11. Hide and Seek
Terima kasih sudah menunggu dan selamat membaca !
****
Sore hari Rabu setelahnya, aku berada di rumah Anne, menunggu dia mengerjakan soal-soal akuntansi yang kudapat dari internet. Di tengah itu, aku bertukar pesan dengan Maya.
"Aku baru pulang dari apartemen kita untuk mengambil barang. Makasih buat sumbangannya, Nola! Sam pasti bakal senang sekali dapat banyak koleksi buku bekas. Kamu tahulah, orang-orang lebih sering memberi pakaian bekas yang warnanya sudah kuning-kuning daripada buku. Aku bingung apa mereka sebenarnya mengerti kalau menyumbang itu nggak sama dengan membuang sampah."
"Senang bisa bantu. Sorry, nggak bisa datang ke panti dan cuma bisa menyumbang."
Maya tetap menjadi relawan. Yang cukup mengejutkan karena dia mematahkan dua kebiasaan Maya; tidak melakukan kehendak orang lain dan hanya melakukan hal menguntungkan buat dirinya. Sepertinya Sammy membawa perubahan baik buat Maya, tidak seperti mantan-mantan bobroknya yang lain.
Melihat perubahan positif Maya, membuatku ingin terlibat. Aku menyumbangkan satu kardus pakaian bekas dan kardus kecil berisi buku-buku lama yang seharian kupilah. Bakal lebih lama kalau tidak meminta pendapat Maya lewat foto. Kalau diingat-ingat lagi percakapan kami Senin kemarin seperti berada di medan perang, Maya di sisi bijak, "taruh barang itu ke dalam kardus, baju itu sudah kekecilan!" dan aku bertahan dengan sikap ragu-raguku, "tapi gimana kalau suatu saat aku kurus dan bisa memakainya?"
Ya, aku adalah tipe orang yang menyayangi barang-barangku. Sulit membuang barang ketika tiap kali melihatnya membangkitkan sebuah kenangan.
Pertarungan kecil kami tentu saja dimenangkan oleh Maya.
"Gimana sewa apartemenmu? Sudah dapat cara membayar?"
Aku berpikir sebentar, lalu mengetik, "Aku melamar jadi pelayan di restoran Chickin. Sudah wawancara, mulai Senin depan masuk. Mereka cukup pelit membayar gaji, tapi jadwal shiftnya pas sama jam kuliahku."
"Kamu yakin mau kerja di restoran itu? Katanya kerja di sana melelahkan. Akhir pekan lalu aku ke sana sama Sammy dan semua pelayannya bertingkah seperti zombie saking lelahnya. Kamu tahu, aku nggak keberatan meminjamimu cash."
Maya lagi-lagi merasa bersalah. Berminggu-minggu berefleksi diri, aku sadar tempat tinggalku sejak awal bukan tanggung jawabnya.
"Kamu sudah melunasi utang budimu dengan mobilmu. Nggak apa-apa, May. Aku bakal baik-baik saja. Semua pekerjaan pasti melelahkan."
"Thank, God. Aku lega nggak bisa membantu. Satu-satunya tabungan yang kupunya cuma celengan babi."
"Hahaha. Brb. Aku harus balik ngajar Anne. Wish me luck, setelah les aku bakal menghadap mamanya. Kalau dia bisa memberiku gaji di muka, mungkin aku akan menolak tawaran kerja jadi pelayan."
"Good luck, Sis!" Balon chat kedua datang dan buatku termenung. "Btw, quick question. Kamu dapat kabar soal kondisi Dirga nggak? Sejak kemarin, dia belum membalas pesanku."
Dirga sempat mengontakku Senin kemarin. Dia mengirimkan foto piring kosong dan memuji ayam tim jahe buatanku sebagai masakan terbaikku. Aku belum pernah masak itu sebelumnya. Kemampuan masakku hanya berkisar tiga menu: telur, nasi goreng, mie instan. Aku hanya mengikuti step-step dan mencatat bahan-bahan saat Mama memasaknya. Untunglah dia menyukainya. Setelah membahas foto itu, kami tidak pernah bicara lagi.
Aku tidak tahu apa ini karena dia dan aku sibuk, atau Dirga masih mencerna emosinya, atau aku agak kecewa karena percakapan terakhir kami. Dia menyukaiku sebagai teman. Seharusnya aku senang apa yang selalu Maya bilang kekurangan, kalau aku terlalu baik, disukai oleh orang yang kukagumi.
Namun setiap mengingat kejadian itu, aku merasa seperti memakai kaos kaki basah di dalam sepatu. Rasanya tidak nyaman, dan aku tahu pasti alasannya kenapa.
"Apa itu teman kuliah Kakak?" Kepala Anne menyembul ke celah pundakku. "Apa yang kalian bicarakan? Kalian sedang membicarakan cowok?"
"Sudah selesai mengerjakan soal?" Kujauhkan ponselku darinya.
"Sudah." Dia mengalihkan dengan cepat. "Apa yang kalian bicarakan? Siapa itu Dirga? Apa Dirga gebatan kakak? Namanya terkesan wattpad-able, tapi aku suka."
"Kami nggak membicarakan cowok. Kami sedang diskusi soal pengaruh kenaikan PPN pada daya konsumsi masyarakat."
Anne menyipitkan mata mengintimidasi.
Aku menarik napas kalah. "Oke, oke, kami bergosip. Aku cuma ingin terlihat sebagai mahasiswa pintar dan bukan guru yang diam-diam chatting hal nggak penting di tengah jam les." Aku menyelipkan kebohongan. "Di sela waktu, kami juga sering bercakap hal-hal penting. Semua itu dilakukan mahasiswa."
"Kakak bisa membicarakan cowok saat jam les. Aku baik-baik saja soal itu. Malahan, aku senang kalau kakak konsultasi sama aku. Nggak seperti nilaiku yang anjlok, aku ahli percintaan. Bisa dibilang, aku dokternya cinta."
"Bukannya mamamu nggak mengijinkanmu pacaran sampai kuliah?" Aku meminta padanya. "Lembar jawaban." Dia memberiku lembar jawabannya dan segera kuperiksa.
"Iya. Pemikirannya sangat lame. Kenapa membatasi umur untuk pacaran? Aku sudah besar untuk menentukan takdirku sendiri. Aku sudah punya KTP dan aku udah nggak makan Kids Meal lagi di McD selama dua tahun."
"Iya, itu bukti yang sangat kuat."
Account payable to Cash, melunasi hutang, benar. Prepaid rent to Rent, melunasi hutang sewa, salah. Mana perhitungan pajak sewanya, dan mana perhitungan depresiasi mesin?
"Tapi dibanding pacaran, kamu jelas harus belajar banyak buat ujian harian minggu depan, Anne." Aku mencoret satu soal lagi yang salah.
Anne tidak memerhatikanku. "Karena nggak bisa pacaran, aku akhirnya menemukan jalanku sendiri dengan menonton film, drama, novel. Pengetahuan yang sesungguhnya ada di sana. Spoiler. Jangan mengencani cowok sepantaran karena otak cewek mencapai tingkat kematangan pada usia belasan, sedangkan otak cowok harus menunggu usia 20 tahun untuk mencapai kematangan yang sama. Karena itu cowok cenderung lebih kekanak-kanakan. Nah, itu pengetahuan baru buat kakak." Dia menunjuk dirinya sendiri. "Dokter cinta," katanya bangga.
"Pengetahuan sesungguhnya ada dalam bukumu." Aku menekankan.
Anne mencibir. Dia melipat kakinya dan memangku tangan di pinggiran meja. Berlagak seperti anak kecil ngambek, meski dia sudah anak SMA kelas dua, dan badannya sangat bongsor. Dia tinggi sekali, kira-kira sepuluh senti dariku, dan badannya jelas lebih terbentuk dariku. Dia bisa saja jadi model kalau dia tidak bisa kuliah, wajahnya juga cantik. Tentu, aku tidak akan melontarkan ide itu ke mamanya kalau tidak mau dipecat. Dan lagi, Anne selalu ingin tahu tentang segalanya, tentu itu bekal bagus untuk kuliah, selain karena dia cerewet.
"Kuliah menyenangkan ya, Kak?" tanya Anne lagi. "Kalian bisa pakai baju bebas, mewarnai rambut, memilih sprei dan dekorasi kamar sendiri, ketemu dengan para orang keren. Aku penasaran ada berapa puluh lusin cowok keren di kampus."
Kucoret lagi jawabannya yang salah, sekarang tinggal menghitung nilai.
"Aku nggak berani bicara angka dan persentase, tapi jawabannya cukup rendah. Banyak mahasiswa yang datang ke kampus nggak mandi dan mereka yang terobsesi dengan parfum tapi alergi air. Sebagian yang keren dan normal itu yang sering mandi dan nggak jorok."
"Atau orang-orang semacam itu cuma ada di jurusan kakak," tambah Anne tampak yakin. "Aku yakin ada lebih banyak cowok keren di kampus, juga undangan pesta tiap minggu, dan nggak ada larangan pulang jam 9 malam. Aku nggak sabar jadi dewasa!"
"Sepertinya, fantasimu bakal hancur kalau kuceritakan lebih banyak."
Sewa apartemen, biaya bulanan yang lebih tinggi dari uang bulanan, harus mempertahankan nilai supaya bisa mengajukan beasiswa tahun depan, menyetir mobil, dan mencari uang. Aku pernah berpikir jadi dewasa menyenangkan, tapi setelah mengalami beberapa masalah, rasanya tidak semenyenangkan bayanganku. Aku rindu bermanja-manja dengan orang tuaku.
"Aku akan kuliah, dapat pacar keren, dan tempat tinggalku sendiri. Aku tahu aku bisa."
"Itu bakal kejadian kalau kamu bisa menaikkan nilaimu dua puluh poin." Kuserahkan kertas lembar jawabannya yang penuh coretan merah.
Dia membaca. "Enam puluh? Ini berkembang lima poin dari minggu lalu!"
Lalu dia melipat lembar jawabannya dengan senyum puas. "Kurasa, ini waktu yang tepat untuk break time, kan, Kak? Kita berdua sudah sama-sama capek. Waktu ngobrol mulai! Ceritakan soal Dirga-Dirgo ini? Teman atau gebetan? Atau pacar? Ceritakan aku semuanya!"
Aku menghela napas panjang, dalam hati ingin menabahkan diri kalau semua pekerjaan di dunia pasti ada bagian melelahkannya. Menjadi pelayan restoran bukan salah satunya saja.
****
Aku pulang dalam keadaan lesu. Layaknya jiwaku sedang melayang-layang dan tubuhku bergerak di luar kesadaranku, seperti boneka marionette yang digerakkan pementas boneka.
Setelah les selesai, aku turun ke dapur menemui Bu Sonja yang sedang membungkus makanan di kabinet. Kuutarakan keinginanku untuk mendapat gaji di muka. Dia menolak permintaan itu. Keadaan di kantor suaminya sedang sulit sejak salah satu karyawannya membawa lari uang piutang pembeli. Mereka harus mengirit biaya hidup dan rumah tangga sampai pencuri itu ditemukan. Termasuk, biaya les Anne.
Dia bertanya apa bisa membayar setengah biayanya awal bulan depan, dan mengingat kebaikan hati Bu Sonja yang sering memberiku makanan, aku menyetujuinya. Kali ini, dia memberikanku sekotak nasi kuning sisa makan siang mereka. Yah, paling tidak, aku bisa menghemat biaya makan malam.
Aku ke luar dari lift, merogoh saku jaket untuk mencari kunci, ketika kulihat seseorang berdiri di ujung lorong lantaiku. Dia bersandar di dinding tepat di seberang kamarku. Sebelum aku mencapai tempatnya, dia melihatku.
"Akhirnya aku menemukanmu. Unit 311!" salamnya riang.
"Kak Raka? Ngapain kakak ke sini?" Aku mendadak teringat. "Tunggu. Kalau ini soal balikin baju, aku sudah ikhlas kok, Kak. Ambil saja."
"Mana mungkin aku repot-repot datang ke sini buat kembaliin baju-" Dia menggeram sebelum menyelesaikan kalimatnya, buang napas panjang, tersenyum miring lalu bicara, "Aku datang menemui unit 311 untuk minta pertanggungjawaban."
"Pertanggungjawaban?"
Dia membuka ponselnya, mencari sesuatu di sana, lalu menghadapkan layarnya padaku. Dia menunjukkan sebuah video beresolusi rendah yang menampilkan area kompleks rumah kelas menengah atas. Ada bingkai melengkung pada layar bagian bawah seperti bagian bingkai mobil dan catatan waktu digital di bawahnya. Direkam pakai kamera mobil, pikirku.
Pada beberapa detik kemudian, muncul sebuah mobil yang tidak asing berusaha parkir di depan mobil ini. Usahanya halus dan mulus, masuk parkiran dalam sekali coba, sebelum gerak halus mobil menajam cepat menghantam moncong mobil. Kamera bergetar dan bunyi hantaman keras terdengar. Tanpa menonton lagi, aku sudah tahu apa yang setelahnya terjadi. Aku turun, syok melihat hantaman itu, lalu meloncat masuk kembali ke mobil dan melaju pergi dari sana.
Raka mematikan rekaman itu, tersenyum sumringah sepertinya menikmati rasa syok, ketakutan, ketegangan, yang bercampur cepat di mukaku. Histeris harusnya masuk dalam campuran itu karena aku ingin sekali melempar ponselnya untuk melenyapkan bukti. Tapi, tambahan biaya perbaikan ponsel muncul sebagai prioritas utamaku setelah perbaikan mobil dan sewa apartemen.
Mati aku.
Benar-benar mati aku sekarang.
Raka bermonolog. "Kamu tahu kalau dunia itu bekerja dengan cara gila? Gimana bisa kita ketemu berkali-kali dan aku nggak nyadar kalau selama ini kamu orang yang aku cari-cari? Aku benar-benar sudah menyerah di gerai perbaikan mobil setelah tahu asuransi mobilku sudah habis dan lupa kuperpanjang, dan gilanya kalau saja aku nggak diingatkan karyawan sana kalau mobilku punya kamera, mungkin selamanya aku nggak akan ada di sini dan memergokimu."
"Itu kebetulan sekali," sambungku.
"Iya, kan? Takdir memang keren."
Ponsel di sakuku bergetar. Siapa ya yang menghubungiku jam begini? Atau aku kabur saja dengan pura-pura mengangkat telepon? Meminta Maya atau Dirga datang? Mereka pasti tahu apa yang harus kulakukan.
Tunggu, bagaimana kalau Raka sudah memanggil polisi untuk menahanku, mereka bersembunyi di suatu tempat, dan siap menembakkan pistol kejut listrik kalau-kalau aku kabur?
Kutarik napas dalam, menjernihkan pikiran, tangan menggenggam ponsel di saku jaket.
"Jadi, tujuan kakak di sini mau bawa aku ke kantor polisi?"
"Kantor polisi? Buat sidang kamu sebagai penabrak mobilku lalu kamu dipenjara, tapi mobilku nggak bisa diperbaiki? Hell no. Aku lebih butuh cash."
"Oke, itu melegakan, tapi nggak lebih baik."
Dia melipat tangan di dada, keningnya berkerut tidak suka. Dia menunggu jawabanku.
"Kalau kubilang aku kekurangan uang, apa yang akan kakak lakukan?"
"Menghubungi polisi untuk melapor kasus tabrak lari." Rahangnya mengeras, dia serius. "Kamu punya uang, kan?"
"Iya, tapi aku nggak yakin cukup banyak buat biaya perbaikan mobil," dia mempelototiku, "ta-tapi aku punya teman yang bisa meminjamiku uang. Tenang saja. Dia malah menawarkan aku pinjaman uang kalau aku kesulitan. Ada orang baik semacam itu."
Suaraku tenang, tidak bergetar, tapi jantungku dugem di dalam. Kuambil ponselku, pura-pura mencari kontak seseorang. Maya tidak punya duit. Apa Dirga? Dia pasti punya uang dan bilang kalau ada kesusahan dia bersedia membantuku. Sebelum aku mencari nama Dirga, satu pesan lagi masuk di kotak masukku. Dari Dirga.
Dia mengirimiku tujuh pesan. Tidak biasanya. Pesan dari Dirga paling panjang tiga balon chat dan tiap katanya tidak lebih dari tujuh.
"Hei, aku menemukan ini di kotak suratku. Alamatnya darimu." Pesan itu disemat bersama amplop cokelat, lalu pesan berikutnya berbunyi, "Ini beneran dari kamu kah, La?" dikirim bersama foto sepucuk surat tulisan tangan berawalan tulisan, 'Untuk Dirgantara Wahyu, pertama-tama aku ingin memberitahu ...'."
Kukunci layar ponselku sebelum sempat membacanya utuh. Bergegas membuka kunci pintu apartemenku, berjalan masuk masih beralaskan sepatu, lalu berlari kesetanan menuju kamarku. Kubuka semua buku di rak buku, melemparnya ke lantai waktu tidak mendapat yang kuinginkan, membuka semua laci, melongok tempat sampah, dan bawah tempat tidur.
Tidak ada!
Tidak ada!
Buku itu tidak ada!
"Kalau ini caramu buat mengecohku, itu nggak berhasil."Raka di depan pintu kamarku. Dia mengejarku ke dalam. Aku hampir melupakannya ada. "Woah. Are you okay?" tanyanya ketakutan melihatku mengobrak-abrik kamarku. "Kamu lagi cari apa?"
"Sebuah buku. Buku warna cokelat dan cover-nya ada gambar langit. Ada tulisan memories di depannya. Buku scrapbook-ku. Ada surat terselip di dalamnya." Kulempar satu buku lagi. "Dia nggak ada di mana-mana. Dia hilang." Aku benar-benar ingin menangis.
"Terakhir kamu lihat di mana?"
"Di kamar ini!" teriakku histeris padanya. "Dia hilang sama surat itu! Harusnya ada di rakku! Tapi sekarang surat itu ada di dia! Oh tidak ..., dia sudah membacanya."
Surat cintaku terkirim ke rumahnya. Dirga pasti sudah membaca surat cinta yang kutulis saat SMA itu.
Kurasakan tanah di bawahku retak, membuatku terjatuh ke lantai, dan mungkin, terperosok ke lubang bawah tanah. Tidak, ini tidak nyata. Sama sekali bukan kenyataan. Ini hanya mimpi buruk. Aku hanya perlu menutup mata dan tidur, lalu semuanya akan baik-baik saja. Benar. Ini hanya mimpi dalam mimpi. Aku cuma kecapekan ....
"Hei. Kenapa kamu berbaring di sini?"
Kubuka mata dan bertemu Raka yang berdiri di atasku. Aku berbaring di lantai. Sial. Raka masih di sini dan aku mendengar suaranya. Ini benar-benar terjadi.
Bagaimana caranya aku bangun dari mimpi buruk ini?
****
Terima kasih sudah membaca !
Silakan vote, komen, atau masukkan cerita ini di daftar pustakamu ^^
Sampai jumpa minggu depan !
(20 April 2022)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top