02 | So, There's Something New to Learn, But ...
♟️
♟️
BULU mata Veyn tersingkap lamat-lamat, kesadarannya tengah berkumpul kembali. Bermula dari menapakkan kakinya di atas karpet anyam. Kemudian dihadirkan pada permukaan pijakan yang bersulam bulu domba, menciptakan rasa lembut dan ringan menyentuh kulit di antara celah jari kakinya. Terlihat beberapa helai sulaman berjuntai menyelimuti lantai berkayu ek. Arah pandangnya beralih pada dinding bercat putih, merangkak naik lalu tiba di sebuah bingkai kayu berukir tua.
Ada tiga sosok yang terlukis di dalamnya. Akan tetapi, Veyn hanya bisa sampai pada figur bocah berambut keperakan dengan rompi hitam yang membungkus rapi kemeja putih di baliknya. Bocah itu duduk di pangkuan seseorang yang memakai gaun brokat putih hingga menyentuh kaki kursi. Di belakangnya lagi, terlihat persona gagah berbalut zirah kokoh, membawa pedang besar bersarung logam di sisi pinggangnya. Seakan-akan seperti ada kegelapan yang menghisap perawakan wajah mereka, sampai-sampai kepala Veyn terasa berat bagaikan ditusuk-tusuk benda tajam ketika dipaksakan untuk menyelisik kedua wajah selain si bocah.
Atensi Veyn teralihkan oleh kemunculan aroma gosong yang menyusup malu-malu masuk ke hidungnya. Terdengar suara keretek demi keretek menyusuri telinga, seperti sesuatu yang tengah menghanguskannya. Ia pun berbalik, menjumpai rona keoranyean yang menyala-nyala, membakar kayu dalam rongga dinding yang terbuat dari susunan batu bata.
"Tubuhmu bakal meleleh kalau terlalu lama berdiri dekat dengan perapian, Nak."
Veyn lekas membalikkan badan begitu muncul suara seorang wanita. Entah mengapa ia merasa suara itu seperti memiliki nada keibuan.
Namun, hanya terdapat lorong kosong menganga lebar, seolah siap melahap siapa pun yang melaluinya. Orientasi Veyn yang masih morat-marit tidak bisa membedakan apakah entitas suara itu memiliki jiwa atau hanyalah ilusi. Jika itu semua hanya proyeksi khayalan, tetapi terasa nyata berputar-putar di sekitarnya. Seolah-olah dirinya yang memasuki dunia itu secara langsung, alih-alih didatangi.
"Siapa kau!?" seru Veyn bergema. Ia langsung melangkah memasuki lorong gulita tanpa ragu.
Kendati mengejar suara dengan berlari tanpa ancang-ancang, tiba-tiba saja kaki Veyn seperti ditarik oleh sesuatu, sembari lalu terjerembab ke dalam semak-semak hutan begitu saja. Entah datang dari mana, muncul akar-akar gantung melilit tubuhnya yang mengambang terjun ke jurang.
Semuanya menjadi kabur. Gelap dan menyisakan keheningan.
Derit pintu balok kayu terbelalak lebar, membawa tangan-tangan fajar untuk menghangatkan udara dingin yang bergumul di dalam kandang kuda semalaman. Seorang pria tua berbaju kemeja flanel tengah membawa beberapa ember aluminium. Gerald membenarkan topi serat batang padi keringnya yang longgar dan beberapa kali melorot menutupi pandangannya. Ia hendak memberikan pangan sarapan untuk kuda-kuda gembalanya. Ditemani gonggongan herder yang menerjang lebih dahulu, berlarian memasuki tumpukan jerami dan mengendus sesuatu di balik gundukan.
"Hei, apa yang kau cari, Nak?" ucapnya pada herder bersurai cokelat kehitaman itu.
Peliharaan berkaki empatnya justru menjulurkan lidah seraya memberi petunjuk kepada empunya untuk ke sisi ujung dinding lumbung.
Sesaat Gerald mengerutkan kening dengan tingkah antusias anjing peliharaannya terhadap sesuatu yang tidak biasanya. Gonggongan itu menyerukan keramahtamahan alih-alih kewaspadaan terhadap benda asing. Si pak tua itu meletakkan ember-ember itu di luar, dan berjalan pelan menyembunyikan suara sepatu boot kulit. Tubuhnya menempel pada dinding lumbung sebelah sisi muka, di mana perkakas logam bertani digantung rapi, segera kemudian meraih garpu daun kering nan runcing.
"Kemarilah, Nak!" bisiknya dengan nada menyentak, memberi isyarat pada herdernya untuk menjauhi tempat yang ia duga perkara.
Namun, tampaknya herder itu justru mengeluarkan suara-suara parau seperti merajuk dengan menurunkan sepasang daun telinganya.
Lidah Gerald berdecak bersama rengutan bibir. "Menyingkirlah dari sana, Anak Nakal!" dengusnya sembari mengacungkan garpu tanahnya untuk meminggirkan herder itu.
Ringkikan salah satu kuda meluncur tatkala herder itu melompat ke sisi bilik sisi lain dan mengejutkan beberapa anakan kuda.
Gerald menggeram, tapi berusaha menahan teriakan gemas. Semakin dekat dengan tepi lumbung, perlahan ia singkirkan tumpukan jerami dengan ancang-ancang menodongkan ujung-ujung besi berkarat itu. Siap menerjang siapa pun, yang berniat mencuri para ternaknya.
"Kalian pikir, aku hanyalah lansia yang tidak tahu cara bertarung?" Lagi-lagi Gerald membenahi topi rajutnya yang menghalangi muka, lekas ia hunuskan bersamaan dengan meminggirkan tumpukan jerami paling atas. "Mati kau makhluk jahat, siapa pun yang berani uji nyali dengan pria tua paling berpengalaman di peternakan ini!"
Garpu yang menyibak cepat seiring serabut-serabut jerami yang mencuat, membuat pak tua itu terkesiap, hampir mencelat jatuh ke belakang. Seonggok badan perawakan lelaki terkapar miring dengan mata terkatup rapat. Pak tua itu lantas memperbaiki posisi berdirinya, kini dengan perlahan menggoyang-goyangkan tubuh itu seperti ikan cod dalam rendaman minyak panas.
"Oh, de–demi anak domba yang tersesat, tu–tubuhbuh si–siapa itu!?"
Sekonyong-konyong herdernya menerobos dari belakang dan menghampiri tubuh tergolek itu, lalu mengendus-endus kepalanya.
Gerald membekap mulutnya, menahan diri untuk tidak menjerit. Karena dengan mata kepalanya sendiri, ia ingin memastikan kebenaran apa yang dilihatnya langsung. Oleh sebab itu sambil menyunyi gerakan, ia menjulurkan jari untuk menyisir helaian rambut yang menutupi hampir sebagian penuh paras orang tak dikenal. Terdengar debasan lega karena lelaki itu masih memiliki sepasang mata, satu batang hidung, dan mulut selayaknya manusia, bukan makhluk jejadian. Walau tubuh diliputi rasa gemetar dan setengah menahan napas, ia memberanikan diri untuk memeriksa denyut nadi. Mata keriputnya pun bergerilya untuk mengamati kondisi keseluruhan tubuh orang asing itu. Raut wajah yang semula memancarkan kengerian, kini mengendur mencurahkan mimik iba.
Ada jejak luka kering dan darah cokelat kehitaman yang membentuk rangkaian pulau kecil di beberapa sudut wajah dan kepala. Kancing rompi gelapnya yang sebagian menghilang seolah membiarkan lipatan kemeja di dalamnya mencuat dan dipenuhi robekan acak. Atensi si pak tua beralih pada bagian dada hingga perut yang ditutupi oleh mantel kusut. Ia memperkirakan pemuda itu di sisa kesadarannya tengah menahan mati-matian rembesan luka basahnya.
Sesegera mungkin, Gerald bergegas keluar lumbung. Ia berlari menuju farmhouse-nya yang hanya berjarak beberapa langkah dari kediaman pribadi, lalu menemui sang istri.
"Ma-Ma–iies! Maisie ... kau pasti tidak percaya apa ya–yang baru ... barus–!"
Sedangkan seorang wanita bercelemek motif kotak-kotak yang tengah mengatur kobaran api pada tungku melongok dari balik sekat dapur. Ia sampirkan serbet ke bahu, melangkah ke sisi ruang makan yang bersambung dengan pintu halaman menuju lumbung, mencari sumber pemanggil. Lalu disambut oleh pria yang telah menemani hidupnya lebih dari setengah abad, datang tergopoh-gopoh nyaris tersandung lubang-lubang pada lantai kayu reyot, jika Maisie tidak segera menangkap lengan suaminya lalu menggiring untuk duduk.
"Tenang, tenang, tarik napas perlahan," tuturnya seraya mengangsurkan secangkir teh susu yang masih mengepul pekat. "Aku tidak ingin kau tersedak ludahmu sendiri dan berakhir di rumah sakit seperti minggu lalu."
Gerald mengamati lekat-lekat warna cairan dalam cangkir itu, tetapi tak lantas ia teguk.
"Darah–! M–Maksudku, aku, kita, lumbung kita ada manusia, ya manusia–!" ucapnya terpotong dan nyaris tersedak melihat wanita di hadapannya memberikan banyak lipatan di dahinya dan menggenggam tangannya yang masih diliputi gemetar hebat. "Eh–laki-laki muda yang mati! Dia sekarat! Belum mati, tapi hampir!"
"Jangan terlalu dekati api, jika kau tak mau terbakar bersama lilin itu, Anakku."
"Sayang! Apa yang kau lakukan? Jangan dekatkan lampu itu ke jerami. Kau mau membakar anak ini hidup-hidup?"
Sekonyong-konyong suara kekeh meluncur ke udara. "Jika itu bisa membantunya ke alam baka lebih cepat, dia bisa segera beristirahat dengan damai."
"Sekarang bukan waktunya bercanda, ambilkan aku air bersih."
"Siapa itu ...?" gumam Veyn. Saking lemah nada suaranya bahkan tidak sampai membuat pak tua dan istrinya menyadari titik-titik mulai berkumpulnya kesadaran pemuda itu.
Terpancar samar-samar binar merah kemuning yang menyelinap ke celah bulu mata Veyn. Pendar itu tidak seterik matahari, juga tidak seredup purnama. Tiupan udara hangat mulai menerpa kulit wajahnya ketika terdengar seretan kain yang menyelimuti tubuh. Meskipun ia tidak menggigil, tetapi sentuhan itu merangsang gejolak aneh dalam hati karena tidak biasa Veyn dapatkan.
Terasa rabaan halus yang menghinggapi sisi kepala. Seolah tidak ingin memberikan goyangan berarti, sapuan dari permukaan telapak tangan itu memilin kain perban dengan amat hati-hati. Tercium pula aroma pepermin lembut dari embusan si wanita lansia itu.
Lambat laun terdengar suara-suara yang turut hadir bertamu ke pendengarannya. Meski dirasa kelopak matanya masih lengket untuk terbuka.
"Oh, kasihan sekali anak ini. Tubuhnya seperti terkoyak oleh serangan binatang buas. Syukurlah luka-luka di perut dan dadanya hanya luka kecil. Aku kira benar-benar habis diserang binatang buas."
"Apa kau bercanda, Maisie? Tidak mungkin! Kita sudah tinggal di lingkungan lereng penuh pasukan kastanye dan cecunguk unggas pelatuk selama belasan tahun. Hutan ini sudah bukan perawan lagi semenjak Orang-orang Romawi sinting itu membuat rel lori dan menciptakan lubang-lubang polusi pada bukit."
"Pelankan suaramu, Sayang. Lalu bagaimana keadaanmu di proyek?"
"Kau bisa lihat sendiri pria yang sudah hidup tiga perempat abad di hadapanmu ini masih berdiri tegak? Aku berani bertaruh, eksekutif muda di London sudah dipenuhi penyakit keturunan yang aneh-aneh."
"Bagaimana pun kita harus rawat anak ini. Kasihan sekali, mungkin dia tersesat. Ah, apa kau tidak menemukan petunjuk lain di gudang yang berkaitan dengan siapa anak ini?"
"Tidak. Aku bahkan berharap dia membawa sekarung gandum koin emas untuk biaya perawatan dari kita."
"Hush! Jangan pelit seperti itu."
"Aku tidak pelit, hanya realistis."
"Kita tidak boleh memeras antar sesama, apalagi yang sedang membutuhkan pertolongan darurat, Sayang."
"Hentikan, Maisie. Baiklah, baiklah. Jangan ceramahi aku dengan kitab penuh tulisan ilahi. Aku akan bawakan ember-ember air bersih. Setelah kau selesai dengannya, biarkan dia tetap di situ. Aku tidak mau dia memasuki farmhouse."
"Kita akan biarkan anak ini malam nanti di lumbung?"
"Dia bukan tamu kita, dan kita juga tidak tahu siapa dia. Aku kepala keluarga yang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Kita hanya tinggal berdua, aku hanya memilikimu."
"Tapi, Sayang, bagaimana jika hujan deras? Atau jika dia membutuhkan bantuan, akan sulit menemukan kita."
"Tidak ada hujan badai di musim semi! Lagi pula, tumpukan jerami sudah membuatnya tetap hangat. Kita tetap merawatnya. Aku tidak mau ada masalah lagi. Kita akan makan sup kari domba rempah-rempah warisan keluarga kita dengan tenang. Oke, sepakat?"
Terdengar kekeh renyah dari suara tua yang ikut serta mampir ke telinga Veyn.
"Jangan jauh-jauh dari sekop garpu. Aku masih menyimpan gergaji di belakang bilik kuda. Jangan ragu potong kaki bocah itu, jika berani macam-macam padamu!"
"Satu-satunya yang aku khawatirkan adalah ucapanmu yang tidak ada jedanya seperti gerbong kereta."
"Iya, iya, aku tidak akan tersedak ludah sendiri lagi!"
Namun, baru saja Gerald melangkah keluar lumbung, terdengar seruan dari Maisie. Lantas ia bergegas menjinjing kapak dan menerjang ke dalam.
"Berani kau melukai wanita renta yang sudah merawatmu!"
Acungan kapak itu terhenti ketika melihat lampu minyak terguling ke tanah. Pria tua itu termangu beberapa detik.
"Apa yang kau lakukan, Nak!"
Maisie langsung menyokong lengan Veyn yang tiba-tiba memaksakan diri bangkit, tetapi terhuyung-huyung. Nyaris terjerembab jika istri Gerald tidak lekas menahan tubuh lemah itu. Meski tak begitu membantu, karena sebagian besar berat badan Veyn bertumpu padanya. Keduanya hampir ambruk kalau-kalau pak tua itu tidak ikut serta menopangnya.
"Aku ... harus menuntaskannya ...." Dengusan Veyn yang lagi-lagi hanya terdengar seperti embusan angin di tengah derasnya hujan.
"Astaga, bocah ini membawa batu gunung kah di tubuhnya!" tukas Gerald dan mendorong istrinya menjauh untuk tidak membiarkan dirinya terbebani bobot Veyn. "Jangan merepotkan kami yang sudah uzur, Anak Muda!"
"Tidak ada waktu lagi ...." Veyn terduduk di tumpukan jerami sembari menahan ringisan. Kepalanya terasa diputar-putar, tetapi dengan perlahan orientasinya mulai menangkap jelas keadaan di sekitar. Arah matanya menyapu pandang sekeliling, terlebih sosok pria tua yang menjinjing kapak setengah mengarahkan padanya. "Siapa Anda?"
Gerald mengerutkan dahi, sambil bergilir menaruh pandang ke istrinya. Garis keriput di wajahnya tertarik kencang. "Sudah tidak ada yang beres di kepalanya."
Maisie tergugu-gugu sesaat kemudian ia mendekat. "Nak, suamiku–Gerald, menemukanmu tergeletak di lum–"
Tiba-tiba saja, Gerald menarik istrinya ke belakang punggung. "Biar aku saja." Lalu menepuk cukup keras pundak Veyn. "Hei, Nak. Siapa kau? Kenapa kau tiba-tiba muncul di lumbung kami? Kau manusia, kan? Atau roh halus?"
Veyn tersentak.
"Apa sekarang maling kuda sudah zamannya memakai pakaian orang kota?" cerocos Gerald memandangi pemuda itu menyeluruh.
"Sayang, tolong jangan kasar."
Si pak tua kembali menaruh pandang pada Maisie dan mengangguk. Lalu berlagak seperti anak kecil–menuruti toleransi istrinya dengan mengambil langkah ke belakang seraya mengangkat bahu. "Oke, sesuai keinginanmu, Milady."
"Kurasa saat ini, biarkan dia istirahat dengan tenang dan memulihkan diri." Maisie melepaskan cengkraman kapak suaminya. "Ah, karena kau sudah sadar, aku akan bawakan sup hangat," imbuhnya sembari menaruh kembali kapak itu di sudut lumbung.
"Aku akan membantunya dengan cepat jika kau mau," seloroh pak tua dengan air muka antusias dan mendapat tepukan halus di bahunya oleh sang istri.
Gerald membawa kapak sambil memicingkan mata dan merenggutkan salah satu sudut bibirnya ke arah Veyn. Lalu kembali memandang Maisie dan berkata, "Aku tidak mau mengambil risiko membiarkan kapak dengan orang asing di lumbung berdua saja."
Maisie menahan kikiknya dan menggeleng-gelengkan kepala.
Veyn hanya menatap kedua punggung sepasang manusia usia senja itu dalam kebisuan.
Seekor kuda dewasa menghampiri si pemuda yang tengah duduk menyandar miring pada tumpukan jerami. Kepalanya agak tengadah. Ia sempat terpejam, tetapi kembali membukakan kelopak matanya begitu merasakan dengusan mamalia itu tengah menempelinya.
"Kau tidak takut padakukah jika jiwamu kumakan?"
Kuda itu meringkik dan mengendus-endus kepala Veyn.
"Kau bahkan juga tidak ngeri dengan bau darah di tubuhku?"
Rintik air mulai berjatuhan membasahi tubuh gudang kandang dan lumbung. Tiupan angin yang lewat melalui celah perpotongan atap pelana dengan dinding kayu tidak melunturkan aroma gurih kaldu dari kepulan semangkuk sup kari di atas nampan.
Di dalam hidangan utama terdapat taburan potongan wortel berbentuk dadu. Mereka tersebar bersama cincangan seledri di permukaan kuah yang terbuat dari krim dan yogurt. Di samping ada piring kecil yang membawa sepotong roti gandum yang Veyn duga baru saja keluar dari tempat pematangan. Terlihat pula warna cokelat keemasan bercampur tekstur sedikit basah dan berkilau yang mungkin karena lelehan madu meronai permukaan roti. Ia tidak begitu tahu persisnya, tetapi menurut dokumentasi dari beberapa buku di perpustakaan kerajaan, manusia kerap membuat sesuatu menjadi matang sebelum masuk ke perut mereka.
Namun, hidangan lezat itu alih-alih membuat liur menetes, sorot tajam mata Veyn justru memancarkan aura permusuhan. Potongan ayam yang menyembul sedikit ke permukaan kuah krim mengurungkan hasrat Veyn untuk memasukkan sendok sup ke dalam mangkuk.
Ada jejak sisa-sisa penghakiman jiwa yang hanya dapat dilihat Veyn. Jiwa yang seperti menyimpan pesan. Mungkin cara penyembelihan ayam itu tidak diawali atau pun diakhiri dengan puja sebagaimana mestinya.
Mengesampingkan hal itu, sejatinya tidak banyak olahan manusia yang akrab di ingatan Veyn, selain makanan jeli karena itu merupakan sari pati buah. Tubuhnya lebih terbiasa menerima jiwa-jiwa yang terekstrak dari tumbuhan alih-alih hewani.
"Oh, Nak. Maafkan wanita tua ini hanya bisa menyediakan sup dan roti. Tapi bagaimana pun, kau membutuhkan energi untuk pulih."
Suara Maisie mengusik Veyn dari pikiran-pikiran gaib. Jika saja wanita tua itu tahu apa yang dilihat si pemuda terhadap potongan dada ayam yang mencelup sempurna di balik kuah kari.
Alis Veyn berkedut singkat melihat kabut hitam bergumul di mangkuk. Sebagian meninggalkan uap yang berceceran seolah seperti cipratan darah di permukaan nampan. Kemudian lenyap bagai asap ditelan angin.
"Nak, apakah masih ada yang tidak beres luka-lukanya? Wanita tua ini masih sanggup merawat luka patah tulang sekalipun kau terjatuh dari kuda." Maisie menepuk pada punggung tangan Veyn yang masih bungkam seribu bahasa.
Alis putih kelabu Maisie menekuk ke atas. Ada kekhawatiran pekat di wajahnya.
"Lagi-lagi kau terjatuh dari kudamu sendiri, Nak? Menggemaskan sekali, putraku ini sudah ingin segera tumbuh dewasa rupanya."
Sekelebat kenangan nostalgia wajah sang Ratu hadir di benak Veyn.
"Tidak. Tidak ada," jawab Veyn pelan. "Ak–," sambungnya terpotong.
Sesaat Maisie memancarkan air muka semringah mendengar suara pemuda itu kembali muncul, sebelum suara lain dari luar lumbung menginterupsinya.
"Maisie! Bukankah kau bilang untuk membiarkan anak itu istirahat?" Teriakan Gerald yang bergema agak jauh mampu menembus ke dinding berkayu itu. "Apa kau tega membiarkanku menyendok sup yang mulai dingin dengan seekor anjing gembala sendirian?" sambungnya tanpa mengendurkan intonasi bicaranya.
Mata Veyn sedikit melebar tatkala tawa renyah dari Maisie meluncur mulus begitu diserukan panggilan oleh Gerald. Ia mencium aroma semerbak segar seperti padang bunga musim semi yang mengelilingi jiwa wanita itu.
Lantas Maisie pun beranjak. Sebelum ia benar-benar meninggalkan lumbung, Veyn tiba-tiba mengeluarkan beberapa patah kata.
"Jiwamu hangat sekali, Nyonya." Sontak tatapan Veyn bersambut oleh sepasang mata yang sudah mengarungi pengalaman hidup, tetapi buru-buru mengganti ucapan. "Maksudku, terima kasih."
Kemudian Maisie menghilang dengan meninggalkan senyuman lembut.
Seiring kepergian nyonya rumah, Veyn mengatupkan kelopak mata dan menggumam mantra. Sewujud bayangan dari balik punggung yang menyandar pada jerami. Makhluk pemanggil itu menggumpal dan membentuk ekor gagak kecil, lalu mengikuti Maisie.
Gagak itu mengepakkan sayap tanpa suara di bawah tetesan gerimis lembut. Kendati membawa payung, Maisie tetap berjalan cepat, agak berlari.
Melalui lensa legam gagak, Veyn mendapati ada sepanjang jalan setapak tanah basah yang dilalui wanita itu. Di sisi kanan dan kiri selebar dua rentang lengan orang dewasa, terpasang rapi pagar-pagar kayu reyot. Lumut berkembang subur hingga membuat lapuk dan licin, serta rumput liar tumbuh meliuk-liuk di sela pagar yang hanya setinggi pinggang Maisie.
Gagak itu sesekali menoleh ke belakang. Dapat dijumpai bangunan lumbung menjulang vertikal berbentuk silinder dengan atap pelana yang mengerucut. Di samping terdapat satu bangunan gudang serupa rumah yang berdinding kayu bercat merah. Meski nuansa remang mendung petang, tak menghalangi sejauh lensa gagak mampu memandang, ladang rumput hijau menyapu seluruh dataran yang menaungi rumah pedesaan kedua pasutri. Tempat itu menjadi lebih teduh ketika gerombolan daun tipis berbentuk segitiga kecil dengan gerigi di tepi dari ranting putih pohon birch tumbuh berbanjar di beberapa titik padang rumput, seperti prajurit yang sedang melindungi tembok kerajaan.
Rupanya Maisie hanya memerlukan beberapa langkah untuk memasuki pekarangan kediamannya. Gagak Veyn pun bertengger di pucuk cabang birch samping selasar. Terlihat Maisie mengatupkan payung, lalu menyandarkan ke dinding sebelum menghilang di balik pintu. Melalui kaca jendela, lensa legamnya menangkap Gerald membawakan segelas air hangat ke hadapan Maisie yang menggigil, lalu melepas mantel rajut istrinya yang lembab karena cipratan air hujan.
"Sudah kubilang, biarkan aku saja yang membawa supnya, kenapa kau harus hujan-hujanan begini?"
Maisie tersenyum lembut. "Aku hanya ingin memastikan keadaannya. Kecuali jika kau izinkan anak itu istirahat di dalam rumah."
"Baiklah, jika malam ini tidak terjadi apa-apa di gudang, masukkan anak itu dalam kamar Arnold." Usai memberi lampu hijau, Gerald mendengus. "Oh ayolah, kenapa kita malah membahas anak itu. Aku sudah lapar menunggumu." Lantas Gerald menarik kursi dan memberikannya kepada Maisie.
Mereka duduk berhadapan di sisi meja makan persegi kecil bertaplak motif kotak-kotak. Di atas meja, tersajikan hidangan yang tidak ada bedanya dengan yang diberikan pada Veyn. Ditemani lampu gantung yang memberikan cahaya dramatis dari atas, Gerald mengangkat tangannya di depan bibir untuk memimpin doa. Maisie pun mengikutinya.
Tanpa sadar gagak itu mengikuti keinginan Veyn, beralih ke tempat rendah, agar dapat berpijak pada gawang jendela yang terbuka. Menyaksikan setiap adegan demi adegan yang dilakukan pasutri lansia itu lebih dekat. Dengan begitu, aroma semerbak dari kayu lembap bercampur manis dari aromatik kayu manis panggang yang seakan baru keluar dari pematangan seketika menyusup melalui lubang hidung kecil di atas paruh.
Suara bising yang saling sahut-menyahut dari alat pemotong tampak tenggelam di pikiran Veyn. Kendati demikian, telinganya tetap menuntut tangannya menarik tuas dan membiarkan mata gergaji itu membelah batang ek. Kemudian menyisakan celah agar Gerald menyelesaikannya dengan kapak. Tak lama pohon itu tumbang.
"Veyn, mengapa kau tidak pernah mau mencicipi jiwa seorang manusia? Kemarilah dan bergabung denganku. Tubuhmu tidak hanya penuh nutrisi, kekuatanmu pun juga akan bertambah berlipat ganda."
Sebuah suara seorang yang pernah mengisi memoarnya selama di akademi militer kerajaan kembali mencuat.
Namun, ia tidak ingat siapa sosok itu. Selain setelan aristokrat yang membungkus gagah dengan tongkat khas mereka. Rambut keperakan yang terikat rapi menjuntai di samping kerah tinggi orang itu.
Veyn masih bertanya-tanya kenapa warna rambut sosok yang wajahnya ia lupakan, begitu mirip dengannya. Lebih-lebih tidak banyak yang memiliki rona warna seperti itu di Kerajaan Käntrakt.
"Hei, Nak. Kau ingin membuatku pensiun dini? Jangan kau pikir, aku sudah bau tanah untuk memotong kayu untuk talenan saja tidak sanggup."
Gerald berkacak pinggang. Meski intonasi bicaranya ketus, ada rona air muka ringan nan riang memandangi hasil pekerjaan Veyn yang rapi dan teratur. Seakan itu bukan kali pertama si pemuda melakukannya. Akan tetapi, ia menyesal sekaligus bersyukur, pemuda itu mengekorinya sejak subuh untuk meringankan beban fisiknya beraktifitas. Di sisi lain, Gerald menjadi tersaingi dengan performa pemuda itu. Sorot mata tuanya memicing tajam, apalagi ide Maisie agar Veyn mengenakan mantel usang di gudang justru terlihat cocok di tubuh yang masih muda itu.
"Dasar, anak muda zaman sekarang."
Bahkan pemuda itu tidak menyadari telah memotong begitu banyak pohon ek yang mungkin ditaksir sudah seumuran dengan leluhur Gerald.
Veyn tidak tahu untuk apa ia melakukan itu semua. Hanya bermodalkan intuisi, ia mengikuti apa yang dilakukan Gerald. Alih-alih berdiam diri di lumbung seraya memakani serat akar untuk proses pemulihan, ia merasa gelisah melihat Gerald mondar-mandir membawakan ember pakan kuda, memandikan kuda sekaligus membersihkan kotoran di kandang, dengan terengah-engah walau ditahan penuh gengsi ketika Veyn memergokinya.
"Pulanglah dan tidur saja kau," sentak Gerald yang merebut gergaji mesinnya dari tangan Veyn.
"Hei, Gerald. Biarkan saja anakmu mengambil bagiannya. Kita akan bisa segera pulang sebelum matahari tenggelam," sahut rekan Gerald yang yang sama-sama berompi oranye dengan helm keamanan para penambang. Mereka dipekerjakan sama olehnya untuk memilah dan memotong ek menjadi bagian lebih pendek lalu memindahkan ke truk bak terbuka.
"Dia bukan anakku!"
"Ya, tapi dia mengekorimu dari tadi, seperti anak domba."
Kasak-kusuk mulai beterbangan di beberapa pekerja yang berada di satu lokasi dengan Gerald.
"Siapa dia?"
"Gerald membawanya sejak tadi. Kupikir dia anak atau kerabatnya."
"Anak baru?"
"Apakah bayaran kita akan dibagi lagi, huh?"
"Mandor tidak membicarakan hal ini. Kurasa itu hanya urusan Gerald dengan bos. Kita tidak perlu terlibat."
Asap cerutu murahan berhamburan bersama suara mesin pemotong menemani para pekerja proyek untuk memanen kayu ek yang berkualitas premium untuk diantarkan ke pabrik kota. Di ujung sebuah bangunan yang tak jauh dari lokasi panen, terlihat siluet tubuh wanita yang sedari tadi mengamati pekerja proyek itu.
"Dari tadi kau mengamatinya terus-terusan. Kau tampak tertarik dengan orang baru yang dibawa Gerald. Ada apa, Milady?"
"Di mana kediaman Mr. Gerald?" tanya balik wanita itu pada pria berjenggot yang tengah memegang alat komunikasi dengan pusat proyek. Ia pun menyentuh pundak sang Mandor, serta merta sorot mata pria itu berubah kosong seiring suara desisan ular hitam turut hadir membelit tidak ketat di leher kekar pria itu.
"Perintahkan aku, Milady." Pria itu menggerakkan persendian leher. Ia berbalik menghadap siluet sang wanita dan mencium punggung tangan seraya agak membungkuk hormat.
"Tidak perlu. Aku yang akan melakukannya sendiri."
♟️
♟️♟️
Yelow, welkam bek di chap 2!
Gimana menurutmu dengan bab kali ini?
Apa pendapatmu tentang Veyn?
Tentang Maisie?
Tentang Gerald?
Ada yang tinggal di peternakan?
Gimana rasanya?
Lebih suka pedesaan atau perkotaan?
Ada yang pelihara kuda?
Pernah naik kuda? Gimana rasanya?
Ada yang punya peliharaan?
Apa itu? Dan gimana kamu ngerawatnya?
Tekan ★ kalau kamu suka, share juga ke temanmu biar makin asyik, dan jangan lupa simpan ke library!
See ya!
♟️
with a passion - JoAl
24 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top