22. Come to My House (II)

[Warning!
Chapter ini mengandung adegan yang kurang baik untuk para jomblo karena menyebabkan jantung berdebar, halusinasi yang berlebihan, dan adegan yang butuh kipas angin karena 'panas']

Happy Reading

****

Saat aku mendengar pintu kamar Dirga dibuka, di luar kesadaranku kulempar kotak kondom itu menjauh selayaknya itu adalah panci panas yang tidak sengaja kupegang. Itu bukan panci panas, tapi aku tahu orang-orang yang memakainya sebelum nikah akhiratnya nanti ada di tempat lebih panas dari panci panas.

Kotak kondom itu melayang jauh dari sofa, lalu mendarat di lantai ..., dekat kaki Dirga. (Sungguh pemilihan tempat pendaratan yang amat tepat)

Dirga memungut kotak itu. Dia memutar kotak itu, memandanginya lekat-lekat seolah dia tidak pernah melihat benda haram itu. Aku sungguh ingin percaya dia baru pertama kali melihatnya, andaikan saja aku tidak ada di sana dan tidak menjadi saksi satu-satunya yang menemukan benda itu di sofa ruang tamu rumahnya.

"Nola, ini ..., kenapa kamu buang?" tanyanya setelah sekian detik memindai kotak itu.

Wajahnya mengatakan benar-benar tahu itu apa dan benar-benar heran mengapa aku membuangnya.

"Itu ..., jatuh dari sofa waktu aku berdiri, aku panik saat menemukannya," jawabku sambil menelan ludah banyak-banyak dan mengusahakan mata melirik ke arah selain kotak kondom dan Dirga, "itu punyamu?" Aku mengelus tengkuk tidak enak hati bertanya itu.

"Iya."

Wow. Aku tidak menduga dia bisa menjawab pertanyaan sensitif secepat dan sesantai itu. Kupikir minimal orang seperti Dirga akan mengelak.

"Kenapa kamu kaget aku punya ini? Baru tahu kalau benda ini punya banyak rasa?" Dia memutar kotak itu menghadapku, membuatku melihatnya dan merinding. So bold of him to say something like that so easily.

"Aku tahu itu punya banyak rasa. Aku pernah lihat iklannya di Youtube. Iklan suami pulang kerja, lalu istrinya memakai baju ...," lingerie dan dia menyelipkan bungkus kondom di bibirnya sambil tersenyum seduktif, aku tidak seberani itu menjelaskan detail iklan kondom dengan mulutku.

Kutarik napas panjang dan membuangnya, sesak di dadaku sedikit berkurang. "Aku cuma nggak tahu kalau kamu ternyata punya benda itu," lanjutku sambil menunjuk kotak itu malu-malu.

"Kenapa?"

"Karena kamu nggak terlihat seperti cowok yang menyiapkan stok itu di rumahnya?"

"Karena tampangku kayak orang kaku? Percayalah, aku juga nggak menduga kalau aku bakal menyukai ini setelah mencobanya." Dia menggoyangkan kotak itu, menghasilkan bunyi dari benda bergulundung di dalamnya. "Kamu nggak akan mau mengecek berapa kotak yang kupunya di kamar dan dapurku."

"Kamu simpan benda itu di dapur?! Astaga, Dirga! Untuk apa? Kenapa?" teriakku.

"Supaya gampang diambil." Dia mengernyitkan dahi bingung kenapa aku tidak suka. "Gezz, La. Apa aku kelihatan orang sekaku itu? Aku bisa suka dan punya benda ini, seperti orang lain. Papaku saja suka."

"HAH? Om Tara juga suka?"

"Apa salahnya? Aku suka sensasinya saat di mulut."

"Astaga! Dirga! That's gross! Nggak ada yang mau dengar kecintaanmu pada kondom!"

"Kecintaanku pada kondom?"

"Aku tahu kalau kamu cowok, umurmu 21, kamu sudah dewasa dan hormon seksualmu sedang tinggi-tingginya, tapi kamu nggak boleh mengatakan itu pada pacarmu di hari kamu mengundang dia ke apartemenmu!"

"Nola, ini ...." Dirga mencoba mengatakan sesuatu.

Aku memegang kepalaku yang hampir pecah. "Anne benar soal kamu. Semua cowok maunya sama saja. Aku tersanjung karena kamu memandangku sebagai wanita dan mungkin mengharapkan lebih jauh, tapi sex itu menakutkan. Menakutkan karena aku belum pernah lakukan tapi kata orang menyenangkan. Tapi haid itu menakutkan dan hamil lebih menakutkan."

"Dengarkan aku dulu ...." Dirga memohon, aku terus mencerocos.

"OH! Dan kamu punya banyak ..., berarti kamu sudah melakukannya berkali-kali ...," mataku membelalak menyadari teori paling masuk akal, rasanya napasku mendadak sesak, "apa kamu sudah melakukannya sebelum," suaraku tersekat, ini sangat menyakitkan, aku butuh kantong napas segera, "atau, pernah kamu lakukan selama kita pacaran?" tanyaku, air mataku jatuh berlinang.

Dirga menadah dahinya. "Coba baca tulisan di kotaknya." Dia menyodorkanku kotak haram itu.

"Aku sudah baca berulang kali! Ini 'permen Konidin Lozenges, obat pelega tenggorokan' ...." Kukucek mata yang kabur oleh air mata, membaca kemasan kotak untuk kedua kali. "Ini 'permen Konidin Lozenges'?"

"Iya." Dirga mengangguk. "Kamu kira ini kondom?"

"...."

"...."

Satu menit berlalu dengan kami saling bertatapan.

Suaraku kembali dengan tergagap, "... n-nggak, aku nggak terpengaruh dengan fantasi murid SMA tentang alasan pacar mengajak pacarnya ke apartemen di hari spesial. Aku tahu itu permen. Pertanyaan singkat, apa kamu punya yang rasa herbal mint? Aku lebih suka yang itu."

****

Aku benci diriku. Aku bahkan lebih benci diriku saat ini, lebih dari semua kesalahan yang pernah kuperbuat.

"Tertawa saja, Dir. Luapkan semua. Aku tahu kamu lagi tertawa."

Dari meja makan aku memandangi Dirga dari atas mulut gelas air yang tengah kuminum. Dirga sedang melakukan demo masak di depanku, bekerja seolah dirinya chef alami di dapur modern penuh benda stainless menyilaukan ini. Sementara dia menjepit daging untuk membalik sisi kurang matangnya, kulihat bahunya bergetar dan dia mengikik kecil.

Dirga berdeham untuk mengatur suaranya. "Sorry, sorry. Situasi ini lucu sekali. Kamu menemukan kotak jatuh dari sofa dan kamu sangka kotak itu kondom padahal itu cuma permen!" Dirga kembali membekap mulutnya, tapi itu pun tidak bisa membendung tawa cekikikannya lagi.

"Kotak itu desainnya sangat mirip kotak kondom." Menurut yang pernah kulihat di minimarket, tentunya bukan riset sendiri.

"Ya, kalau dalam kotaknya ada bungkus kondom." Dirga meledek.

"Ini semua salahmu. Kamu yang ngajak aku ke sini berdua. Aku jadi parnoan, deh."

"Parno? Pada apa?" Mataku sontak melihatnya, dan aku terlalu terlambat untuk membuang tatap sampai dia sadar kalau, "kamu parnoan? Sama aku?"

Kuangkat bahu. "Ini hubungan pertamaku. Kamu juga nggak pernah ngajak berdua ke rumahmu. Itu bisa buat orang normal mikir macam-macam."

"Benar, dan aku cowok yang ketagihan memakai kondom. Aku cowok hiperseksual yang mengajak pacarnya ke rumahnya," katanya sarat sarkasme.

"Jangan menuduhku. Itu ucapanmu tadi!"

Kupijat dahiku, mengingat kembali penyesalan terbesarku untuk selalu membaca kemasan kotak permen sebelum berprasangka lain. Aku tidak percaya, kepalaku baru saja dikendalikan ABG yang kerjanya nonton film romantis seharian.

Kupanjangkan punggungku ke meja. "Masakannya masih belum, Dir? Baunya enak." Suara daging dimasak yang ditekan ke wajan terdengar renyah, semilir bau daging dan bawah putih harum semakin menggoda cacing-cacing dalam perutku berdemo minta makan.

"Dua menit lagi." Kini Dirga memiringkan wajan agar daging yang sudah kecokelatan itu bisa disiram air campuran minyak-mentega lumer-rosemary-bawang putih untuk menambah rasa daging.

"Aku nggak tahu kalau kamu bisa masak. Kamu belajar sejak kapan?"

"SMA. Setelah sadar kalau papaku payah memasak dan aku bosan memesan McD, aku belajar masak lewat youtube dan resep Koki Mama di instagram."

"Selama itu? Kenapa aku nggak pernah tahu?"

"Well, aku nggak pernah mengundangmu ke rumah, dan mungkin aku takut kamu ketagihan dengan masakanku seperti aku ketagihan dengan 'kondom'."

Kuputar bola mata sebal sementara Dirga cekikikan lagi. Saat daging matang, Dirga mematikan kompor, menjepit steak ke atas piring kayu dan menuang saus ke atasnya agar daging lebih juicy. Mangkuk mashed potato dan buncis ditaruh di pinggiran piring. Dia membawa dua piring steak ke depanku, di sebelah sup smoked beef dan corn, dan sepiring garlic bread.

Aku kira sajian sudah selesai jadi aku mulai merapikan serbet makan di atas pahaku, saat mendadak seseorang menaruh satu piring kue choco lava cake. Pada pinggir piring, tertulis 'Happy Birthday!' dengan tulisan saos cokelat.

"Happy birthday," bisik Dirga di dekat telingaku.

Dirga menyalakan lilin kecil yang menancap pada kue dengan korek api. Lidah api menjilat benang lilin dan membakarnya perlahan. Sebelum aku sempat berpaling padanya, dia membubuhi kecupan di pipiku.

Aku menyentuh bekas kecupannya yang membara bersama pipiku, menatapnya yang lanjut duduk di kursi depanku. Sangat. Sangat syok. Mataku sampai bisa melompat keluar bila tidak ada penahan.

"Yang ..., barusan itu apa?"

Dirga menggelar serbet di pahanya. "Kamu ulang tahun hari ini. Aku mengucapkan selamat ulang tahun. Lalu mengecupmu." Dia jelas-jelas tahu bukan itu maksudku, pipinya juga memerah. "Aku mencoba bersikap manis karena Maya bilang kamu akan menyukainya."

"Aku sangat menyukainya!"

"Beneran? Itu nggak menjijikkan? Nggak membuatmu merinding?" Dirga melihat aku mengernyitkan kening, dia tahu dia salah bicara. "Bukannya menciummu membuatku merinding. Kita nggak biasanya bersikap ..., kamu tahulah ..., manis, di momen begini."

"Ini juga pertama kalinya aku dirayakan ulang tahun oleh orang selain keluargaku." Aku menambahkan. "Kecuali, di rumah Maya waktu itu. Tahun lalu aku rayain sendiri, karena aku di kota ini, Maya diajak pergi menemani bibinya ke kampungnya, dan kamu saat itu masih pacaran sama ..., Febby." Aku menghela napas saat mengatakan nama 'Febby'.

Dirga memainkan jarinya. "Well ..., rencananya kita memang akan merayakan dengan Maya bertiga. Tapi, aku ingin melakukan usaha sedikit karena akhir-akhir ini kita jarang ketemu. Karena kita sama-sama sibuk. Dengan tugas kuliahku, dan kamu kegiatan di klubmu dan mengajar Anne. Jadi, aku melarang Maya datang."

"Owh ...," senyumku sedikit turun, tanganku saling menggenggam di bawah, "jadi itu alasannya?"

Aku tidak ingin terdengar kecewa, aku tidak seharusnya terdengar kecewa, tapi aku terdengar seperti itu.

Dirga ternyata juga mendengarnya. "Apa aku terlalu berlebihan?"

"Nggak, nggak! Ini bukan soal kamu!"

Ini soal aku dan kebohonganku, Dir. Aku kecewa pada diriku sendiri. Sementara aku mengkhawatirkan urusan sewa apartemen, Raka, kerjaan di restoran, aku lupa menyempatkan waktu bertemu Dirga.

"Aku juga merindukanmu. Dan aku sangat senang kamu mengambil hari ini untuk alasan bertemu."

Dirga kembali tersenyum lega. "Untung ya, aku kepikiran ini dan mengusir Maya?"

"Iya. Kalau bukan karena ajakanmu ini, Maya pasti pagi-pagi sekali sudah ada di depan pintuku dan mengagetkanku dengan ledakan pita dan nyanyian ulang tahun. Suaranya jelek."

"Maya sudah pesan kue dari minggu lalu, membeli topi, dan party popper." Dirga memberitahuku.

"Kamu sudah merencanakan ini semua dari minggu lalu?" kataku tersentuh. "Semua ini, untukku?"

Dirga tipe cowok yang tidak mudah mengatakan hal-hal manis penuh perasaan dan sikap norak membuatnya geli. Aku tahu dia sedang berpikir demikian, dia tersenyum-mirip meringis-lalu menyodorkan lava cake agar tidak perlu menjawabku.

"Make a wish," ucapnya.

Sambil menatap lilin yang menyala, kulipat tangan dan mengucap doa harapan agar apa pun yang terjadi, untuk seterus-seterusnya hubungan kami akan tetap seperti ini.

****

Makan malam berlalu bergulir dengan banyak obrolan, mashed potato, daging, wine, dan lebih banyak wine. Untuk Dirga, karena Dirga kuat minum. Aku yang si peminum lemah, dua gelas saja aku mulai sedikit puyeng.

Keuntungan merayakan ulang tahun bersama orang lain, selain kamu tidak merenungi nasibmu yang semakin tua namun piyamamu masih bertema kartun, adalah kamu bisa melewati malam itu bersama orang lain dan kamu jadi tahu seberapa besar mereka peduli padamu.

Rasanya menyenangkan tahu ada seseorang yang begitu peduli untuk repot-repot berbelanja bahan makanan, membuat, dan merancang perayaan satu tahun bertambahnya umurmu, seharian. Bahkan, bila orang itu tidak menyajikan wine dan daging, dan hanya nasi dan telur mata sapi. Merayakan ulang tahun bersama seseorang membuatmu sadar bahwa kamu tanpa sadar telah diberi berkah, bertemu dengan orang-orang baik yang menyayangimu dan kalau keberadaanmu juga penting. Walau dunia sering kali menyangkalnya.

Karena alasan itu, aku tidak ingin cepat pulang dan menyelesaikan hari ini. Aku ingin melewati hari ini bersama Dirga, setidaknya sampai lewat tengah malam.

Usai makan, Dirga mengeluarkan es krim dari kulkas dan kami mulai memilih film di Netflix untuk kami tonton. Dirga menolak film romansa dan horror. Aku menolak film aksi, sci-fi, dan thriller. Jadilah, kami menonton animasi Tangled.

Kami duduk berdampingan di sofa. Saat hampir pertengahan film, Dirga melebarkan tangannya, dia memeluk lenganku. Aku merinding saat itu dan berteriak dalam pikiranku, 'ini bukan Netflix n chilling seperti omongan Anne'. Kami hanya nonton dan bersantai.

Sampai di penghujung film, kami berdua dibuat menitikkan air mata (Dirga menyembunyikannya tapi aku tahu saja) saat Flynn meninggal dan Rapunzel menangisinya lalu air matanya membangkitkan Flynn dari kematian, dan sampai daftar nama pemeran dan pelaksana film bergulir tampil di layar, tidak ada yang terjadi. Kami menonton seperti tujuan kami.

"Jadi ..., apa ini semuanya?" Kuletakkan mangkuk es krim ke meja, diam-diam melirik jam dinding. Waktu menunjuk pukul setengah sebelas malam.

"Semuanya?" Dirga mengangkat alisnya, tangannya mengambil remote mematikan TV.

"Apa kita telah sampai di pemberhentian terakhir acara malam ini, Pak Kondektur?"

"Iya. Setelah ini kamu kuantar pulang."

"Ohh?" Aku terdengar kecewa, kuusap celana jeans-ku dengan ragu. "Ini masih jam setengah sebelas malam." Ini bahkan belum tengah malam. Kukira kami akan melewati hari ini bersama.

"Iya, ini sudah jam setengah sebelas malam," ralatnya. Dirga bangkit dari duduk. "Kuambil jaket dulu di kamar."

Dirga pergi ke kamarnya. Sementara aku, dengan masih bersungut-sungut, mengambil tas di meja sofa tanpa turun dari sofa. Kuperhatikan rumah ini. Meja makan telah kami bersihkan, lilin-lilinnya sudah kami angkat, dan piring-piring dicuci. Keadaan rumah kembali seperti semula, seolah sebelumnya kami tidak merayakan apa pun.

Aku menghela napas, lalu menendang remote yang kebetulan ada di dekat kakiku. Sebagai pelampiasan kekesalan. Kemudian, mataku jatuh pada bingkai foto di meja pendek.

Itu foto Om Tara dan Dirga dengan jubah kelulusan SMA-nya. Di sudut bingkai, terselip potongan foto ibunya yang masih muda, kira-kira umur 20-an, dia memakai setelan bunga-bunga model 80-an dengan lengan balon yang sangat cantik.

Dirga pasti mengambil kecantikan ibunya, senyum manis mereka sama meski punya ibunya tampak lebih ceria dan lebih bertenaga. Ibunya seperti tipe ibu yang menyajikan cemilan kue-kue saat anaknya belajar dan selalu hadir di tiap perlombaan ibu-anak. Berbeda jauh dengan Om Tara, yang sifatnya sepertinya menurun ke Dirga. Di foto mereka, Om Tara dan Dirga sama-sama bermuka datar.

Kusentuh pipi Dirga di foto yang jatuh. Kalau ibunya masih hidup, mungkin mereka akan jadi keluarga yang manis.

"Sudah siap pulang?"

Aku membuang napas, lalu berbalik. Dirga menutup pintu kamarnya, dia sudah mengenakan hoddie.

"Belum," kataku lesu sambil turun dari sofa. "Apa kita nggak bisa mengobrol di sini sampai tengah malam? Aku nggak mau melewati malam ini sendirian."

"Kamu nggak akan sendiri. Ada Mindy di rumahmu. Dia mungkin menunggumu."

"Mmm. Mungkin ..., semoga nggak." Karena Mindy tidak ada di rumahku. Raka yang ada, dan dia tidak tahu kapan ulang tahunku. Aku tidak memberitahunya.

"Oke, kita bisa tinggal sebentar di sini," kata Dirga. "Karena aku punya sesuatu lagi untukmu. Barang yang sebenarnya ingin kuambil di kamar." Dirga merogoh saku hoddie-nya. Dia mengeluarkan secarik kertas.

Sebuah surat berwarna cokelat.

"Seseorang pernah berkata sama aku, hadiah yang paling baik bukan soal mahal atau bergunanya, tapi tentang arti hadiah bagi si penerima," Dirga berjalan mendekat, "Saat aku memikirkan apa hadiah tepat yang bisa kuberikan sama kamu di hari ini, setelah berpikir lama aku menemukan hadiah paling tepat."

Dirga menyodorkan surat itu kepadaku. Ada namaku di depan surat, To: Athalia Nola.

"Maaf, balasan suratmu harus tertunda dua tahun," ucapnya.

Aku menatap surat cokelat itu tanpa sanggup berkata-kata. Tanganku bergerak melucuti surat itu, ingin segera membaca isinya. Namun, Dirga mendadak menariknya kembali.

"Tolong jangan baca di depanku juga. Isinya membuatku malu."

Kutarik surat itu lagi ke arahku. "Kamu sudah melihatku memegang kotak kondom, biarkan aku mendapat momen ini."

Untuk Athalia Nola,

Balasan suratmu datang ke apartemenku, dibawakan nenek tetanggaku yang cerewet karena matanya kurang baik membaca nomor loker surat apartemen dia salah mengambil kiriman untukku. Aku tidak pernah tahu surat tanpa nama pengenal itu, membawaku kepada kamu.

Membaca suratmu benar-benar mengingatkanku pada masa lalu. Misalnya, soal Secret Santa dan hadiah. Apa kamu tahu aku Secret Santa-mu? Kita mendapat nama satu sama lain. Tapi kita berdua pada dua tahun lalu saling tidak dapat hadiah. Meski aku tidak peduli soal Secret Santa, aku agak sedih tidak dapat hadiah darimu. Apa lagi kalau aku tahu hadiahmu Scrapbook itu. Selama awal-awal di Surabaya, aku merindukanmu dan Maya. Dan kamu.

Sangat menyebalkan kita harus putus hubungan selama beberapa saat karena salah paham. Tapi kalau melihat kita yang sekarang, aku tidak menyesali satu kejadian pun.

Di tempatku yang sekarang, aku kuliah jurusan Arsitek seperti yang kuinginkan. Aku dan papaku tinggal bersama dan aku tidak memanggilnya 'Pemilik Rumah' lagi, di hari peringatan kematian Mama kami juga pergi ke kuburnya bersama. Kami baik-baik saja.

Kabar yang terbaru, aku punya pacar manis, yang walau tidak pandai masak memasakkanku ayam tim jahe saat sakit karena tahu aku menyukainya. Dia agak kekanak-kanakkan, tapi dia tahu apa yang paling ingin aku dengar saat aku butuh. Dan yang paling penting, aku mencintainya.

Menjawab kegalauanmu di surat lalu, aku tidak tahu kalau cinta abadi itu seperti apa. Tapi aku merasakan sesuatu yang mirip saat bersamanya.

Jangan kaget.

Kamu juga cinta pertamaku. Juga, yang kedua.

Kuharap kamu bahagia di tempatmu sekarang, mendapat teman-teman yang menyayangimu, dan pacar yang tampan, pintar, bertanggung jawab, dan selalu ada saat kamu butuh.

Love,

Dirga

Ps : Jangan bertingkah norak dan menyebalkan saat kamu membaca ini, aku akan malu sekali

"Ini benar-benar jauhhhh lebih menyiksa dari yang kubayangkan." Dirga menopang kepalanya di tangan yang bertumpu pada lengan sofa. Dia tampak semengerikan baru saja menonton film horror live action.

Aku menurunkan surat itu di atas meja.

"Sudah baca semuanya? Sampai bagian P.S-nya juga? Kalau kamu mau bertingkah norak atau mengejekku, tolong turunkan tingkatnya lima puluh persen. Ini sudah sangat memalukan." Muka Dirga merah sekali.

Aku bergeser mendekatinya.

Dia menggosok telapak tangan di dada sepertinya ingin menormalkan perasaanya. "Jadi begini perasaanmu waktu tahu aku menemukan suratmu? Ini sangat nggak enak ...."

Kata-kata Dirga terpotong saat aku mencondongkan badan menciumnya. Ciuman itu hanya terjadi selama beberapa detik. Aku tidak berpikir panjang saat melakukannya. Aku hanya ingin melakukannya karena apa yang dikatakannya manis sekali.

Dia agak tersentak saat aku menciumnya lalu menarik dirinya sedikit, dia terkejut.

"I love you," bisikku, dadaku naik turun saat menarik napas. "More than I ever had."

Dia melihat ke mataku, aku melihat ke matanya, dan kurasakan kecupan itu meninggalkan kesan di pipi kami. Napasnya hangat membelai depan hidungku. Kukira kami akan berhenti, namun tanpa disangka dia memegangi kepalaku lalu membalas ciumanku. Ciuman yang lebih dalam, lebih layak, lebih panjang, lebih yakin.

Aku tidak tahu apa ciuman memang selalu mendebarkan dan memabukkan. Tapi mencium Dirga selalu terasa seperti itu. Jantungku berdetak jutaan kali lipat, sepertinya lebih cepat dari pelari sprint. Dan karenanya, aku jadi gugup.

Aku jadi memikirkan apa yang kulakukan sudah benar. Namun saat Dirga membelai rambutku, aku merasa lebih tenang. Tanganku mengalung di lehernya, bibirku mulai berani membalas ciumannya, dan kubuka mulutku, ujung-ujung lidah kami bertemu. Kurasakan tangan Dirga di pinggangku dan itu membuatku merinding.

Segala yang pertama selalu menakutkan. Hubungan pertama. Makan malam pertama. Kunjungan pertama ke rumah pacarmu. Bahkan, ciuman panjang yang pertama.

Segala yang pertama menakutkan karena kita mengira kita tahu apa yang akan terjadi. Semuanya telah ditulis di banyak buku romansa, film, pengalaman orang, masuk akal untuk menjadi cemas. Lucunya, kenyataan tidak selalu berjalan sesuai yang kita duga.

Seperti kejadian kotak kondom dan kotak permen. Saat kamu mengira tahu segalanya dalam sekali lihat, di saat itulah kamu salah.

Kamu harap kamu tahu, tapi kamu selalu tidak pernah tahu segalanya.

Tapi begitu pun tidak apa-apa, karena pada saat ini semuanya berjalan sempurna.

Dirga menarik dirinya sejenak, namun jarak kami tetap dekat. Kami saling berbagi napas, dan saat itu aku sadar kalau napasku ngos-ngosan. Tapi tetap, aku merindukan ciuman kami.

"We promise to always be honest. So tell me, katanya, jari tangannya masih memegang pipiku, "are you really okay with us doing this?"

Jeda sejenak saat dia memandangiku. Dan aku bersumpah manik matanya yang hitam tampak sangat indah hari ini. Seperti bila kamu menatapnya lama, kamu bisa terperosok dalamnya.

"Naked truth? Hell, yeah." Aku mencondongkan badan dan menciumnya lagi.

Karena itu hari yang sempurna. Dan kuharap itu berlangsung selamanya.

****

You have received three messages from unknown number!

[Unknown number: Send you three photos.]
[Unknown number : Hot News! Mahasiswa R dan mahasiswi N tinggal bersama!]

[Unknown number : Kamu tahu siapa mereka kan, Nola?]

****

Yang shippernya Dirga-Nola senang nggak sama chapter ini?

Chapter berikutnya ada hubungannya sama adegan yang terakhir (tebak hayo apa)

Jangan lupa vote, komen, dan add cerita ini di daftar pustaka kamu kalau kalian suka!

Jangan bosan-bosan menunggu cerita ini ya 🥺 makasih juga yang masih nunggu

Terima kasih sudah membaca!

Sampai jumpa chapter depan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top