Follow Me

Kagum.

Itulah yang dirasakan oleh Taufan saat ia memperhatikan remaja yang melayang di hadapan dirinya. Belum pernah dalam seumur hidupnya Taufan menemui manusia yang memiliki sayap dan juga memiliki kemampuan terbang.

Beberapa saat lamanya Taufan dan remaja yang ia temui itu saling berpandangan. Apa yang dirasakan oleh si remaja tidak jauh berbeda dengan Taufan karena dia juga belum pernah melihat ada manusia yang bisa terbang tinggi dengan menggunakan sebilah papan saja.

Setelah saling memperhatikan satu sama lain dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, barulah ada yang berani memulai perkenalan.

"Ha-halo?" sapa Taufan sambil terkekeh gugup. Tidak ketinggalan sebuah senyum ceria menghias wajah Taufan.

Senyum Taufan terbukti cukup menular karena remaja yang melayang di hadapannya tersenyum lebar. "Uhm ... Aku belum pernah lihat ada orang bisa terbang naik papan."

"Ini bukan papan." Taufan menggelengkan kepala. "Ini namanya hoverboard. Cuma aku atau orang yang aku ijinkan bisa naik hoverboard ini."

"Woaaah. Kereeen." Semakin kagum dan penasaran si remaja dengan hoverboard milik Taufan. "Aku cuma punya sayap ini," sambung si remaja dengan nada mengeluh.

Merasa ada yang tidak biasa dari cara lawan bicaranya mengungkap, Taufan memilih untuk melontarkan komentar yang tidak bermaksud memojokkan. "Aku malah belum pernah lihat ada orang punya sayap."

"Eh ya?" Kedua kelopak mata remaja membelalak lebar. "Aku pikir kamu sering lihat orang seperti aku. Omong-omong, namamu siapa? Aku Pit, pelayan setia Dewi Cahaya, Lady Palutena dari Dunia Langit."

(Credit: ursurperkiing-Instagram)

"Uhm ...." Sesaat Taufan berpikir untuk menemukan kata-kata yang cocok untuk diucapkan. "Aku BoBoiBoy Taufan. Panggil saja Taufan ... aku ehm ... pengendali elemental angin," sambung Taufan sembari mengulurkan tangan.

Dengan antusias Pit menyambut uluran tangan Taufan. "Waah? Penguasa elemental angin? Benarkah? Hebat!" sahut Pit penuh kekaguman, tercermin dari kedua bola mata membulat berbinar-binar saat ia menyalami Taufan.

"Ahahaha." Taufan tertawa gugup. Belum pernah dirinya mendapat pujian demikian antusiasnya. Seperti kebiasaannya jika gugup, mulailah Taufan menggaruki pipi. "Bi-biasa saja kok."

"Lalu, kamu terbang dengan itu?" Pit menunjuk ke arah hoverboard di bawah kaki Taufan.

Taufan menganggukkan kepala. "Ini namanya hoverboard. Aku bisa terbang kemana saja aku mau dengan ini .... Selain itu, hoverboard ini juga ampuh untuk memukul musuhku lho."

Wajah Pit mendadak muram. "Sayapku," ucap Pit sambil menunjuk ke arah sayap di punggungnya. "Sebetulnya cuma bisa untuk terbang kalau diberi ijin khusus oleh Lady Palutena seperti sekarang ini."

Dahi Taufan mengernyit saat dia mendengar penjelasan Pit. "Jadi pajangan doang?"

"Ngga juga sih. Kalau lagi ngga bisa terbang, sayapku bisa membuat aku melompat lebih tinggi atau lebih jauh." Paling tidak Pit merasa bangga bahwa sayap miliknya itu sesekali masih berguna.

"Tapi keren lho." Terdorong rasa penasaran, Taufan langsung menyentuh sayap Pit. Decak kagum refleks keluar dari mulut Taufan saat ia menyadari bahwa sayap lawan bicaranya itu betul-betul terbuat dari daging, tulang dan bulu. Yang paling membuat Taufan terkesan adalah bulu-bulu lembut namun kaku di sayap Pit, apalagi setelah melihat bahwa bulu-bulu itu jauh lebih besar daripada bulu pada sayap burung yang pernah Taufan temui.

"Kamu mau?" tanya Pit. Tanpa menunggu jawaban dari Taufan, Pit langsung mencabut sehelai bulu terbesar dan terbaik dari sayapnya. "Nah ini," ucap Pit lagi sembari menyodorkan sehelai bulu yang baru saja ia cabut kepada Taufan.

Taufan terkagum-kagum saat menerima bulu pemberian Pit. Begitu ringan namun kokoh rasanya bulu itu di telapak tangan Taufan. Seakan memiliki nyawa sendiri, serat bulu itu selalu rapat dan rapih kembali saat dibelai berlawanan arah. "Terima kasih!" ucap Taufan girang sembari menyimpan bulu pemberian Pit itu di balik rompi.

"Hey, apa benda itu." Pit menunjuk ke hoverboard Taufan. "Bisa melaju cepat?"

"Lumayan, kurasa?"

"Yuk kita balapan!" seru Pit riang.

Sebuah cengiran ekstra lebar langsung mengembang di wajah Taufan. "Ayooo!" serunya dengan antusias. Belum pernah Taufan mengadu kecepatan terbang karena penguasa-penguasa elemental lain tidak ada yang bisa terbang seperti dirinya. Mungkin ada Solar, namun dia tidak murni terbang melainkan menggunakan jurus Lompatan Cahaya. Demikian juga dengan Halilintar yang sebetulnya tidak jauh berbeda dengan Solar dan kadang lebih suka berlari dengan jurus Kelajuan Halilintarnya.

Tanpa aba-aba Pit langsung melesat dengan diawali sebuah kepakan sayap kuat.

"Curang!" Taufan membedal hoverboard-nya dan mengejar Pit.

Pit menembus udara bak anak panah yang dilepas dari busurnya. Kepakan sayap putih di punggung malaikat remaja itu menambah kecepatan sekaligus mempertahankan ketinggian. Sesekali Pit menengok ke belakang dan melihat Taufan mengejar.

"Seru juga," gumam Pit sembari tersenyum saat ia melihat Taufan mampu mengimbangi. Jarang-jarang Pit merasakan adrenalinnya terpacu tanpa harus menempuh bahaya, seperti saat ia harus bertarung melawan Hades dan antek-anteknya atau ketika berseteru dengan Sephiroth si malaikat sayap satu.

Selama ini Pitt menyangka bahwa sayap pemberian Lady Palutena itu adalah yang tercepat namun kali ini dia menemukan lawan yang seimbang. Tidak hanya seimbang, Pit melihat bahwa perlahan Taufan berhasil mendekat. "Taufan mampu terbang lebih cepat." Begitulah komentar senyap Pit.

Enggan dikalahkan begitu saja, Pit pun memutar otak. Dia mencari cara untuk bisa memenangkan kontes udara antara dirinya dan Taufan. 'Ah ya, ada yang bisa kucoba,' gumam Pit membatin.

Tanpa peringatan, Pit menukik tajam.

Manuver yang tidak diduga dari Pit membuat Taufan terkejut. Buru-buru si penguasa elemental angin itu mengarahkan moncong hoverboard-nya untuk menukik mengikuti Pit.

Strategi Pit berhasil mengecoh sekaligus membuat posisi Taufan sedikit lebih jauh. Memang Taufan mampu terbang cepat, namun masih kalah lincah ketika harus mengubah arah dengan segera.

Dengan kedua sayap ditekuk sejajar punggung Pit mampu menukik lebih cepat lagi. Begitu cepat malaikat remaja itu melesat sampai terlihat mengabur di mata manusia normal.

Lapisan demi lapisan awan ditembus. Derasnya adrenalin terpacu mengalahkan gelitik ngilu saat Pit melihat permukaan tanah semakin mendekat. Bangunan, pepohonan, gunung, danau dan segala macam benda di permukaan tanah yang tadinya hanya berupa titik-titik saja dari kejauhan kini terlihat semakin besar.

Namun ....

Taufan melihat ada sesuatu yang tidak beres. Pit yang berada di depannya mendadak mengibas-ngibaskan kedua tangan dan kakinya secara liar tak beraturan. 'Cuma bisa untuk terbang kalau diberi ijin khusus...' Penjelasan Pit kembali terngiang di telinga Taufan.

Kedua kelopak mata Taufan membelalak lebar. Dia menyadari bahwa ijin terbang Pit baru saja habis dan sayap di punggungnya itu tidak berfungsi lagi. 'Semoga ngga rusak!' jerit Taufan di dalam batinnya sebelum ia memaksa mesin hoverboard-nya untuk bekerja lebih keras lagi.

Desingan reaktor hoverboard Taufan terdengar semakin melengking. Pendar cahaya kebiruan dari mesin hoverboard itu mulai bertukar warna menjadi kemerahan saat dipaksa bekerja lebih keras. Tidak hanya itu, percikan bunga api mulai terlihat berlompatan dari lubang pancar gas hoverboard.

Dengan kelajuan paksa maksimal, Taufan melesat mendekati Pit. Setelah berjarak cukup dekat, barulah Taufan bergerak dan menangkap si malaikat remaja.

"Te-terima kasih," ucap Pit terbata-bata. Dia memeluk leher dan pundak Taufan erat-erat.

"I-iya, ngga apa-apa," balas Taufan mendadak gugup. Wajar saja dia gugup karena Pit yang baru saja dikenalnya kini memeluknya seperti pengantin. Tidak disangka, tubuh Pit terasa cukup padat berotot dan mengingatkan Taufan akan Blaze.

"Jangan lepaskan aku!" Pit masih enggan melepaskan pelukannya.

"Lalu bagaimana? Aku ngga bisa memegangi kamu begini terus," protes Taufan. Tidak hanya berat, Taufan juga merasa canggung harus berpelukan dengan pria lain.

"Sebentar..." Pit memejamkan kedua kelopak matanya. Dahi Pit pun mulai berkedut dan mengkerut saat ia memusatkan konsentrasi.

"Eh?" Tidak mengetahui apa yang sedang dilakukkan oleh kawan barunya, Taufan hanya bisa mengamati saja.

Hanya beberapa detik berselang sebelum terdengar suara lembut perempuan di telinga Taufan. Tidak jelas darimana sumbernya, namun suara itu sangat jelas dan jernih terdengar. "Aduh, maaf merepotkanmu. Aku kira bawahanku ini sudah kembali ke Dunia Langit."

Terkejut, Taufan langsung menengok ke sekelilingnya. Dia beruoaya mencari orang yang baru saja bicara dengannya namun tidak menemukan siapapun kecuali Pit yang sedang ia gendong.

Melihat Taufan, Pit berupaya memberikan penjelasan. "Yang kamu dengar itu suara Lady Palutena. Jawab saja seperti kamu ngomong biasa dengan orang lain."

"Jangan takut," ucap suara itu kembali. "Aku Lady Palutena, penguasa Dunia Langit, atasan Pit."

"Ah ... ehm .... A-Aku Taufan?" jawab Taufan ragu-ragu dengan suara lembut. "Pengendali elemental angin...."

"Wah." Walau tidak terlihat, suara yang mampir di indera pendengaran Taufan terdengar begitu jelas. "Hebat juga. Jarang sekali aku melihat ada penguasa elemental begini. Kalau penguasa elemental lain bagaimana? Ada berapa orang lagi penguasa-"

"Uh ... Lady Palutena," sergah Pit sebelum atasannya itu terlalu bersemangat melancarkan pertanyaan kepada Taufan. "Tolong sayapku dong? Aku ngga bisa terbang."

Walau tidak terlihat, suara batuk-batuk tidak elit Lady Palutena cukup menunjukkan keterkejutan. "Ah ya, maaf. Aku kira kamu sudah kembali ke Dunia langit."

Beberapa detik lamanya suara Lady Palutena menghilang dan tiba-tiba sayap di punggung Pit berpendar biru satu kali.

"Nah sudah," ucap Lady Palutena. "Sayapmu akan berfungsi sampai kamu kembali ke Dunia Langit lagi."

Mengembanglah kedua sayap Pit. Dengan mudahnya Pit melepaskan pelukkanya pada Taufan dan kembali melayang di udara. "Waah, terima kasih, Lady Palutena!" seru Pit riang.

Taufan tersenyum melihat dan mendengar interaksi antara Pit dan Lady Palutena. Untuk ukuran seorang bawahan kepada sang atasan, keduanya sangat minim formalitas. Bahkan boleh dibilang mereka terlihat dan terdengar seperti sahabat karib.

"Nah, tolong jaga Pit untukku ya .... Siapa tadi namamu? Ah ya, Taufan." Kembali suara Lady Palutena terdengar di telinga Taufan. "Jangan kebut-kebutan, nanti nabrak gunung lagi."

Sebuah sweatdrop menitik di kepala Taufan pada saat mendengar komentar terakhir Lady Palutena. "Nabrak gunung?" tanya Taufan sembari menggulir lirikan ke arah Pit.

"Ahahaha..." Pit tertawa gugup sambil menggaruki belakang kepalanya. "Aku pernah terbang terlalu kencang waktu turun kabut. Ternyata gunung itu keras."

"..." Bahkan Taufan tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat untuk dilontarkan. Memang Taufan memiliki sifat suka bermain dan kadang teledor namun tidak pernah dia ceroboh dalam menggunakan kuasa elemental angin miliknya.

"Ayo, Taufan. Kita jalan-jalan lagi!" ujar Pit antusias. Dia langsung menggandeng tangan Taufan dan menarik si penguasa elemental angin. " Aku mau lihat daerahmu."

"Eeeh, sebentar!" seru Taufan sebelum Pit menariknya beranjak lebih jauh. Dari dalam saku celana, Taufan mengeluarkan ponsel miliknya. Dia menghidupkan fitur kamera ponselnya dengan beberapa sentuhan cepat.

"Apa itu?" tanya Pit. Belum pernah dia melihat benda berupa ponsel seperti yang ada di tangan Taufan. Lebih heran lagi Pit ketika melihat wajahnya muncul di layar ponsel.

"Ini?" Taufan melirik ke arah Pit. "Ini ponsel. Kamu ngga tahu?

Pit menjawab dengan gelengan kepala. "Ngga ada barang seperti itu di dunia kami."

Jawaban Pit membuat Taufan serta merta tercengang. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin orang bisa hidup tanpa ponsel di jaman sekarang. Namun sepertinya komunikasi bukan masalah, toh Taufan belum lama tadi berbicara dengan atasan Pit secara telepati.

Terpaksalah Taufan memberi pelajaran singkat mengenai fungsi dasar sebuah ponsel kepada kawan barunya itu. Sengaja Taufan tidak menjelaskan secara detail cara kerja ponsel karena dia sendiri tidak terlalu paham dan dia bukanlah Solar yang mengerti segalanya.

"... Jadi selain komunikasi, ponsel ini juga bisa untuk bermain dan foto ... Foto itu untuk mengambil gambar." Taufan mengakhiri penjelasannya.

Di sisi lain, Pit terkesima mendengar penjelasan Taufan. Banyak hal-hal asing yang baru ia dengar dari apa yang dijelaskan oleh Taufan. Seperti foto contohnya. Selama ini Pit hanya tahu bahwa mengambil gambar seseorang hanya bisa dengan lukisan yang prosesnya memakan waktu sangat lama. Masih jelas terpatri dalam ingatan si malaikat betapa lelah dan jemu ketika dia harus berpose tanpa begerak selama beberapa jam untuk pembuatan lukisan dirinya.

"Coba dong!" seru Pit antusias, persis seperti seorang bocah di toko permen.

Taufan mengatur timer untuk pengambilan selfie. Dia memilih lima detik sebagai jeda sebelum kamera ponselnya aktif.

"Hitungan ke lima kamu buat pose ya?" Taufan melirik ke arah Pit. Pada saat yang bersamaan, Taufan mengaktifkan kamera ponselnya dan mengapungkan ponsel itu di udara dengan bantuan kuasa angin.

"Lima ... empat ... tiga ... dua .... Cheese!" Pit merangkul Taufan dan membentuk pose V dengan kedua jari.

(Credit: Comission)

"Waaah! Keren!" Betapa girangnya Pit ketika melihat hasil fotonya dengan Taufan dan melihat pembuktian teknologi foto.

"Ayo buat lagi." Tidak kalah antusias, Taufan kembali mengapungkan ponselnya di udara.

Namun ...

"Disini rupanya kamu, Pit..." Terdengarlah suara dari atas Taufan dan Pit. "Lady Palutena memintaku menyusul. Kukira ada bahaya, ternyata kamu lagi main-main." Walau belum terlihat si pemilik suara itu, nada suaranya terdengar sedikit jengkel.

.
.
.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top