26. A Few Days After

Happy Reading!

****

Sudah beberapa hari lewat sejak kutemukan panggilan Febby di ponsel Dirga dan sudah selama itu aku bungkam. Aku tahu, itu bukan seperti aku memergoki Dirga dan Febby ciuman dan saling menjelajah lidah di kamarnya, itu hanya panggilan telepon. Kalau menjawab panggilan telepon itu berselingkuh, berapa banyak caller center di dunia yang berselingkuh?

Meski aku tahu itu, sulit menyingkirkan kecurigaan sekalinya tumbuh. Seperti dua hari lalu, Dirga menjemputku untuk kelas pagi dan membuatkanku roti sandwich daging sapi dengan keju meleleh yang menakjubkan, lalu mengeluh semalaman tidak tidur karena kerja tugas.

Sikapnya sangat perhatian. Keluhannya pun tidak terdengar menyebalkan, Dirga jarang sekali bersikap manja jadi itu manis sekali. Meskipun begitu, yang pertama muncul di benakku adalah, "apa dia begadang untuk kerja tugas atau teleponan sama Febby semalaman?" Atau kemarin, saat aku dapat undangan nikah Mbak Desy dan aku memintanya menemaniku datang, karena akan lebih baik punya teman bergunjing di pernikahan sepupumu yang tidak kamu sukai daripada datang sendirian. Dia menolak tawaranku karena kelompoknya akan presentasi kelas hari itu.

Itu hari Sabtu, kenapa kelas tambahan harus ada di hari Sabtu, di hari yang sama dengan nikahan Mbak Desy? Apa dia tidak paham datang berdua ke pernikahan itu penting untukku?

Sabtu itu, di pernikahan yang tidak ingin kudatangi, aku mengalirkan semua unek-unekku keluar sebebas kucuran air saat kamu mengeluarkan kotoran dari selang air yang tersumbat. Raka, yang terpaksa menemaniku ke nikahan untuk makan gratis, terjebak mendengarkanku sambil menusuk udang apolo di piring yang diambilnya terlalu banyak untuk dimakan sendiri.

Raka menginterupsi ceritaku, "Oke, oke, aku ngerti, kamu curiga sama Dirga tapi nggak ingin mengatakannya dan bla bla bla ..., serius bisakah untuk semenit saja kamu diam dan nggak menjadikanku tong sampah unek-unek? Aku datang untuk makan udang, bukan curhatanmu."

Pagi ini, mamaku datang mendadak ke apartemen, menyampaikan kalau aku harus ikut ke pernikahan Mbak Desy yang diadakan di Surabaya karena kami saudara sepupu. Lucky for me, minggu ini giliranku tinggal di apartemen, jadi mamaku tidak akan menemukan kolor cowok di pojok kamar manapun. Atau Raka mendengarku merengek, "Aku nggak mau ikut! Nggak mau ikut! Kenapa aku harus ikut?" seperti anak umur lima tahun yang diajak ke dokter gigi. Rasa menakutkannya mirip, bedanya kalau datang ke dokter gigi gigiku yang dicabut, datang ke pesta ini rasa percaya diri dan keinginanku untuk tetap hidup yang dicabut.

Tentu saja, aku kalah argumen dengan Mama, "Suka atau nggak suka mereka keluarga papamu, kamu harus pasang muka di pesta itu meski kamu membencinya, karena Mama juga begitu," lalu dia menyerahkan gaun warna lavender yang ujung roknya flowy. Saat ganti baju, Raka menelepon menagih utang satu makan siang lagi karena misi-tanya-Olivia-kami, aku langsung saja mengajaknya.

Aku merasa bersalah sudah buatnya bosan. "I'm sorry. Aku nggak punya teman lain yang bisa kuajak bicara. Seharusnya itu Maya, tapi dia juga sedang punya masalah."

"Masalah dengan pacarnya?" Raka menurunkan garpunya di piring.

"Iya, dan nggak, kamu masih nggak boleh mendekati Maya." Aku tahu ke mana pikirannya tertuju.

"Kenapa? Aku temanmu yang kamu cari kalau ada masalah."

"Satu menit lalu kamu menyuruhku diam karena kamu bosan dengar curhatanku."

"Semua orang akan bosan kalau kamu terus ngomong hal yang sama kayak radio rusak."

"Kalau kamu jadi aku, apa yang akan kamu lakukan? Jujur padanya, bilang aku mengecek ponselnya dan melihat nama 'Febby', atau mendiamkannya saja? Tapi kalau aku mendiamkannya, aku tambah kepikiran."

"Kamu sudah menyediakan jawabannya." Raka menggigit udang apolonya.

"Huh?"

Aku menunggunya mengunyah dulu. "'Aku tambah kepikiran kalau mendiamkannya'," dia mengulangi ucapanku, "kamu nggak mau mendiamkannya, kamu mau jujur. Itu keputusan dan jawabanmu."

"Tapi gimana kalau semuanya lebih buruk kalau jujur? Gimana kalau kecurigaanku salah, aku bukannya akan membuang hubungan yang bagus untuk ketidakpastian?"

"No-hoh," ujar Raka memakai aksen Inggris aneh. "Aku sangat meragukan itu."

"Kenapa?"

Raka melirik tamu-tamu yang duduk di sebelah kami yang untungnya sangat menikmati makanan mereka. "Ada satu hal yang harus kamu tahu soal cowok," ucap Raka lebih pelan. "Mereka selalu menyembunyikan hal yang memalukan, salah, atau membuatnya lemah. Makanya mereka menyalahkan sepatu, tanah licin, atau badan nggak fit ketika permainan bola mereka payah. Mereka nggak akan mau mengakui kalau mereka payah."

"Sama seperti kamu yang nggak percaya diri dengan tubuhmu padahal dulu jagoan sekolah?"

"Itu nggak sama dan nggak betul," sambarnya. "Yang penting, pasti ada alasan nggak bagus kenapa Dirga menghubungi Febby secara diam-diam dan nggak bilang sama kamu. Kembali ke teori utama, semua cowok itu sampah."

"I don't know, tapi menghubungi dan nggak memberitahu belum membuktikan apa-apa," meski Dirga tetap tidak seharusnya menolak panggilan Febby hanya karena aku ada bersamanya. "Gimana kalau dugaanku, dugaan kita, seandainya, ternyata salah?"

"Maka kamu akan berakhir sepertiku. Lajang dan bebas," ucapnya sambil mengangkat gelas wine.

Raka mengatakannya seolah 'lajang dan bebas' adalah hal yang membanggakan, tapi aku tahu ada sedikit penyesalan di sana. Wawancaranya yang terakhir dengan Olivia tidak mendapat hasil yang kami mau. Olivia mengaku tidak lagi peduli dengan Raka dan yang dikerjakan Raka semenjak mereka putus. Karena itulah yang orang-orang lakukan ketika putus, mereka move on dari bagian hidupnya yang lama.

Sementara Raka, setelah hubungan dengan Olivia, dia tidak pernah pacaran dengan siapa pun, tidak dari satu pun yang dia dekati.

Aku melipat tanganku di meja. "Ini menakutkan. Karena satu kesalahan, kalian jadi menjauh dan saling nggak percaya? Apa semudah itu orang pacaran putus?"

Raka tidak menyahut karena mulutnya penuh wine, tapi dia menggelengkan kepala, yang sepertinya tidak ia sadari karena kemudian seperti seseorang habis memukul kepalanya dia mematung, lalu melakukan anggukan yang tidak yakin.

Kutatap dia heran, itu cara yang aneh sekali untuk setuju.

"Well, orang pacaran bisa putus dengan berbagai alasan, tapi itu nggak pernah mudah," jawabnya sehabis menelan wine.

"Apa yang mau coba kamu katakan?" Aku menyipitkan mata. "Rak, kamu punya sesuatu yang belum kamu ceritakan?"

"No," jawabnya seperti mencicit, dia mengelap bekas bibir di mulut gelas terlalu lama. "Atau mungkin satu. Cuma satu detail kenapa kami putus. Detail yang nggak terlalu penting."

"Apa yang kamu lakukan?" Aku menuntut.

Raka masih tampak enggan menjelaskan, dia terus menyeka bibir gelas. "Setelah kami putus yang pertama, aku tahu dia sedikit dekat dengan Michael, tapi mereka nggak melakukan apa-apa karena kami punya bro code. Tapi melihat mereka berkirim pesan cukup mesra memecut amarahku. Michael menghibur Olivia yang mengeluh karena katanya aku 'terlalu ramah' dengan cewek-cewek.

"Kami bertengkar hebat. Dia bilang dia menyesal pernah menerimaku kembali, lalu pergi dari cafe. Kukira waktu itu kami break up. Dan saat itu aku dekat dengan Anya ini, awalnya sebagai teman tapi aku tahu dia menyukaiku dan waktu itu aku butuh dukungan emosional-"

"Jangan bilang kamu melakukan-nya."

"No! Memangnya aku apa?" jawabnya lalu tertawa hambar, seperti siapa pun tahu maksud "nya" pada kalimatku orang lain pasti bisa menebak Raka bohong sebelum dia mengaku dengan sedih, "atau iya. Kami melakukannya. Cuma dua kali."

"Ewwww!"

"Aku tahu, detail ini memang memalukan, makanya aku nggak mau kamu tahu! Ini memang kutukan orang tampan. Aku sampah! Tapi aku sampah yang mencoba berubah!"

Aku lanjut mencemoohinya karena dia sangat layak untuk itu. Raka pun tahu itu sangat layak. Dia menuduh seseorang selingkuh ketika yang terjadi adalah dia yang selingkuh, dan dia hampir saja mempengaruhiku mengira Dirga selingkuh dengan Febby. Syukur aku belum melakukan apa pun.

Pasangan tua di meja kami terganggu karena keributan kami. Dia mendesis menegur kami diam, padahal dia tidak mendesiskan nyanyian penyanyi nikahan Mbak Desy yang punya suara bagus dan tidak bisa berbahasa inggris jadi dia mengarang lirik lagu bahasa inggris sesukanya.

Seorang wanita paruh baya, yang rambutnya mirip sarang burung putih, datang ke meja kami. Kukira mau menegur juga, namun dia malah menanyakan kalau aku dan Raka adalah pasangan. Aku menyanggah kami bukan pasangan, lalu dia menawarkan Raka menemaninya berdansa satu lagu. Saat itu I Wanna Dance with Somebody tengah dimainkan, dansa pengantin sudah selesai, jadi orang-orang turun menarik pasangan mereka ke lantai dansa.

"Anda punya mata yang sangat bagus, Bu," aku memuji wanita paruh baya itu sebelum dia tersenyum malu-malu dan menggiring Raka ke tengah-tengah lantai dansa. Raka berbisik di balik punggungnya, "kutukan orang tampan selalu berhasil" lalu memasang wajah lelah sambil wanita itu mengarahkan tangannya memeluk pinggang dan pundaknya untuk berdansa. Aku tidak bisa menahan tawaku karena itu.

Langit menyiramkan warna oranye yang makin pekat. Petang tiba. Namun, orang-orang di pesta ini seperti tidak memedulikan ke mana waktu berjalan. Mereka menari di sepanjang kolam di halaman berumput hijau, senda gurau di meja-meja putih yang bertebaran di sepanjang venue, para pengantin duduk meninggalkan singgasananya di panggung untuk bergabung dengan orang-orang yang menari, dan para mertua makan di meja yang dipagari sulur bunga buatan yang cantik. Datang ke perayaan pernikahan yang tidak mau kamu datangi memang membosankan, tapi yang ini sebenarnya tidak buruk juga.

Aku menyendok kuah sup asparagus yang disajikan satu di tiap-tiap meja tamu ketika ibuku datang menghampiri setelah menyapa orang-orang. Dibandingkan aku, Mama lebih lebih sosialis dan pesolek. Itulah mengapa sebelum ke sini aku dandan sedikit sendiri dan memakai baju dari butik pilihannya, sementara dia pergi ke salon untuk menyasak rambutnya bersama teman-temannya dan memakai gaun jahitan sesuai warna pilihan keluarga.

Kak Nara yang lebih mirip Mama. Aku lebih mirip Papa yang pada acara seperti ini duduk di meja keluarga, memandangi orang-orang senang-senang.

"Jadi cowok itu yang menahanmu tetap di Surabaya?" bisik Mama sambil duduk di kursinya Raka. "Padahal kamu janji pulang rumah setidaknya dua kali sebulan. Ini kamunya nggak pernah pulang."

Aku mengikuti tatapan Mama. Pada Raka. Kini pasangan dansanya telah ganti, wanita tua lain yang punya hiasan bunga besar di kepala dan lebih bersemangat dan tubuhn lebih kurus dan rapuh. Raka membuktikan pesonanya, para wanita tua mengantre berdansa dengannya.

"Aku sibuk kuliah." Kubolak-balik sendok dalam mangkuk, merasa bersalah bohong.

"Iya, kuliah dan pacaran." Mama menyambung. "Nggak apa-apa kok kalau omong jujur. Kayak Mama orang tua kuno saja nggak membolehkan anak pacaran."

"Raka cuma teman."

"'Teman', 'sahabat', 'bestie', 'pacar', apalah sebutannya itu sama saja. Anak zaman sekarang selalu membesarkan hal-hal kecil."

Kalau saja dia tahu alasan Raka datang ke sini supaya bisa makan gratis. Bukan berarti datang bersama Raka tidak menguntungkan. Di pintu masuk tadi, aku ketemu Dahlia (mengejutkannya dia ada) dan sepupuku, Delon, mereka terkesima melihat aku datang menyambut Raka yang selesai memarkirkan mobilnya. Saat Raka tidak terlihat, Dahlia menyeretku untuk tanya, "Siapa dia? Kalian ketemu di mana?" Tatapannya sangat penuh minat.

"Dia senior kampusku" hanya sempat menjawab itu karena Raka memanggilku menyusul ke meja kami. Kukira aku tahu apa dalam pikirannya karena dia minta cerita lanjutan nanti.

"Lihat itu." Mama menyenggol sikuku saat aku lahap makan, menunjuk arah samping panggung. Tempat beberapa wanita seumuran mama berkumpul, Tante Delima tampak di tengah-tengah lingkaran. "Dia memamerkan anaknya lagi karena menikahi sesama dokter. Pamer. Padahal nggak ada hal yang mengejutkan dari itu. Tebak, satu juta keluarga dokter mengalami hal yang sama," ketus Mama.

Sejarah panjang pertengkaran Mama dan Tante Delima sepertinya tidak akan berakhir, bahkan pada hari bahagia seperti ini pun. Aku paham muasal kebencian Mama bukan lagi karena persaingan antara keluarga bersaudara, tapi karena aku.

Tante Delima selalu memandang rendah keluarga kami, namun setelah Kak Nara masuk UGM dengan jalur prestasi dan mendapat beasiswa, Tante Delima seperti kebakaran jenggot. Jadi ketika dia tahu aku hanya bisa masuk kampus swasta ketika anak-anaknya masuk universitas negeri, dia melihat jalan pembalasan dengan menjelek-jelekkanku. Dialah penyebab utama aku malas sekali datang ke pesta ini.

Aku melihat Tante Delima dan teman-temannya berbisik-bisik, lalu melihat ke arah kami.

"Andai saja Kak Nara yang datang ke sini. Bukan aku," kataku, merasa kecil.

Kak Nara tidak bisa datang karena hari ini terjebak koas di salah satu rumah sakit Jogyakarta. Dia mengangkat telepon dengan suara serak dan bilang tidak bisa pergi di sambungan telepon, sepertinya dia bahkan kurang tidur.

"Mama juga mau dia datang supaya kita bisa foto sekeluarga lengkap. Kita jarang berpakaian bagus. Ada photobooth juga di depan."

"Ma." Aku menghela napas berat. "Kapan aku bisa kayak Mbak Desy?"

Kulihat dari tempatku, Mbak Desy kembali menyapa tamu yang pulang. Wajahnya berseri-seri, dia mencetuskan sesuatu yang lucu saat bersalaman dengan tamu, lalu tertawa dengan anggun. Layaknya ada yang memberinya kuliah cara menjadi pengantin atau cara menjadi orang dewasa, karena dia tampak matang seperti semua orang menikah. Badannya bahkan sangat cocok memakai gaun pengantin model mermaid itu.

"Menikah? Kamu masih terlalu kecil untuk menikah walau kamu sudah punya pacar," sangka Mama lain. "Yang penting sekarang itu belajar, dapat kerja yang baik, lalu jodoh. Semuanya satu-satu."

Aku menggigit bawah bibir. "Tapi gimana kalau aku nggak tahu masa depanku seperti apa? Gimana kalau aku seumur Mbak Desy, aku masih belum tahu apa yang kuinginkan?" Selain menjadi memalukan karena tidak punya rumah dan dicemooh karena kuliah di kampus swasta. Seharusnya mereka mencemooh alasan aku memilih jurusan bukan karena niatanku, bukan kampusnya.

"Kamu pasti bakal tahu. Semua orang begitu. Mereka dulunya nggak tahu, lalu nantinya tahu." Mama memeluk bahuku dan meremasnya. "Kamu cuma perlu kerja keras dan belajar. Nantinya kamu akan jadi akuntan yang hebat. Lalu saat giliranmu tiba nanti, kamu akan berdiri di panggung memakai gaun putih yang lebih cantik dari Mbak Desy."

Dari kejauhan, kulihat Raka mencariku, dia melotot di tengah dansa nenek keempat, dan dari bibirnya kubaca dia bicara, "selamatkan aku, tangannya di pantatku".

****

(Siapa pun tolong selamatkan Raka 🥺)

Jangan lupa tinggalkan vote, komen, dan masukkan cerita ini di pustaka kamu ❤

See you next chapter!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top