apa yang baru saja terjadi.
Raka dan aku? Ini pasti mimpi. Namun dari jendela, kulihat sorot lampu putih menembus hujan. Raka masih ada di depan.
Semua ini nyata.
Kututup cepat-cepat tirai, berharap kejadian tadi hilang di kepalaku secepat bayang mobil itu hilang di jendela, lalu hendak mengentakkan kaki kembali ke kamar, tanpa menyadari seorang wanita lain sedang mengamati jendela. Wajahnya yang mungil-terlebih dengan pony tail itu-terkejut memandangiku. Febby, mantan Dirga, ada di depan mataku, menatapku dengan tangan terlipat depan dada.
Aku masih mempertimbangkan untuk mengatakan 'hai' atau tersenyum saja, atau bahkan menanyakan sejak kapan kamu ada di sana untuk tahu apa dia melihat kami di dalam mobil, saat dia menyodorkan keputusan padaku. Ia pura-pura tidak melihat dan lewat di sampingku.
"Bitch."
Katanya sambil menabrak bahuku lalu menderapkan kaki menuju lantai atas.
****
Terima kasih sudah membaca !
Jangan lupa vote, komen, dan add cerita ini di daftar pustakamu ya!
Kabar baik!
Untuk yang tidak sabar membaca updatean cerita ini, daripada nunggu gaje coba cek ceritaku yang lain di Cabaca !
Nama : How to Move On in 7 Days
Terbit : Tiap Kamis
Blurb :
Pamela tidak pernah menyangka commited relationship-nya dengan Patrick akan berakhir di usia tiga tahun. Namun, cincin couple yang Patrick kembalikan di tangannya adalah bukti konkret bahwa semuanya telah berakhir.
Untuk mengobati luka hatinya, Pamela liburan di Bali selama tujuh hari. Di sana, ia bertemu Awan, mahasiswa hukum tampan, yang juga baru saja dilanda patah hati. Serangkaian peristiwa tidak terduga yang mereka alami mengantar keduanya lebih dekat, hingga menelurkan suatu ide unik, yaitu melakukan misi lepas dari patah hati.
Dua orang patah hati. Misi lepas dari patah hati. Tujuh hari. Di Bali.
Bukankah itu kedengaran romantis dan menyenangkan?
Memangnya, ada hal buruk apa lagi yang bisa terjadi di antara dua orang yang terjebak patah hati
Jatuh cinta season 2?
Cerita ini seru, vibes liburan, rutin update tiap minggu, lebih dewasa, dan bisa baca gratis dengan cara memperoleh koin bonus di Cabaca (caranya lebih lengkap bisa dilihat di aplikasinya)
Sampai jumpa di chapter berikutnya!
(19/01/2023)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top