14. Are You Still in Love?

Terima kasih sudah menunggu dan selamat membaca !

****

"Apa seorang cowok dan cewek yang berteman sangat akrab pasti selalu punya kemungkinan untuk saling jatuh cinta?" Aku ingat pertanyaan Anne padaku hari Rabu kemarin. Kami mengambil istirahat sepuluh menit karena lelah belajar-mengajar. Dia menaruh garpu kecil yang dipakai untuk menusuk potongan apel ke pinggir piring, lalu melipat tangan di atas meja dan membaringkan kepalanya di sana. Dia menatapku.

"Entahlah. Bisa jadi iya, bisa jadi juga nggak, atau bisa jadi salah satu suka sepihak."

Aku menjawab sekenanya sambil menggerus apel dingin di mulutku. Di piring ada sisa tiga potong. Aku menyuruh Anne menghabiskannya tapi dia sudah kenyang. Lambungnya pelit sekali. Pantas saja badannya bagus.

"Memangnya cowok-cewek bisa berteman?"

"Iya. Kurasa pertemanan platonik itu wajar. Kita toh nggak tinggal di asrama wanita atau bersekolah di tempat khusus, jadi ketemu teman nggak bisa ditentukan gender. Meski begitu pada tahap-tahap tertentu kadang-kadang itu bisa saja berkembang jadi ketertarikan."

"Tahap-tahap tertentu?"

"Iya. Aku nggak terlalu paham kapan saatnya hubungan teman berkembang ke arah lain. Itu hanya terjadi. Tapi kurasa cara paling mudah menjelaskan itu adalah kamu secara nggak sadar menyalahartikan perhatian dia sebagai bahasa cinta. Misalnya, kamu tersentuh waktu dia menghiburmu waktu susah, itu act of service, atau tersentuh waktu dia meluangkan waktu liburnya untuk ketemu sama kamu, itu quality time."

"Aneh mendengar orang yang nggak pernah pacaran tahu banyak soal bahasa cinta."

Aku memutar bola mata. Coba saja kamu coba temanan sama Maya, membaca majalah adalah hidupnya.

"Kakak pernah mengalaminya?"

Aku berhenti mengunyah, tertegun sejenak. Muncul bayangan seseorang di benakku.

"Kenapa kamu bertanya?" tanyaku, main aman.

"Cuma penasaran rasanya." Dia meniup poni di depan dahinya, lalu memajukan bibir bawah dengan kecut. "Sering sekali saat menonton film dan novel romantis-kakak tahu aku penggemar romansa-dari deskripsi tokohnya aku bisa merasakan perasaan yang mirip cinta. Dadaku hangat, tersipu dan aku sampai menjerit-jerit waktu kedua tokohnya saling mengaku sayang. Tapi, di kehidupan nyata, aku belum pernah mengalaminya pada satu cowok atau teman cowok manapun. Hatiku pernah bergetar sesekali, tapi itu saja, nggak pernah berkembang jauh."

"Master cinta belum pernah jatuh cinta?" Aku menggodanya.

Anne mengangkat dagunya dan melirikku tajam. Dia benci sekali dianggap anak kecil. Menurutnya, anak kecil selalu dipandang remeh dan lemah, jadi di tiap kesempatan dia selalu ingin menunjukkan kalau dia lebih atau sama banyaknya tahu pengetahuan yang para orang dewasa tahu. Tentu saja, cinta masuk dalam ranah pengetahuan orang dewasa itu.

Aku menepuk puncak kepalanya. "Oke, oke, terus masalahnya apa?"

"Aku ingin jatuh cinta." Dia kembali dalam mode memberengutnya. "Padahal di film, mudah sekali rasanya menyukai seseorang. Kamu bisa tersentuh dengan cowok yang membukakanmu pintu, atau suka sama cowok waktu kalian dipasang-pasangkan sama teman sekelas. Tapi aku nggak pernah mengalami yang seperti itu. Tiap kali aku hampir jatuh cinta, aku selalu menemukan kejelekkan dari dia yang nggak kusuka. Apa ada yang salah denganku?"

Kutaruh garpuku dan menaruhnya di piring di samping milik Anne. "Kurasa yang salah di sini cuma kamu belum menemukan tipemu. Itu bukan masalah besar. Kamu cuma perlu ketemu lebih banyak orang."

"Iya kah?" Anne terlonjak dari duduknya, kini dia menggeser duduknya menghadapku. "Belum pernah suka seseorang itu nggak aneh, kan, Kak?"

"Kenapa kamu merasa itu aneh?"

"Semua temanku sudah pacaran waktu mereka SMP, beberapa lagi sudah suka sama cowok sejak mereka SD, cuma aku yang belum. Aku belum pernah mengatakan itu sama mereka. Gengsi juga kalau mereka tahu aku belum pernah pacaran karena aku nggak pernah menyukai siapa pun, bukan karena mamaku melarang. Mereka bisa memandangku aneh. Dikiranya aku telat puber atau apalah, padahal secara fisik aku sudah dewasa." Dia mendekatiku. "Kakak sendiri, kenapa masih bertahan sendiri padahal sudah pernah jatuh cinta?"

Aku ditolak. Tapi tentu aku tidak akan mengatakan cerita cintaku pada anak umur tujuh belas tahun yang sedang mengidamkan jatuh cinta, sekaligus anak murid lesku.

"Aku suka kesendirianku ini. Hidup di luar drama dan mengerjakan segala yang kuinginkan."

Hal itu benar. Aku senang menghabiskan akhir mingguku sendiri atau bersama teman, aku juga bisa bebas menonton atau menggambar tanpa ada chat yang menungguku, juga bisa menghemat biaya makan di luar dengan memasak di apartemen. Aku sudah terbiasa hidup sendiri. Aku nyaman dengan itu.

"Mungkin, kalau kamu belum menemukan orang yang kamu sukai, kamu bisa hidup sepertiku." Aku mengusulkan.

"Dan menjadi pertapa seumur hidup?" Dia menyambung. "Ugh. Membosankan." Anne membaringkan kepalanya di meja lagi, sisi sebelah pipinya kempes di permukaan meja. "Selama tujuh belas tahun aku hidup, aku nggak punya orang yang kusukai, hidupku datar-datar saja, dan aku harus menikmati tahun-tahun berikutnya dengan sendirian saja? Hidupku sendiri sekarang saja sudah sangat membosankan."

Dia mendesah panjang seolah persoalan hidupnya setumpuk pekerjaan presiden. "Sedangkan di sisi yang lain, orang-orang jatuh cinta itu tertawa bersama-sama. Aku juga mau dicintai dan mencintai seperti itu. Aku mau menemukan Noah Junior-ku."

Aku masih punya hati untuk tidak membocorkan kalau Noah Junior akhirnya dilupakan Allison Hamilton karena penyakit Alzheimer yang diidapnya setelah menua bersama. Yang kulakukan adalah menusukkan apel di piring dan menyantapkan ke mulut Annie yang terbuka, supaya dia bisa berhenti bicara omong kosong, lalu kami menyantap apel sambil memandang daun berguguran bulan Agustus terbang di luar jendela. Angin masuk meniup tirai jendela.

Di dalam sela waktu itu, aku memikirkan perkataan Annie. Sejujurnya, aku juga ingin mengalami pengalaman itu: pengalaman dicintai dan mencintai seseorang. Aku tidak bohong kalau aku menyukai kesendirian, aku merasa kurang dalam banyak hal karena itu aku ingin mengembangkan diriku lebih lagi. Aku ingin menyukai diriku.

Namun, tidak bisa kusangkal, kadang-kadang aku berandai kalau di suatu tempat dan suatu waktu ada seseorang yang menyukaiku. Seseorang yang bisa menerima sisi kurang dan lebihku, dan yang menganggapnya sebagai pesona paradoksku.

Tapi, mengingini sesuatu yang belum tentu menjadi milikmu, membuatmu mudah tidak percaya diri. Seperti, 'aku belum pantas mendapat seseorang karena aku masih serba kurang', perasaan semacam itu.

Aku tahu perasaan itu adalah kata-kata dari rasa rendah diriku, tetapi mungkin satu alasan lain kenapa aku tidak memilih pacaran karena aku merasa belum pantas mendapatkan orang yang mencintaiku. Namun, di saat aku menyadarinya, aku terbayang sosok seseorang di kaca jendela yang ingin kujadikan pengecualian.

****

Semburat-semburat oranye di langit makin menggelap, matahari hampir tenggelam, namun Dirga masih betah berdiri di depan apartemenku. Dia bersandar di dinding luar pagar, sesekali memukul pahanya yang pegal, lalu berdiri tegak lagi, dia bertingkah layaknya orang di-setrap saja. Meski aku tahu dia sedang menunggu seseorang. Dia tentu tidak membawa kantong di tangannya sebagai penambah beban.

"Hei."

Raka memanggilku di belakang, menyadarkanku kalau ternyata ada penonton lain selain aku. Dia mengikutiku sembunyi di antara pohon dekat dinding pembelokan. Ia menahan dahan pohon yang menusuk-nusuk kepalanya dengan tangannya, dan akhirnya membungkuk karena sadar badannya terlalu tinggi untuk bersembunyi.

"Aku punya pertanyaan," katanya.

"Apa?"

"Apa Dirgantara Wahyu yang kamu maksud itu dia?"

Aku menahan diri untuk tidak meringis. "Iya." Jadi, dari tadi dia belum sadar yang kumaksud Dirga yang mana?

"Dia teman jurusanku." Raka memberitahuku. "Aku nggak begitu kenal dia, tapi mantanku kenal pacarnya. Fabby atau Fonny-kah namanya? Semacam itulah. Kamu berani juga nulis surat buat orang yang udah punya pacar."

"Mereka sudah putus."

"Oh, wow. Informasi bagus." Raka mencemoohku.

"Aku nggak mengirim surat cinta karena dia putus, surat itu nggak sengaja terkirim!"

Raka mendesis, menyuruhku merendahkan suara. Aku mematuhinya.

"Sekarang apa yang kamu tunggu? Kamu mengirim surat cinta ke dia, dia pasti datang ke sini untuk menemuimu."

"Atau bisa jadi juga nggak. Febby tinggal di sini, dia mungkin mau menemuinya."

"Tadi siang kamu menggenggam tanganku sepanjang lorong, tapi kamu malu ketemu Dirga buat mendengar pendapatnya? Jangan jadi pengecut, Nola."

"Aku masih belum siap." Kuremas telapak tanganku yang lembap karena keringat. "Gimana kalau aku jadi kikuk dan akhirnya bicara aneh? Seperti membongkar rencana kita atau berdiskusi soal kertas suratku yang kusimpan di dalam buku, tapi nggak jadi kuning? Aku nggak tahu jawabannya!"

"Aku yakin sekali dia nggak akan bertanya soal kertas."

"Kita putari satu kali jalanan ini, terus kembali lagi kalau Dirga sudah pulang." Begitu yang kuputuskan selama beberapa detik bergumul.

Raka menangkap bahuku waktu aku berbalik. "Kamu salah satu orang teraneh yang pernah kutemui, jadi kamu akan baik-baik saja." Dia mendorongku maju. "Temui dia, dan beri aku apartemenmu, dan bebaskan aku dari drama kecilmu ini!"

Aku menahan dorongan Raka dengan berjinjit dan merebahkan badanku ke belakang. Upaya yang sangat sia-sia. Tenaga Raka jauh lebih besar dariku dan badannya lebih besar, jadi dalam kondisi itu dia masih bisa mendorongku, dan aku makin terseret ke depan. Aku hendak melakukan perlawanan lebih seperti mencekal kakinya atau menendang tulang keringnya, namun aku terlanjur berada di luar pembelokan, dan Dirga terlanjur melihatku.

"Nola?"

Begitu bunyi suara yang datang dari jauh itu, lalu kudengar bunyi langkah kaki dari kejauhan yang mendekat-kupercaya milik Dirga. Aku menahan geraman marah pada Raka yang bersembunyi dibalik dahan pohon. Raka mengancungiku jempol dan berbisik, "Good luck."

Dia teman kamar terburuk!

"Kamu baru pulang?" Dirga sampai ke tempatku. Kukira aku sedang berkhayal kalau suara sapaan Dirga barusan terdengar riang, tapi dia memang sedang mengulas senyum ringan dan raut wajahnya yang lelah itu tampak lega. Aku terhenyak selama beberapa saat karena itu. Tidak biasanya dia bertingkah seriang ini.

"Iya." Manik mataku menjauhi tatapannya saat dia menatapku lurus-lurus. "Kamu sendiri ngapain di sini?"

"Aku menunggumu."

Dia menungguku? "Kenapa?"

"Aku chat kamu, tapi nggak dibalas-balas. Jadi, kupikir kalau aku tunggu di depan apartemenmu, aku pasti bakal ketemu sama kamu. Dan, aku benar."

Kumasukkan tangan ke kantong jaketku. Hanya ada suratku di sana, hape tidak ada. Aku baru ingat telah mematikannya sejak pagi setelah aku memutuskan untuk menghindari Dirga hari ini. Rencana itu gagal total dengan gemilangnya.

"Sudah berapa lama kamu nunggu?" Wajahnya tampak lelah dan ia masih mengenakan baju tadi siang. Aku melirik kiri-kanan. Mobil minivan Dirga tidak terlihat di jalanan manapun.

"Entahlah. Mungkin sebelum kelas sore."

"Dua jam lebih?!" pekikku setelah menghitung mundur waktu di kepala.

Dirga tertawa. "Nggak selama itu kok. Bercanda." Kemudian dia mengambil tas di bahuku, itu dilakukannya secara alami karena dia selalu tahu tas yang kubawa selalu berat. Aku punya akal sehat untuk tidak meninggalkan buku-bukuku di loker kampus. Pada waktu itu, tidak sengaja punggung tangan kami bersentuhan. Tangannya dingin. Di situ aku sadar dia sudah menungguku cukup lama.

"Kenapa kamu mencariku?" Aku menundukkan kepala, kakiku mengetuk-ngetukkan tanah,  menimbang-nimbang bicara. "Apa ini karena suratku lagi?"

Dirga tampak hendak mengatakan sesuatu, tapi dia menahannya. Dia melangkah ke sebelahku saat beberapa cewek lewat di sebelah kami, mereka mengobrol dengan berisiknya. Di momen itu, aku kembali sadar kalau kami masih ada di depan apartemenku, dan di tempat ini kami tidak hanya berdua.

Dirga pasti menyadari ketidaknyamananku, karena saat melihatku dia bertanya, "Kalau kamu nggak buru-buru, gimana kalau kita mengobrol sambil minum kopi?"

****

Sambil salah tingkah, kami berjalan memasuki kafe di simpangan jalan yang setengah melompong. Aku dan Maya sering datang ke sana jika butuh wifi gratis menjelang deadline tugas. Keunggulan kafe kampus dibanding lainnya adalah makanan di sana tidak semahal café biasa, tempatnya kecil, tapi suasananya nyaman. Ketika masuk, nyanyian lagu-lagu penyanyi pop dan R&B terkini menyambut kami.

Dirga berdiri di depan meja kasir, memesan milkshake pisang, dan buatku sandwich tuna dan es kopi susu. Aku tersentuh dia mengingat minuman dan makanan yang kusukai. Ketika dia membawa nampan berisi dua gelas kami dan duduk di kursi favorit Maya, kusadari keberadaannya sedikit janggal di sini, namun menyenangkan. Aku tidak pernah berpikir akan datang suatu hari ketika kami duduk berdua di café untuk membahas perasaan kami masing-masing setelah sekian tahun berpisah.

"Setelah menerima surat itu, semalaman aku berpikir banyak hal," katanya usai menyeruput susu pisangnya sampai habis dalam sekali sedot.

Ini percakapan pertama kami selama sepuluh menit di kafe. Itu membuatku cemas. Dia butuh sepuluh menit untuk menyusun kata-kata, ini pasti percakapan yang amat penting.

Dia melanjutkan, "Apa ini prank atau ini betulan, dan kalau ini betulan kenapa kamu nggak pernah mengatakannya, dan kenapa kamu mengatakannya sekarang. Berapa lama kamu menahan surat itu? Dan apa kamu masih menyukaiku?

"Kemudian hari ini, kamu bilang kalau semua ini nyata, adalah kesalahan, dan semuanya sudah berakhir. Lalu kamu pergi sebelum mendengar pendapatku. Ini jelas sangat lebih banyak dari yang bisa kuproses."

"Maaf," dia mengangkat pandang dari gelasnya ke aku saat aku bicara, tatapannya seakan bisa menembus isi otakku, itu memberi reaksi tidak baik pada perutku, tapi aku tetap melanjutkan, "soal kesalahan mengirim surat itu, dan sudah pergi sebelum kamu selesai bicara. Aku nggak tahu kamu peduli."

"Aku peduli." Dia menekankan. "Tapi aku nggak datang untuk mendengar permintaan maaf. Aku datang untuk memastikan."

"Memastikan?"

"Setelah kamu bilang surat itu nggak penting lagi karena sudah menyukai orang lain," dia menggigit bibirnya sementara mengatakan itu, "kamu bilang, kamu nggak mau mengatakan perasaanmu untuk kedua kali. Aku penasaran apa maksudnya?"

"Karena kamu tahu soal surat itu. Aku mengirimkannya pertama kali waktu natal tiga tahun lalu."

Dirga memiringkan kepalanya, kedua alis tebalnya berkerut. Dia tampaknya tidak ingat.

Aku membantunya. "Aku menyelipkannya di buku scrapbook yang kukasih sebagai hadiah natal. Itu terjatuh di gereja sesaat sebelum kecelakaanku." Rautnya mengatakan penjelasanku masih belum menyentuh ingatannya. "Kamu nggak ingat?"

"Karena itu memang nggak pernah terjadi." Dirga bersedekap. "Kalau iya, seharusnya aku ingat, dan seharusnya scrapbook dan surat itu ada di aku, bukannya dikirim ke kotak suratku hari ini."

"Kamu mengembalikannya lewat Febby di hari kamu pindah." Memikirkan ulang hari kepindahan Dirga membuat perasaanku campur aduk. "Itu yang kusesalkan. Kalau saja aku cepat pulang dari rumah sakit, aku bisa sempat mengucap selamat tinggal sama kamu. Menyedihkan sekali melihat saat aku pulang mobilmu nggak ada. Di saat bersamaan, itu juga membuatku lega."

Kurasakan bulir-bulir panas merangkak naik dari belakang bola mataku membayangkan masa lalu yang tidak bisa diubah. Aku menutupinya dengan senyum miris.

"Aku pasti bakal menangis melihat mukamu karena tahu cowok yang kusukai pacaran sama orang lain." Aku tahu bagaimana ini akan berakhir begitu merasakan produksi ludahku banyak, dan aku menelan ludah untuk menahan tangis. "Dan kamu nggak pernah memberitahuku soal itu. Aku kecewa. Kukira kita teman dekat."

"Tunggu, tunggu." Dia mengangkat sebelah tangannya, minta interupsi. "Febby mengembalikan surat itu? Kenapa bisa?"

"Karena kamu memberikan surat itu sama dia." Kuhapus mataku yang berair. "Kamu yang memungutnya di gereja. Karena kita berselisih waktu, dia menggantikanmu menyerahkannya. Itu yang Febby katakan."

Ketidaktahuan tampak nyata sekali di wajahnya, dan aku tahu itu jenis ketidaktahuan yang murni. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku bisa mengendusnya. Dirga pun berpendapat sama. Dia bilang, "Ceritakan apa pun tentang hari itu yang kamu tahu secara lengkap." Setelah itu, kami menceritakan kejadian hari itu dalam versi kami masing-masing.

Butuh dua cangkir kopi susu, satu piring sandwich, dan satu kilometer jalan memutar menuju apartemenku untuk membahas ketidakberesan pada cerita kami.

Aku menceritakan semua kejadian sesuai yang sudah kututurkan. Aku pulang dari rumah sakit, Dirga sudah pergi, lalu aku menemukan buket bunga di depan rumahku sebagai tanda perpisahaannya Dirga, lalu Febby datang mengembalikan suratku dan mengatakan kalau dia dan Dirga sudah berpacaran. Yang Dirga tahu hari itu, dia menaruh buket bunga beserta kartu ucapan yang mengungkapkan perasaannya, Febby datang ke rumahnya untuk mengucap selamat tinggal, lalu esok-esok setelahnya, aku tampak sedih dan menghindari teleponnya, dan itulah mengapa dia salah mengerti kalau aku canggung begitu karena aku menolaknya.

"Jadi sebagai rangkuman," Dirga menyela saat kami duduk di kursi taman kompleks yang sudah ditinggalkan anak-anak bermain sore, "tiga tahun lalu, di saat bersamaan, kita saling menyukai, sudah mengungkapkan perasaan, namun secara kebetulan Febby menemukan suratmu yang terjatuh di halaman gereja, dan secara kebetulan dia mengambil kartu ucapanku waktu selesai pamitan denganku, lalu menyingkirkannya?"

"Iya, kurasa itu rangkuman yang paling singkat."

Dada Dirga mengempis dan mengembang waktu dia menghela napas, dia menyandarkan kedua lengan kurusnya di pinggiran kursi taman, berkata dengan frustasi, "Kalau orang lain mendengar cerita kita, mereka pasti sangat frustasi. Ini sangat banyak kebetulan. Aku nggak nyangka Febby bisa berbuat sepicik itu. Aku juga nggak nyangka kita sebodoh itu."

"Kamu sempat pacaran sama dia." Aku mengingatkannya.

"Iya, setahun. Saat masuk kuliah." Dia membelalakkan mata untuk menyatakan maksudnya. "Dan kamu mengira kami ada 'sesuatu' selama tiga tahun. Ini sangat menyebalkan. Aku hampir membencimu setengah tahun pertama karena kamu mengabaikan chat-ku. Aku harus chatting-an sama Maya untuk tahu kabarmu. Aku, Maya! Di setiap kalimatnya Maya memakai emoji, menyingkat kalimat dengan salah, dan chat-nya panjang-panjang. Dia bisa mengetik tujuh balon chat per dua detik! Tujuh balon chat per detik!"

Aku tertawa geli. Membayangkan Dirga yang ketikannya sangat kaku, tanpa singkatan dan emosi, bercakap dengan Maya, yang setiap kalimatnya penuh beragam emosi dan drama. Dirga pasti sabar sekali waktu itu menghadapi Maya. Dan itu memunculkan kupu-kupu di perutku, dia mau melakukan itu untuk tahu kabarku.

"Aku segan kontak kamu setelah tahu kalian pacaran. Nggak baik juga terlalu dekat sama orang yang telah menolakku."

"Kamu tahu, kedua kalimat itu salah paham."

"Sekarang. Dulunya kan, nggak."

Kemudian dia mengembuskan napas lemah di depan wajahnya, meniup anak-anak rambutnya, kiranya masih tidak menyangka dengan apa yang terjadi. Aku pun merasakan sama.

Berita ini amat menggemparkan, namun tidak masuk dalam kategori mengejutkan. Ada kalanya tiga tahun lalu aku menyadari sinyal-sinyal positif dari Dirga kalau dia juga tertarik padaku. Namun, realitas lebih dapat dipercaya daripada sekadar insting, dan aku beralih memercayainya. Setelah sekarang kusadari semuanya adalah kesalahpahaman, kalau kami memiliki perasaan yang sama, perasaanku jadi campur aduk.

Senang, sedih, berbunga-bunga, depresi, dan beragam perasaan lain yang bertolak belakang lain menyampur di dadaku dan membuatnya ingin mengembang, dan kepalaku pusing. Ini berjalan seperti mimpi.

Apa Dirga benar-benar telah mengaku suka padaku di masa lalu?

Apa ini benar-benar terjadi?

Apa itu artinya perasaanku berbalas? Tapi kenapa aku tidak merasa puas? Meskipun hatiku serasa ingin melompat-lompat, namun itu tidak membuatku ingin melayang.

Hatiku berbicara lebih dulu sebelum otakku mengerti.

"Meskipun kita sama-sama sudah saling tahu perasaan, tapi ini sudah nggak ada gunanya lagi. Sekarang, kita teman."

Aku yang berbicara, namun kalimat itu yang malah membuatku sadar. Ini arti perasaan campur aduk ini. Masa lalu hanya masa lalu, tidak ada hubungannya dengan masa sekarang.

Kupaksakkan senyum manis, ujung-ujung bibirku bergetar. "Aku senang kita tetap berteman."

Tatapan kami bersirobok selama beberapa detik, dan kulihat raut yang sama dengan waktu dia tahu aku si pengirim surat tercipta di wajahnya. Alisnya tertaut keriting, bibirnya tertarik ke bawah, dan dia kembali tampak murung. Kemudian dia melepas kontak mata kami, dan dari jauh kudengar bunyi gemerisik daun bersentuhan di atas mengambil jeda wicara kami.

"Aku yang nggak." Akhirnya, dia bicara. "Aku tahu aku yang mengajakmu tetap jadi teman, tapi itu kulakukan bukan dengan maksud murni. Aku mau tetap ada di dekatmu. Dan, aku sadar itu kesalahan. Aku bisa saja mengutarakan perasaanku berkali-kali, lebih banyak dari sepucuk surat, tapi aku malah terus menahan egoku. Aku lelah menahannya lagi."

Dia mengambil kantong yang dibawanya sepanjang hari ini yang diletakkan di bawah kaki kursi.

"Aku nggak mau melakukan satu kesalahan lagi, dan itu dimulai dari ini," katanya sambil membuka perekat mulut kantong, lalu menyerahkannya padaku.

Aku terhenyak setelah melihat isi dalam kantong.

"I-ini, kan?"

Dirga mengangguk sembari bibirnya mengulas senyum lembut, menikmati setiap detail perubahan rautku.

Satu tangkai bunga mawar merah merekah kukeluarkan dari kantong. Suatu label putih mengalungi salah satu batangnya dan di sana ada typographi yang dicetak tipis yang berbunyi, "to her, and only hers".

"Suratmu memang mengejutkanku, tapi bukan karena itu saja aku datang ke sini. Aku datang karena setelah melihat suratmu, aku menyadari perasaanku." Dirga mengelus belakang kepalanya canggung, telinganya merah. "Aku nggak pandai berkata-kata manis, tapi seseorang pernah bilang sama aku kalau bunga bisa mengatakan kalimat yang nggak terucapkan. Kamu tahu kan, arti bunga itu?"

Aku mengangguk. Artinya, aku mencintaimu.

"Aku tahu semua bagimu sudah selesai, kamu sudah menyukai orang lain, dan selama beberapa saat aku bersama orang lain. Tapi, bagiku, perasaanku buatmu belum selesai." Dia mengambil jeda sebentar, mempersiapkan diri mengucap kalimat terakhirnya, "Aku menyukaimu, Nola."

****

Side Story

Hari ini, aku akan pergi ke sana.

Aku sudah sampai terminal. Sudah membeli tiket dan keretanya sudah datang, tapi aku takut masuk.

Dir, apa kamu bisa menemaniku? Aku takut.

Tiga balon chat pada ruang chatting yang hampir melompong tampil di ponselku. Jarak satu pesan dengan lainnya berbeda-beda. Pesan pertama dikirim tiga jam lalu, kedua tiga puluh menit selanjutnya, dan terakhir dikirim lima menit lalu. Aku tahu seharusnya aku mengabaikan pesan-pesan dari Febby saja, namun jariku menggelincir saat membuka grup pesan kelas Studi Perancangan Kota.

Semua salah Pak James, kembaran Peter Pettigrew itu. Aku tidak sedang menghina rupanya yang menyerupai tikus gendut, tapi dia memang tikus licik. Dia membatalkan kelas secara mendadak karena pesta ulang tahun anjingnya, lalu menyuruhku sebagai ketua kelas untuk mencarikannya alasan yang lebih formal. Semua akan tahu dia ke mana kalau melihat postingan FB-nya, dan mereka juga tahu alasannya bukan anjing. Selingkuhannya adalah pemilik anjingnya. Oke, kabar ini berkembang terlalu jauh, seharusnya gosip itu ranahnya Maya. Mari kembali ke masalah pesanku.

Kubalas Febby dengan, "Pulang saja. Pergi ke sana itu keputusan buruk. Aku ragu dia mau menemuimu. Dan tolong berhenti menghubungiku." Kemudian setelah berpikir ulang, kuhapus pesan separoh bagian dan mempertahankan kalimat, "Pulang saja."

Kubuang ponsel di sofa, lalu ikut membuang diri juga di sana. Kemudian saat aku menatap lampu chandelier yang menggantung di ruang tengah, membayangkan tangkai-tangkainya itu sebagai kaki dan tangan ayam tim jahe yang baru saja kusantap-kuahnya manis entah apa yang Nola campurkan, dan tertawa membayangkan mukanya yang kaget ketakutan kalau kukatakan review asliku, kudengar suara bel rumah berbunyi.

Nenek yang tinggal di sebelahku datang membawakanku surat. Matanya kurang baik melihat karena sudah lanjut usia, jadi dia salah mengira mengambil surat kamar nomor 603 padahal nomor yang tertera di alamat adalah milik 604. Dia mengacungkan jempolnya padaku dan menepuk-nepuk bahuku kencang, mengatakan, "Kamu punya teman-teman yang lucu dan baik!"

Di antara tagihan-tagihan kartu kredit, ada amplop cokelat yang ukurannya cukup besar dan berat datang dalam keadaan terbuka. Kupikir, inilah yang dimaksud nenek itu, jadi kubuka isinya.

Adalah sebuah buku cokelat dengan label memory pada cover depannya. Di bawah tulisan itu, ada foto langit biru berawan. Ketika aku membuka satu per satu halaman, terpampang semua foto-fotoku, Maya, Nola, papa, Om Arif, tetangga, dan keluarga kami. Semua kenangan semasa aku dan papa tinggal di Mojokerto.

Itu sangat aneh melihat semuanya dari kacamata jaman ini. Semuanya begitu jadul dan muka semua orang tampak lebih muda.

Kulepas satu foto yang kusukai. Itu foto aku, Maya, dan Nola duduk di meja makan. Itu adalah ulang tahun pertamaku selama tinggal di Mojokerto dan sepanjang hari itu aku cemberut karena papa tidak mengijinkanku pulang ke Surabaya untuk menemui makam Mama. Mataku merah sepanjang hari, tapi ketika Maya dan Nola datang aku berusaha tegar dan memasang wajah kesal. Maya menghiburku dengan mencolek kue ke pipiku dan Nola yang tidak menyangka itu terjadi menertawakannya. Itulah latar belakang foto itu.

Setelah melihat ini sekarang, aku rasa kami semua sangat pendek, hijau, dan gempal. Aku merindukan masa-masa damai itu.

Kuselip foto itu di depan bingkai fotoku dan Mama di atas nakas di kamar lalu beranjak ke dapur untuk membuang bungkus amplop cokelat sekaligus menaruh surat-surat penting di meja makan agar Papa mudah melihatnya. Sesuatu meluncur ke atas tumpukan sampah lebih dulu ketika aku hendak membuang amplop cokelat.

Itu sebuah surat berwarna putih. Ada stiker hati sebagai perekat surat. Tidak ada nama pengirim tertera di sana. Kalau dari huruf-huruf di buku scrapbook dan bagaimana rapinya foto-foto di dalamnya tersusun, seharusnya scrapbook dan surat ini dari Nola. Kenapa dia mengirimnya? Masih jadi pertanyaan. Tapi, aku bisa menanyakannya sebentar.

Untuk Dirgantara Wahyu,

Pertama-tama, aku ingin memberitahu kalau aku sudah menyiapkan hadiah Secret Santa lain untukmu, tapi setelah tahu kapan hari kepergianmu, aku sadar ada sesuatu yang lebih mendesak untuk kusampaikan ....

Begitulah permulaan surat itu kubaca, lalu kalimat-kalimat setelahnya berbicara padaku pada hal yang kuharap kuketahui di masa lalu.

****

Akhirnya setelah belasan purnama, Nola dan Dirga tahu perasaan masing-masing.
Frustasi nggak selama baca sama cerita mereka?
Semoga masih kuat ya hatinya karena cerita ini masih lanjut

Apa kalian menikmati bab ini?

Jangan lupa vote dan like bab ini

Sampai jumpa di chapter depan !

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top