10. The End of Relationship

"Tebak siapa yang aku temui di ulang tahun kedelapan puluh omanya Sammy? Maria! Iya, si Maria yang itu, yang dagunya terbelah dan ngajak kita bertengkar di kamar mandi! Ternyata, dia sepupu jauhnya Sammy! Aku masih belum bisa lupa kalau dia dalang yang menyebar isu kalau aku suka ganjen sama cowok-cowok. Jadi, aku usir dia dari kursiku, dan dia beneran pindah!

"Kukira selamanya Maria itu bakal sok. Hari itu, dia minta maaf sama aku, dan bilang kalau dia begitu karena cemburu karena aku deket sama Rangga dan Dirga. Belakangan, aku tahu kenapa dia berubah, dia nggak keterima di PTN manapun dan selama dua tahun nganggur, karena itu dia mulai berkaca diri. Aku masih benci dia karena lukaku, but I feel pity for her.

"Terus, aku cerita soal Febby akhirnya pacaran sama Dirga. Dia tahu itu, dan bilang, kalau dia lega akhirnya Dirga membuangnya. Dirga, membuang Febby? Mana tega! Eh, tahunya pas aku cek di ig Febby, mereka udah unfollow-an! Maria benar! Mereka sudah putus!"

Kira-kira begitu isi pesan panjang dari ruang chat Maya yang kubaca setelah Raka pulang. Maya lalu mengusulkan untuk merayakan pesta hari putusnya Dirga di rumahnya.

"Aku nggak yakin Dirga bakal senang hari putusnya dirayain." Kupindahkan ponsel ke bahuku dan menjepitnya, sedang tanganku yang lain mengiris jahe di talenan, kupatahkan daun bawang menjadi dua untuk dimasukkan ke dalam ayam sebelum melumuri seluruh badan ayam dengan perasan jeruk nipis.

Dirga suka makan ayam tim jahe buatan mamaku kalau dia sedang sakit, jadi aku berencana mengirimkan ayam tim jahe buatanku memakai jasa kirim. Kuharap itu bisa membuatnya merasa lebih baik.

"Dia pasti senang," balas Maya. "Ini kali pertamanya putus dan walau aku nggak tahu apa yang selama ini dilihatnya dari Febby, keadaan ini pasti berat buat dia. Dia butuh kita."

Kulipat kaki ayam, memiringkan kepalanya, dan membungkus ayam dalam aluminium foil dalam kondisi membungkuk. Kemudian memutuskan, kalau ide Maya boleh juga.

Hari-hari baik tentu harus dirayakan, dan kurasa perpisahan juga butuh dirayakan. Yaitu, perayaan untuk hati yang patah menginginkan diri untuk pulih.

"Aku nggak tahu kamu peduli sekali sama Dirga. Kadang-kadang, aku lupa kalau kalian sepupuan karena kalian suka bertengkar."

"Senang ini membuatmu ingat." Maya terkekeh di seberang telepon. "Plus, aku butuh ruang bebas dari tante Emily. Dia terus mengangguku. Bilang aku terlalu kurus, aku harus lebih banyak makan. Nggak boleh keluar pakai crop top karena itu membuatku masuk angin. Kemarin, dia memberlakukan jam malam. Memangnya dia siapa? Sipir penjara?"

****

Maya berencana memanggil Dirga ke resto & bar di tengah kota dan aku langsung menolaknya. Dirga baru saja putus, bar terlalu meriah untuk melepas kesedihan. Dia butuh dukungan dalam lingkup kecil dan berkualitas. Jadi, kami pergi ke apartemen Dirga malam itu.

Om Tara dinas ke luar kota, jadi hanya ada Dirga sendirian di rumah. Sejak Om Tara dipromosikan menjadi kepala cabang utama area Darmo, kesibukannya bertambah. Tapi, kudengar pulangnya jadi lebih tepat waktu dan Dirga dua kali dalam sebulan punya jadwal akhir pekan memancing bersama ayahnya. "Aku lelah melihat mukanya," keluhnya di telepon beberapa bulan lalu, dan kudengar di belakang Om Tara berteriak dia berhasil menangkap ikan nila.

Rasanya aku diberkahi melihat perkembangan hubungan mereka. Juga mungkin sebagian besar, perkembangan kemampuan finansial mereka.

"Kamu yakin dia tinggal di sini?"

"Yup! Makanya sebelum aku pindah ke rumah Tante Emily aku membujuk Dirga membolehkanku tinggal di sini, tapi dia menolakku. Dia bilang aku terlalu kotor buat dia. Pembohong!"

"Dia salah. Selain semua ruangan, kamu rajin bersih-bersih dapur."

Maya mengerutkan dahi memproses ejekanku. Kutepuk bahunya dan mendorongnya memasuki area drop off tamu apartemen dan disapa doorman hotel berseragam serba hitam necis yang membukakan kami pintu kaca. Apartemen itu berlantai tiga puluh, punya lobby lapang dan mewah, berlantai marmer, benda-bendanya bergaya kontemporer dan modern, semua tempatnya wangi khas pengharum ruangan otomatis, dan kartu akses dipakai untuk segala pintu.

Orang-orang yang tinggal di apartemen semacam itu kukira orang-orang kalangan atas yang hanya bisa kamu temui di mal-mal mahal seperti GM dan PTC, atau bukit Darmo golf (aku tidak tahu pasti, aku kampungan). Kemudian, Dirga membuka pintu memakai singlet 'Bir Bintang', celana training berlabel XI-IPA 2 di ujungnya, daerah bawah bibirnya berwarna abu-abu-sepertinya belum bercukur seharian, dan dia memegang gelas AQUA-bukan termos keramik mahal.

"Selamat Hari Putus!"

Pita-pita dari mini pooper menyembur saat Dirga membuka pintu apartemen. Lalu, Maya menyanyikan lagu yang sebenarnya lagu 'Selamat Ulang Tahun' diganti liriknya menjadi lagu 'Selamat Hari Putus'. Ritual itu berakhir dengan Dirga meniup lilin di atas kue tart.

"Jadi, yang mana caption foto yang bagus? 'Happy Break Up Day, Dirga! You do a great job! Emoji, smiley face', atau 'The beginning of happy ending story. My man, alone but not a loner, hashstag sucks for you Febby'?" tanya Maya, melipat kaki di atas sofa, menyentuh-nyentuh layar hapenya.

"Kedua kalimatnya rasanya terlalu ceria buat orang putus."

"Itulah inti acara ini, Nola. Kita harus membuat image seolah Dirga nggak peduli kalau dia putus, dan mengumumkan kalau dia sudah single." Maya berteriak pada Dirga di dapur. "Tenang aja, Dir, aku punya ribuan pengikut. Di fotomu ini kamu kelihatan tinggi dan tampan. Kamu pasti dapat banyak perhatian!"

"Nggak minta!" teriak Dirga.

Dirga sedang membuka penutup botol wine merah memakai kotrek di dapur. Dia sudah berganti baju menjadi kaos biru gelap dan celana bahan yang nyaman. Maya memaksa agar Dirga tidak mengganti singletnya, dia tidak tahu Dirga punya otot lengan. Beruntung, Dirga tidak menyukai ide itu dan berganti baju-syukurlah melihatnya begitu membuatku sedikit malu.

Dirga benci surprise, kue tart, dinyanyikan lagu, dan benci kombinasi ketiganya. Tapi, dia membubuhi senyum kecil saat menerima kue itu, dan itu cukup melegakan. Dia tampak baik-baik saja.

"Kalian serius cuma datang bertiga? Makanan-makanan ini kayak lagi ngundang se-RT buat hajatan." Dirga mengerling pada meja ruang tamu yang disulap menjadi tempat jamuan makan malam yang sesak. Bawaanku dan Maya.

Siang tadi, Maya datang ke unitku setelah aku selesai mengepak ayam tim jahe. Dia memberhentikan tanganku membuka pintu kulkas dengan menyangga badannya di sana, bertolak pinggang, dan bicara nada sombong, "Kita beli saja, nggak usah masak." Dia mengeluarkan kartu hitam mengilap dengan ukiran nama silver yang timbul dengan gaya wanita kelas atas. "Ada mom's card di sini."

Itulah kisah singkat dari pizza box, sekotak ayam bumbu empat rasa, seloyang snickers mud cake, sebotol wine, dan aneka cemilan yang kami dapat di Ranch Market. Oh ya, kami tidak membeli wine, sedihnya belum mencapai usia mampu membelinya. Kami mendapatnya dari Sammy yang berbaik hati mencuri wine di gudang milik ayahnya. "Gudang papaku wine-nya akeh. Dheweke ora weruh yen aku njupuk satu. [Gudang papaku wine-nya ada banyak. Ayahku nggak akan sadar kalau kuambil satu]," katanya. (Terima kasih atas pengorbananmu Malin Kundang yang baik hati!)

Aku mengoper gelas wine pada Maya dan memberi satu di samping pizza box yang terbuka di seberang mejaku. Maya menyingkirkan vas bunga karangan anggrek ke meja kopi. Di sela-sela itu semua, seperti biasa, podcast Maya tentang masalah hidup berputar.

"Bedanya suka sama jatuh cinta kelihatannya tipis, tapi kalau dilihat lagi sebenarnya beda jauh. Misalnya, aku bisa suka sama seseorang, tapi saat mengenalnya lebih jauh rasa suka itu perlahan pudar, dan aku jadi tahu kalau mungkin aku nggak begitu menyukainya."

Dirga datang membawa botol wine yang sudah dibuka ke meja. Dapur apartemen ini modelnya menyambung sama ruang tamu.

"Bukannya sebutan nggak terlalu penting? Banyak orang jatuh cinta lalu pacaran, berakhir putus karena bosan," sambung Dirga.

"Ada kasus-kasus nggak wajar semacam itu. Itu seperti kamu nggak menemukan koin di tempat yang sama dua kali."

"Kurasa peribahasa itu artinya beda, May."

"Whatever. Poinku di sini adalah suka beda tingkatan sama cinta. Suka sebatas kamu suka apa yang dia lakukan di depanmu, lebih tepatnya kamu suka pada proyeksi dirinya di kepalamu. Kalau dia nggak sesuai bayanganmu, kamu bisa kecewa dan gampang saja beralih ke orang lain. Sedangkan, saat jatuh cinta, bahkan waktu dia nggak sesuai bayanganmu, bahkan perbuatannya membuatmu kecewa, kamu berusaha berkompromi, suka atau nggak."

"Contohnya?" Aku mengambil pizza daging asap.

"Menyumbangkan barang-barangmu ke acara amal karena pacarmu salah satu panitia." Maya mengedutkan hidung tidak suka. "Aku nggak peduli dengan barang-barangku, tapi ke sana dan membagi-bagikannya itu nggak seru banget."

"Sudah kuduga. Curhat colongan Maya." Dirga mengangkat gelas wine-nya. "Omong-omong tadi sangat mulus."

"Aku suka Sammy, meski dia sedikit cupu dan pendek, dia asyik, baik, dan menghormatiku sebagai wanita, tapi kadang-kadang dia bisa kurang peka. Aku benci aktif dan dia mendaftarkanku ikut kegiatan amal karena menilai itu baik, tanpa menanyakan kesediaanku lebih dulu? Apa dia pikir karena aku pacarnya, dia bisa seenaknya mengaturku?"

"Tipikal Maya, mencari semua kelemahan cowok sebelum memutuskannya." Dirga meledek. "Serius. Kapan pelabuhanmu berhenti? Sepertinya kamu lebih banyak menarik jangkar daripada menyangkutkannya."

"Mereka akan tetap jalan sampai tiba waktunya berhenti. Aku pencari yang rajin. Dan jangan kira aku asal-asalan milih cowok, meski sejarah mantanku panjang, aku tetap memilih yang terbaik dari yang terbaik."

"Lebih ke pencari yang cerewet."

Dirga menahan tanganku sewaktu kuangkat botol wine, ingin mencicip. "Minumlah air putih. Perutmu masih sakit."

Aku memandanginya bingung, 'dari mana dia tahu?'.

Dirga menjelaskan, "Maya cerita kemarin kamu dipaksa minum sama senior, padahal kamu nggak pernah minum alkohol."

Menurut pengamatanku kemarin, tolerir konsumsi alkohol di tubuhku adalah dua botol, tapi aku tidak mau berdebat dan mengambil cerek kaca air bentuk pir.

"Persetan dengan Sammy!" Maya mengangkat gelasnya ke tengah-tengah meja dan memandang Dirga. "Karena ini malam buat kamu, Dir. Kita akan lupain semuanya dan mabuk-mabukkan!"

"Itu sama sekali bukan inti kami datang ke sini." Aku menjelaskan pada Dirga dan ikut mengangkat gelas.

"Untuk Dirga dan masa lajangnya yang menyedihkan!" seru Maya.

"Untuk masa depan Dirga." Aku memperbaiki.

"Cheers!"

Kami mendentingkan gelas, lalu menyeruput isinya. Maya dan Dirga mengernyit kecil karena rasa alkohol yang cukup kuat, aku minum air putihku dengan tenang seperti seekor ikan di akuarium. Masing-masing kami langsung mengambil makanan yang telah kami incar. Suara piring porselen beradu dengan benda tumpul terdengar.

Maya memutar-mutar isi gelas keduanya, berkata dengan kilat mata nakal, "Jadi, apa rencanamu setelah melajang?" Dia mulai menebak-nebak. "Mencari mangsa baru? Atau menikmati senangnya sebagai cowok lajang dengan bermain-main cewek?"

"Kenapa rencana melajangmu semua berhubungan dengan cewek?"

"Karena itu intinya! Kamu putus dari seseorang, supaya bisa jatuh cinta sama orang lain. Jatuh cinta lagi, putus lagi, move on, jatuh cinta lagi. Itu fasenya."

"Itu fasemu. Kamu berusaha jatuh cinta sama orang lain, supaya melupakan yang lama. Itu lingkaran setan dan itu nggak sehat."

"Tapi aku berhasil dapat yang terbaik, sejauh ini. Cara ini efektif." Maya mengangkat sebelah bahunya bangga, lupa kalau dia baru saja mengkomplain soal cowoknya. "Buat kamu, lebih gampang. Ada banyak cewek lebih baik dari Febby, kamu bakal mudah move on."

Aku mengunyah pizza sapi asapku, yang tidak terasa seperti roti dan daging sapi lagi. Kupasang telinga seperti sedang menguping, seolah-olah ini pembicaraan pribadi bukan obrolan terbuka di mejaku.

"Aku nggak ngerti kenapa kamu benci dia. Oke, dia egois, kata-katanya sering kali nyelekit-sama kayak aku, dia sering merendahkan orang lain, tapi kalau kamu kenal sama dia, dia nggak seburuk itu."

"Ada tiga ciri negatif di sana dan satu positif. Aku makin yakin dengan kebencianku."

Dirga berkata seperti seorang tua yabg bijak, "Nggak ada orang yang sempurna. Meski akhirnya begini, kalau kamu mengenalnya, dia teman yang cukup baik."

Maya mendekati Dirga, dia menyipitkan mata.

"Kamu masih belum move on, kan? Karena itu kamu membelanya?"

Dirga mendengus ingin tertawa. "Kami sudah putus dua minggu lalu. Nggak ada apa pun yang tersisa."

Maya ingin menanyakan pertanyaan lanjutan ketika ponselnya berdering. Maya mengangkat telepon. Wajahnya menunjukkan kalau dia tidak rela, tapi begitu dia tahu itu pacarnya, matanya seperti akan melompat. Ia bangkit, beranjak ke beranda, dan menutup pintu kaca pembatas. Dia berdeham sejenak sebelum mengangkat telepon sembari mengerucutkan bibir pura-pura sebal. Kurasa, dia masih jatuh cinta pada Sammy.

Aku kembali pada Dirga. Dia sedang mencelupkan nugget dalam saos.

"Kalian putus dua minggu lalu?" tanyaku mengingat-ingat. "Jangan bilang, pas tengah malam, di jalan depan apartemen kami?"

Dia tidak jadi menyuap nugget. "Kamu lihat?"

"Maaf." Aku merasa bersalah. "Aku kebangun malam itu, terus pas tutup gorden kalian ada di sana. Maaf." Seharusnya itu menjadi ruang hanya untuk mereka, percakapan itu terlalu intim.

"Nggak usah minta maaf. Jalanan itu ruang publik." Lalu dia menambahkan, "Dan, jangan tersinggung, aku bukannya ingin menyembunyikan putusku ini pada kalian, aku cuma merasa ini nggak terlalu penting buat ditahu, apalagi kalian nggak suka Febby."

Selama setahun ini kami membiarkan Dirga dalam posisi sulit, antara setia pada kami atau pacarnya. Tentu dia harus mikir-mikir dulu sebelum ambil sikap.

"Gimana perasaanmu?"

Dia menelengkan kepalanya, menyipitkan sebelah matanya. "Sedikit sedih, tapi sebagian besar lega. Aneh. Padahal di mobil waktu itu aku masih rasa ini keputusan salah, tapi setelah membicarakannya, aku lega. Seharusnya, aku lebih dulu putus sama dia. Gimana pun juga kami lebih cocok temenan. Minim pertengkaran."

"Ouch! Untuk Febby." Aku memegang dadaku, pura-pura kena serangan jantung.

Dirga menertawainya. Dia menghilangkan distraksi, meletakkan nugget-nya, dan mata seperti biji almond itu memandangku lekat.

"Gimana dengan mobil yang kamu tabrak? Ada kabar?"

"Negatif. Sekarang aku makin merasa bersalah karena minggu ini resmi jadi penabrak liar."

Aku telah berpesan pada Maya untuk memberi kabar kalau-kalau pemilik mobil itu datang. Meski tidak yakin bisa memberi ganti rugi dengan layak, aku mau minta maaf, dan-semoga-dia tersentuh bila kuceritakan kondisi keuanganku dan membolehkan aku mencicil ganti ruginya. Namun sampai hari ini, belum ada kabar.

"Beruntung, tapi juga buntung."

Dirga menopang dagunya dengan sebelah tangan, tampak sejenak menimbang-nimbang bicara, "Kudengar kamu punya cerita lain selain itu. Maya cerita, kalau kamu dekat sama Raka Rasyad. Itu betul?"

Aku memelotot, panik. "Nggak, kami nggak dekat!" Jantung berdegup kencang, suara tinggi, mulut gagap. "Di-dia cuma membantuku sekali pas aku ter-tersesat nyari gedung. Itu aja."

Tidak, Dir. Dia juga menemaniku minum-minuman alkohol kemarin, membawaku yang dalam keadaan tipsy pulang apartemen, pagi ini Raka juga tidur di sofaku dan kami makan bubur bersama. Dia membantuku, kami nggak dekat, tapi dia tidur di rumahku kemarin. Kalimat itu baru versi lengkapnya.

"Syukurlah, kalau begitu. Dia punya banyak rumor kurang baik. Aku pernah melihat dia bertengkar sama cewek di depan kampus sampai si cewek nangis-nangis. Rumor bilang, dia menghamilinya dan minta tanggung jawab, tapi Raka membuangnya."

"Kurasa, dia nggak serendah itu," belaku.

Sekali lagi, aku tidak terlalu kenal Raka, tapi akun yakin Raka tidak serendah itu. Buktinya per hari ini saja aku masih perawan.

"Aku juga berpendapat begitu. Dia tampak normal-normal saja. Playboy, tapi bukan berandalan. Bisa jadi, itu cuma rumor palsu karena dia terkenal." Dia berkata serius. "Tapi tetap bagus untuk selalu waspada. Hati-hati sama dia."

"Tetap saja, Dir. Kita nggak tahu apa yang dia alami. Ini agak nggak adil menghindarinya cuma karena rumor nggak berdasar. Lihat saja Maya, dia korban rumor palsu."

Per hari ini pun dia masih jadi korban rumor palsu. Ada beberapa orang yang menjadikan pacaran sebagai keuntungan untuk bisa skip tugas kelompok dan ingin remah-remah berupa buat PPT atau kebagian print, Maya salah satu orangnya. Dia tidak disenangi anak jurusan karena itu, dan mereka mulai membuat rumor kalau yang dia temui adalah sugar daddy dan dia wanita macam-macam karena Sammy-dua puluh satu tahun tapi bermuka tua- sering menjemput pakai mobil sport.

Dirga bicara, "Aku ingat ucapan ini, 'yang bisa menahan hal buruk terjadi cuma Tuhan, manusia nggak punya kekuatan sebesar itu. Jangan takut seberapa lama perasaanmu atau dia bertahan, karena walaupun kamu mau, manusia nggak bisa hidup selamanya.' Kamu bilang itu di kamarku saat aku curhat kalau aku takut jatuh cinta. Kata-katamu tadi mengingatkanku sama ucapanmu ini."

Aku tersenyum, mengenang kejadian itu. Mengenang kalau sebelumnya aku pernah sangat jatuh cinta pada Dirga, senang kalau kami pernah sangat dekat sampai dia mau berbagi lukanya denganku, juga insiden-hampir-ciuman kami.

"Serius. Kalau bukan karena ucapanmu itu, aku sampai sekarang nggak bisa menghadapi lukaku. Aku suka sisi kamu selalu melihat dari sisi positif, itu kelemahanku."

Dirga membenamkan muka di lututnya, memandangiku dari bawah, dengan tatapan hangat dan berkilau dia bicara.

"Dan kurasa itu salah satu alasan kenapa aku menyukaimu." Ia membubuhi senyum kecil di akhir katanya.

Senyuman kecil yang ia sembunyikan di antara lutut itu, buatku kepayang. Jantungku sepertinya melompat keluar dari dada dan sebentar lagi copot. Tuhan! Kenapa cowok dua puluh tahun ini bisa sangat manis dan tampan? Pesonanya tolong, jangan borong-borong.

Tak hanya aku yang salah tingkah, sepertinya Dirga mengerti kata-katanya rancu karena pipinya bersemu merah dan ia menyambung,

"... sebagai teman, maksudku."

Oh, sebagai teman, toh.

"Aku tahu kok," kataku sok tahu, pura-pura hati tidak pedih.

Kemudian, derap kaki di lantai marmer terdengar. Maya masuk ke ruang tengah dan mulai mencerocos kalau Sammy barusan minta maaf padanya sampai nangis-nangis gara-gara dia mengabaikan chat-nya selama dua jam.

"Aduh, kenapa dia manis sekali! Aku kan, jadi nggak bisa marah!" jeritnya sukacita, lalu aku dan Dirga meninggalkan ruang tengah karena perut kami tidak tahan melihat Maya yang mabuk cinta.

****

Utang mingguanku akhirnya selesai, fiuh.

Gimana ceritanya, gaes?
Masih semangat buat diikuti?
Chapter depan lebih seru loh. Serius.

Jangan lupa vote, komen, dan masukkan cerita ini di daftar pustaka kamu.

Terima kasih sudah membaca!
Sampai jumpa minggu depan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top