25. I Found The Culprit !

Peringatan !
Di bagian pertama bab ini ditulis memakai sudut pandang orang ketiga untuk kepentingan cerita.
Penutupan bintang pertama nanti yang mengakhiri sudut pandang orang ketiga juga sebagai tanda dimulainya sudut pandang orang pertama !

Terima kasih sudah memerhatikan dan selamat membaca!

****

POV 3 (hanya untuk bagian pertama)

Koridor sekolah pagi itu biasa saja. Anak-anak gadis ribut bergosip. Anak-anak cowok beradu siapa yang paling kejam meledek. Anak-anak culun duduk di kelas mengajari anak-anak pemalas yang lagi-lagi tidak tahu ada ujian. Anak-anak biasa saja menguap di tempat duduknya, mengeluh masih ngantuk, lalu memikirkan menu makan siang sebentar apa. Di tengah itu semua, salah satu siswa berlari di koridor membelah pagi yang teratur tapi ribut itu.

"Mereka datang! Mereka datang!" teriak siswa itu memberitakan pada semua orang.

Tanpa perlu dijelaskan siapa, semua anak buru-buru berdesakan ke luar koridor. Berbaris-baris di kedua sisi pinggir koridor layaknya acara jumpa fans idol Korea. Mereka yang tidak dapat tempat di koridor, memanjati kursi-kursi lalu mengintip lewat jendela kelas. Itu kegiatan pagi anak-anak sekolah itu, mengintip dan menanti-nanti kedatangan 'mereka'.

Muncullah lima orang cowok dari arah tangga. Langkah mereka ringan tanpa beban sambil mengalunkan obrolan santai. Sesekali gurauan terselip di antara percakapan membuat mereka tertawa, selayaknya membelah koridor yang semarak itu dan diperhatikan sebegitunya oleh semua siswa adalah hal biasa. Kelima orang itulah 'mereka', cowok-cowok paling hits seantero SMA Nusantara.

Para orang tampan yang terkenal, pintar, berkarisma, atletis, pemegang gelar kapten basket, playboy, dan tampan, dan tampan. Lewat satu kedipan mata saja mereka mampu menggaet hati cewek-cewek hingga mereka berteriak histeris, "Kyaaa! Mereka menatapku! Mereka mencintaiku!"

Bila diumpamakan sebuah drama, merekalah pemeran dan lainnya babu-babu.

Selayaknya drama yang selalu punya pemeran utama, pemeran utama barisan itu adalah cowok yang berdiri paling depan. Si dia yang memakai jaket hitam kulit dengan papan nama 'Raka Rasyad' pada seragamnya. Ada banyak panggilan untuknya, "King Raka", "Si Terlalu Tampan", "Jagoan SMA Nusantara", bahkan ada sebutan "suamiku" yang dibuat para pengagum rahasia Raka Rasyad yang berharap bila sering menyebut itu maka nantinya harapan mereka akan jadi kenyataan.

Biarkan saja mereka berharap, karena pentolan SMA Nusantara, selain tampan, wangi seperti cemara, gentleman, gagah, kuat, dan ditakuti, adalah orang yang murah hati. Murah hati untuk para fansnya, tentunya.

"Raka Rasyad, I LOVE YOU!" sahut cewek pemegang banner 'I love you, RK!' di kerumunan paling depan.

"Jadilah suamiku, Raka! Aku akan menjagamu!" Cewek lain menyahut.

"Raka Rasyad, jadilah mentor hidupku!" Teriakan bersuara kasar terakhir itu milik cowok sebesar gorilla dengan lubang hidung sebesar koin seratus rupiah.

Raka mendekati cowok itu dengan langkah gagah dan teratur, dia berhenti di depan cowok gorilla dan menepuk pundaknya. "Jadikanlah apa yang kamu kehendaki," tuturnya.

Satu pun orang tidak dapat menangkal pesona Raka Rasyad. Itu juga berlaku pada cowok gorilla. Dia memekik melengking seperti waria saat melihat tikus, saking terpesonanya. Lututnya lemas serupa jeli dan dia jatuh ke lantai. Deretan anak-anak cewek yang melihat adegan itu, mendelik iri sekali.

Betul. Nama dielu-elukan, sorakan atas ketampanannya, deretan cewek-cewek pengagumnya memenuhi koridor hanya untuk melihatnya, dan cowok-cowok menyatakan ingin dia jadi mentornya, hanyalah pagi yang amat biasa untuk seorang Raka Rasyad. Setidaknya begitu sampai cewek songong itu datang.

"Raka Rasyad?"

Untuk orang yang tiap harinya dipuja-puja, mendengar namanya disebut tanpa sorak sorai puja atau suara manis dibuat-buat, memakai nada datar tanpa ada intensi apa pun, tentu menarik perhatian Raka.

"Ya?" Raka Rasyad berbalik.

Di luar kerumunan, di depan sana, berdiri seorang siswi dengan rambut cokelat tergerai, mata indah seperti ratu rusa yang ditemui di pedalaman hutan dengan sungai berair jernih, dia memakai seragam sailor pink yang sangat sesuai untuk kulit putihnya. Seragam sekolah ini tidak secantik itu, hanya putih abu-abu biasa. Jelas siswi itu bukan berasal dari sekolah ini. Raka cukup terkenal untuk tahu semua orang, dan dia tidak pernah melihat cewek itu.

"Siapa?" tanya Raka setelah lama memindai.

Cewek itu juga memindai Raka, mata indah gadis itu bergulir dari bawah-atas lalu atas-bawah. Raka mendadak memahami perasaan barang jualan. "Kamu pentolan sekolah ini?" tanyanya.

"Iya. Kamu siapa?"

"Aku murid pindahan. Olivia. Aku baru saja dinobatkan sebagai gadis tercantik di sekolah ini."

Tiga siswi cantik yang tidak secantik Olivia-tadinya tidak disadari Raka ada-berdiri di belakang Olivia sesuai formasi, bersedekap sambil memasang wajah sama songongnya. Kalau mereka punya grup, maka grup itu pasti namanya 'Songong Girls', dengan Olivia sebagai visual group.

Raka menyadari cewek ini berbeda dari cewek lain. Dia berani melangkah maju mendekati Raka tanpa ragu. Semua cewek selalu ragu mendekati Raka. Dia suka cewek berani.

Kata Olivia, "Gadis tercantik harus punya jagoan di sisinya. Kamu jagoan. Jadi, kamu harus menjagaku."

"Kamu mau aku 'menjagamu' sebagai pacarmu? Ini permintaan atau rayuan?" ledek Raka, diiringi lolongan tawa dari para kacungnya.

"Ini permintaan." Olivia menjawab dengan tenang. "Tapi kalau kamu mau menjagaku sebagai pacar juga boleh."

Olivia menarik senyum memikat sebelum berbalik, mengibaskan rambutnya serupa baru saja ditiupi angin surga sebagai salam selamat tinggal. Lalu diikuti kibasan rambut para kurcacinya-bedanya anginnya seperti pakai kipas angin Cosmos. Seruan dan sorakan menyertai jalan Olivia pergi, dan Raka ditinggal dengan wajah merah padam. Semua orang tahu siapa yang memberi balasan yang lebih membara.

Pada hari itu Raka memang mengalami hal tidak biasa. Dia kalah. Padahal Raka tidak pernah kalah. Tapi ketidaknormalan itu membawa Raka mengunjungi kelas Olivia, lalu hari demi hari hubungan mereka berlanjut lebih intim, selayaknya sudah seharusnya terjadi.

****

POV 1

"Kamu pikir aku bakal percaya cerita itu nyata?" sambarku usai Raka selesai menceritakan awal kisah kasihnya dengan Olivia. Aku hanya bertanya sebagai bentuk sopan santun di mana dia dan Olivia pertama kali bertemu, lalu dia memberiku satu cerita yang bila ditulis akan sepanjang tiga halaman kertas F4.

Raka menurunkan onion ring-nya di tempat sambal. "Kenapa kamu pikir ceritaku nggak nyata? Mana letak fiksinya?" Padahal piring kertas makanannya sendiri sudah belepotan sambal. Gaya makannya selalu saja berantakan.

"Cewek-cewek di koridor berbaris menyambutmu, kamu diajak pacaran sama wanita tercantik di sekolah, kamu jagoan kampus? Gagah?"

Raka memiringkan kepalanya. "Itu kedengarannya sangat masuk akal. Tubuhku atletis, aku cakep, dan itu memang kejadian nyata."

"Senyata serial drama remaja diangkat dari WP, atau serial BBF' atau 'Anak Jalanan'?" ejekku.

"Aku nggak pernah nonton satu pun serial itu, tapi kutebak 'Anak Jalanan' semacam film 'Fight Club' tapi bentuk serial?"

Sore setelahnya, aku dan Raka janjian ketemu di restoran tempatku bekerja untuk membahas penemuanku tentang culprit kami. Jam-jam restoran pada jam segitu kurang pengunjung jadi cukup aman untuk tempat kami bertemu, plus aku masih dalam jam kerja.

Sasa, rekan kerjaku, yang seharusnya bekerja hari ini, tapi karena minggu lalu aku memintanya mengganti jadwal denganku agar bisa merayakan ulang tahunku dengan Dirga, aku menggantikannya hari ini bekerja. Semua karena Pak Derok tidak mengizinkanku cuti meski sudah kukeluarkan kartu ultimatum 'aku ulang tahun hari ini di kota perantauan', dia menolak kartuku dengan omongan 'coba ulangi lagi ceritamu lima belas tahun depan saat kamu masih lajang dan hidup sebatang kara'. Cerita hidupnya jauh lebih menyedihkan.

Kulap meja menggunakan lap basah, menggosok satu bagian dengan teliti supaya kelihatan aku sedang membersihkan noda meja yang susah dibersihkan, lalu melirik Pak Derok yang sibuk menghitung uang di kasir. Dia tidak menyadariku tidak bekerja, aman.

"Sebenarnya apa yang mau kita bicarakan?" Raka membersihkan jarinya yang berminyak dengan tisu, ayam dan nasinya sudah habis. "Kamu nggak mungkin menawariku makanan gratis atau mendengar cerita masa laluku dengan Olivia."

Otaknya cukup cepat menangkap untuk orang rupawan yang baru saja membuat cerita fiksi dirinya sebagai Gu Jun Pyo.

Aku duduk di kursi depannya. "Aku menemukan culprit kita." Kulihat mulut Raka terbuka tampak antusias dengan penemuanku. Aku juga sangat senang tapi aku tidak yakin Raka akan senang setelah ini. "Calon culprit," ralatku, menurunkan suara, inginnya juga ekspektasinya. "Kuharap bukan dia tapi dia punya motif. Orangnya kamu tahu kok."

Alis Raka merapat ke batang hidung, mengerut seperti bisa saja membentuk garis lurus.

Kuhindari tatapannya, tanganku meremas ujung kain lap. "Kamu baru saja membicarakan ... dia," lanjutku, berdeham mendadak tenggorokanku kering. "Orang yang dalam cerita fiksi itu ..., yang selain kamu."

Dia mengulang cerita dalam otaknya, mencernanya, dan kusangka dia tahu siapa maksudku karena dia menggeleng tegas, "Oh, no, no, no. Bukan Olivia. Kamu salah. Itu salah," bantahnya.

"Bisa saja dia. Dia mantanmu."

"Iya, aku tahu, dan aku juga tahu kisah kami bukan kisah cinta anak SMA si cantik dan si jagoan sekolah biasa. Makanya aku tahu Olivia seperti apa. Dia nggak mungkin menguntit atau melakukan blackmailing seperti orang pyscho hanya karena dia mantanku. Dia cantik dan sedikit pintar, tapi bukan psycho."

"Anya jurusan DKV yang sisirnya ditempelkan permen karet pasti menolak pendapat itu. Olivia hampir membuat Anya mencukur semua rambutnya karena cemburu. Dia bisa saja juga menguntit dan mengancam kita."

"Mungkin Anya suka model rambut itu."

"Dia dekat sama kamu, beberapa minggu kencan sama kamu, lalu mendadak dia ingin jadi botak dan membuat kamu berpaling dari dia? Kecuali kalau tipemu cewek botak, aku yakin sekali dia dikerjai."

"Olivia bukan orang seperti itu, percaya sama aku." Raka masih menyangsikan argumenku. "Kamu nggak kenal dia, tapi aku kenal. Banyak orang yang iri sama dia selama kami pacaran, tapi dia nggak membalas satu pun. Aku paham dia terkadang menyebalkan karena merasa dirinya pusat dunia, tapi Olivia bukan orang kejam."

Ada orang yang saking sangat sayangnya sama satu orang sampai buta pada setiap kesalahan orang yang dicintainya, dan Raka di depanku hampir persis seperti itu. Aku tidak mengerti kenapa dia menolak tegas orang yang sudah melukai dia.

"Kamu sangat tahu dia, sampai-sampai kamu tahu kalau nantinya dia bakal selingkuh dengan Michael? Aku nggak ngerti kenapa kamu bela dia, dia sudah melukaimu. Dia pacaran dengan teman baikmu sebelum kalian benar-benar putus. Foto kita juga sedang dalam perjalanan menuju tersebar. Kenapa kamu begini?"

Aku tahu aku mengambil langkah yang sangat besar hingga kurasa agak lewat garis batas, tapi aku perlu memastikan ini. "Kamu masih punya perasaan sama Olivia, ya?" tanyaku.

Raka membuka mulutnya sedikit, kemudian dia menatap ujung meja layaknya sedang memutar sesuatu yang tidak sanggup terkatakan di kepalanya.

"Nggak," ucapnya, tidak terduganya melegakan. Kukira dia masih menyukainya. "Hanya saja, kami beberapa kali putus-nyambung, putusnya yang terakhir alasannya nggak seperti yang dirumorkan."

"Apa maksudmu?"

Raka memutar jarinya di meja membentuk gerakan melingkar. "Aku sedikit mencurigainya dekat dengan cowok lain karena melihat pesan yang janggal di ponselnya. Dia marah, kami bertengkar hebat, lalu break. Buruknya, di saat itulah dia mulai berhubungan dengan Michael."

"Jadi, Olivia nggak selingkuh?"

"Kami sedang break saat dia berhubungan dengan cowok lain, itu terhitung setengah selingkuh, kan?" Raka berusaha meyakinkan. "Bukannya orang-orang seperti itu? Kamu melihat chat mencurigakan lalu curiga? Ada banyak cewek-cewek yang memaksa berbagi password social media supaya bisa memantau cowoknya saking takut kehilangan."

"Aku nggak pernah seperti itu," jawabku otomatis.

"Kamu nggak seperti itu?" Raka tampak heran sekali. "Bagus untukmu kalau kamu bukan cewek seperti itu. Banyak hubungan retak karena salah paham seperti itu, masalah kepercayaan atau apalah itu." Omongan Raka mulai melantur kurasa beginilah dia kalau malu.

Aku tidak pernah melihat ponsel Dirga, tidak meminta password ponselnya atau social media, kupikir itu bukan masalah. Toh, itu privasinya. Apa aku harus khawatir?

Raka kembali ke topik, "Tapi kamu benar. Kita harus mencurigai siapa pun yang mungkin. Akan kutanyakan soal foto itu."

Satu grup pengunjung masuk ke restoran. Pak Derok yang melihatku mengobrol, menggerakkan jarinya menunjuk meja pengunjung, menyuruhku bekerja. Itu izin yang bagus untuk kabur karena Raka mulai bertanya, "Dari mana kamu tahu semua informasi soal aku dan Olivia? Kamu mencari tahu soal aku?" dan hanya Tuhan yang tahu betapa susahnya menyelesaikan percakapan kalau Raka mulai membicarakan dirinya.

Setelah mencatat pesanan, memberikannya pada koki, dan menyajikan minuman, Raka mendorong pintu dapur restoran untuk berpamitan. Dia ada kelas malam.

****

Itu hampir tengah malam, aku masih bangun mengerjakan konsep tema gambar yang akan kuserahkan Jumat nanti pada Ester, ketika terdengar bunyi ketukan dari jendela kamar. Maya ikut mendengarnya, dia menggeliat kecil di balik selimut sebelum terlelap lagi. Ulah anak usil, pikirku, jadi kubuka jendela untuk menegurnya. Tidak ada anak-anak di sana, namun ada cowok berwajah datar itu berdiri di lantai satu menatap jendela kamarku.

Dia mengenakan hoddie biru kesukaannya, satu tangannya memegang batu dan satunya lagi terangkat melambai padaku. Senyum tipis ia suguhkan seolah bila sumringah seseorang akan menagihnya uang banyak. Aku sangat tidak antusias melihatnya, pacar manapun pasti akan sebal kalau diabaikan selama dua hari.

"Ngapain kamu ke sini? Ini sudah tengah malam." Kuintip jendela bawah takut Tante Emily belum tidur, tapi aku tidak bisa melihat penerangannya dari tempatku.

"Kamu nggak membalas pesanku."

Aku sempat membaca pesan yang dikirim Dirga sore ini. Dia bilang, "mau ketemuan kapan? Maaf aku baru balas, aku bisa sekarang.", lalu "Kamu di mana?", dan "masih nginap di rumah Maya?" Tidak ada satu pun dari chat itu yang kubalas, pun satu pun teleponnya. Aku tidak menjauhinya karena masalahku dan Raka, aku murni sebal selama dua hari ini aku memikirkannya tapi dia sama sekali tidak mencariku.

"Mungkin kalau kamu kirim dua hari yang lalu, kamu bakal dapat balasannya." Aku membalas dengan ketus.

Wajahnya berubah murung. "Turunlah. Kumohon. Kita bisa bicara."

Aku sudah ancang-ancang mengusirnya, namun dari belakang Maya mendadak menyambar, "Tolong, turunlah! Temui dia. Kalian berisik sekali!" Maya menyentakkan selimutnya sampai ke atas kepala seperti ayam marah yang kembali ke kandangnya setelah berkokok di atas pohon menegur manusia yang ribut tengah malam.

Kututup jendela, mengambil sweater-ku, lalu dengan terpaksa turun ke bawah untuk membuka pintu. Punggung Dirga yang pertama kudapati, lalu dia berbalik dan melempar senyum lega padaku. "Hai," sapanya. "Kukira tadi kamu Tante Emily yang datang mengusirku."

"Kamu nggak seharusnya datang ke sini." Aku menutup pintu di belakangku.

Semua lampu lantai satu sudah mati, kecuali lampu menyala dari kisi-kisi kamar Tante Emily yang kulihat saat turun tangga. Tante Emily sepertinya belum tidur. Aku yakin dia tidak akan suka kalau anak yang baru dua hari numpang membawa masuk cowok malam-malam begini di rumahnya.

"Aku tahu." Dirga melepas napas berat. "Hanya saja dalam perjalanan pulang, aku lewat jalan Kedungdoro dan melihat gerobak bubur yang selalu ingin kamu coba itu buka, lalu aku teringat padamu." Dia menyerahkan dua bungkus plastik yang tadinya ternyata sejak tadi dia pegang. "Makanlah nanti dengan Maya."

Kulihat ke dalam kedua bungkusan. Masing-masing terdapat satu kotak stereofoam dan sebungkus kerupuk. Masih hangat. Ada label warung pada bagian atas stereofoam, Mang Bubur. Itu tempat bubur yang sangat ingin kucoba tapi hanya buka pada tengah malam. Katanya bubur di sana sangat enak, orang-orang sampai harus mengantre membelinya, jadi di suatu percakapan malam di chat room kami aku mengajak Maya dan Dirga pergi ke sana. Hari itu kami tidak jadi pergi karena hari hujan. Aku tersentuh Dirga masih mengingatnya.

"Kamu cuma datang untuk ini?"

"Iya," bahuku melorot mendengarnya, Dirga menyambung, "meski sebenarnya setelah akhirnya melihatmu aku jadi sedikit senang terpikir itu sebagai alasan ke sini."

Aku telah membayangkan banyak skenario dan ucapan tajam yang menyakitinya sebelum ke sini. Ketika kamu menyayangi seseorang, tentu kamu ingin mendapat kepedulian yang sama bukan? Ketika kamu tidak mendapatkannya, kamu marah. Kamu ingin membanting pintu di depan mukanya, menyeruduk hidungnya yang mancung itu sampai merah.

Namun setelah bertemu, semua rasanya tidak ada gunanya. Itu seperti datang ke medan perang dengan pistol berpeluru, namun yang kamu tembak adalah pohon, udara, atau dinding. Semua terasa sia-sia karena kamu tahu daripada kemarahanmu, kamu lebih merindukan melihatnya. Karena itu banyak orang mengatakan mencintai membuatmu lemah. Kamu akan selalu membuat pengecualian untuk orang itu.

Dengan melihat Dirga datang ke sini, memakai alasan bubur itu, aku senang jadi tahu aku tidak lemah sendirian.

Aku menyuruh Dirga tinggal dan makan bubur bersama. Kami duduk di tangga teras dan saling bersisian. Itu masih bulan Oktober, masa peralihan musim kemarau ke musim hujan, jadi pada siang hari udara hangat namun di malam hari kalau kamu memakai celana pendek terasa dingin. Melihat celana piamaku pendek, Dirga membuka hoddie-nya dan memakaikannya padaku.

Malam itu tenang sekali. Tidak ada satu kendaraan pun lewat karena hari sudah larut. Lampu-lampu rumah kompleks meramaikan jalanan, memberi kesan hidup meski tidak ada satu manusia pun di sana.

Aku bertanya padanya kenapa sulit sekali mencarinya belakangan ini. Dia bilang, dia sibuk. Ada tugas individu tentang rancangan konstruksi bangunan yang seharusnya sudah dikumpul minggu kemarin, dia mendapat nilai buruk, jadi dengan segala bujukan dia berusaha kesempatan perbaikan. Mungkin tidak bisa dengan nilainya, tapi bisa meningkatkan kemampuannya. Aku lupa aku pacaran dengan seorang kutu buku.

Dirga menyendok bubur dan ayam suwirnya dengan kerupuk. "Di pesanmu yang lalu katanya kamu mau bicara sesuatu. Kamu mau bicara apa?"

Aku mengunyah cakwe di mulutku yang mulai terasa hambar. Aku tinggal bersama Raka, itulah yang sejak awal ingin kukatakan sebelum acara marah-marahku ini, tapi draft penjelasan panjangku tentang itu ada di memo ponsel. Ponselku tertinggal di kamar.

Aku menggaruk dahi. "Ester memberiku kesempatan melakukan live painting performance di pameran seni akhir tahun depan."

"Benarkah? Itu hebat sekali!" Dirga ingin memelukku tapi kami terhalang kotak bubur, dia akhirnya hanya meremas bahuku. "Apa itu live painting performance?"

"Artinya, aku akan menggambar di depan orang-orang secara langsung."

"Jadi kami akan melihatmu menggambar selama mm ..., satu jam?"

"Nggak. Cuma beberapa menit, biasanya selama tiga atau empat lagu, itu tantangannya." Aku menjelaskan. "Tapi ini belum fixed. Aku harus membuat konsep yang lebih baik dari kedua lawanku yang lain."

"Kamu pasti bisa mendapatkannya. Aku tahu itu. Aku tahu seberapa hebatnya kamu."

"Kata, orang yang bahkan nggak tahu live painting performance itu apa." Aku meledek.

Kemudian kami kembali makan lagi dan terdiam cukup lama. Kuletakkan sendok di kotak makan, mengusap tanganku yang berkeringat di celana. Aku ingin menunggu bicara sampai kami selesai makan tapi kuingat Raka bicara, "kalau kamu peduli sama hubunganmu, kamu harus bicara padanya." Kami sudah berjanji untuk saling jujur, jadi aku harus melakukan ini.

"Aku punya satu kabar lagi," kataku.

"Mmhm?" Dirga bergumam karena mulutnya penuh makanan.

Kutaruh kotak makananku di ubin lantai, duduk menyamping menghadapnya. Jantungku berdenyut keras sementara kepalaku mencoba mengingat kata-kata di draft pada memo ponselku.

Sambil saling meremas tanganku aku bicara, "Ada sesuatu yang nggak kuceritakan tentang teman rumahku ...."

Kata-kataku terputus oleh dering ponsel Dirga yang memekik. Itu pasti bel penyelamatku dari serangan jantung karena aku amat sangat lega mendengar itu. Dirga mengecek ponselnya, melihat nama penerimanya, tapi dia tidak menerimanya, dia menolak panggilan itu.

Dia menyelipkan ponselnya ke saku celana, saat aku bertanya, "Siapa, Dir?"

"Bukan siapa-siapa." Dirga kembali menyendok buburnya, kemudian menyadari aku masih menatapnya. "Cuma papaku. Dia pulang kantor, tapi aku nggak ada di rumah."

"Dan kamu nggak apa-apa nggak menjawabnya?"

Dirga menggeleng. "Aku sudah kirim sms."

Pembicaraan kami entah bagaimana menggulir ke pentas seni yang nanti diadakan akhir tahun dan menduga-duga bagaimana acaranya. Sementara aku menunggu kapan waktunya membelah percakapan dan kembali meluncurkan lanjutan dari omongan teman rumahku.

Ini lucu ketika kamu akhirnya memberanikan diri untuk bicara jujur pada hal yang kamu takutkan, semesta mengundang semua binatang, orang, angin ribut untuk menghalaumu bicara.

Dan ini dia halangan kedua yang tidak kuduga.

Pintu rumah ternyata tidak tertutup rapat. Celahnya bisa dengan mudah didorong kepala makhluk berbulu kesayangan Tante Emily. Mr. Knickles yang gendut dan lapar mendadak meloncat ke pahaku untuk menjilati kotak buburku. Karena badannya gendut maka lompatannya tidak maksimal, kepalanya akhirnya malah menampar kotak makanan, menumpahkan isinya, dan menciprat bubur ke mana-mana.

"Mr. Knickles!" tegurku.

Bubur bertebaran di lantai, celana Dirga, dan hoddie-nya Dirga. Aku mencoba menangkap Mr. Knickles untuk memberinya pelajaran, namun kucing gendut itu punya bulu tebal, dia meloncat di celah ketiakku lalu berlari ke halaman belakang. "Kucing nakal!" umpatku.

"Dir ..., hoddie-mu." Aku menunjukkan pinggir hoddie-nya, ada bercak putih di sana. "Padahal ini hoddie kesukaanmu."

Dirga menyekanya. "It's okay. Ini bisa hilang kalau dibilas sedikit, kok." Bercak putih itu berubah jadi bekas hitam saat diseka. "Apa aku bisa pakai toiletmu?"

Aku tidak mungkin menyuruhnya ke toilet atau wastafel dapur, jadi kusuruh dia membilasnya di wastafel halaman belakang. Dirga mengambil hoddie-nya lalu pergi lewat pintu samping. Kubersihkan bekas bubur dengan tisu lalu membuang kotak bubur yang kosong di tong sampah.

Kringgg .... Kringgg ....

Dering ponsel terdengar dari suatu tempat di teras. Mataku berkeliaran mencari sumber suara, lalu kutemukan ponsel Dirga tergeletak di tangga tempat duduknya tadi. Dia melupakannya.

Aku hendak mengamankan ponsel itu ketika tidak sengaja kulihat layar ponsel memunculkan nama si pemanggil telepon.

Kata orang, bila sesuatu terjadi di luar kehendakmu kamu tidak boleh menyalahkan semesta. Semesta selalu punya maksud atas setiap kejadian hidupmu. Entah itu lewat kucing melompat atau lewat dering telepon yang diabaikan. Suka atau tidak suka kamu harus menerimanya, karena nantinya semua kesalahan dan gangguan itu akan menemukan maknanya.

"Febby's calling ...."

****

Happy New Year, gaes 🎉❤
Sudah buat harapan atau resolusi nggak di tahun baru ini?
Kalau aku sih, sudah, salah satunya menyelesaikan cerita ini :)
(Moga saja terkabul ya, Amin)

Nggak terasa sekali udah tahun yang baru aja, padahal rasanya aku baru nulis chapter 1 Januari lalu. Gilak ya, cerita ini udah setahun aja dan belum selesai juga 😶

Semoga di tahun baru ini kita diberikan berkat, kesehatan, dan kebijaksanaan ya dalam memanfaatkan waktu yang ada.
Semoga keinginan yang belum terkabul tahun lalu, terkabul tahun ini 🙏

Dan terutama, semoga kita bisa melewati tahun ini dengan baik!
(Ciayo, Say!)

Jangan lupa tinggalin vote+komen di cerita ini ya supaya rame

Sampai jumpa di chapter depan!

4 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top