03 | So, It Could Be the Best Moment that Ever Happened, But ...
♟️
♟️
RONA cokelat keemasan dari kulit garing menerbangkan aroma matang dan memenuhi atmosfer ruang makan. Langkah Veyn seketika terhenti, begitu hidungnya menangkap wangi dari masakan kalkun panggang utuh tanpa kepala.
Gonggongan herder mendistraksi Maisie ketika hendak mengeluarkan satu lagi loyang kecil pencuci mulut. Sambil mengibas ekor, anjing dewasa itu buru-buru menerjang Veyn untuk menggigit celana denim usang yang ditemukan secara sembarang di rak perkakas lumbung. Tentu saja itu semua adalah ide Maisie yang tidak ingin membiarkan Veyn terus-terusan memakai pakaian compang-camping bau tengik, apak, serta amis. Meski wujud sudah tidak layak digunakan, harga setelan yang dikenakan pemuda itu bisa pasutri takar mampu untuk menginap di hotel mewah bintang lima kota metropolitan.
Ketika gigitan itu berhasil menyentak kaki Veyn terangkat ke dalam, pemuda itu masih mempertahankan posisi tegap sekaligus kikuk.
"Anak Muda, kenapa masih berdiam diri di situ? Apa yang kau pikirkan? Ayo, masuklah!" Melihat Veyn bergeming di gawang pintu dengan kaku, Maisie berseru menghampirinya seraya mengelap tangannya dari lumuran tepung basah.
Wanita bertubuh agak gempal itu alih-alih menyambut suaminya, ia justru lebih dahulu menarik lengan Veyn karena tak kunjung masuk, seakan tampak ragu melangkah ke dalam farmhouse-nya. Terlihat dari air muka Maisie menyimpan kerinduan yang amat dalam, seolah-olah sedang bahagia menyambut kepulangan seorang putranya dari perjalanan karier urbannya.
Masih di tengah gawang pintu masuk juga, Gerald menaikkan sebelah alisnya terheran-heran karena Maisie tidak membalas pelukan selamat datang seperti pada hari-hari biasanya. Ia terperangah menyikapi sang istri yang membiarkan dirinya mematung di depan teras. Pria lansia yang masih terlihat cergas menjulang dengan lingkar perut sedang itu menggelengkan kepalanya seraya mengukir senyuman gemas. Kendati tampak menjaga ukuran tubuhnya, tetap saja, waktu telah melarutkan usia. Gerald lekas duduk di kursi samping rak sepatu demi segera melepaskan boot. Barang sejenak, ia membutuhkan waktu untuk mengistirahatkan lututnya dari perjalanan kaki sepuluh kilometer dari tempat proyek.
Ketika menjejakkan pertama kalinya ke dalam sebuah rumah berdinding serba potongan kayu besar, kaki Veyn melangkah melewati bilik ruang keluarga. Arah mata Veyn bergulir untuk menyapu pandang sekaligus memasuki ruangan kecil itu yang hanya diterangi oleh lampu berdiri samping jendela ayun di mana gagaknya sempat berkunjung.
Ada pergumulan tapak jiwa hangat dan masih bernapas lain yang memikat Veyn untuk menyusurinya.
Maisie pun menekan sakelar. Di tengah ruangan, tergantung lampu utama dengan tudung berbentuk kubah berkayu cokelat muda pucat tanpa pewarna tambahan, menerangi objek apa pun dari arah langit-langit.
Sepasang sofa dengan bantalan di kedua sisi sudut yang mampu menampung tiga orang dewasa masing-masing berhadapan layaknya sepasang kekasih yang saling bersemuka penuh sayang. Di antara mereka, hadir meja persegi rendah yang Veyn hidu dari aroma birch. Ada jejak jiwa hangat lain sekaligus legit seperti madu dari Gerald sewaktu menatah batang pohonnya. Meski sedemikian sederhana tanpa ukiran rumit, Veyn dapat merasakan ada sentuhan nuansa kelegaan nan lapang dari bentuk minimalis itu.
"Cinta yang tidak mengikat akan memberikan kedamaian."
Tiba-tiba saja, gema suara asing lain menyusup ke benak Veyn.
"Karena ... hati tidak bisa diikat oleh Kontrak."
Netra hijau kecokelatan itu segera memalingkan pandangan secara nyalang seperti mencari seorang yang lain, tetapi hanya ditatap balik oleh Maisie.
"Apa ada masalah, Nak?"
Bibir Veyn mengucap tidak tanpa suara dan mengabaikan air muka Maisie yang memancarkan kecemasan sepintas.
Atensi berikutnya hinggap pada pojok perapian. Ada rak tinggi menyatu dengan perapian yang diselimuti oleh kain sulaman motif kotak-kotak, perpaduan merah bata dengan kuning gading mengingatkannya pada gradasi celemek yang biasa Maisie kenakan. Veyn merasa tertarik dengan jajaran cawan trofi yang berkilau ketika diterpa cahaya bohlam. Ia pun mendekat untuk melihat lebih jelas ukiran nama seseorang pada plakat bersama simpulan kupu-kupu pita merah, kuning, dan biru yang menyangga prestasi.
"Arnold Woodman," gumam Veyn tanpa sadar. Ujung jarinya menyentuh trofi tembaga perak dan keemasan itu. Ada getaran jiwa milik orang lain, yang ia duga mempunyai ikatan benang kehidupan dengan Gerald dan Maisie.
"Arnold Woodman, putra kami. Dia tidak terlalu suka berdiam diri di sekolah. Jadinya, nilai matematikanya selalu berwarna merah." Maisie mulai menerangkan apa yang berkecamuk di mata penasaran Veyn, sembari menyentuh bahu yang menjulang tegap itu.
Veyn pun menoleh, mendapati secara gamblang jajaran garis keriput yang menghiasi sekitar mata dan bibir Maisie. Rambut seputih abu itu digelung rendah menyisakan beberapa helai yang membingkai wajah oval sepuhnya. Akan tetapi, napas kehidupan yang dimakan waktu justru menciptakan keindahan tersendiri di mata Veyn. Sekaligus, betapa rapuhnya raga wanita itu ketika mencoba berdiri tegak di bawah garis dada Veyn dengan mengesampingkan getaran-getaran halus berkat bertubuh usia lanjut.
"Tapi tangannya terampil menggambar apa pun yang dia lihat. Makanya dia lebih sering membolos untuk mengikuti perlombaan seni jalanan di pusat kota. Lalu pulang membawa medali-medali berkilau itu untuk dipamerkan pada anak-anak desa lainnya yang berperingkat tinggi di sekolah." Maisie meluncurkan kekehan renyah. Ia nyaris berkaca-kaca sembari memandangi deretan penghargaan yang dipajang itu. "Aku tak pernah mengikat anak itu untuk menjadi apa. Selagi dia bahagia dan tidak melukai orang lain, aku menerimanya apa pun yang dia inginkan."
Kemudian, mata yang serupa kacang hazel itu bergulir ke atas. Terdapat beberapa foto berpigura yang sebagian besar didominasi oleh figur laki-laki dari seluruh hingga setengah badan di berbagai usia. Veyn mendapati perawakan pria yang mewarisi garis wajah oval Maisie dengan batang hidung tegas nan bangir dari Gerald. Sudut bibir Veyn yang semula segaris datar, terangkat sebentar ketika matanya menaruh atensi terakhir di foto Arnold usia remaja tengah mengangkat tinggi-tinggi trofi emas yang lebih besar dari kepalanya, berdiri membusungkan dada di atas tribune kemenangan.
Maisie juga mengikuti arah sudut perapian bagian atas dan lagi-lagi tersenyum hangat. "Dia adalah putra kami satu-satunya, aku dengan pria galak di belakangmu itu."
Kepala Veyn memutar mengikuti ke mana sorot mata cokelat kelabu Maisie berpindah.
Gerald berdeham mengalihkan pandangannya dan berlagak memindahkan payung ke gantungan dinding belakang pintu masuk.
"Aku harap kalian bisa akrab jika suatu ketika bertemu nantinya," sambungnya dan menatap sayu pada Veyn. "Aku memiliki rahim yang lemah. Hampir saja aku kehilangannya sewaktu delapan minggu. Andai saja aku bisa memberikan dia seorang adik." Maisie tertawa parau sembari menepuk punggung pemuda itu.
Veyn yang ditatap demikian hanya termenung.
"Ah, ayo makanlah bersama kami, aku sudah menyiapkan ayam kalkun panggang." Maisie bergerak ke belakang Veyn dan mendorong punggungnya, tanpa membiarkan pemuda itu berkesempatan untuk menolak lagi.
Kelopak mata Veyn sontak melebar ketika netranya memandang jatuh pada sebuah tatanan hidangan makan malam sederhana. Ada tiga piring ukuran sedang dengan lipatan kerucut dari serbet putih polos di atasnya. Lalu ditemani pula garpu di kiri dan pisau makan di sisi kanan. Terlebih sebuah piring saji paling besar membawa primadona yang bersinar kuning kecoklatan dengan lumuran madu. Semua itu dipercantik bersama instrumen tumpukkan limas buah jeruk yang masih segar dan segerombol anggur ungu bergandengan pula yang beragam hijau dalam mangkuk keramik di samping hidangan utama.
Tercium aroma wangi manis terbakar sekaligus anyir dari bangkai yang menghampiri lubang penghidu.
Kembali, muncul pergumulan kabut hitam pekat membawa rona merah kecokelatan dari hidangan kalkun itu, yang memadat seumpama sosok manusia memekik pedih di kepala Veyn.
"Makanan tidak menunggu untuk disantap, Nak," celetuk Gerald membuyarkan pikiran-pikiran magis Veyn yang berlalu-lalang tanpa henti.
Maisie hendak beranjak dari kursinya, tetapi Gerald menahan tangannya.
"Duduklah," pinta Gerald merendahkan nada bicaranya. Kedua sorot biru kelabunya menancap tajam ke dalam sepasang netra cokelat kehijauan milik Veyn, sembari menggerakkan dagunya ke arah kursi. "Jika bukan karena ada tamu yang tak diundang tiba-tiba menginap, Maisie tidak akan pernah repot-repot memotong kalkun ternak paling montok yang seharusnya bisa dijual lebih ke pasar."
"Gerald ...," tukas Maisie menepuk punggung tangan suaminya.
Veyn pun dengan gerakan patah-patah mendaratkan pantatnya pada kursi pahatan kayu birch berkaki empat di sisi angka enam. Sedangkan, Maisie telah menempatkan diri di arah jam tiga berseberangan dengan Gerald.
"Oh, lihatlah, mewah sekali makan malam kita hari ini. Seperti Malam Natal yang tersesat di musim semi saja." Gerald usai membuka dengan puja puji ketuhanan, tangannya menengadah dan berkeliling di atas hidangan untuk menyoroti menu acara makan bersama.
Maisie lagi-lagi menepuk tangan Gerald yang seolah menyudutkan kehadiran Veyn.
Veyn tampak kesusahan menelan ludah dan tangannya menciptakan gemetar tipis ketika menyentuh gagang pisau makan. Ia masih menghujani sorot mata tajam pada kulit berminyak kalkun yang masih hangat.
Sedangkan, Gerald sudah siap dengan pisau besar di tangan kanan, dan serbet di tangan kiri agar tidak meninggalkan jejak rabaan jari-jari pada daging. Ia mulai memotong masuk ke bagian atas kaki. Lalu menekan kaki ke arah yang berlawanan. Dengan lihai, ujung pisau besar itu melesak ke dalam sambungan untuk mendorong keluar paha itu dari persendian. Terakhir menyuwir bagian pinggir dekat sekitar dada, ia berikan potongan besar itu ke piring Maisie yang berdecak hendak protes.
"A, a, a! Kau masih kekurangan porsi protein hewani minggu ini," tukas Gerald.
"Permisi." Suara serak rendah nan tertelan ludah yang tidak lain dari mulut Veyn menginterupsi Maisie dan Gerald. "Apa ... apakah susu ini dari ekstrak kedelai?" tunjuknya dengan menjatuhkan sorot netranya dengan penuh pada segelas kaca yang terisi cairan putih gading.
"Kau ada masalah dengan susu nabati, Nak?" Gerald memicingkan matanya ketika menyuwir potongan daging sisi lain untuk Veyn lalu memotong lagi dengan ukuran lebih besar untuk dirinya.
"Sama sekali tidak, Sir." Tangan Veyn sontak mencengkeram gelas dan cairan manis gurih itu langsung meloloskan ke kerongkongannya dengan beberapa teguk.
Gerald maupun Maisie saling melempar pandangan satu sama lain.
"Oh, Nak. Kau menyukai susu kedelai? Aku akan seduhkan lagi jika kau masih haus?"
"Maisie, Sayangku. Makanlah. Dia bisa berjalan dan menuangkan sendiri, kan?" sergah Gerald dan sejurus memalingkan muka ke arah Veyn. "Seperti baru pertama kali minum susu saja," dengkusnya.
"Tentu saja." Veyn mengiyakan dengan menyahuti sorot netranya bertumbuk pada Maisie.
"Hei, Nak. Kau sudah bermalam di kediaman kami dan ini akan jadi hari kedua. Rasanya aneh jika kami tidak tahu bagaimana memanggilmu." Gerald menelan kunyahan terakhirnya, mengelap mulut dan kembali bercakap. "Siapa namamu?"
"Veyn." Veyn berdeham untuk menelan ludah dari sisa susu yang masih tersangkut di kerongkongan. "Hm, Anda bisa memanggilku dengan nama Veyn," ulangnya.
"Veyn?" timpal Maisie yang mengharapkan jawaban lebih dari Veyn.
Namun, pemuda itu memilih kembali menyeduh susu hangat nabati yang tinggal seperempat gelas.
"Orang mana kau?" kejar Gerald sambil memotong bagian dada atas persambungan dari kepala dan badan. Lalu mencabut wishbone kalkun dengan kencang hingga meja makan sedikit bergoyang.
"Sayang!" sentak Maisie memberengutkan bibir.
Gerald menyengir miring sambil melafalkan kata maaf.
Veyn membungkam lisan. Melalui jejak ingatan jiwa, ia dapat melihat kilas balik bagaimana antusiasnya Gerald menyembelih kepala kalkun itu seperti dirinya menebas leher target eksekusinya. Akan tetapi, hasrat yang dimiliki pria lansia itu berbeda dengan yang diembannya.
Lidahnya bertambah kelu ketika Maisie menghujani tatapan lekas ingin tahu reaksinya terhadap masakan kalkunnya. Veyn bahkan tidak mau membayangkan jika Nyonya Rumah itu tahu kalau sup ayamnya yang dibuat penuh kasih, ia kubur dalam-dalam di tanah belakang lumbung.
"Biasanya orang-orang kota yang kukenal mempunyai hobi memamerkan kehidupan pribadi dan tempat tinggalnya yang mewah, apalagi mampu membelinya di lokasi strategis." Kedua alis Gerald melengkung tinggi-tinggi "Baiklah jika kau tak mau cerita. Kami tak memaksa, tapi ... apa keluargamu tidak mencarimu?"
Veyn memotong-motong daging hingga menjadi suwiran tipis, bahkan lebih kecil dari bulatan anggur.
"Tidak masalah. Jangan ceritakan masalah hidupmu, masalah keluargamu, apalagi masalah kotamu. Aku sudah bosan mendengarkan keluhan orang-orang kota yang tak pernah bersyukur itu." Belum sempat Veyn membalas, Gerald langsung tancap gas untuk memungkasinya.
"Bagaimana Veyn akan menjawab, jika lagi-lagi omonganmu seperti kereta tanpa henti," timpal Maisie berdecak di sela kunyahan.
Lantas dengan gegabah Veyn paksa untuk segera memasukkan ke mulutnya. Sementara, melalui ekor kelopak matanya turut melirik Maisie yang memasang senyum lebar, seolah menanti komentarnya tentang rasa atau kecocokan di lidah. Sekonyong-konyong Veyn tersedak begitu menelan tanpa mengunyah lebih dahulu. Dorongan kuat penolakan dari tubuh membuatnya memuntahkan juga seluruh cairan susu kedelai.
Gerald memelotot dan hampir menyemburkan seluruh isi mulutnya. Maisie sontak menepuk punggung Veyn seraya mengangsurkan segelas air bening.
Piringan hitam pada kotak gramofon berputar mengalunkan musik gospel klasikal seiring piring-piring saji kudapan telah melandai di atas meja rendah ruang keluarga.
Maisie datang dari arah dapur dengan mengenakan celemek beserta sarung tangan tebal ketika nampan yang dibawanya mengepulkan uap panas.
Sedangkan, Gerald sudah berpindah duduk di sofa. Ia menggerakkan dagu pada istrinya untuk memberi isyarat terhadap tingkah Veyn yang berdiri mematung sekaligus tampak mengagumi benda itu.
"Hei, Nak. Kau melupakan kudapan terakhir," tegur Gerald begitu Maisie memotong puding roti mentega untuk dihidangkan ke piringnya dan Veyn.
Telinga Veyn mendengar, tetapi pikirannya masih melekat pada piringan hitam yang berputar itu.
Ingatannya terlempar pada sebuah kepingan memoar. Saat itu ia mendapat hukuman merapikan tatanan ensiklopedia perpustakaan kerajaan selama sebulan penuh karena membuat kuda-kuda petarung itu kabur ke hutan. Menjadi juara pertama dalam kurikulum berkuda di berbagai medan sulit di akademi militer kerajaan kelas satu bukan berarti mendapat hak istimewa kebal sanksi.
"Jika kau penasaran sekali seperti apa kehidupan manusia, kau harus menjadi bangsawan kelas atas dan memiliki wewenang kontrak dengan manusia. Kau bisa memilih manusia yang layak membawa kunci, sementara kau yang menggenggam perkamen sakral."
Sontak entah datang dari mana, muncul sesosok bangsawan membayangi Veyn dari cahaya jendela ketika sedang memperhatikan gambar adegan manusia berdansa. Persona aristokrat itu memergokinya membolak-balikkan buku pengetahuan alat musik manusia. Salah satunya kotak gramofon.
Veyn yakin bahwa hanya orang tertentu yang diberi izin memasuki ruangan penuh sumber informasi dunia luar itu. Akan tetapi, sejauh ingatannya merekam, belum pernah sekali pun ia menghidu atau pun mengenali aura jiwa figur yang sempat membungkuk dari belakangnya, dan meninggalkan atmosfer berat nan dingin di tengkuknya.
Lebih-lebih, mengapa orang itu malah membicarakan esensi dari kontrak yang seharusnya tidak sembarang diucapkan kepada calon prajurit sepertinya. Biasanya seorang bangsawan akan tertutup untuk menghindari rivalitas dalam wewenang Kontrak.
"Kau ... Veyn Ectorius, jika aku tidak salah?"
Sayangnya, Veyn tidak bisa menyimpan rupa bangsawan itu ke dalam ingatan. Karena begitu ia berbalik, pria yang memakai setelan necis serba hitam dengan mantel berekor dan bertopi fedora itu langsung memunggunginya. Hanya menyisakan rambutnya yang hitam legam seperti arang basah berkepang panjang menyentuh kaki paha.
"Namun, berhati-hatilah juga dengan manusia. Beberapa di antaranya memiliki jiwa pemikat. Alih-alih kau memperbudak jiwanya, manusia itu justru lebih dahulu mencuri hatimu."
"Siapa Anda? Dari mana Anda tahu namaku?"
Ada wangi kue jahe yang sempat hinggap ketika gemulai ekor rambut persona itu bergoyang seirama langkah kakinya.
"Kau tidak akan tahu, sampai merasakan getaran aneh di dadamu itu, dan jantungmu berdetak kencang tanpa sebab ketika bertemu dengannya."
Sosok itu lenyap, tangan Veyn tidak sempat menggapai ikatan rambut pria itu.
Namun, yang masih membekas adalah jiwa persona itu seperti langit malam yang amat luas. Tanpa sekat dan ikatan. Tidak ada hasrat emosi hidup, pun kehampaan mati. Baru kali ini Veyn menjumpai aroma jiwa yang hidup tidak, mati pun juga bukan.
"Mengesalkan saja ...." Tanpa sadar Veyn mengetatkan rahangnya.
Seretan kaki Maisie yang melangkah memasuki ruang keluarga membuat kesadaran Veyn kembali berpijak ke alam nyata, dan segera menghampiri untuk menyambut nampan yang dibawanya. Ia pun duduk di sofa ketika Maisie menepuk-nepuk dudukan di sampingnya sebagai isyarat mendekat.
"Gramofon kah itu?" tanya Veyn lebih serupa celetukan. Tekukan alisnya yang membuat air mukanya masam berubah netral.
"Iya. Kenapa, Nak?" Maisie mengangkat alisnya. "Kau menyukai alat penyetel suara musik dan lagu itu?" terkanya.
"Aku baru pertama kali melihatnya secara langsung," terang Veyn seraya menangkup potongan pai yang hendak jatuh ketika herder itu menyundulkan dagu di pangkuannya.
"Anak kota mana tahu alat kuno, kecuali bagaimana memanipulasi tanda tangan wali orang tua untuk mencairkan rekening. Lalu dipakai hura-hura ke kafe makanan sampah dengan pacar-pacarnya," cerocos Gerald di sela kunyahan pai lembut itu.
Maisie serta-merta menjatuhi tatapan mendelik.
"Kemarilah Anak Nakal! Biarkan tamu kita mengisi perutnya yang tidak bisa mencerna kalkun. Dan kau akan dapat jatah kalkun anak itu kalau kau mau menurut." Pun, Gerald mengalihkan dengan menarik kalung leher herder itu.
Maisie menggelengkan kepalanya. "Kali ini tidak ada daging. Untung saja aku sempat terpikir untuk memetik banyak rasberi dan bluberi di hutan, serta beberapa stroberi di belakang lumbung yang sudah siap panen," sela Maisie yang memberikan serbet pada Veyn. "Kau tidak ada masalah makan pai buah kan, Nak?"
"Tidak, Nyonya."
"Jika kau seperti rusa, katakanlah sejak awal. Ada banyak stok selada dan kubis membludak di gudang lumbung." Gerald mendengus lalu mendapat hadiah sikutan dari Maisie.
Melihat Veyn tidak mengeluarkan tanggapan aneh-aneh dari tubuhnya ketika mengunyah dan menelan pai itu, Maisie pun mulai melanjutkan cerita.
"Sudah ada setahun Arnold belum mengunjungi kami."
"Hanya setahun, tidak seabad," tukas Gerald. "Tentu saja dia sibuk ekshibisi dan ditarik oleh galeri di mana-mana."
"Yah ... setidaknya setiap bulan selalu datang kiriman surat kabar darinya dan uang."
Veyn menyipitkan kelopak matanya tatkala terdengar debasan panjang dari Maisie.
"Tapi meski begitu, kami bukannya tidak senang. Hanya ... kami yang sudah terbiasa hidup berhemat di pedesaan, lebih mengharapkan kehadiran anak kami dan berkumpul di hari besar, meluangkan waktu sebentar bersama kami."
Ada keheningan menyelimuti ruang keluarga.
"Karena usia siapa yang tahu."
Ujung alis Maisie tertaut bersama cekungan di bibir yang melengkung ke atas. Meski sangat tipis, Veyn dapat melihat perubahan drastis dari air muka yang biasanya bersemi seperti padang bunga, tiba-tiba menggelap penuh awan mendung.
"Oh ayolah, Maisie. Aku ada uang tiket kereta sampai ke ibu kota, jika kau mau menemuinya ke kota. Kau pikir aku tidak bisa membiayaimu?"
"Hanya mengirimiku seorang? Jangan konyol, apa bedanya tanpa kehadiranmu. Aku rindu percekcokan kalian."
"Ha-ha-ha! Kau ingin melihat pertengkaran kami? Dia akan lebih senang kalau kau yang mengunjunginya daripada melihat wajahnya yang versi tua bangka." Gerald mengedikkan bahu bersama luruhan tawa keras yang dibuat-buat.
"Aku tidak mau pergi jika tidak bersamamu."
Veyn beranjak dari sofa sambil membiarkan pasutri itu saling lempar argumen. Ia mengambil piring kudapan kedua orang itu beserta nampan untuk dibawanya ke bilik dapur.
Benar ucapan Gerald di awal, akan lebih baik ia juga tidak terlibat urusan mereka lebih dalam. Hampir saja Veyn melupakan tujuannya utamanya datang kemari. Ia harus segera mencari informasi lebih mendalam mengenai targetnya.
"Veyn, apa yang kau lakukan, Nak?" panggil Maisie dari arah ruang makan ketika memergoki kedua tangan pemuda itu penuh busa sabun.
"Aku hanya membantu meringankan bebanmu, Nyonya."
"Hentikan, itu adalah pekerjaanku. Sudah seharian kau membantu Gerald di proyek. Kau pasti kelelahan." Jawaban normatif Veyn justru membuat Maisie terkekeh-kekeh, meskipun tak menampik dirinya memang membutuhkan itu. "Bersihkan tubuhmu, Gerald mengizinkanmu bermalam di kamar Arnold."
"Hei! Awas saja jika kau mencuri barang-barang apa pun dari kamar Arnold!" tegas Gerald yang telinganya masih tajam meski berada di ruang keluarga.
Maisie tertawa renyah. "Jika itu keinginan Veyn, pasti sudah dilakukan sejak kemarin malam."
Veyn seketika berhenti melumat rasberi yang terhimpit di barisan gerahamnya. Ia sengaja memisahkan buah-buah beri itu untuk bahan kemaman tersendiri.
"Veyn anak baik, mana mungkin melukai orang yang tidak bersalah." Maisie mengusap-usap pelan bahu Veyn.
Sudut bibir Veyn yang semula tertarik ke atas, kini kembali melurus sangat datar. Netranya menerawang jauh pada pancuran bak cuci piring yang mengalir deras.
"Rambutmu indah sekali, Nak. Aku jadi merindukan masa mudaku." Atensi Maisie terpaku sejenak ketika tangannya tanpa sadar membelai rambut gading keperakan yang terikat rendah agak longgar milik Veyn. "Kau pasti memiliki ayah atau ibu yang mewarisikanmu ini."
"Hei, Sayang!" Suara lantang Gerald membuyarkan lamunan Veyn sekaligus menyentak istrinya.
"Kenapa, Sayang? Apa kau masih mau tambah pai?"
"Bukan!" teriak Gerald yang tampak enggan beranjak dari bantalan empuknya. "Aku lupa ingin cerita padamu!"
"Katakanlah!"
"Kudengar dari orang-orang proyek, akan ada bazar seni jalanan di ibu kota. Kau akan kuberangkatkan besok siang."
"Tidaaak! Aku tidak mau pergi jika hanya sendirian!" Maisie melepaskan spons dan berjalan menghampiri Gerald berada.
Veyn lantas mengambil alih dan menyelesaikannya ketika Maisie terusik dan berjalan kembali ke bilik ruang keluarga.
"Astaga, Maisie! Kau akan melewatkan kesempatan bertemu dengan orang yang telah menaikkan derajat anak kita, dan menjadikannya sebagai seorang seniman terhormat. Ini bukan hanya persoalan antara kita bertiga."
"Siapa dia?"
"Orang dari Burkhardt."
"Oh, astaga Burkhardt?"
Mata Veyn membulat sempurna mendengar nama yang baru saja Gerald dengungkan.
"Benar. Kita harus berterima kasih pada Burkhardt. Berkatnya kita juga bisa menikmati kehidupan nyaman di lembah ini subur ini," terang Gerald kemudian.
Remasan tangan pada spons yang makin mengerat seketika mencelat tatkala Maisie tiba-tiba menepuk punggungnya.
"Aku ingin mengajak Veyn juga, asalkan Gerald tidak keberatan," ucapnya sembari mematrikan senyum selegit mungkin dengan kandungan nada merajuk tersembunyi pada empat kata terakhir.
Suara dengusan mengepul dengan kentara, dan Gerald mendebas. "Baiklah, sesuai keinginanmu, Milady."
Lalu Maisie kembali menoleh pada Veyn yang masih memunggunginya. Ia pun bergeser untuk berhadapan dengan wajah pemuda itu yang membelakangi pendar lampu gantung.
"Veyn, belum ada rencana untuk kembali pulang, kan?"
Sepasang netra yang sempat tertimpa cahaya ketika ia harus membalas pandang Nyonya Rumah itu, terpaksa menghindari dengan mencari objek lain.
"I-iya. Tentu tidak. Belum ke mana-mana." Bibirnya berkedut ketika merespons itu.
Cahaya matahari dari ufuk timur mulai menciptakan bayangan miring dari Veyn sendiri ketika memegangi bingkai foto seukuran rentang telapak tangan kanannya. Ada tiga figur yang mendiami rekaman potret itu. Seorang perawakan Gerald muda yang tampak kusut menyandar pada ranjang pesakit.
Tepat di sebelahnya berdiri tergeletak wanita berpakaian daster tipis yang tengah menggendong seorang bayi. Selain manusia yang baru saja lahir ke dunia itu, rambut pirang keperakan Maisie ketika muda menarik perhatian lebih oleh Veyn.
Meskipun wajah mereka mengeluarkan rasa lunglai, sunggingan senyum lebar menyinari binar bahagia pada sorot mata keduanya yang menghadap ke kamera.
Di balik penyangga tertoreh tulisan tangan: Telah Lahir ke Dunia, Ananda Arnold Woodman di Burkhardt Shelter Hospital, putra pertama dari pasangan Maisie dan Gerald Woodman tercinta.
Lantas keping hazelnya beralih pada Maisie yang masih berselimut tebal seiring dengkuran teratur menyertainya. Tubuh renta itu tampak nyaman meringkuk menyamping dan menghadap Veyn yang tengah berdiri. Tidak ada kedutan ekspresi buruk apa pun yang terlukis di wajah. Air mukanya begitu damai.
Pemuda itu menarik napas perlahan. Deretan gigi-giginya saling menggesek kuat. Ia mulai mengeretekkan buku-buku jari kirinya. Bayangan hitam dari pijakan merangkak menuju jemarinya melalui lengan panjang sweter rajut pinjaman. Kemudian berpendar sekaligus menggumpal membentuk bidang panjang yang meruncing.
Sebilah logam perak berdenyar terwujud dan mengeluarkan aura haus darah. Veyn berupaya menahan tremor pada tangan ketika berangsur mengacungkan pucuk pedangnya tepat di ceruk leher Maisie.
Namun, ketika hendak mengayunkan turun, sebuah suara disertai embusan kuap lebar dari belakang menghentikan gerakan hening itu.
"Hei, Nak. Apa yang kau lakukan di situ?"
♟️
♟️♟️
Yo!
Gimana kabar weekend kamu?
Kamu punya alergi susu sapi?
Atau alergi makanan lain?
Apa itu?
Menurut kamu gimana bab kali ini?
Bakal ngapain itu Veyn?
Tekan ★ kalau kamu suka, share juga ke temanmu biar makin asyik, dan jangan lupa simpan ke library!
See ya!
♟️
with a passion - JoAl
31 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top