15. Day 1
Happy reading!
****
Aku selalu ragu dalam memutuskan sesuatu, jadi untuk membuat keputusan aku selalu berpikir paling tidak tiga kali sebelum menjalankan. Itu membuatku menjadi pengambil keputusan yang lambat. Itu akan baik-baik saja bila keputusannya tidak mendesak, namun bila terdesak aku biasanya mengambil keputusan yang paling payah seolah awan ketidakmujuran mengikuti jalanku bila tidak hati-hati. Baru-baru ini, aku mengambil keputusan sulit dan cepat.
"Tawaranmu kuterima." Aku mengirim pesan itu kepada Raka di malam hari selepas pulang, dan segera dibalas 'oke'.
Saat berbaring di kasur, kepalaku berkelana tentang apakah keputusan ini adalah keputusan yang benar, dan apakah aku baru saja menerima Raka Rasyad sebagai teman serumah.
****
Bisa dibilang, aku mengambil keputusan ini dengan pemikiran cukup matang. Meski sangat narsis, Raka tampak baik dan tidak mesum. Dia pernah membawaku pulang rumah dalam keadaan mabuk, tapi tidak melakukan apa-apa padaku-kemudian dia mengingatkanku kalau image cowok dalam pikiranku rendahan sekali. Pertimbangan paling utama tentangnya tentu saja, karena aku berutang padanya.
Sampai saat itu kupikir ini keputusan yang benar, lalu besok paginya aku menemukan Raka dengan koper dan ransel di punggungnya, di depan pintu apartemenku.
"Hai," sapanya ringan, lalu senyumnya lenyap waktu dia memindaiku sejenak. "Kamu benar-benar nggak niat menyambutku sebagai room mate, ya? Kemarin aku bilang, aku datangnya pagi."
"Kakak ngirim pesan kemarin? Aku pasti tidur waktu terkirim." Kusingkirkan bilek di sudut mataku memakai jari. "Aku nggak nyangka kakak datang hari ini."
Raka menggeret kopernya masuk. "Aku bakal datang lebih lama, bahkan nggak tinggal di sini, kalau saja seseorang nggak merusak mobilku sampe harus ditaruh di bengkel."
Aku menggigit bibir bawah, merasa prihatin. "Harusnya kakak telepon saja supaya bisa kujemput di bawah."
Kukatakan hanya sebagai kalimat basa-basi. Ini kira-kira masih jam setengah tujuh dan aku masih mengenakan piyama, masa iya aku bangun pagi padahal tidak ada kelas pagi?
"Maunya gitu, tapi aku harus cepat ke sini. Pak Suryo yang jaga pagi ini. Pria tua itu suka sekali datang pagi sekali. Kalau dia menyisir kampus pas patroli, dia bakal tahu aku menginap di ruang klub kalian. Apa yang bakal orang katakan kalau selebritas kampus tidur di sofa bau bokong orang-orang?" Dia berjalan mengelilingi apartemen berukuran 30 meter persegi ini, lalu memantapkan langkahnya ke pintu kamar Maya. "Yang ini kamarku, kan?"
Kamar Maya biasa saja, terdiri atas single bed, lemari pakaian, dan meja rias. Selebihnya hampir melompong, hanya benda-benda fungsional seperti kursi, lampu, tirai jendela, atau sprei yang sedari awal ada di apartemen. Aku mengikutinya masuk ke sana sementara mulutku menganga saat menyadari sesuatu.
"Kakak ... menginap di kampus?" tanyaku, terhenyak sejenak. "Di ruang klubku? Klub ilustrasi?"
"Oops, ketahuan," ceplosnya, jelas pura-pura terkejut, dia bahkan tidak menoleh dan lanjut memandangi kamar. "Cuma dua hari kok, sebelum-sebelumnya aku tinggal di mobil atau rumahnya Michael."
"Kakak menginap di rumahnya Michael? Bukannya dia orang yang kamu benci?"
"Dia orang yang kamu benci," ralatnya, "aku temannya."
"Kalau begitu tinggal saja di rumahnya. Dia kan temanmu."
"Maunya gitu, tapi mamanya suka sama aku. Aku nggak nyaman tiap hari digoda. Biar BU, mana mau aku jadi gigolo apalagi selingkuhan tante-tante girang," katanya, tanpa mengubah ekspresinya sama sekali, meski seluruh informasi itu jelas-jelas sanggup membuat rahang semua orang yang dengar jatuh.
Rahangku jatuh. "Aku punya banyak sekali pertanyaan."
"Tahanlah, karena aku nggak bakal menjawabnya."
Keputusan yang kukira matang ini, ternyata setengah matang. Kesalahanku karena ingin segera lepas dari genangan kesengsaraanku lebih cepat. Aku tidak tahu Raka Rasyad yang baru kukenal dua minggu ini adalah orang yang punya masalah sampai bisa kehilangan tempat tinggal, juga orang yang tidak sensitif, suka bersikap seenaknya, dan ....
Raka mendadak memukul-mukul tembok dengan telapak tangan seolah ingin memastikan apa tembok itu terbuat dari batu atau tripleks. Lalu, menunjuk dinding kamar Maya dengan kerutan hidung. "Apa aku bisa mengecat ulang kamar ini? Warnanya terlalu ... pink."
... lebih peduli pada warna dinding kamar yang hanya dihuninya satu bulan ketimbang mengkhawatirkan dirinya kalau dia telah homeless. Sepertinya aku belum kehilangan sentuhan ketidakmujuranku, dan aku tidak tahu kesialan apa yang menantiku sebulan ke depan.
****
Tampaknya aku bersikap terlalu berpikir skeptis. Semua kekhawatiranku berakhir hanya sebagai sebuah kecemasan.
Di malam pertama, aku mondar-mandir dalam kamar, sedang menyesali keputusan yang baru saja kubuat dan panik memikirkan apa yang menungguku malam itu.
Raka memang mengatakan kalau tidak semua cowok mesum dan berpemikiran rendahan, tapi bagaimana kalau ucapannya hanya kamuflase, kedoknya untuk menutupi sifatnya yang diam-diam mesum?
Aku tidak sedang mengizinkan singa masuk ke liangku yang aman, kan? Waktu aku menengok kamarnya dari ruang tamu, lampu kamarnya juga belum mati padahal ini sudah jam sepuluh malam. Dia tidak sedang menungguku tidur, lalu menerkamku, kan? Dia tidak begitu, kan? Lalu aku teringat pepatah don't buy book by its cover, penampilan baik tidak menentukan watak orang. Tidak ada yang tahu dalamnya orang. Mungkin begitu juga terjadi pada Raka.
Suara pintu diputar terdengar dari luar kamar saat pemikiran itu tercetus. Tidak hanya sekali, dua kali. Bunyi kunci itu tidak lain pasti dari kamarnya Raka dan dia menguncinya dua kali.
Bunyi kuncian itu memang hanya terdengar beberapa detik, tapi di kepalaku terngiang-ngiang diterjemahkan sebagai nada menyinggung.
Hah! Siapa juga yang mau menyelinap ke kamar dan menggodanya malam-malam? Dikiranya aku mamanya Michael sampai harus kunci pintu dua kali? Harusnya aku yang ketakutan! Harusnya aku yang mengunci pintu duluan!
Selama belasan menit aku mengomel akan sikap tidak terpujinya pada seorang cewek yang punya akal sehat, tiga puluh menit setelahnya aku tertidur pulas. Walau terasa berbeda, hari itu untuk pertama kalinya kembali aku merasa aman memiliki teman serumah setelah sekian lama, di rumahku.
Bukan hanya kekhawatiran tentang masalah gender saja, tapi aku punya kekhawatiran lain. Misalnya masalah kejorokan. Atas nama cewek, aku tidak sedang merendahkan kemampuan kebersihan diri cowok, tapi cowok kebanyakan jorok dan berantakan. Kuakui, Raka juga jorok. Dia memakai celana yang sama selama dua hari dan meninggalkan selimutnya tergolek di lantai selama berhari-hari-kulihat dari sela pintu waktu dia membuka kamarnya. Tapi tingkat kejorokannya hanya berkisar tentang dirinya, bukan barang milik bersama.
Tiap kali selesai makan, dia mencuci piring. Tidak pernah ada cucian kotor tertinggal di mesin cuci, dia tahu cara mencuci dan menghemat air dengan membilas beberapa helai pakaian satu kali cuci bukan satu-papaku sering melakukannya di rumah. Tidak ada keripik kentang berserakan di lantai atau meninggalkan TV dalam keadaan menyala.
Itu memang kedengarannya hal standar yang mungkin semua teman serumah lakukan, tapi tidak banyak orang yang bisa melakukan sekedar hal standar itu.
Dan daripada semua itu, dia memiliki salah satu hal yang paling kuinginkan dari seorang teman serumah.
"Kakak mengganti lampu kamar mandi?" tanyaku setelah keluar dari kamar mandi dan sadar kalau lampunya tidak kedap-kedip lagi. "Wahhh, apa ini? Soto ayam?"
Raka menyiram sesendok kuah soto ke mangkuk berisi potongan ayam, kubis, dan laksa. "Iya, aku ganti tadi pagi. Kalau nunggu satpam datang bisa sampai tahun monyet lebaran baru diganti."
"Aku nggak tahu kakak bisa masak." Aku tercengang melihat panci kuah soto yang mengeluarkan uap panas. Pantas saja waktu keluar dari kamar tadi aku mencium harum bumbu soto dari dapur.
"Memang nggak bisa, ini kubeli di perempatan taman depan terus kupanasi," jawabnya jujur. "Atur meja sana kalau mau makan sama-sama."
Aku memang tidak mendapat teman sekamar yang bisa masak, tapi dia tahu tempat makanan yang enak dan murah, dan punya level kepekaan yang anehnya cukup baik (walau mulutnya kadang tidak bisa dijaga).
Ketika aku sedang mengatur tatakan makan, meletakkan dua pasang sendok-garpu masing-masing di atasnya, kulihat punggung Raka yang sedang menyiram kuah. Lalu memikirkan kembali pertanyaan yang mengganjal di kepalaku selama ini.
Orang yang cukup baik dan tahu mengurus dirinya, namun tidak punya tempat tinggal. Apa latar belakang sampai dia mengalami semua itu? Apa tidak ada orang yang peduli sama dia? Dia bahkan tidur di mobil selama beberapa hari.
"Tanyakan saja yang mau kamu tanyakan. Jangan melihatku begitu ntar jatuh cinta." Raka meletakkan semangkuk soto ayam di mejanya lalu di mejaku.
Hari itu dia mengenakan kaos rumahan warna hitam dan celana basket, rambutnya berantakan seakan habis bangun tidur, dan kantung matanya membengkak kiranya karena kurang tidur.
Raka biasanya pulang terlambat, jadi kami jarang bertemu. Raka pulang waktu aku tidur dan aku pergi saat dia tidur. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan di luar sampai selama itu, mungkin mengerjakan tugas atau hal yang lain. Makan siang ini saja adalah makanan bersama pertama kami selama dia tinggal di sini, jadi aku belum tahu apa-apa soal dia selain fakta kalau dia homeless.
Aku tidak membalas candaannya, mode serius sedang dinyalakan.
"Kenapa kamu pindah ke sini?"
"Nggak akan kujawab." Dia mengaduk kuah sotonya, uap samar keluar dari mangkuk. "Itu masuk pertanyaan privasi. Kita sepakat nggak akan membahasnya di aturan kita."
Dia mengedikkan alis menunjuk sesuatu di luar dapur, tepatnya pada dinding depan lorong menuju pintu keluar unit. Ada poster kecil dari kertas karton yang dibingkai pigura terpasang di sana. Poster itu ditulis memakai spidol dengan judul besar, "Pedoman Hidup Bersama".
Kami membuat poster itu di hari pertama Raka tinggal di apartemen ini. Maksudnya untuk melancarkan peran sebagai teman serumah guna kenyamanan tinggal masing-masing. Setelah melalui diskusi panjang, kami membuat empat aturan pedoman hidup bersama.
Yang pertama, dilarang membawa teman pria/wanita ke rumah dengan alasan apapun.
Kedua, dilarang menyebarkan identitas teman serumah.
Ketiga, melakukan giliran bersih-bersih per minggu sesuai jadwal.
Keempat, saling menghormati privasi.
Aturan keempat sengaja kubuat sebagai jaminan atas sifat ketidaksensitifan Raka. Tidak kusangka dia lebih sering memakai aturan keempat ketimbang aku.
"Aku cuma bertanya." Kutopang pipiku memakai tangan, siku di pinggir meja makan. "Lagipula pertanyaan itu memang sesuatu yang sejak awal harus kutanyakan kepada teman serumah sebagai jaminan keamananku. 'Jangan-jangan kamu penjahat yang kabur atau teroris yang bersembunyi' aku bisa saja berpikir begitu."
Dia menggoyangkan sendok di tangannya, sendoknya bergetar, dia tengah berpikir.
"Kamu berhasil membujukku," jawabnya setelah sekian lama. "Kamu tambah pintar negosiasi. Pengaruhku, ya?"
"Yakin, mau kujawab?" Aku mengangkat alis menantang.
"Oke, kubatasi tiga pertanyaan."
"Sebelum dari sini, dan sebelum dari rumah Michael, kamu tinggal sama siapa?"
"Papaku."
"Kenapa kakak nggak tinggal sama dia sekarang?"
Aku bisa melihat kalau pertanyaan itu adalah sesuatu yang tidak ingin ia dengar, dia merapatkan rahangnya, sendoknya mengaduk-aduk laksa.
"Karena dia berengsek dan aku nggak mau jadi orang kayak dia. Makanya aku kabur dari rumah."
Jawaban yang jauh dari yang kuperkirakan. Tidakkah dia terlalu besar untuk kabur dari rumah karena ngambek pada papanya? Namun, sebagai alumni orang yang pernah kabur dari rumah, bukan tempatku buat mendakwa.
"Gimana dengan Mama kakak? Mama kakak masih ada, kan-"
"Dan itu akhir dari pertanyaan ketiga," selanya, lalu mengulum senyum. "Sesi tanya jawab selesai! Kamu sudah memakai pertanyaan terakhirmu."
"Tapi, aku belum tanya hal yang paling penting!" protesku.
Raka menggelengkan kepala, tidak terima protes macam apa pun, tapi dia menertawai rengekanku dan mencelanya, "konsekuensi dari orang ingin tahu banyak adalah mati penasaran." Tawanya makin melebar waktu aku memarahinya karena sudah mengutuk umurku pendek. Dia kembali menjadi Raka yang kukenal.
Makanan kami hampir habis ketika kusadari Raka mengintipiku diam-diam.
"Tumben, kamu rapi-rapi begini." Dia duduk membungkuk sambil menusuk-nusuk daging ayam yang tersisa di mangkuk. "Mau ke mana?"
Hari itu, aku memakai midi dress putih, lehernya berbentuk huruf V seperti kimono dan dibuat berlayer-layer, mencatok rambutku lurus, dan mempermanisnya dengan bando putih mutiara palsu.
"Kencan." Aku sontak memegang bando. "Terlalu rapi, ya? Bandonya agak berlebihan, nggak sih?"
"Sama siapa? Dirga?" Dia mengabaikan pertanyaanku, tertarik pada yang lain. "Kalian sudah pacaran?"
Kuambil jeda beberapa detik sebelum bicara, "Belum."
"Terus?"
"Hari ini kami kencan."
Raka membuat wajah kalau dia tidak mengerti.
Aku ingin menjelaskan padanya, tapi aku teringat dia baru saja membuatku menderita karena penasaran, jadi kubalas dia dengan cara yang sama. Aku menarik senyum simpul lalu memiringkan mangkuk untuk menyendok kuah terakhir.
****
".... aku menyukaimu, Nola."
Perlu beberapa detik buatku mencerna, dan saat aku sadar, aku hanya mengeluarkan napas kaget, semacam bunyi, "Hah?"
Dia baru saja mengatakan apa? Dia suka siapa?
"Aku menyukaimu," ulangnya. "Sejak aku melihatmu di ulang tahun Oma, sejak aku ketemu kamu lagi di Mojokerto, sejak aku tahu kalau kamu cengeng dan berat saat kugendong pulang," aku menendang kakinya ketika dia mengatakan itu, "sejak di pohon angsana waktu itu, sejak ketemu kamu lagi di kampus, dan juga pada hari ini. Aku menyukaimu selama waktu itu, bukan berulang kali, tapi memang mungkin belum pernah berhenti. Sepertinya kamu cukup menginfeksiku sekali saja dan itu berlangsung selamanya, seperti penyakit kronis."
"Jadi ..., aku virus?"
"Bukan, semacam plak pada jantung yang rusak."
"Wah, jadi aku plaknya."
"Tapi kamu nggak yang mematikan," jelasnya lagi, lalu tersadar metafora itu kurang pantas. Dia menutup mukanya. "Oh God, ini memalukan sekali. Kalau saja aku nggak buru-buru ke sini, aku pasti lebih siap, dan bukannya bicara soal plak dan di taman kota seperti ini," gumamnya, kiranya untuk dirinya, tapi bisa kudengar jelas.
Aku sendiri sedang tercengang. Layaknya seseorang yang baru meloncat dari dimensi lain ke masa kini dan membuat kepalanya pusing karena tekanan dari teleportasi. Apa ini kenyataan ataukah halusinasi? Tapi ada setangkai bunga di tanganku berisi ungkapan hatinya.
Di taman kota daerah komplek semi per kampungan ini, di antara seluncuran, ayunan, dan jungkat-jungkit, di antara itu semua, dia mengatakan semua kalimat yang kuimpikan ia katakan. Kalau ini mimpi, biarlah aku bermimpi selamanya.
"Katakanlah sesuatu," mohonnya, saat dia membuka tangan dari wajahnya. Semburat merah tipis-tipis di pipinya mengintip, dia memelas, "Lebih baik kamu ngomong nggak suka ditembak di taman bau tahi anjing ini atau menolakku. Apa pun, selain diam. Ini menyiksaku."
"Taman ini nggak bau tahi anjing, kok."
Entah kenapa aku mengatakan kalimat itu dan aku ingin mengubur diriku sendiri, ini gara-gara sesuatu mirip tahi yang terkubur di bawah perosotan sana! Aku gugup sekali, jantung berdenyut cepat sekali seperti ingin segera lepas.
Dirga mengeluarkan napas geli. "Itu cuma kalimat kiasan. Nggak usah dijawab juga."
"Ka-kamu suruh aku bicara sesuatu!"
"Ya nggak tentang tahi juga, dong. Masa bahas itu pas aku lagi nembak kamu? Kita lagi dalam mode serius! Gimana sih, La?" Dia menyeringai dengan sinis.
"Kok aku jadinya disinisi, sih? Katanya suka?"
"Ya, emang suka!" bentaknya.
"Ya udah, aku juga suka kamu!"
"Iya, tahu! Kamu suka Raka, makanya kamu menolak a...." Suara Dirga mendadak hilang sebelum kalimatnya selesai. Sebagai gantinya, dahinya berkerut hingga hampir menyatukan alisnya di pangkal tulang hidung. Dia memandangiku seolah bahasa yang kugunakan berbeda dengan bahasanya.
"Kamu ... juga suka sama aku?"
Aku terkesiap. Awalnya itu kukatakan untuk memenangkan argumen ini, tanpa sadar membeberkan isi hatiku juga. Kutundukkan kepalaku, merapatkan tubuh, merasa keki.
"Iya ...," jawabku gemetar.
"Kamu nggak suka sama Raka?"
"Nggak." Kuberanikan diri menatapnya.
Dia memerhatikanku gelagatku dengan teliti. "Tapi ..., kenapa kamu ....?"
"Bukan cuma kamu yang bisa bersifat pengecut. Aku juga kadang berharap bisa hidup sedikit lebih jujur. Katakanlah, kamu juga selama ini menginfeksiku."
Bahunya bergetar ketika dia melepas tawa kecil, tawa yang menyenangkan, lepas dan lega. "Itu baru kalimat kiasan yang tepat."
****
Pulang rumah, aku merasa dadaku sangat penuh. Aku seperti lemari sesak yang menunggu seseorang membuka isiku untuk menumpahkan tumpukan baju dari dalamnya. Kalau aku masih serumah sama Maya, Maya pasti jadi orang pertama yang kutumpahkan. Namun, Maya tidak ada di sini, dan jariku sedang gencar mencari nama seseorang seketika aku membuka ponsel.
Kubuang tas di lantai, berbaring di tempat tidur, berpikir sebentar ingin menelepon saja, lalu mengurungkannya. Seingin-inginku mendengar suaranya, aku lebih ingin memastikan kalau semua ini bukanlah mimpi yang sebentar bangun akan dilupakan. Sebuah deklarasi nyata.
"Jadi kita pasangan sekarang?"
Pesan itu lima belas menit setelahnya, dan langsung dibalas,
"Kurasa gila kalau kita menunggu lebih lama.
Kita menunggu waktu ini selama tiga tahun.
"Day 1?
"Day 1."
****
Satu kapal berlayar ⛵
*Tut! Tut!*
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa tekan tombol hati dan komen
Sampai jumpa di chapter selanjutnya! ❤
(Polling dikit dong. Kira-kira kalau aku bikin jadwal update, bagusnya hari kapan?)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top