17. First Date (II)
Setelah insiden di bioskop, kami berkeliling mall. Kami bercakap tentang banyak hal. Oke, 'bercakap' adalah kata yang kurang tepat jika sebagian besar percakapan dilakukan satu pihak. Dalam dialog biasa, Dirga kupastikan bukan pembicara aktif, namun aku tidak bisa menilainya karena ini kondisi baru. Aku tidak tahu Dirga tipe pacar macam apa karena kami baru empat hari pacaran. Febby mungkin tahu. Tapi aku lebih memilih mati daripada bertanya padanya.
Oke, aku sedikit ingin tahu. Apa Dirga membukakannya pintu waktu masuk ke restoran? Apa Dirga juga bersikap manis dengan mengingat makanan kesukaannya? Di kencan pertamanya, apa dia membawanya ke restoran lebih fancy dari Hai Mala? Dan seberapa kenal dia dengan teman-temannya Febby sampai mau berbaik hati membantu mobil mereka yang mogok?
"Apa lukisan di mug lagi hits sekarang? Aku pernah lihat orang menjualnya di insgram, nggak pernah nyangka di bazzar ada orang yang beneran jual," kata Dirga, disela instrumen gendang dan mungkin suling, menyanyikan lagu Tian Mi Mi-kalau tidak salah-dari pengeras suara yang menyebar ke seluruh penjuru restoran.
Dia melirik kantung karton di atas meja, berisi dua mug yang kami beli di suatu gerai di bazzar. Ada bazzar kecil di lantai teratas mal yang menyediakan area berjualan UMKM mulai dari baju, makanan, gelang, anting, dan lainnya. Seperti pasar kecil di dalam mal.
Dirga melontarkan ide. "Mungkin kamu bisa mengusulkan ide ini di klub gambarmu. Menggambar di media selain sketch book, di gelas. Aku yakin kamu pasti hebat melakukannya."
Aku tidak menggubrisnya, sibuk dengan diriku sendiri. Dirga mendengkus melihatku.
"Aku yakin membawamu ke sini bukan buat dihukum, tapi kamu bertingkah seperti itu." Dirga menyerahkan sekotak tisu di sebelahnya kepadaku. "Kamu membicarakan tempat ini terus, kupikir kamu akan menyukainya."
Aku mengelap keringat di dahiku, lalu saat aku melihat tisu bekasnya, warna foundation dan bedak yang kupakai ikut terserap di sana. Great.
Aku merasa seperti gadis ogre yang punya mata merah melotot dan berlendir-air mata, dahi bercucur keringat, dan lidahku kebas layaknya baru direndam dalam rendaman saos pedas. Kutarik ingusku lagi dengan cara yang jauh dari kata anggun-percayalah penampilan adalah hal terakhir yang kamu pikirkan ketika sedang kepedasan.
"Aku menyukainya," jawabku dengan suara parau. "Aku cuma kepedasan. Kamu nggak kepedasan?"
Kami makan mie dari wajan-dekorasi untuk menaruh menu makanan tengah-yang sama. Tapi wajahnya tidak merah, setitik keringat sedikit pun tidak ada di wajahnya. Apa lidahnya tidak terbakar karena saus pedas szechuan ini? Bau mie nya saja dari jauh menyengat sekali pedasnya.
"Sedikit." Dia mengambil sejumput mie merah dan sejumlah potongan bakso dan sayuran dari wajan. "Sejak pangkat Papa dinaikkan, dia punya jadwal pulang lebih teratur. Jadi kami biasa makan malam sama-sama. Aku baru tahu dia suka pedas, dia semua makanan kami dia selalu menambahkan sambal. Tanpa sengaja aku terbiasa makan pedas."
"Itu kabar baru."
Dirga menatapku prihatin. "Seharusnya aku membawamu ke restoran barat saja kayak rencana awal. Aku kira datang ke sini aku menyenangkanmu."
"Kenapa kamu kira aku mau ke restoran barat?" Aku mengelap keringat di atas bibirku.
"Di kencan pertama kita, aku bilang bakal mengajakmu makan ke restoran barat kesukaanku, tapi daripada ke sana, kita ke McD. Waktu itu mukamu kelihatan kecewa sekali."
"Kamu ingat kencan itu sampai sedetail itu?" tanyaku tercengang, lalu kembali mendesis kepedasan, lidahku terasa terbakar.
"Iya, dan aku cukup bangga dengan ingatanku."
Dirga memberiku gelas susu miliknya yang masih penuh untuk mengurangi pedas di lidahku. Aku meminumnya, dan dia memerhatikanku meneguknya seperti orang tidak pernah ketemu air. Aku harusnya malu, tapi perhatian kecilnya itu membuatku ingat lagi tentang apa yang kusukai darinya. Dadaku terasa hangat, dan itu bukan dari susu hangat yang kuminum.
Dia memasang wajah jenaka, melanjutkan, "Plus, aku mau lihat gimana wajah kecewamu waktu kuajak ke sana. Kamu punya wajah kecewa yang lucu terutama saat kamu memendam amarahmu dengan menggigit burger dalam diam sambil menatapku jengkel. Kamu seperti hamster. Bukan yang cantik, yang grumpy."
Aku menelan susu di mulutku lalu menyipitkan mata tajam padanya. Reaksi palsu. Karena bukankah hamster berpipi gendut yang cemberut itu hamster yang lucu?
Dibanding restoran cepat saji yang kami kunjungi waktu itu, restoran ini lebih fancy, dan lebih merah, dan lampunya lebih berkreasi dengan lampu lentera kuning dan lampu putih biasa, mejanya dari kayu berbahan mengilap, dan sangat Asia. Kesamaannya hanya pegawai di sini memakai seragam, di restoran ini memakai atasan qipao dan celana panjang.
Dia menyeruput mie pedas itu, dan sisa bumbunya melengket di atas bibirnya. Aku tertawa kecil menunjuk kumis bumbu pedas itu, lalu memberikannya tisu. Dirga berceloteh saat mengelap bibirnya, "pantas saja panas", lalu Dirga mengambil es batu dari gelasnya dan menempelkannya di bibir, aku tertawa waktu dia mengerang karena itu, kemudian kami berdua menertawai kebodohannya. Ketika tawa selesai, aku mulai membayangkan lagi apa Febby pernah duduk di kursi ini, melihat Dirga punya cemong, dan menyodorkannya tisu juga.
"Kamu melamun lagi," dia meremas tisu bekas cemongnya menjadi bentuk bola, "apa kamu dari tadi diam karena memikirkan perkataan Maria di bioskop?"
"Perkataan yang mana?" Aku membolak-balikkan mie di piringku, pura-pura tidak tertarik. "Bagian kamu ke coffee shop dan ketemu dia tapi kamu nggak bilang, atau soal kamu yang ternyata montir hebat sampai bisa memperbaiki mobil mogok?" Atau soal kamu berteman dengan Maria dan aku tidak tahu?
"Keduanya?" Dia mengerutkan alisnya, menyadari sesuatu. "Kenapa nadamu aneh?"
"Aku baik-baik saja," jawabku, dengan nada lebih aneh dan sumbang.
"Kedengarannya masih nggak baik."
"Aku baik-baik saja." Aku meyakinkan. "Kamu menolong orang di jalanan, itu reaksi seluruh umat manusia kalau lihat orang kesusahan. Aku nggak punya hak marah kamu terlambat karena alasan itu."
Dirga mengangguk-angguk, menebak, "Kamu marah karena aku nggak ngomong telat datang karena membantu Maria."
Aku mencibir mengejek tebakannya, menggeleng sambil mengangkat-menurunkan bahuku. "Sedikit," akuku, mencibir lagi, "dia pernah menyukaimu waktu SMA, aku tahu, dan sepertinya dia masih melakukannya. Kamu nggak lihat pas kita ke luar bioskop dia menyapamu pamit pulang, tapi membuang muka sama aku?"
Aku tidak mengatakan gimana aku bisa tahu Maria menyukai Dirga. Itu terjadi pada insiden di toilet, ketika aku memergoki Clara dan Maria ngomongin aku di belakang dan pada akhirnya, aku dan Maria terjebak jambak-jambakkan karena dia tidak suka aku dekat sama Dirga. Aku tidak mau Dirga merasakan kemenangan double, aku sudah kalah satu karena mengaku telah cemburu dan aku tidak mau melihat Dirga mengembangkan senyum bodohnya ini lagi lebih lebar.
"Kamu cemburu?" Dia mengembangkan senyum geli. "Cemburu sama Maria? Karena aku?" Dia melepas suara tawa ditahan. "Kamu benar-benar menganggapku pacar, ya?" Aku mencubit tangannya, dia mengaduh, "Aw!" tapi tidak membalasku.
"You deserved that."
"Yeah, secara teknis aku memohon untuk mendapatkan cubitan," katanya sarkas, tangannya menggosok bekas cubitanku yang memerah. "Tapi, kita di tengah-tengah kencan dan Maria cuma kenalanku. Itu bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan."
"Iya, sampai dia menyinggung Febby untuk melihat reaksimu!"
Sejak seharian ini aku menahan diri untuk mengucapkan nama kamu-tahu-siapa karena menurut peraturan ketiga kencan di website adalah jangan membicarakan mantan. Saat kamu mulai mengumbar masa lalunya, di detik itu juga kencanmu hancur. Tidak langsung luluh lantah, terjadinya perlahan seperti menghancurkan menara batu, mulai ambil satu batu dari bawah, dua, tiga, empat, lalu tanpa kamu sadari menaranya jatuh. Mengambil satu batu itu dimulai saat kamu memasuki zona argumen.
"Aku yakin dia nggak sengaja, dan kenapa itu jadi relevan? Aku dan Febby sudah lama putus."
"Tiga minggu lalu kalian putus," sambungku. Aku memainkan mie di piringku memakai sumpit. "Dia pikir karena Febby sudah nggak ada, posisi itu kosong. Dan melihatmu berbaik hati sama dia, membantu dengan mobilnya, dia melihat kesempatan."
"Itu teori yang aneh. Aku masih belum melihat korelasinya."
Aku memutar bola mataku malas. "Aku bisa melihatnya dengan jelas."
"Aku nggak sengaja ketemu dia di depan coffee shop waktu aku membelikanmu kopi. Aku mau mengabaikannya, tapi dia memanggilku. Kamu tahu aku benci basa-basi apalagi sama orang yang nggak terlalu kukenal. Lagipula, dia lebih butuh aki mobilku untuk menyetrum mobilnya yang mogok daripada aku. Itu fakta."
Aku mengangkat sebelah bahuku. "Kamu benci small talk, tapi tadi kamu aman-aman saja tuh bicara sama Maria, atau mungkin aku yang salah tebak." Bibirku memutar. "Aku cuma mengatakan apa yang kulihat."
Aku benci orang beragumen memakai kalimat bermakna ganda, maksudku, katakan apa yang kamu mau katakan! Tapi aku sudah meluncurkan kalimat pasif-agresif untuk memancing reaksinya, dan rasanya menjengkelkan harus melaporkan kami telah melanggar peraturan keempat kencan pertama: jangan bersikap argumentatif. Hasilnya : gagal total.
Dirga meletakkan sumpitnya, tangannya memegang bahunya secara menyilang, dan salah satu tangan memegang dagunya. Itu gaya Dirga ketika sedang berpikir, dan kukira sekarang dia tengah mengobservasiku karena dia menatapku.
"Nola," suaranya terdengar lebih tenang, lembut, dan terbuka, sedikit mirip bisikan, "apa yang menganggumu?"
Setiap kali dia menggunakkan tone itu, aku merasa seperti buku yang terbuka. Kamu tahu ada semacam nada yang mendiktemu jujur karena kamu merasa diintimidasi, seperti saat diinterogasi polisi. Namun, ada juga jenis nada yang memaksamu bicara jujur dengan sukarela, seperti saat kamu pergi ke psikolog. Dirga memakai jenis nada yang kedua.
Karenanya, mulai bisa bernapas lebih tenang.
"Maaf, kalau aku membuatmu merasa bingung karena aku nggak menceritakan tentang Maria. Tapi, kupikir keberadaannya nggak terlalu penting, dan kukira kamu juga merasa begitu," katanya.
Aku menghindari tatapannya. "Itu memang sedikit mengangguku, lalu kamu bilang padanya, aku pacarmu."
"Iya, aku juga memperhatikan kamu bangga aku melakukannya." Dirga menyentuh hidungnya, dia berkelakar.
Itu hampir membuatku tertawa, oke, cuma cekikikan kecil.
"Oke," aku menarik napas, "aku memang sedikit terganggu di awal kita kencan," Dirga mengangguk-dia menyadarinya, "aku menanti kencan ini semalaman, sudah mencari restoran yang romantis untuk kita pergi-yang sama sekali bukan seperti tempat ini, aku gugup sekali menantikannya," tanganku bergerak-gerak karena salah tingkah, "tapi kemudian kamu datang terlambat dan sikapmu sangat santai selama kita kencan, kamu bahkan nggak mencoba memegang tanganku di bioskop. Jadi, kupikir, mungkin cuma aku yang menantikannya?"
"Bodoh," cetusnya.
"Kamu memang bersikap seacuh itu!" pekikku.
Aku menutup mulutku waktu sadar aku masih ada di restoran. Para pengunjung yang sebagian besar adalah sekelompok keluarga itu, mengamati kami dengan pandang tidak enak. Anak-anak kecil mereka memandang kami penasaran. Oh ya, restoran keluarga adalah tempat untuk keluarga. Bukan untuk sepasang kekasih berantem.
"Untuk membuatmu lebih baik," Dirga bicara, perhatianku kembali padanya. "Aku telah merencanakan kencan ini dua hari yang lalu, dan tadi pagi baru sadar kalau aku nggak punya celana selain jeans dan kemeja selain kemeja kuliah, jadi pagi-pagi sekali aku pergi ke toko dan membeli yang baru. Aku datang sebelum karyawannya membuka toko. Apa itu membuatmu lebih baik?"
Aku mengangguk. "Itu lebih memalukan."
Peraturan kencan kelima : menjadi pendengar dan pembicara yang baik.
Dirga mengambil tanganku dan meremasnya, walau di acara biasa mungkin aku akan mengeluh karena dia lupa mengelap tangannya setelah makan. Situasi ini menjadi sedikit lebih serius dan intim, siapa pun juga tahu itu bukan saat yang tepat untuk mengeluh.
"Situasi ini sedikit tricky," aku bicara sebelum dia membuka mulut, "kita berteman, lalu nggak lagi, lalu kita bertingkah seperti teman, semua proses ini sedikit membingungkan dan terlebih ini adalah hubungan pertamaku. Jadi, aku nggak tahu seharusnya seperti apa."
"Semua hal pertama memang membingungkan, tapi akan lebih baik kalau kamu mengatakan semua itu saja. Katakan semua yang kamu rasakan. Kita sudah pernah saling salah paham selama tiga tahun dan kukira itu sudah cukup."
"Lebih dari cukup." Aku menambahkan,
"Kita orang-orang yang nggak pandai bersikap jujur."
Satu ide brilian muncul di kepalaku. "Gimana kalau kita membuat aturan pacaran? Dengan begitu kita akan lebih cepat memproses perubahan ini. Aku membaca artikel di internet, beberapa orang pacaran membuat aturan-aturan untuk menjaga hubungan mereka."
"Seberapa banyak artikel yang kamu baca sebelum kencan ini?"
Dirga memerhatikanku mencari tisu atau sesuatu untuk dipakai menulis di meja, yang ada tusuk gigi dan beberapa saus, semua itu tidak berguna.
"Kamu mau mencatatnya di ponsel?"
Aku membelalak padanya. "Ide bagus!"
Dengan semangat tinggi, kuambil ponselku dalam tas dan langsung masuk ke notes. Aku sudah memikirkan beberapa aturan kemarin malam ketika beberapa artikel. Seperti, 'mengucapkan selamat pagi dan selamat tidur pada Nola,' atau 'berkencan sekali seminggu', atau 'saling jujur satu sama lain'. Ada banyak sekali.
Meski sebenarnya aturan yang mau kutambahkan adalah 'Dirga dan Nola akan selamanya saling mencintai', tapi tentu itu tidak akan masuk hitungan karena aku malu mengatakannya.
"Sebelum kamu membuat daftar aturan kencan ini, aku punya pertanyaan." Dirga menyeletuk waktu aku mengetik angka satu di keyboard hape. "Apa kamu menunggu aku memegang tanganmu selama di bioskop? Dan seberapa senangnya aku memegangmu sekarang? Katakan dalam skala rate 1 sampai 10."
"Dirga!"
Dan sekali lagi, kami menjadi sumber tatapan kebencian para pengunjung restoran.
****
End of Nola & Dirga's First Date.
Thank you for reading
Jangan lupa vote, komen, dan masukkan cerita ini di daftar bacaan kamu supaya kamu tahu kalau aku update bab baru!
See you next week!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top