18. The Four Dating Rules

Semua piring-piring bekas makanan dan gelas susu sudah diangkat pelayan, hanya teko teh hangat ditinggalkan. Aku menyesap teh oolong-ku, lalu mengetik angka satu di ponsel. "Jadi apa peraturan pertama kita?"

"Peraturan pertama ...," Dirga melipat tangannya di dada, keningnya berkerut berlipat-lipat, "nggak ada peraturan. Serius, apa ini perlu? Bukannya bedanya pacaran sama teman sudah sangat jelas, kenapa mesti diatur?"

"Memangnya apa bedanya?"

"Kamu nggak kencan sama temanmu," Dirga menggenggam tanganku di meja, "juga nggak pegangan tangan sama mereka. Ada banyak sekali."

Pipiku memerah melihat ia menautkan jarinya ke jariku dan bagaimana dia melakukannya begitu santai. "Bukan yang umum seperti itu, batasan yang lebih khusus. Seperti ..., saling menghormati pendapat pasangan, misalnya kalau pasanganmu nggak suka sentuhan fisik tiba-tiba, yang lebih dari ini." Aku menarik tanganku.

Dirga melotot sambil menyilangkan tangan di dadanya. "Seberlebihan apa?" tanyanya pura-pura tersipu, senyum usilnya mengembang lebar.

Dia melakukan reaksi typical Maya dengan cara yang lebih alim. Memang, sekali sepupu tetaplah sepupu, dan sekali cowok tetaplah cowok. Aku tahu pertanyaan itu ada untuk menjebakku untuk bicara hal memalukan (seperti menjelaskan batasan fisik pasangan yang sehat, pasti semua orang tahulah!), jadi kuambil ponselku dan bersuara sambil mengetik, "Dirga dan Nola harus saling menghormati satu sama lain."

"Aku selalu menghormatimu! Aku bahkan membawakanmu minuman sebelum kencan karena merasa bersalah sudah telat datang kencan."

"Pendapatku, kita butuh peraturan ini." Aku menekankan.

Dirga memijat dahinya melihat aku kekeuh pada keberadaan daftar peraturan kencan ini. Dia mengangkat tangan menyerah. "Ya sudahlah. Yang penting nggak ada kirim pesan manis sebelum tidur atau nonton film drakor sama-sama."

"Dirga harus mengirim pesan manis pada Nola sebelum tidur dan sesudah bangun," aku langsung mengetik itu cepat.

"Hei, aku nggak pandai bersikap manis," keluhnya, dia mencoba menggapai ponselku dengan tangan panjangnya, tapi kuluncurkan ponsel itu di bawah meja, ke atas pahaku. Aku tertawa saat dia mengalah. "Oke, oke, satu pesan manis, tapi pilih sebelum atau sesudah bangun tidur. Nggak ada minimal kata." Aku hendak protes, tapi dia bilang, "Kita harus membuat peraturan ini adil, daritadi peraturannya cuma selalu menguntungkan kamu."

Ck, cowok ini detail sekali.

Aku menulis, 'Dirga harus mengirim pesan manis pada Nola setiap pagi,'. "Apa kita perlu mengatur kencan berapa kali seminggu?"

Dirga menggeleng. "Aku kencan sama kamu, bukan mengunjungi pasien rawat inap. Kenapa harus menghitungnya?"

Perkataannya membuat tersentuh. Dia mau ketemu aku sesering mungkin.

"Gimana kalau setiap bulan kita melowongkan waktu mengikuti kegiatan yang masing-masing sukai?" Aku kembali mengusulkan. "Seperti kamu datang ke klubku untuk digambar atau aku menemanimu ke ..., tempat bermain catur? Kamu masih memainkannya?"

Dirga menggeleng. "Aku suka nonton atau main game. Kamu bisa pilih antara itu."

"Nonton!" jawabku bersemangat, dalam hati lega sekali karena tidak harus menemaninya main catur. Aku tidak tahu apa-apa selain catur dimainkan di papan catur, pionnya hitam putih, dan kalau lawanmu berteriak "skakmat" berarti kamu satu langkah lagi kalah. Nama pion gundul itu apa ya? Minion putih?

"Aku akan temani kamu nonton film apa pun, termasuk film aksi, kecuali documenter membosankan."

"Film dokumenter nggak membosankan, pace ceritanya memang sedikit lambat supaya jelas dan sesuai sama realita."

Aku tetap mengetik, 'mengikuti kegiatan kesukaan masing-masing sukai, kecuali nonton film dokumenter.' Melihat daftar peraturan kami sudah cukup terisi membuatku merasa bangga dan haru, ini kegiatan pertama kami sebagai pasangan resmi : membuat peraturan kencan.

"Kurasa empat cukup. Mau tutup dengan peraturan krusial?"

Dirga berhenti menuang tehnya. Matanya terangkat menatap mataku dan sudut bibirnya tertarik sedikit, tampaknya dia memahami apa yang kupikirkan. Aku mengulurkan ponselku padanya seakan kami sedang serah terima jabatan.

Dia mendongak sejenak, tersenyum menatapku sebagai permintaan persetujuan dan aku membalasnya dengan senyum kecil. Kemudian, dia mengatakan apa yang akan dia ketik, "Nola dan Dirga harus selalu jujur satu sama lain."

Seperti itulah, peraturan kencan kami dibuat.

****

Keesokan harinya, Dirga dan aku punya jadwal kuliah pagi jadi kami berangkat bersama. Kami telah berkali-kali melakukan itu, berangkat berdua atau bertiga dengan Maya bila jadwal kelas kami bertepatan, tetapi rasanya sedikit berbeda datang ke kampus sebagai pasangan dan sebagai teman. Dirga membelikanku chicken wrap dan kopi sebagai sarapan, dan aku menghabiskannya dalam perjalanan kami ke kampus.

Gedungku dan Dirga terpisah kira-kira hampir setengah kilo, jadi aku hampir memekik waktu dia menawari untuk mengantarku sampai kelas. Katakanlah kalau aku norak, aku selalu membayangkan bagaimana rasanya jalan di lorong kampus sebagai pasangan sambil gandengan tangan. Yang hampir saja terwujud bila Dirga tidak menolaknya. "Pagi ini panas sekali. Kamu mau gandengan tangan lagi. Kamu nggak kepanasan?"

Lain kali akan kucoba lagi di hari hujan, kalau aku masih punya keberanian. Para cowok-cowok sering bertanya mengapa cewek walau dalam hati ingin, sangat jarang mengambil langkah pertama untuk mengajak gandengan tangan, kencan, memilih tempat makan, atau seputar skinship, jawabannya adalah karena itu butuh keberanian dan kami tidak mau dicap agresif atau pacar pengatur. Jadi saat pacarmu memberimu kode mau gandengan tangan atau mengatakannya secara langsung, jangan menghakimi mereka.

Dirga tidak menghakimi, tapi dia menolaknya telak. Aku sedikit kecewa karena itu, tapi sesampainya kami di kelasku dan aku mengingatkannya tentang peraturan kencan kami nomor dua. Dia memberiku pesan manis ..., lewat pesan. Dia terlalu malu untuk mengatakannya langsung.

"Kalau kamu telur mata sapi, hari ini kamu terlihat seperti telur mata sapi yang matangnya merata. Hope you have a good day," tulisnya mengomentari outfit-ku hari itu, aku memakai baju monyet berwarna kuning dan dalaman kaos warna putih.

"Pesan macam apa ini?" tanyaku padanya sambil menertawakannya, sebelum masuk kelas. Itu jelas bukan pesan romantis yang kuminta. Dia benar-benar tidak pandai bicara manis.

"Pesan manis," dia mengangkat bahunya, pura-pura tidak mengerti ada yang salah. "Sebentar siang kita jadi ketemu Maya?"

Aku mengangguk. "Jam makan siang. Café depan kampus."

"Entah gimana reaksi Maya kalau tahu kita pacaran," katanya dengan wajah ngeri.

"Pastinya dia bakal sangat kaget." Aku menepuk bahu Dirga. "Kuharap kamu betah mendengarnya menginterogasimu."

"Semoga." Dirga menghela napas panjang seolah bicara pada Maya adalah tugas terberat seumur hidupnya. Kurasa daripada tarikan napas yang dia butuhkan adalah penutup kuping. "Sampai jumpa di café bentar siang?"

"Sampai jumpa di café." Aku menyetujui.

Dirga melambaikan tangan, menyuruhku cepat masuk agar dia bisa berlari menjemput kelas paginya. Waktu itu lima belas menit sebelum kelas pagi dimulai.

****

Tidak banyak orang yang tahu mengenai hubunganku dan Dirga. Hanya Raka, Maria, dan Sara, itu pun tidak sengaja mereka ketahui. Bukannya ingin menyembunyikan, hanya saja hubungan kami masih baru dan kami masih beradaptasi dengan semua perubahan status baru ini. Setelah rembuk di restoran mi mala malam itu dan mengatur peraturan, aku menyatakan niatku untuk mengumumkannya pada Maya. Maya sahabat kami berdua, dan aku tidak sanggup menyembunyikan rahasia besar itu darinya terlalu lama.

Jadi siang itu, aku dan Dirga mengajak Maya makan di café depan kampus untuk menceritakan kabar baik kami. Itu café kampus favoritnya Maya, karena menyediakan wifi gratis, spaggethi agli olio-nya enak, dessert-nya juga mantap, dan menjadi satu-satunya café di sekitar kampus yang makanannya layak makan.

Aku dan Dirga sudah menyusun rencana. Kami akan menceritakan hubungan kami setelah Maya makan beberapa potong chocolate lava-nya. Mood-nya akan lebih baik setelah makan makanan manis dan dia tidak akan berkomentar banyak karena dia tidak suka menyajikan lawan bicaranya gigi berlumuran cokelat. Dan bila Maya tidak bisa menahan mulutnya, Dirga dan aku tinggal kabur saja ke toilet, lalu ke luar café lewat pintu belakang.

Kubilang usulan itu tega sekali, tetapi Dirga lebih suka kabur daripada mendengar tiga puluh menit ocehan Maya yang kerapatan antar katanya mirip orang nge-rap. Aku menertawai candaannya, lalu mengetik emoji orang botak tertawa sambil menangis, sementara kakiku mengusahakan untuk tidak ke luar dari jalan setapak kampus menuju gerbang luar. Kelas siangku sudah selesai, dan aku dalam perjalanan menuju café.

Langkah sepatuku berubah, dari yang berbunyi 'tap tap tap', menjadi 'taptaptaptaptap' melihat pop up pesan Maya berbunyi, 'Aku sudah sampai. Kalian di mana?" Itu pesan yang dia kirim di group chat kami. Kemudian, ponselku yang hendak kusisipkan di kantong celana, berbunyi. Nama Mama muncul di layarnya.

"Halo, Ma," sapaku saat mengangkat telepon.

"Lagi kuliah, Dek?" Suaranya terdengar jauh, tetapi samar-samar dapat kudengar desing kendaraan bermotor dan burung bercuit-cuit. Kurasa, Mama ada di luar rumah.

Kunaikkan volume ponsel. "Nggak. Ini Adek lagi di jalan pulang," jawabku. "Ada apa, Ma?"

"Memangnya Mama harus ada apa-apa kalau mau telepon anak sendiri yang lagi merantau?" gerutu Mama.

Ponselku berdenting lagi, sepertinya itu pesan dari Maya atau Dirga yang sudah sampai. Tinggal melewati kolam, lalu jalan kaki ke selasar gedung Psikologi, belok kanan ke halaman parkir, dan aku tiba di pintu ke luar kampus. Café berada di seberang pintu pagar keluar itu.

"Gimana rumah? Papa sehat? Toko aman kan, Ma?"

"Aman, aman. Daripada bulan kemarin, bulan ini lebih ramai. Minimarket 24 jam itu dapat sanksi karena menjual susu formula expire. Kasusnya besar sekali sampai melibatkan polisi dan mereka kena denda. Kalau soal Papa sih, sehat. Ini Papa lagi kasih makan si Buyung." Kudengar kasak-kusuk seperti ponsel dipindah ke suatu tempat, lalu burung bercuit-cuit, ribut sekali. Aku sampai menjauhkan kuping. Mama pasti sedang menempelkan ponsel ke kandang si Buyung. "Mama yang nggak sehat," keluhnya kemudian.

"Mama sakit?" Aku terkejut.

"Iya, Mama sakit kepala ...," Mama mendesah dengan lesu, "saking senangnya anak kedua tantemu Delima kena kasus!"

Aku mengerjap berkali-kali waktu mendengar suara tawa puas Mama yang sangat tidak layak didengar, dari segi manapun. Aku ingat adeknya Mbak Desy, Dahlia, dia beberapa bulan lebih tua dariku dan punya badan tinggi semampai. Waktu SMA dia bekerja sebagai model paruh waktu, kemudian kudengar dia lolos di kampus negeri di Malang lewat jalur prestasi. Sehari setelah itu diumumkan, Tante Delima datang ke rumah membawa bingkisan perayaan keberhasilan anaknya dan memamerkan pada seluruh keluarga bagaimana anak-anaknya pintar dan calon orang berhasil.

"Ma, menertawakan itu nggak sopan sekali." Aku menegurnya. "Dahlia dapat masalah apa?"

"Dia kabur dari kampus dan mengirim pesan ke mamanya kalau dia mau kawin lari kalau mamanya nggak merestui hubungannya dengan pacarnya dan mengancam putus kuliah kalau pilihan kuliahnya terus diatur-atur. Katanya dari awal dia nggak suka farmasi, tapi mamanya memaksanya."

"Yah, Tante Delima memang sedikit strict sama studi Dahlia dan Mbak Desy."

"Memang. Tapi, itu bukan yang paling gila, Dek. Usut punya usut, Dahlia sudah tiga bulan nggak kuliah dan dia sudah dua bulan tinggal bareng sama pacarnya!"

"Gila sekali," ungkapku sangat terkejut.

Dahlia, meski suka pamer kesuksesannya dan berlagak umurnya sepantaran kak Nara, kupastikan dia bukan anak yang liar. Dia rajin di sekolah dan berdedikasi pada pekerjaannya sebagai model paruh waktu, jadi aku tidak menyangka orang seperti itu mau membuang semua usahanya demi cowok.

"Kamu di sana nggak macam-macam kan, Dek? Baik-baik saja di sana, kan?" tanya Mama cemas.

Selama satu detik pertama aku menanggapinya dengan santai, kemudian napasku tersergap di leher karena mengingat sesuatu hal yang tidak boleh Mama tahu. Selama sebulan ini ada banyak yang terjadi. Mau recap? Maya pindah dari apartemen, aku kesusahan mencari kos atau teman kos, aku menabrak mobil orang, lalu pemilik mobil yang kutabrak itu meminta ganti rugi dalam bentuk sewa apartemen, dan aku sudah seminggu ini tinggal berdua sama cowok.

Bila semua cerita itu dirangkum, aku hampir sama kacaunya dengan Dahlia.

"Hmmm ..., baik kok, Ma." Suaraku lesu sekali.

"Bagus," puji Mama bangga, tambah buatku merasa bersalah. "Jangan macam-macam ya, Dek, di kota orang. Mama nggak bisa selalu mengawasi, jadi Adek harus belajar tanggung jawab sama diri sendiri. Mama bisa percaya sama Adek, kan?"

"Iya," jawabku sambil menggigit bibir.

Setelahnya, Mama cerita kalau Mbak Desy, anak sulungnya Mbak Delima habis dilamar dan akan melangsungkan pernikahannya di Surabaya bulan depan. Mama mau aku dan Kak Nara ikut datang karena Mbak Desy itu sepupu kami. Mama juga bilang akan menginap semalam di apartemen kami, tapi aku menolaknya dengan berkilah kalau dinding kamarku sedang digerogoti rayap dan aku jadinya menginap di kamar Maya. Gila saja membiarkan orang tuaku ke apartemen. Mau kusembunyikan di mana coba Raka yang sebesar kulkas dua pintu itu?

"Sudah coba telepon layanan pemeliharaan apartemen atau pemiliknya? Padahal apartemen itu masih baru loh. Mau Mama telepon Om Tama tanya tukang pembasmi rayap di Surabaya?"

"Nggak! Sudah ditangani kok!" tukasku gemetaran. "Wallpaper kamarku lagi diperbaiki dan aku nggak enak sama Maya harus nginap di kamarnya terus."

Untuk menghindari pertanyaan lanjutan, aku beralasan harus segera pergi mengejar kelas berikutnya. Bila Mama melontarkan satu pertanyaan lagi, tinggal tunggu waktu sampai kebohongan payah itu terkuak. Kututup sambungan itu setelah berpamitan pada Mama dan Papa.

Rasanya tidak enak sekali berbohong pada orang tua. Tentang masalah Raka, mobil, Maya, dan tempat tinggal. Tapi bagaimana caranya aku bisa menjelaskan semua masalah itu? Aku yakin sekali kalau Mama tahu Raka tinggal di rumahku karena aku merusak mobilnya, di hari itu aku langsung diseret pulang.

Lagipula masalah mobil sudah selesai, Raka sebagai teman sekamar juga tidak terlalu buruk. Aku tidak akan menjadi Dahlia. Tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan.

Kulewati kolam menuju selasar dengan perasaan lebih lapang dan lebih ringan setelah membaca pesan kalau Dirga sudah sampai di café, saat kudengar suara teriakan wanita memanggil nama seseorang. Nyaring sekali, saking kagetnya kepalaku sampai berpaling cepat sekali ke arahnya. Belakang leherku sampai sakit.

Di seberang, di sebelah tangga naik dekat pintu TU Psikologi, sepasang manusia tengah berdebat tentang sesuatu. Wajah keduanya tampak tegang. Si cowok berjalan menjauh, ke luar dari selasar, yang segera dikejar ceweknya dengan lari-lari kecilnya. Dia bersusah payah menahan cowok itu pergi. Selama sepersekian detik kupalingkan kepala karena kupikir, cuih drama remaja picisan dan memangnya ini syuting sinetron pakai acara berantem di tempat umum. Namun pada detik berikutnya kutoleh lagi karena melihat sesuatu yang janggal.

Cowok tinggi, kulit putih, dan rambut koma itu ..., bukannya itu Raka? Tapi siapa cewek di sampingnya?

Sekilas, cewek itu bertemu mata denganku, membuatku melompat bersembunyi di balik pohon terdekat. Aku mengintip mereka dari balik batangnya.

Raka tampak ingin mengenyahkan diri dari sana, tetapi cewek itu memohon. Ia menahan lengan Raka, namun Raka lagi-lagi mengibaskan tangan cewek itu dengan jijiknya. Perdebatan mereka sengit dan kurasa tidak menemukan titik temu, karena selanjutnya kulihat Raka meninggalkan cewek itu pergi.

****

Siapakah cewek itu?
Apa hubungannya dengan Raka?
Semuanya ada di lanjutan cerita ini hehe

--

Halo, semuanya!
Aku kangen kalian! 🥰
Maaf ya bikin khawatir sekian minggu tidak update cerita ini.
Aku terharu sekali lihat ternyata ada juga pembaca yang nunggu cerita ini tiap minggunya. Makasih banget sama perhatian dan cintanya buat cerita ini ❤

Makasih juga buat kalimat baiknya yang mengkhawatirkan penulis yang suka telat update ini, berkat kalian aku sudah cukup baik :)
Aku berharap kalian selalu dalam keadaan baik ❤

Ada kabar baik, ada juga kabar buruk.
Maaf sekali kalau sepertinya untuk selanjutnya cerita ini tidak bisa update rutin setiap minggu seperti yang aku janjikan 😢
Ada proyek lain yang agak mendesak, tapi tetap kok aku usahain lanjutin ini seenggaknya update dalam dua minggu

Terima kasih sudah membaca!
Kalau kamu suka cerita ini tekan vote, komen, dan masukkan cerita ini di daftar ceritamu supaya tahu kalau cerita ini update
Sampai jumpa di chapter depan!

--

Oh iya, sebelum aku balik kerja lagi, kalau kalian punya waktu kalian bisa mampir ke Karya Karsa. Ada cerpenku yang lagi diikutkan lomba di sana.
Ini pendek, asik, gratis, dan temanya indomie.
Judulnya "The Imperfect Wedding Anniversary"

Blurb :
Sebagai perayaan tahun pertama menikah, Kevin berencana membuat makan malam wedding anniversary terbaik untuk istrinya. 
Namun, satu demi satu rencananya kacau. Wedding anniversary yang mereka idamkan terancam batal. 
Apa Kevin sanggup menyelamatkan hari jadi mereka?

--
Sekali lagi, terima kasih dan sampai jumpa! 👋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top