16. First Date (I)
Semalam, Raka belum pulang dari tugas kelompoknya dan aku sedang mengerjakan tugas Akuntansi Keuangan Menengah I di kamarku saat pesan Dirga masuk berbunyi, "Mau nonton besok?". Otakku segera menerjemahkannya sebagai ajakan kencan.
Adrenalin mengalir deras di bawah kulitku, ingin kujawab dia dengan "YUK!" dengan capslock dan menambah stiker kucing melompat kegirangan, namun rasanya itu terlalu bersemangat dan aku tidak mau terlihat norak di hadapannya, jadi kuhapus semuanya dan menjawab, "boleh" dengan huruf kecil semua. Lalu, melompat dari kursi, hampir terjengkang karena tersandung kaki kursi, untung tanganku berhasil menangkap pinggiran meja belajar pada detik terakhir, lanjut menyisir seluruh pakaian di lemariku.
Ini aneh. Pada acara biasa-terutama saat belanja-kurasa pakaianku cukup bagus, namun pada special occasion seperti ini, seluruh pakaianku tampak membosankan, kekanakkan, biasa, atau campus-friendly. Selama tiga puluh menit aku memilah-milah pakaian yang masuk kategori 'mendingan', kemudian menghabiskan tiga puluh menit berikutnya untuk mencari tips kencan di internet dan lokasi restoran romantis.
Saat berselancar di internet, sempat terpikir olehku apakah Dirga menghabiskan malam ini merencanakan hari esok sepertiku atau merasakan perasaan menggebu-gebu ini akhirnya ketemu setelah berhari-hari kami sibuk kuliah, atau kenyataan kalau besok kami berdua akan kencan sungguhan.
Juga sadar betapa menakjubkan rasanya memiliki perasaan yang sama dengan orang yang kusukai.
****
Aku telah membaca sepuluh artikel tentang kencan-thanks to him, telah lelah menonton video kucing lucu dan berkali-kali mengecek cermin lobi saat mobil Dirga parkir di depan apartemenku dua puluh menit kemudian.
Dia sudah menyalahi aturan kencan pertama: always on time. Sebab itu dia layak mendapat perlakuan tidak hangat.
"Kamu telat," sapaku waktu aku masuk ke mobilnya dan memasang tali seat belt.
"Sori. Jalanan macet," balasnya sembari menyodorkan segelas kopi plastik brand kopi kesukaanku yang selalu menyematkan quotes pada tutup gelasnya. Punyaku berbunyi, 'Ucapkan maaf hari ini sebelum sesal datang menyapa'. "Tapi, aku beli kopi."
"Ini sogokan supaya aku nggak marah?" Aku menerima kopinya.
Dirga mengangkat bahunya. "Aku lebih suka kamu memikirkannya sebagai penyebab aku telat datang untuk membelikan minuman yang kamu suka. Sayangnya, aku membelinya depan kampus."
"Apa ini? Kopi alpukat?"
"Yup. Seperti yang kamu suka."
Otot senyumku secara otomatis tertarik mendengar jawaban itu. Aku tidak menyangka Dirga mengingat pesanan kopiku. Perhatian kecilnya itu menggelitik sayap kupu-kupu yang terbang di dalam perutku. Namun kemudian aku menyembunyikannya dengan mengatupkan mulut. Aku tidak mau sikap manisnya merenggut hak untuk kesalku. Hak kesalku lebih tinggi dari harga kopi alpukat.
"Aku bakal minum ini, tapi sebagai catatan, aku masih kesal sama kamu."
"Asal kencan hari ini tetap jalan," katanya sebelum menjalankan mobilnya mundur keluar dari depan apartemenku.
Dua puluh menit kemudian, mobil kami memasuki parkiran Tunjungan Plaza yang padat. Sulit sekali mendapat parkir di akhir pekan karena kukira sebagian warga Surabaya bermobil dan setengahnya ada di sana. Kami sampai di bioskop lima belas menit setelahnya, dan masih harus mengantri untuk menukar tiket.
"Lima menit lagi filmnya mulai," kata Dirga melirik arlojinya saat kami berada di antrian kasir membeli cemilan.
"Masih ada lima belas menit buat iklan. Kita masih punya waktu."
Aku maju selangkah waktu orang di depanku maju, kulihat pasangan yang baru selesai memesan keluar dari antrian membawa popcorn caramel. Itu membuatku ingin makan popcorn caramel juga. Tapi, aku selalu makan kentang goreng dan popcorn asin tiap nonton.
"Kita pernah melakukan ini, nggak sih?" tanya Dirga, tidak menatapku, dia menatap papan menu makanan.
"Nonton berdua?" Aku menanyakan maksudnya.
"Bukan, kencan." Dia meralat. "Kira-kira waktu kamu kelas satu SMA. Kita nonton berdua seperti ini. Waktu itu kamu harusnya kencan sama Mark, tapi karena aku mengacaukannya, kamu ditinggalkan. Akhirnya, sebagai ganti kencanmu yang batal, kita kencan pura-pura."
"Aku lupa pernah kencan sama Mark. Aku ingat waktu itu dia memakai jas hitam-pink neon yang sangat norak dan itu membuatku ingin pulang. Tapi setelah bicara banyak, dia lucu juga. Sikapnya manis."
Mungkin aku akan sedikit tertarik pada Mark kalau Dirga tidak datang mengacaukan kencan waktu itu. Juga, kalau aku bisa tahan sama sikap serba puitisnya, selera berpakaiannya yang norak, bau parfumnya, dan dia tidak memanggilku 'Mawar'.
Kami selangkah maju lagi waktu satu pasangan lagi keluar dari antrian. Dari ujung mataku, kulihat Dirga diam-diam mengawasiku dengan mata menyipit.
"Aku yakin selain itu dia juga punya track record lain," dia menepuk dahinya pura-pura baru ingat, "oh ya, dia pernah mendekati cewek lain saat dia sedang break dari pacarnya. Sikap Mark memang benar-benar manis semanis buaya darat. Penilaianmu pada cowok memang sangat berkembang, Nola." Dia mengacungkan dua jempol, tapi aku tahu itu ungkapan sinis.
"Benar, penilaianku tentang cowok memang harus diubah," balasku. "Baru-baru ini, aku punya pacar dan dia baru tiga minggu putus dari mantannya. Harusnya aku pikir dulu ya, sebelum terima dia?" Aku pura-pura berpikir. "Mungkin aku harus menerimanya setelah setahun? Dua tahun?"
Dirga mengedutkan sebelah matanya sambil menggeleng. "Kamu nggak serius mengatakannya." Namun, saat dia melakukannya kulit pupil matanya bergetar mengawasi rautku.
Aku mengangkat bahu untuk menjahilinya. Mulutnya membuka tidak percaya dan matanya melebar. Aku ingin sekali tertawa melihatnya, tapi harus kuabaikan karena mbak kasir memanggil kami maju untuk memesan. Kusebutkan popcorn asin ukuran large dan dua java tea. Lalu, Dirga menyahut menambah kentang goreng dan popcorn caramel walau kutahu dia hanya memakan popcorn asin.
"Aku tahu makanan dan minuman kesukaanmu. Aku memperhatikan, nggak banyak cowok kayak gitu," katanya sembari Dirga menenteng dua kantung popcorn dan sepiring kentang goreng. Dia berkata dengan bangga selayaknya anak SD kelas empat yang suka dipuji saja, walau aku tahu itu demi mengalahkan Mark yang manusianya mungkin ada di ujung Surabaya. Aku menahan diri untuk memeluknya gemas.
Ketika kami masuk, lampu bioskop masih menyala. Iklan suatu produk rokok tayang di layar. Kursi penonton hampir penuh dari deretan kursi A sampai I. Kami menaiki tangga menuju kursi di bagian belakang, pada dua kursi yang sudah kami beli, mengucapkan 'permisi, permisi' berkali-kali pada orang-orang yang duduk di tengah, lalu duduk tiga kursi hampir di ujung.
Bagi aku di masa lalu, membayangkan aku kencan sama Dirga sebagai momen bersejarah, yang melibatkan tiga lagu Elvis Persley versi piano yang bernada lambat dan romantis, dan hujan, dan melihat bintang malam dari pantai. Nyatanya sekarang, kami duduk berdua di kursi bioskop, bercakap sekilas tentang film yang akan kami tonton, lalu saling berbagi popcorn dan kentang. Betul-betul normal selayaknya perubahan status tidak memberi beda.
Diam-diam kulirik Dirga sedang menyeruput java tea-nya. Dibanding peraturan pertama, kupastikan dia telah memenuhi peraturan kencan kedua dan ketiga: memilih tempat kencan yang nyaman-karena membiarkanku memilih film romansa ini-dan berpenampilan sopan dan menarik. Dan tampan. Dan menarik.
Apa aku sudah pernah bilang kalau cowok dan kemeja putih adalah perpaduan tertampan?
Iya, itu barusan deklarasinya.
Maksudku, aku tahu Dirga tampan bahkan jika dia memakai kaos partai, tapi paduan kemeja putih, sesuatu seperti celana chino, menata rambutnya gaya low fade, dan menyiprat sedikit parfum aroma musk dan sedikit woody yang lembut, menjadikan pesonanya berkali-kali lipat ampuhnya. Penampilannya terkendali, caranya melipat lengan kemejanya seperempat menampakkan urat tangannya maskulin, dan jika aku menjelaskan lebih jauh bisa-bisa aku tambah mabuk kepayang.
"Kamu tahu apa yang lagi kupikirkan?"
Dirga berbisik di telingaku. Harusnya efeknya hanya terjadi di telinga, namun suaranya terasa sampai ke jantungku. Seharusnya suara hanya bisa didengar, kan? Kenapa jantungku malah yang jadi tidak tenang?
"Apa?" Kutenangkan diriku dengan menelan ludah.
Matanya tetap menatap lurus ke layar. "Kita, duduk berdua nonton sambil memakai pakaian rapi. Ini sama seperti saat kita kencan pura-pura, tapi rasanya juga sedikit berbeda."
"Ya, kan? Dulu kita pergi berdua sebagai teman dan sekarang kita kencan, yang sungguhan." Aku menyembunyikan senyum malu-maluku ketika mengatakan kalimat terakhir. Astaga, aku norak sekali.
"Tunggu, ini kencan sungguhan?"
Aku menyikut lengannya dan dia mengaduh. Kusantap satu kentang goreng lagi, mencelupnya ke sambal, dan Dirga kembali bicara. Dia sesekali mengintip melirikku.
"Aku sadar satu hal ini yang beda," kini matanya kembali ke layar. "Aku bisa bilang 'kamu cantik' tepat di depan wajahmu pada kencan waktu itu. Tapi sekarang aku terlalu gugup untuk mengatakannya langsung."
Tadinya, kukira segalanya berjalan normal. Namun sebenarnya, jauh di dalam hatiku, aku sama gugup, takut, dan tegang sepanjang hari, dan sekarang itu semua dalam artian baik.
Aku sedang menyelesaikan kentang terakhirku, sengaja ingin kuhabiskan sebelum film dimulai. Kemudian saat aku sedang mengamati beberapa penonton yang terlambat buru-buru menaiki tangga menuju kursinya dan menyadari selain remaja SMA kebanyakan pengunjung datang berpasangan-aku sangat senang mengatakan kami salah satunya, pria yang duduk di depanku mendadak mengangkat tangan, lalu menurunkannya perlahan dan senormal mungkin ke sandaran kursi pasangannya.
Terakhir kusadari kepala keduanya mendekat. Mereka pelukan. Di tempat umum. Astaga, belum mukhrim juga tingkah di depan umum sudah banyak.
Seperti ditusuk jarum, aku mendadak sadar kalau Dirga bisa jadi bertingkah laku sama. Dia cowok, kami pasangan, dan kenapa dia memilih kursi di paling ujung atas? Apa dia melakukan itu supaya bisa meraba-rabaku dalam gelap? Kalau itu terjadi, apa yang akan kulakukan? Apa meraba umum dilakukan pasangan waktu nonton? Tapi, aku belum siap.
Tidak! Lampu studio mulai meredup. Filmnya sebentar lagi mulai.
"Nola," kurasakan bulu kudukku meremang waktu mendengar Dirga berbisik lagi sambil menyentuh pergelangan tanganku, "kamu mau popcorn lagi-"
Perkataan Dirga terpotong karena aku mendadak memekik sambil menarik tanganku heboh, juga seseorang menyambar Dirga dengan memanggilnya.
"Loh, Dirga?"
Seseorang memanggil Dirga, dan itu berasal dari cewek yang sedang berjalan menuju kursinya, di sebelah Dirga. Wajahnya tidak asing, namun tidak terlalu akrab untuk otakku mencomot namanya dengan cepat.
Dirga mengernyitkan alis padaku, tepatnya pada kenapa aku mendadak menghempas tangannya, sebelum dia mengikuti arah tatapanku-di belakangnya.
"Maria?"
Cewek berwajah manis, dagu terbelah, kulit sawo matang, dan lengan kurus yang mirip tusuk gigi itu, duduk di samping Dirga. Wajahnya berseri-seri.
"Yang kamu maksud di coffee shop tadi itu nonton film ini? Kebetulan banget, ya?"
Dia, Maria yang itu, yang kata Maya sudah bertobat dan jadi santun. Seharusnya dia juga minta maaf padaku karena pernah menjambak rambutku di toilet. Tapi cewek ini malah menyandarkan tangannya dengan santai di lengan kursinya Dirga. Walau aku menolak disentuh, tapi mana mau aku melihat pacarku disentuh orang lain.
"Makasih sekali lagi loh, buat bantuannya di coffee shop tadi. Kalau bukan karena bantuanmu aku pasti nggak bakal bisa ngejar film ini karena mobilku mogok."
"Sama-sama. Jadi, mobilmu sudah dibawa ke tempat servis?" Dirga sekilas melirikku, aku balas meliriknya. Aku baru tahu kabar soal mobil, kabarnya tadi hanya sampai di coffee shop.
"Luckly, yes. Aku jadinya datang naik mobilnya Sarah." Dia menunjuk teman cewek yang sedari tadi bersamanya. "Ingat Sarah, kelas IPA II? Teman cheerleader bareng Febby juga."
Sarah melambaikan tangan, Dirga membalas dengan anggukan canggung. Yang membuatku bertambah-tambah penasaran. Bagaimana bisa Dirga mengenal semua cewek-cewek ini ketika dia dulunya cuek bebek sama orang-orang sekolahan? Oh ya, mereka temannya Febby. Menyebalkan sekali bagaimana lingkungan sosial seseorang jadi lebih besar ketika mereka pacaran.
"Kamu nonton sama siapa?" tanya Maria, menengok ke arahku, sok tidak tahu saja.
Kami sempat bertemu tatap sebanyak dua kali sebelum matanya kembali ke Dirga. Dan dia masih bertanya. Seolah-olah aku hantu bioskop yang keberadaan wajar ada di sana. Atau sejenis kursi, mungkin.
"Sama pacarku, Nola," jawab Dirga.
Tendangan tak kasatmata telak ke wajah Maria. Senyum cerah Maria seketika lenyap ditelan gelap. Lampu bioskop dimatikan. Film dimulai. Lalu kami kembali ke kursi kami dan bersiap-siap menonton. Namun sampai filmnya mulai pun, aku belum berpindah dari kejadian barusan.
Di saat itu aku jadi mengerti perasaan astronot yang menancapkan benderanya untuk mengumumkan suatu planet pernah diduduki NASA. Bangga, senang, haru, dan aku berbinar.
Sama pacarku, Nola.
****
Berdasarkan polling dari kalian, aku (mudah-mudahan) bakal update tiap hari Sabtu
Terima kasih atas jawabannya
Terima kasih juga sudah membaca
Jangan lupa vote, comment, dan masukkan cerita ini di daftar pustakamu agar kamu jadi yang pertama tahu kalau aku update bab terbaru
Sampai jumpa minggu depan ! ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top