24. The One That Need to Talk
Happy Reading!
****
Sepanjang malam, aku menunggu pesan dari Dirga, namun sampai pagi pun tidak ada jawaban. Membacanya saja tidak. Mungkin dia sibuk sekali, kataku pada diriku. Bukan karena aku tidak ingin menghubungi atau menemuinya di kampus esok hari, tapi sedikit melegakan punya waktu lebih untuk mempersiapkan diri.
Pagi itu, aku duduk di sofa tengah bersama Maya yang sedang nonton TV. Dia mengolesi selai kaya pada rotinya. Kami masih memakai piyama dan bisa sedikit bersantai karena kelas pertama kami itu siang hari. Sementara aku mengerjakan draft pesan penyesalan yang bakal kubacakan nanti pada Dirga sambil mengunyah roti.
Ketikanku berhenti pada, "tenang saja, Raka lebih seperti anjing peliharaan yang punya hutang perbaikan mobil denganku, secara teknis dia lebih mirip kucing karena suka berkeliaran malam-malam ...." Kemudian itu kuhapus setelah kubaca dua kali karena bergurau saat bicara serius rasanya tidak layak. Bagus, sekarang aku makin tidak punya apa-apa.
"May. Kemarin, Dirga ada menghubungimu?"
"Nggak. Kenapa?" kata Maya tanpa berpaling. Dia menonton kartun Spongebob yang episodenya diputar berulang kali.
"Semalam dia nggak membalas pesanku."
Yang balasannya tidak kutunggu, tapi aku ingin tahu kabarnya. Pagi ini dia bahkan tidak mengirimkan pesan manis. Dirga selalu mengirimkan pesan manis meski pesannya payah sekali. Kemarin dia bilang, 'semoga harimu lebih baik dari rasa ayam tim jahemu yang menakjubkan'—sekarang aku baru mendengar nada sarkasmenya.
"Mungkin dia selingkuh dan sudah menghamili anak orang. Congrats."
"Hei!"
"Berhentilah, mencarinya. Kalian baru pacaran sebulan. Setengah tahun kemudian kalian akan bertengkar karena kamu tiap hari mencarinya dan mendengar kalimat basi pamungkas bernama 'kamu berubah' padahal sikapnya dia yang berubah." Maya melipat roti selainya menjadi dua. "Seperti Sammy. Dia dulu manis sekali," keluh Maya, dia mendesah keras lalu menggigit rotinya dengan buas.
Aku memandangi Maya yang sedang mengunyah seperti binatang liar yang sedang sedih. Sejak Maya pindah dari apartemen, ada banyak sekali hal yang terjadi, hingga aku lupa meluangkan waktu mengobrol seperti ini dengannya. Lucu, saat hidupmu tidak baik, kamu mengira bahwa hidup orang lain sedang baik-baik saja. Kuduga, punya Maya tidak. Setidaknya dalam kehidupan percintaannya. Dan ya, dia telah mengeluhkan itu sejak kemarin. Aku terlalu terlambat sadar.
Aku bergeser mendekati Maya, "May," seharusnya setelah memanggil Maya aku tanya 'kamu nggak apa-apa', namun tertahan saat Tante Emily masuk membawa termos kopinya.
"Anak-anak, aku pergi kerja. Ingat. Sebelum keluar rumah jangan lupa kunci pintu, pastikan kompor mati, TV, dan catok mati. Aku nggak mau lantaiku gosong karena alat catok, itu berlaku untukmu Nona Kecil," ucap Tante Emily sambil memutar tutup termos kopi, menunjuk Maya dengan dagunya.
Nona Kecil itu panggilan untuk Maya di sini, kata Tante Emily itu karena Maya anak manja. Aku bakal membela Maya kalau saja dia lebih rajin menyiram tanaman saat kami tinggal bersama.
Tante Emily bersiap-siap ke kantor. Dia bekerja sebagai data analyst di perusahaan multinasional. Pekerjaan keren untuk wanita lajang usia 40. Kuharap, kalau aku masih melajang di usia itu aku bisa seperti dia, dengan karir bagus, wajah keriput yang mencirikan keanggunan wanita dewasa dan badan masih cocok memakai dress bodycon ketat.
"Untuk kelima kalinya, tombol catokannya yang rusak. Itu sudah kumatikan tapi masih nyala." Maya membela diri.
"Akan mati kalau kamu ingat mematikan stop kontaknya." Tante Emily mendesah dramatis. "Kalau saja anak-anak sekarang bisa menghargai sumber daya yang ada dan nggak membuang-buang waktu pacaran terus."
"Nggak buang-buang waktu kalau aku punya pasangan."
"Yang mau mengajakmu liburan orang dewasa ke Bali? No way. Sekarang kamu kira Tante skeptis. Siapa peduli sama masa depan yang begitu jauh ketika banyak hal seru terjadi di saat ini? Tapi saat dewasa nanti kamu bakal sadar kalau Tante telah menyelamatkan hidupmu. Nggak semuanya tentang kesenangan atau cowok, tapi tentang kamu dan apa yang kamu lakukan dengan hidupmu."
"Sayangnya yang dirasakan Maya sekarang seperti hidup di penjara."
"Selera humormu memang bagus sekali." Tante Emily berdiri di belakang sofa dan menepuk pipi Maya. "Oh! Dan jangan lupa beri makan Mr. Knickels!" Mr. Knickles adalah kucing peliharaan Tante Emily.
Maya mengeluarkan suara geraman mirip tupai kesal sementara Tante Emily pergi mengambil tasnya di kamar.
Aku meninggalkan perseteruan kecil itu karena ponsel yang selama hampir sepuluh jam ini bersamaku, akhirnya berbunyi. Dirga. Pasti itu balasannya, begitu pikirku sambil kembali deg-degan karena draft-ku belum rampung. Bagaimana kalau dia minta ketemuan hari ini?
Tidak ada pesan dari Dirga. Namun, aku dapat pesan satu dari Ester, ketua klubku minta ketemu.
****
Ini masih hari Selasa, dan dua kali aku tidak ikut kegiatan klub mingguan.
Aku tahu, tangga prioritas hidupku tidak seharusnya mengalami perubahan signifikan, klub ilustrasi jatuh ke posisi tiga terakhir mengalahkan 'membersihkan apartemen' dan 'belajar resep ayam tim jahe. Jadi, saat Ester, ketua klubku yang galak menyuruhku datang usai kelas ke ruang klub, firasatku kurang bagus.
"Kamu menunjukku sebagai wakil klub?" ungkapku takjub.
"Nggak." Ester melipat tangannya depan jantung. "Kamu salah mengambil poin dari ucapanku. Aku bilang, kamu salah satu kandidat pilihan bila live painting performance diijinkan dilaksanakan panitia. Ini masih bulan Oktober, semua sketsa acaranya masih kasar. Belum ada yang pasti."
"Aku salah satu kandidat," ulangku dengan suara bergetar sambil membekap mulutku, menahan haru. Pelupuk mataku mulai terasa panas karena produksi air mata.
Akhir-akhir ini hidupku bak roller coaster yang meluncur ke jurang curam, terus turun tanpa tahu kapan naik, dan kini aku bisa melihat lintasan kereta mulai beranjak naik. Aku bersyukur sekali firasatku salah karena berita ini sangat, sangat, sangat bagus.
"Tolong jangan menangis. Ini bukan sesuatu yang sangat besar."
Kugelengkan kepala. "Siapa yang mau menangis? Ini memang bukan hal besar," aku bicara begitu sementara segaris air mata menuruni pipi lalu ke kerah leherku, lalu detik setelahnya aku menangis seperti bayi. Ester mengembungkan dadanya saat menarik napas panjang lalu menarikku dalam pelukan dengan terpaksa.
Tiap akhir tahun, sebelum minggu ujian akhir tiba, kampus kami mengadakan Bulan Seni Budaya. Seperti namanya, Bulan Seni Budaya adalah pertujukan karya seni dari dan untuk para mahasiswa. Yang mencakup pameran karya lukisan, potret, busana, pagelaran musik modern, teater musical, sampai lomba vocal group. Bahkan, beberapa tahun ini mereka mengundang band, penyanyi indie, dan kalau cukup dana, artis ibukota.
Tahun ini, klub kami mendapat kesempatan mengisi acara. Kami tentu akan memamerkan pameran lukisan. Namun, berpaku pada yang diminta panitia bukan sifat ke-Ester-an. Orang-orang perfeksionis yang gila mengejar kesempurnaan memang selalu merepotkan dirinya sendiri. Beruntungnya, kami jadi ketambahan acara live painting performance aka menyelesaikan karya seni di depan publik. Aku, menggambar di depan panggung! Di hadapan orang-orang! Isn't it sounds amazing?
"Kamu satu dari tiga kandidat, ingat." Ester berusaha menenangkanku agar kembali fokus. "Kamu harus mengumpulkan ide gambarmu Jumat ini ke aku. Temanya tentang 'Masalah Sosial'. Ulangi perkataanku."
"Temanya 'Masalah Sosial'. Kumpul Jumat ini." Aku menurut.
"Kedua kandidat lain sudah kumpulin, tinggal kamu karena minggu lalu kamu nggak datang. Sekali lagi kamu nggak datang, gelar sekertaris bakal aku kasih ke Mindy," ancam Ester.
Aku terlalu senang untuk peduli. "Kalau misalnya, ideku yang diambil apa lukisanku yang lain bisa dipamerkan juga saat acara? Tema pameran kita apa? 'Masalah Sosial' juga?"
"Aku pilih kamu karena Mindy cerewet, ternyata kamu sama saja. Anggap pembicaraan barusan nggak pernah terjadi."
Ester mengambil langkah lebar-lebar menjauh dariku, keluar dari ruang klub. Aku mengejarnya. Mindy memang lebih dulu masuk klub dibanding aku. Di hari para mahasiswa memilih klub mereka, Mindy dengan motif mencari cowok dan sifat sok ramahnya berdiri di meja pos menggantikan Ester saat aku mendatangi mejanya, kukira dia senior. Ternyata, kami sepantaran. Aku tidak akan mau posisiku diambil oleh orang yang masuk klub untuk cari cowok.
Mindy menyapa kami saat aku mengejar Ester. Dia tersenyum lebar sekali meski aku tahu itu palsu, karena dia menggosipi Ester di belakang, kalau gaya rambut Ester mirip Dora jika menjadi pelayan Karen's Dinner.
"Kalian sedang ngapain?" tanyanya sembari mengamit tanganku saat lewat.
Aku kehilangan Ester di tangga turun. Great. Sekarang aku tidak bisa membocorkan Mindy menggosipi gaya rambutnya di belakang supaya Ester memilihku.
"Kami baru saja makan siang."
"Kamu dan Ester? Kalian berdua?" tanya Mindy seakan aku sedang membohonginya. Tebak apa? Aku memang bohong!
"Kami cukup dekat." Cukup dekat untuk dia menunjukku melakukan live painting performance dan bukan memilihmu. "Kalau kamu mau makan di klub, pergi saja. Lagi nggak ada orang kok."
"Sekarang sepertinya akan ada."
Mindy bicara omong kosong, kukira begitu. Sampai kulihat ke mana matanya tertuju. Cewek dengan rambut panjang cokelat keemasan tergerai, sedang mendaki tangga. Tampilannya modis namun tetap aman untuk kampus: blazer hitam, jeans dan tank top putih, kecuali heels itu yang berderap gaduh saat jalan. Meskipun begitu para cowok yang menegurnya pasti minta maaf melihat kulit putih itu dan wajah mirip rusa cantik macam Agatha Chelsea.
Dia meninggalkan aroma rose lembut saat melewati kami. Jenis parfum mahal yang harum dan tidak menyengat. Miss Dior, tebak Maya bila ada di sini.
"Olivia Amora, mantan pacar Raka Rasyad." Mindy mengenalkan sosok cewek misterius yang kini masuk ke ruang klub kami.
"Dia?" sahutku, melotot. Mindy segera menegurku karena suaraku kelewat keras.
Dia mantan pacar Raka, cewek yang dikirimi puisi saat valentine, pacar Raka yang dinner di rooftop restoran, dan lebih intim dengan ponsel memberitakan kencan mereka kepada publik daripada makan malam dengan Raka? Cewek yang membuat Raka makan keong amis itu?
"Iya. Mereka sweet couple kampus ini di tahun pertama sebelum semua orang tahu mereka putus-nyambung sejak SMA dan berakhir benar-benar putus di akhir semester pertama. Hubungan mereka rumit. Dia berselingkuh dengan sahabat Raka, Michael."
"Michael yang besar dan tukang ledek itu?"
Mindy mengangguk. "Michael yang meledekmu punya 'gangguan seksual'. Sorry."
"Dia lebih berengsek dari yang kubayangkan. Kenapa Raka memaafkannya?"
"Michael diputuskan satu minggu setelahnya. Kurasa Raka sadar kalau hubungan itu cuma selingan saja. Mereka juga sudah teman baik sejak SMP atau Raka memang murah hati. Tapi dengan Olivia, nggak ada kata 'balikan' lagi meski cewek itu kelihatan sekali mengharapkannya." Mindy mendecih pada kalimat terakhir.
"Maksudmu?"
Mindy menepuk lenganku. Aku sontak diam. Karena pintu ruang klub kami kembali terbuka. Olivia tidak menemukan orang yang dicarinya, jadi dia pergi. Bunyi hak kembali menjalari lantai lorong menuju tangga, meninggalkan lorong dengan wangi manis bunga mawar lagi. (Sumpah, kalau punya duit aku akan beli parfum itu satu, ada campuran wangi white musknya juga sepertinya)
Mindy kelihatan sekali ingin menyumpahi cewek itu di belakang pinggulnya yang lengak-lengok berjalan dengan anggunnya. Aku ingin meludahinya, kalau saja perbuatan itu sopan dilakukan di belakang orang. Kasihan sekali, Raka.
Kalimat terakhir Mindy tambah ingin membuatku meludahi cewek itu. "Penyebab semua hubungan Raka setelah itu nggak berhasil itu karena dia. Dia yang menyebar rumor buruk tentang Raka playboy dan suka menampar cewek. Dan kata orang, alasan Anya jurusan DKV yang beberapa bulan lalu dekat dengan Raka, memangkas rambutnya hampir botak itu karena Olivia menaruh permen karet di sisirnya." Mindy membuat gerakan memotong di bawah telinga.
"Buzzcut?"
"Pixie tapi bagian atasnya lebih lebat, mirip mullet-pixie, sialnya asimetris."
"Poor her. Semoga Anya punya banyak koleksi topi." Aku tidak kenal siapa itu Anya, gaya rambut mullet itu seperti apa, tapi dalam hati aku tulus berduka.
Lorong yang mendadak jadi ruang gosip bisa saja pembahasannya berlanjut makin panas kalau saja Mindy tidak tiba-tiba teringat, "Oh iya! Aku punya kabar baik! Orang tuaku setuju aku hidup mandiri asal tinggalnya di apartemen peringkat atas jurusan Akuntasi menurut cerita bohonganku, yaitu kamu! Jadi, kapan aku bisa pindah ke apartemenmu, Teman Sekamar?"
Di saat itu, aku tahu akan lebih mudah membaur dengan dinding daripada menjawab pertanyaannya.
****
Nah, sekarang muncul satu calon pelaku pengirim foto.
Chapter berikutnya bakal lebih seru ☺
Jangan lupa tinggalin vote+ komennya ya
Satu vote itu berharga banget buat penulis ini yang akhirnya nyadar ceritanya mulai sepi 🥺
Terima kasih sudah membaca dan sampai jumpa chapter depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top