1. A Girl Who Once Been in Love
Maya mendapat pacar pertamanya pada kelas satu SMA. Mereka bertemu pada pekan terakhir liburan kenaikan kelas satu SMA di konser Sheila on 7. Ada suatu kepercayaan tidak tertulis kalau orang-orang yang kamu temui di tempat publik semacam konser, bus, pesawat atau tempat persinggahan lainnya-bila kamu tidak tertarik bertukar nomor telepon-adalah mereka yang hanya kamu temui sekali seumur hidupmu. Itu juga yang dipercaya Maya saat bercakap dengan Rangga yang sepanjang konser berdiri di sebelahnya. Mereka bernyanyi bersama, tertawa bersama, berteriak bersama Duta juga bersama-sama. Maya menyimpan pertemuan itu sebagai kenangan musim panasnya yang paling mendebarkan dan mengesankan. Sampai cowok itu hadir kembali dalam hidupnya sebagai seniornya pada awal semester satu.
Maya percaya takdir yang mempertemukan jalan mereka untuk kedua kalinya berarti sesuatu. Hubungan yang dimulai dari teman tukar CD musik itu pun berlanjut mulus menjadi teman, lalu pacar.
Empat bulan kemudian, rentetan keajaiban itu menemukan akhirnya. Mereka putus setelah Rangga ketahuan selingkuh. Dengan sisa harga dirinya, Maya mengakhiri hubungan itu dengan balas dendam, mengajak aku dan Dirga melempar telur ke mobilnya dan mempermalukannya di muka ibunya. Begitulah akhir kisah cinta pertama Maya.
"Apa kamu menyesal pernah pacaran sama Kak Rangga?" tanyaku dua minggu setelah mereka putus.
Maya menatap langit-langit gazebo dengan mata cokelatnya. Rambut cokelatnya mekar di lantai kayu berpola melingkar, menyatu dengan rambut hitamku hingga kamu tidak bisa mengurai di mana ia berakhir. Malam itu, kami tengah berbaring di gazebo halaman rumah Maya dengan masih mengenakan seragam sekolah. Dulunya, kukira gazebo itu besar, tapi saat itu tubuh kami harus berdempetan untuk bisa berbaring di sana. Ternyata, walau kamu berharap semua hal tetap sama, pada masanya mereka akan berubah. Kurasa itu pun berlaku dalam diri Maya terhadap hubungannya dan Rangga yang berakhir buruk.
Ketengilan yang setia menguasai wajah Maya lenyap berganti muram. Selalu begitu, seolah jiwanya terhisap tiap mendengar nama Rangga. Kukira, balas dendam macam apa pun tidak mampu membuat hati seseorang sembuh dengan mudah.
"Nggak tahu ya," desahnya panjang, lalu bergumul dalam hati hal-hal yang tidak mampu ia katakan.
Dua bulan setelahnya, Maya pacaran dengan teman sekelasnya. Namun, hubungan itu tidak bertahan lama. Seminggu kemudian mereka putus. Kemudian, kudengar beberapa kali Maya dekat dengan beberapa cowok. Ada sekali waktu aku mendampratnya mengendap-endap keluar rumah tengah malam, lalu berlari menuju sebuah mobil sedan yang parkir di depan rumahnya.
Maya bukanlah anak alim, tapi dia cukup pemilih untuk urusan cowok. Jadi, ketika kuketahui ia telah putus-nyambung dengan beberapa cowok yang tidak kukenal sampai kalinya sudah lelah kuhitung, aku jadi cemas.
"Aku remaja! Tentu saja hidupku berputar masalah cowok! Kamu juga harus mencoba pacaran, supaya nggak jadi perawan tua!" begitu balasannya waktu kusampaikan kekhawatiranku, lalu pergi ke kantin bersama gebetan barunya.
Sisi baru Maya yang ini sangatlah menyebalkan, tapi di saat bersamaan memilukan. Tiap kali putus, Maya selalu tidak tahan sendirian barang sehari pun dan mencari cowok lain untuk mengisi harinya. Terdengar seperti pertahanan diri pasca putus, kan?
Aku membiarkannya, mengira kebiasaannya itu akan berakhir, namun ternyata berkembang ke arah yang salah. Ia mulai mengenalkanku pada teman-teman cowoknya semenjak awal masuk kuliah dan memaksakanku menerapkan pandangan barunya.
"Gimana hubunganmu dengan Kevin? Sudah ada perkembangan?"
Aku mendengus membaca sebaris pesan dari notifikasi pop up Whatsup. Mengabaikan pertanyaannya, lalu mengetik, "Kamu di mana sekarang? Nggak ke kelas? Kelas dua puluh menit lagi mulai."
Sudah seminggu berlalu sejak Maya mengenalkan teman Sam, pacar barunya, kepadaku. Awal ketemu, kukira Kevin normal-normal saja. Tapi, setelah melihat insgram dengan unggahan lebih banyak tujuh ribu kali dari unggahanku, juga posenya menyodok pipi, memanyunkan bibir, dan foto-foto di gym yang memamerkan badan topless, dalam pose mengangkat beban dalam satu tangan. Aku illfeel.
Kenapa juga dia selalu mengenalkan orang-orang aneh padaku?
Ting!
Kucek pesan singkat berbunyi, "Lagi ditahan sama Tante Emily di kos. Dia menyuruhku mengurus truk pindahan hari ini. Kenapa sih, cat lady ini cerewet sekali? Harusnya dia mengurus kucing-kucingnya saja daripada anak orang. Karena dia cerewet makanya nggak laku ...."
Kututup layar ponselku sebelum pesan itu selesai kubaca-Maya tidak akan berhenti mengeluh kalau dihiraukan. Lalu, kembali memfokuskan diri pada denah kampus di depanku yang selama lima menit ini menjadi masalah baruku.
Ini lebih mirip sketsa labirin dengan warna lebih beragam. Terlalu banyak kotak, terlalu banyak gambar gedung. Arahnya mana? Kenapa juga orang membuat denah serumit ini kalau hanya ada untuk membingungkan pembacanya? Hanya aku yang begitu?
Aku perlu ke gedung Sastra lalu mencari kelas 402 untuk kelas English for Business, tapi harus ke arah mana? Di mana pula aku?
Aku menengadah, menyipit menatap gedung yang berdiri tidak jauh dariku. Menatap huruf-huruf timbul di bagian tengah bangunan.
Fa. kul. tas Hu. kum.
Aku sedang berada di fakultas hukum! Jadi, dari sini, aku harus jalan lurus sampai bertemu kolam....tunggu, tadi aku sudah mondar-mandir di sekitar sini, tapi aku tidak melihat ada kolam.
"Permisi."
Aku terperanjat, gigiku sampai saling menggigit. Kutoleh ke belakang, pelan-pelan seperti seekor kucing yang kedapatan mencuri ikan.
Mataku bertemu kerah jaket bisbol warna biru lalu kudongakkan kepala mencari pemiliknya. Cowok dengan mata rusa warna cokelat, badannya agak kurus, kulit kuning langsat, dan punya garis wajah tegas seperti pahatan patung Yunani-yang ini versi Asia.
Tanpa kusadari aku menjejakkan kakiku mundur, terperangkap pesona sebagai gadis 150 sentimeter menatap cowok yang kira-kira setinggi 180 sentimeter itu. Tinggi sekali. Dia 185 cm kah? Atau 190?
"Sudah selesai?" tunjuknya melewati badanku, membawaku kembali ke alam nyata.
"Ah, iya. Silahkan," jawabku, berpindah ke sebelah kiri, memberinya ruang untuk berdiri di depan papan denah kampus. Kutundukkan kepala malu sudah menatapnya terlalu lama.
Ia mengamati denah itu dengan serius. Jarinya menggambar garis di papan sedang menentukan arah ke mana. Aku mencuri lihat denah kampus dari balik pundaknya, walau itu tidak berguna karena aku buta arah.
Kucek lagi arlojiku dan membelalak. Kelas dimulai lima belas menit lagi. Dari desas-desus yang kudengar, Sir Freddy-dosen kelas itu paling tidak suka ada mahasiswanya telat. Ini hari pertamaku di kelasnya dan sudah telat? Ini namanya cari mati.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya seseorang, yang ternyata cowok map tadi. Sepertinya ia melihat rasa cemas yang terlukis di wajahku karena setelah itu ia bertanya, "Tersesat?"
Aku pasti kelihatan seperti anak play group yang kehilangan ibunya di mal, kebingungan mencari ibu tapi malu untuk meminta tolong sampai seseorang datang menanyakan keadaanku.
Jadi, untuk sisa harga diriku, aku menjawab kalimatnya dengan nada enggan, "Sedikit tersesat. Kakak tahu gedung Sastra ada di mana?"
"Iya. Kebetulan aku mau ke sana."
Wajahku langsung berubah cerah. "Apa aku bisa ke sana bareng Kakak?"
Kalimat barusan sukses membuat tampang datarnya untuk sepersekian detik berubah mengerut. Reaksiku sontak sama. Aku baru saja bersikap lancang pada orang yang tidak kukenal. Bagaimana aku bisa percaya orang ini akan membawaku ke gedung Sastra dan bukan ke semak-semak?
Kuralat, "Kalau kakak keberatan, mungkin bisa mengarahkanku saja ke sana?"
Dia berpikir sebentar, lalu mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu di sana. Pura-pura aku tidak memperhatikan, meski dalam hati dag-dig-dug. Semoga saja dia tidak mengirim pesan pada teman penculiknya.
"Kakak bisa mengarahkanku saja kalau Kakak sibuk," mohonku dengan nada lebih tegas. Kumohon, beritahu aku saja!
"Nggak usah, nggak sibuk kok. Kita sama-sama saja. Kayaknya kamu lagi buru-buru."
Belum sempat kujawab, dia berjalan lebih dulu, membuatku mau tidak mau mengekorinya. Tungkai panjangnya cukup menyulitkanku mengikuti langkah-langkah lebarnya. Mungkin, kalau tampak dari belakang, aku seperti sedang melompat.
Aku sedang memandangi kolam yang kulihat di peta tadi-di sana toh-dan kami berjalan memutarinya mengikuti jalan setapak. Matanya mengikuti pepohonan di sepanjang jalan yang ada di depan saat mendadak dia bergumam, "Kukira, aku salah orang, tapi ternyata benar kamu. Waktu itu kita ketemu di situasi yang hampir mirip."
"Hm?"
"Kamu nggak mengenaliku?"
Aku mengerjapkan mata, menelengkan kepala melihatnya dari sisi lain. Walau yang ingin kukatakan adalah 'perlukah aku mengenalimu?'
"Kamu nggak mengenalku?" jeritnya kaget, kemudian ia mendesahkan napas tidak percaya seolah aku telah berbuat dosa besar dengan tidak mengenalinya. "Wah, aku tersinggung muka tampan ini gampang dilupakan."
"Nggak, nggak begitu Kak! Aku memang susah mengingat wajah orang."
"Wahhhhhh, tega sekali," desahnya lebih keras sambil menggelengkan kepala.
Aku sempat berpikir, apa ini terlalu terlambat untuk pura-pura akting mengenalinya, kemudian aku melihatnya terkekeh. Sial, dia mengerjaiku.
"Astaga. Kamu polos sekali," ledeknya. "Kamu harus belajar banyak kalau nggak mau gampang ketipu di kampus."
"Iya, haha." Aku tertawa hambar. Satu-satunya yang menipuku cuma kamu, Sialan.
"Angkatan tahun berapa? Angkatan baru, 2020? Nama?" todongnya seperti interogasi polisi.
"Athalia Nola. Angkatan tahun 2019, Kak."
"Ohhh, kamu lebih muda." Dia menyodorkan tangannya dan aku menjabatnya. "Namaku Raka, Raka Rasyad. Angkatan 2018."
Kami melewati bangunan menjulang tinggi yang kukenali sebagai gedung Psikologi, dari tulisan pada pintu koridor menuju tangga. Kalau menurut denah tadi, setelah melewati taman kecil di fakultas itu, kami akan sampai ke gedung Sastra.
"Kampus ini besar. Gedung-gedung dan jalanannya mirip-mirip. Banyak anak baru tersesat di awal-awal semester, makanya di setiap fakultas dipasang denah map kayak tadi. Tahunya nggak banyak membantu karena nggak semua orang pandai baca peta. Aku pernah ditanyai satu MaBa yang nggak tahu posisinya di mana dalam peta. Mereka nggak sadar fungsi titik merah di papan denah itu menunjuk di mana kita berada."
"Bisa dipahami," sambungku, mengangguk-angguk. Tidak mengaku aku sama dengan MaBa yang dia maksud. Jadi itu fungsi titik merah yang ada di dekat gambar gedung fakultas hukum itu tadi.
"Aku kenal daerah sini. Di kantin gedung Psikologi ada ayam penyet enak. Aku bisa temani kamu coba pas pulang nanti."
"Aku nggak bisa makan ayam. Kulit ayam membuat tanganku bersisik seperti ayam. Makasih," tolakku, bohong total. Dia baik sebagai trivia, tapi aku tidak yakin dia tidak bawel sebagai teman makan.
"Tahu tek di sana juga enak, meski gedung ekonomi punya tahu tek terbaik."
"Alergi kacang dan sedang diet. Nggak bisa."
Ekor mataku sudah melihat huruf cetak Fakultas Sastra yang menempel di dinding secara permanen, terletak di atas tangga naik gedung beberapa meter dariku. Dalam hati gemetar memikirkan wajah Sir Freddy yang merah. Kudengar ada mahasiswanya yang tidak diluluskan karena telat tiga kali. Semoga selanjutnya bukan aku.
"Oh, jus buah! Mereka punya jus buah yang enak dan murah. Susu cair putih dan buahnya melimpah. Kukira mereka menjualnya untuk sukarela saja, iba karena anak kos banyak kekurangan gizi. Kita bisa mencobanya lain kali-"
"Maya!"
Teriakku antusias melihat Maya berjalan naik ke tangga. Dia sudah sampai rupanya. Aku berterima kasih pada Raka lalu berlari cepat memeluk lengan Maya. Maya menatap kebingungan, tatapannya bergantian melihatku kemudian sesuatu jauh di belakangku. Lalu aku menyeretnya naik tangga karena dia tidak bergerak.
Sekarang terhitung lima menit sebelum kelas dimulai.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top