Fly!
"Ahhh! Bosaaan!"
Entah sudah keberapa kalinya saluran televisi berpindah begitu saja menurut pijitan jari Taufan. Dari kekerapan perpindahan saluran yang cukup cepat sudah cukup menjadi indikasi bahwa tidak ada siaran yang menarik untuk ditonton bagi Taufan.
Sempat si penguasa elemen angin itu mampir pada saluran televisi bertema India. Dia mencoba mengikuti sinetron India yang biasa ditonton oleh Gempa. Sayangnya pergerakan alur cerita sinetron seperti itu sama sekali tidak menarik bagi Taufan, apalagi banyak adegan yang diulang-ulang dengan efek zoom in supaya terkesan dramatis.
Demikian pula dengan saluran program dokumenter yang biasa ditonton oleh Solar. Bagi Taufan siaran seperti itu sangat membosankan. Kira-kira sama menariknya dengan masakan capcay tanpa sayur atau fu yung hai tanpa telur.
Helaan napas panjang mengalun dari hidung Taufan. Dia mulai menyesali keputusannya meminum sekaleng coca cola pemberian Ice. Sekarang Taufan, yang memang tidak bisa berdiam diri dalam waktu lama, semakin gelisah. Tingginya kadar gula di dalam minuman kaleng itu cukup membuat Taufan seperti cacing digarami.
Biasanya Taufan akan mencari Blaze atau Thorn sebagai teman main. Sayangnya kali ini mustahil karena Blaze sudah ditarik paksa oleh Solar dan Halilintar untuk tugas TAPOPS. Gempa atau Ice juga tidak bisa diandalkan karena Gempa sedang membantu Tok Aba bersama Ice. Lagipula, terakhir kali Taufan mengajak Ice bermain, dia berakhir ditinggal tidur oleh si penguasa elemen es itu.
Manik netra Taufan bergerak perlahan. Lirikan matanya tertuju ke atas meja kecil di hadapannya dimana sebuah topi putih berpadu biru dan kuning tergeletak. Fokus Taufan tertuju pada sebuah ponsel ber-casing biru. Dengan cepat tangan Taufan menyambar ponsel itu.
"Ngga ada berita menarik," gumam Taufan. Ia membuka sebuah grup Whatsapp dimana dirinya sendiri beserta keenam penguasa elemental lain terdaftar.
Bola mata biru safir Taufan kembali bergerak, kini tertuju ke arah jendela rumah. Barisan awan putih berlatar cerahnya langit biru seakan memanggil Taufan untuk bergabung. Dada si penguasa elemental angin itu bergolak terpacung angan untuk membelah awan dan menari di udara bebas.
Namun tidak semudah itu....
Memang Taufan tidak memiliki tugas TAPOPS atau tugas di kedai Tok Aba-BoBoiBoy Kokotiam yang harus dikerjakan, namun hari itu adalah gilirannya untuk membersihkan rumah.
Taufan mengamati keadaan rumah. Baru dua hari lalu rumah itu dibersihkan oleh Halilintar sehingga masih cukup bersih. Hanya ada gelas berisikan es batu, sekaleng minuman ringan dan beberapa genangan kecil air bekas Taufan menaruh gelas di atas meja.
Lantai rumah masih terasa kesat. Di atas mebel-mebel pun tidak terlihat adanya debu menempel. Di dapur pun tidak ada peralatan masak kotor. Semuanya masih terasa bersih.
Kembali Taufan memandang langit melalui jendela. Perlahan cengiran khas si pengendali elemental angin itu mengembang. Dia meraih ke belakang sofa yang ia duduki dan mengambil hoverboard miliknya.
"Kayaknya ngga apa-apa kalau aku tinggal sebentar." Taufan pun mendorong tubuhnya berdiri dari sofa. Cengiran Taufan semakin lebar saat ia melangkahkan kakinya menuju pintu rumah dengan hoverboard tergenggam di tangan kanan.
Taufan langsung naik ke hoverboard-nya begitu ia menutup dan mengunci pintu rumah.
Sebuah sentakan dari kaki kiri Taufan membuat ujung drpan hoverboard yang ia kendarai menjulang ke atas. Pada saat yang bersamaan, Taufan mencondongkan tubuhnya ke depan. Segera saja hoverboard itu melesat maju sambil menanjak cepat.
Berada pada ketinggian adalah hal yang menyeramkan bagi beberapa orang, namun tidak bagi Taufan. Begitu menyenangkan rasanya berada di antara hamparan awan, membelah udara bebas tanpa ada yang menghalangi.
Tidak seperti di atas tanah, berkelok-kelok di udara sangatlah mudah dan ringan. Tiada friksi yang memperlambat laju Taufan memacu hoverboard-nya saat ia menanjak terjal hampir tegak lurus.
Memang tidak ada friksi dengan tanah, namun tetap ada gravitasi yang menarik Taufan turun ke bumi. Dia membiarkan gaya gravitasi mempengaruhi laju menanjaknya. Akhirnya gaya tarik gravitasi dan percepatan Taufan berada di titik seimbang. Pada saat itulah selama hampir sedetik lamanya Taufan mematung di udara.
Gravitasi menarik Taufan kembali ke bumi, namun dengan sigap dia mengarahkan moncong hoverboard-nya ke bawah.
"Yihaaaa!" Taufan bersorak lepas. Dia membedal hoverboard-nya dan menukik curam dalam kecepatan tinggi. Tanah terlihat semakin dekat, namun Taufan tidak peduli. Dia terus saja menukik seakan menantang maut.
Ketika hanya berjarak beberapa meter dari permukaan tanah, barulah Taufan memerintahkan hoverboard-nya untuk naik. Momentum dari tukikkan Taufan tidak membuat hoverboard itu serta merta kembali menanjak, namun tetap bergerak ke tanah.
Hanya beberapa sentimeter saja jarak pemisah antara hoverboard Taufan dan rumput yang bergoyang saat Taufan bisa melawan gaya gravitasi dan momentum tukikkannya. Tidak hanya itu, Taufan juga berjarak kurang dari satu meter dekatnya dengan kedai Tok Aba.
Tentu saja aksi Taufan itu mengundang perhatian beberapa orang yang ada di kedai. Mereka semua sudah cukup tahu siapa itu Taufan dan pecahan-pecahan elemental lain yang dianggap sebagai kakak dan adik-adik Taufan.
Namun....
"Hey! Bahaya tahu?!" Terdengarlah protes dari arah kedai.
Sontak Taufan menengok ke arah sumber suara. Dia menemukan seorang penguasa elemental lain sedang bertolak pinggang menatap kesal ke arah dirinya.
Tatapan kesal yang tertuju ke arahnya tidak menyurutkan semangat Taufan. Sebaliknya, tatapan kesal itu dibalas Taufan dengan cengiran lebar dan lambaian tangan. "Hey Gempaaa!"
Kekesalan si penguasa elemental tanah itu jelas sekali terbaca dari wajah cemberut bertekuk-tekuk. Memang Gempa sudah berulang kali mengingatkan Taufan untuk tidak bertindak gegabah, namun seringkali peringatan Gempa tidak digubris.
"Mau kemana kau?!" teriak Gempa. Dia harus berteriak supaya suaranya terdengar oleh Taufan di kejauhan.
"Jalan-jalan!" sahut Taufan. "Aku bosan!" lanjutnya lagi sembari mengedikkan bahu.
Kedua kelopak mata Gempa membelalak lebar. Sesuatu di dalam batinnya mendadak membuat si penguasa elemen tanah itu tidak nyaman. Sebuah firasat tidak mengenakkan terasa mengganjal. "Hey! Siapa yang jaga rumah?!"
Taufan memutar bola matanya ke atas. Dia sangat tidak ingin berdebat dengan Gempa dan merusak suasana hati yang sedang terasa nyaman.
"Rumah ngga perlu dijagain! Rumah kita bukan rumah Baba Yaga yang punya kaki lalu pindah sendiri!" sahut Taufan dengan nada sedikit ketus.
Debat sahut-sahutan antara Gempa dan Taufan menarik perhatian seorang pecahan elemen lain. Kebetulan dia menemani Gempa membantu Tok Aba menjaga kedai. Namun seperti kebisaannya, Ice memilih untuk tidak ikut berdebat. Di cukup bijaksana untuk menjadi penonton saja dalam acara debat Gempa versus Taufan. Selain bising, Ice juga sudah tahu hasil akhir perdebatan antara kedua penguasa elemental itu.
Seutas senyum mengukir di wajah Ice saat ia melihat hasil akhir debat antara Taufan dan Gempa. Taufan yang lanjut terbang menjauh adalah hasil akhir yang sudah diduga oleh Ice.
"Benar-benar itu anak ya ...," ketus Gempa sewot. Bahkan suara Gempa bertukar menjadi sedikit serak akibat harus berteriak-teriak pada Taufan.
"Namanya juga Taufan." Ice mengedikkan kedua bahunya. "Percuma dilarang-larang. Ujungnya capek sendiri 'kan?"
"Kamu bukannya bantuin," ketus Gempa lagi. Lirikan tajamnya tertuju kepada Ice.
"Aku mikir praktisnya saja." Ice tidak memedulikan gerutuan si penguasa elemental tanah. Dengan santainya Ice membuka lemari di bawah meja kedai. "Ini, obat suara serak."
Kedua kelopak mata Gempa mengedip cepat saat ia mendapati dirinya disodori dua buah benda. "Ini ...? Kamu mau bakar ikan?" Gempa lanjut bertanya sembari memegangi sebotol kecap manis dan setengah potong jeruk nipis.
"Minum." Ice menyodorkan sebuah sendok kepada Gempa. Si penguasa elemental air itu memberi isyarat pada botol kecap dan jeruk nipis di tangan Gempa.
"Ngga! Mana enak! Aku bukan-" Protes Gempa mendadak terhenti karena sebuah mata panah es sudah berjarak kurang dari satu sentimeter dari dahinya.
"Minum atau ...." Ice melanjutkan kata-katanya dengan tindakan. Dia menarik panah es yang terhubung dengan busur miliknya.
Gempa meneguk ludah dan akhirnya menuang isi botol kecap yang ia pegang ke atas sendok. Tidak lupa Gempa membubuhkan perasan jeruk nipis.
Memang rasanya tidak terlalu buruk, namun tetap saja aneh saat campuran kecap dan jeruk nipis melewati indera pengecap dan turun ke kerongkongan. Setidaknya apa yang dikatakan Ice ada benarnya karena Gempa merasa pita suaranya sedikit lebih nyaman.
"Tapi ... kalau nanti Taufan kesambar petir 'gimana?" Kembali Gempa melirik ke arah titik dimana Taufan menghilang dari pandangan.
"Baguslah, siapa tahu nanti dia jadi dapat fusion," ucap Ice. Sebuah senyuman tipis mengulas di wajah si penguasa elemental air.
"Fusion ngga malah gosong nanti," dengkus Gempa. Dia masih tidak puas dengan hasil akhir debat antara dirinya dengan Taufan.
"Siapa tahu habis kesambar petir, otak Taufan jadi ngga kelewat gesrek." Walau terucap dengan nada kalem, tetap saja sindiran bisa tertangkap di balik kata-kata Ice.
Sejenak Gempa terdiam. Dia berpikir di dalam batinnya sambil tetap menatap ke arah langit. "Semoga saja ngga ada kejadian aneh-aneh lagi," gumam si penguasa elemental tanah khawatir.
"Tenang, Gem." Ice menepuk-nepuk bahu Gempa. "Minimal Taufan ngga bakal bakar kandang ayam atau ngacak bakar sekolah ...."
Kedua kelopak mata Gempa membelalak lebar nyaris melotot. Bola matanya bergulir dan menatap ke arah Ice. "Bukan itu maksudku, Ice.," ketus Gempa. "Taufan bukan petarung murni seperti Halilintar, Solar atau Blaze."
Enggan memperpanjang adu argumen dengan Gempa dan karena ada pelanggan kedai yang datang, Ice langsung melengos berlalu. "Nanti tinggal sewa keranda dari masjid. Gratis 'kan?"
"Heh! Itu lebih parah lagi!" Gempa mengayunkan tangannya menuju kepala Ice untuk mendaratkan sebuah jitakan sayang, namun target sasaran Gempa sudah lebih dulu menjauh. "Kamu terlalu lama bergaul dengan Halilintar, Ice." Jadilah Gempa menggerutu.
Entah sudah berapa lapis awan ditembus oleh Taufan saat ia menanjak laju. Tidak seperti yang dibayangkan orang-orang kalau awan seputih kapas itu lembut, bahkan Taufan si penguasa elemental angin bisa merasakan hoverboard yang ia naiki berguncang seperti bergetar saat menembus lapisan mega di langit.
Tidak ratanya kandungan uap air di dalam awan adalah penyebab guncangan yang dialami Taufan. Apalagi jumlah awan kelabu pekat sarat dengan uap air bertebaran tidak merata di antara gumpalan-gumpalan awan putih. Bagi Taufan hal seperti itu bukan masalah. Sebaliknya, Taufan lebih suka menerjang awan kelabu karena pekatnya uap air mampu membasahi wajah dan beberapa bagian tubuh Taufan. Bintik-bintik air di wajah itu memberi kesegaran.
Taufan memejamkan kedua kelopak matanya. Dia menghayati kenikmatan desiran angin kencang yang terbelah oleh kelajuan tubuhnya. Segala problema hidup serasa hilang teŕtinggal. Alangkah nikmatnya hidup yang begitu terasa mudah dan sederhana.
"HEY! AWASS!"
Belum sempat Taufan membuka kelopak matanya saat ia mendengar suara teriakan diantara deru suara angin keras di dekatnya.
Seruan mendadak itu cukup keras untuk mengembalikan kewaspadaan Taufan. Buru-buru dia membuka kelopak matanya dan mengubah arah hoverboard-nya. Tepat pada saat sepesekian detik sebelum Taufan bertabrakan dengan sekelebat sosok berwarna putih
Butuh beberapa saat bagi Taufan untuk pulih dari shock. Kedua kelopak mata Taufan membelalak lebar saat ia berhadapan dengan sesosok mahluk atau mungkin lebih tepat dengan seseorang yang berumuran hampir sama dengan dirinya sendiri
Di hadapan Taufan melayang seorang pemuda berambut cokelat sedikit acak-acakan. Sebuah mahkota emas berbentuk rangkaian daun tersemat di kepala pemuda itu. Busana yang dikenakan remaja muda yang melayang di hadapan Taufan itu mengingatkan Taufan akan Blaze ketika si penguasa elemental api itu bermain hantu-hantuan.
Jubah toga putih tanpa lengan terpasang di atas pakaian dalam tanpa lengan hitam di tubuh pemuda itu. Lengan yang tidak tertutup jubah toga pemuda itu cukup berotot, menunjukkan bahwa dia tidak asing dengan pertempuran.
Yang hampir mirip pada keduanya adalah raut muka heran bercampur takjub dari si remaja. Sama seperti lawannya, si remaja itu mungkin baru pertama kali melihat mahluk seperti Tauan.
Sama seperti Taufan, pemuda itu juga memiliki bola mata berwarna biru safir. Entah kenapa Taufan bisa merasakan aura penasaran dari tatapan si remaja itu dan tatapan itu malah mengingatkan Taufan akan Duri.
Satu hal yang membuat Taufan semakin heran adalah sepasang sayap berbulu putih yang mengepak-ngepak alami pada punggung remaja itu.
"Ka-kau bisa terbang?!" Taufan dan si remaja saling bertanya sambil saling menunjuk....
.
.
.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top