01 | So, It's Time to Across The World, But ....
♟️
♟️
ORIENTASI Veyn masih berguncang hebat. Tubuhnya terjepit di reruntuhan ruang ilusi. Kakinya nyeri luar biasa ketika ditarik secara cepat. Ada darah kering yang bercampur serbuk puing-puing di kepalanya. Namun, baginya luka itu tak sebanding dengan satu kegagalan yang membuat Raja kehilangan kepercayaan terhadapnya.
Matanya mencoba bertahan menyelisik untuk mengamati sekitar di tengah kabut pedih. Bau semen tengik bercampur angin debu yang bergoyang mengikuti gerakan tiba-tibanya, menyeruak sampai membuatnya terbatuk-batuk.
Entah sudah berapa lama kesadarannya menghilang semenjak terjun bebas tanpa tahu titik dasar. Ia kira dinding penghalang tak lebih dari ilusi semata. Rupanya memiliki beban yang mampu menggeser otot persendian badannya. Meski kebas masih bercokol kuat, ia tetap berupaya mendorong paksa puing-puing bongkahan yang menindihnya.
Berkah sekaligus kutukan abadi pemberian sang Raja tak lantas membuatnya terbebas dari rasa sakit dan torehan luka. Kendati badannya tercabik-cabik, tetapi jiwanya masih terikat oleh kehidupan tanpa ujung.
Tempat ini persis seperti pertama kali ia memijakkan ruangan asing, begitu sang Raja menuntun kepergian para Pasukan Elit. Senyap dan terasa tak ada titik penghabisan.
Telinga Veyn tidak menangkap apa pun, selain suara bising rengkahan reruntuhan yang ia singkirkan.
Tidak ada pula seorang pun anggota lain, selain dirinya.
Veyn memakai kembali topi tingginya seraya mengembalikan letak sendi-sendinya ke tempat semula. Kemudian ia merapikan setelan panjangnya yang kumal dan menata beberapa kancing berlambang kerajaan yang berserakan ke tempat semula. Buku-buku jari tangan kirinya mulai ia keretekkan. Mulutnya bergumam merapal mantra.
Muncul bayangan hitam di balik punggungnya, serupa kepulan asap yang menjalar ke atas kepala, lantas membentuk berekor-ekor gagak hitam legam.
"Menyebarlah dan selidiki berlawanan arah," perintahnya dengan nada rendah dan dalam.
Kembali Veyn membunyikan buku-buku jemari kiri, bayangan hitam kebiruan muncul dari celah kaki, menggiringnya naik melayang. Tiba-tiba saja, setetes cairan anyir jatuh ke pipi. Arah pandangnya bergerak ke atas. Ketika hendak memeriksa robekan dinding di atas, berekor-ekor gagak pemanggilnya dari arah lain saling menabrakkan diri, menghantam tuan rapalannya. Hujan darah serta-merta membasahi tubuh kesatria.
Mereka hancur menjadi kabut hitam, dan kembali ke diri Veyn. Ia mulai mengencangkan kuda-kudanya sembari lalu siap menarik pedangnya tatkala dari berbagai arah muncul sambutan dinding-dinding kaca.
Akan tetapi, guncangan pijakan merobohkan kembali orientasi Veyn, dan menarik tubuhnya terperangkap ke dalam barikade labirin cermin.
Ruangan ilusi seolah tidak membiarkan Veyn berpikir barang sedetik, sejurus kemudian ia terpental. Seakan belum cukup, tubuh kesatria itu dihantamkan kembali hingga berselimut rongsokan kaca, yang segera sesudahnya kembali utuh, lalu membentuk bidang tembok menjulang amat tinggi.
Veyn menggeram perlahan. Ia mulai merasakan ada jiwa tanpa raga yang menaungi ruangan ilusi.
Kerjapan mata pertamanya di sambut oleh bidang cermin yang memantulkan proyeksinya.
"Ternyata di sini ada jiwa yang diberkahi mantra rapal. Kau pasti memiliki tuan, tapi sayang, orang itu tidak berani berhadapan denganku." Veyn menatap tajam visualnya sendiri yang sama-sama memandangnya, tetapi dengan air muka datar tanpa mimik bermakna. Tidak mengikuti pergerakannya.
Visual yang mengambil wujudnya tiba-tiba menyunggingkan senyum miring. "Tuan siapa yang kau maksud? Jangan menghakimi sesuatu tanpa fakta di depan mata, Sir. Atau tuanmu akan menghukummu. Bukankah justru jiwamu yang dipenuhi berkah rapalan, bagaimana rasanya dikaruniai kutukan kekekalan, Sir?"
Dahi Veyn mengernyit, sosok dirinya yang lain itu juga mengambil logatnya dalam berbicara.
Cermin itu mengeluarkan kabut dan mengubah proyeksinya menjadi sosok anak kecil yang menyembunyikan sepatu kulit di belakang tubuh. Di hadapannya berdiri sosok wanita semampai menjulang amat tinggi. Latar cermin itu memperlihatkan pemandangan nostalgia, sebuah ruangan penuh jajaran rak raksasa yang menyimpan berbagai buku pengetahuan berkulit tebal dan berlembar-lembar perkamen tanpa jilid beterbangan.
"Veyn, Putraku ...." Sebuah suara yang mengalunkan kerinduan mulai hinggap di telinga.
Wanita itu sangat familier di ingatan Veyn, meski waktu telah memakan sebagian usia paras ayunya. Sejak bergabung dengan akademi militer kerajaan, ia tak lagi mengunjungi perpustakaan, tempat menghabiskan detik waktunya bersama sang Ratu.
Bahkan cermin menciptakan detail memoar secara fisik tepat di hadapan Veyn.
Gaun putih tulang temaram itu berjuntai membungkus seluruh tubuh indahnya seumpama lekuk sempurna jam pasir. Ujung-ujung kain payet menimbulkan suara menyeret. Wanita itu mengenakan diadem emas berbobot lebih berat dari kepalanya. Terlihat aksesori menyerupai jarum berjumlah tujuh buah yang kian meruncing di tiap-tiap tepi lingkaran mahkota. Ketujuhnya menyeruak dari titik pusat berukiran magis yang menyimpan kemampuan untuk merasakan keberadaan jiwa-jiwa hidup di sekitar sang wanita. Semuanya berkilau layaknya emas murni, menutupi sebagian wajah hingga menyisakan hidung serta mulut, yang membuat Veyn hingga kini masih bertanya-tanya akan gaya berbusana unik milik wanita itu.
Lambat laun, suara itu menaikkan oktafnya.
"Veyn! Jangan nakal, cepat kembalikan sepatu Yang Mulia! Jangan buat Raja Agung kita kehilangan martabat di depan pertemuan petinggi dunia Käntrakt."
Veyn menatap tanpa kedip sosok bocah berambut keperakan itu meluncurkan tawa renyah. Entah muncul dari mana datangnya, si bocah berlari kencang menerjang Veyn. Ketika otak masih belum menguasai keterkejutan dari adegan itu, tubuhnya tiba-tiba ditembus begitu saja oleh ilusi sosok si pendek comel dan berpindah ke bidang cermin lain, seakan-akan keberadaan dirinya bagaikan hembusan angin. Lantas arah pandang sang kesatria berbalik ke belakang untuk mengikuti ke mana perginya si bocah. Akan tetapi, kaki pendeknya sudah lebih dahulu menyelinap di antara lorong-lorong penuh perkamen kulit yang menutupi pemandangannya.
"Veyn! Jangan kabur!" Wanita itu menyeret para tentakel sebagai kaki di balik gaun putihnya untuk segera mengejar bocah yang dipanggil sama seperti namanya.
"Sang Ratu berbohong. Katanya, sang Raja akan mendongengkan kisah pelaut manusia di bulatan warna-warni yang dipenuhi jaring skala itu. Tapi sampai seminggu, Veyn hanya disuguhi buku tata krama sendok sup dan sendok kue di acara afternoon tea." Bocah itu melongokkan kepalanya di antara rak, sesekali menjulurkan lidah seraya mencebik sebagai balasan.
"Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?" tawar sang wanita.
Bocah itu kembali berlari keluar dan berbelok menuju rak paling ujung agar dapat menyusup di celah perapian yang sukar dimasuki badan orang dewasa. "Penawaran perpanjangan waktu untuk diam bersabar dengan minum teh di cawan porselen?"
Wanita itu tertawa lepas. "Bukan, putraku ini bahkan belum bersedia mendengarkan, tapi sudah menghakimiku."
Ketika si bocah lengah dengan penuturan lembut itu, sebuah tentakel yang menyelinap dari dinding samping, berhasil melilit perut si bocah.
"Hei, itu curang!"
Si Bocah berambut perak itu terkikik kegelian ketika bebatan kenyal tentakel sang Ratu menggesek kulitnya. Mengingatkannya pada kudapan manusia yang memiliki rasa manis dari sari buah yang sering dipanggil jeli.
"Ini baru yang namanya taktik. Itulah sebabnya, dengarkan Ratumu ini menawarkan sesuatu sebelum kau gegabah mengambil kesimpulan yang tidak memiliki landasan nyata."
"Baiklah, tapi turunkan aku."
"Kalau aku menurunkanmu, kau akan kabur lagi dan tidak mendengarkanku, Putraku yang manis."
Si bocah terdiam, sehingga akhirnya menatap serius wajah sang Ratu.
"Kau tidak hanya harus mendengarkan apa yang kau yakini, tapi juga pertajam pengawasanmu tanpa terpaku memandang lawan. Terkadang apa yang kau saksikan di depan mata, belum tentu kebenarannya."
Sang Ratu mengulurkan tangan untuk mengusap pipi comel si bocah yang akhirnya diam, tidak melawan dengan simpulan wantah.
"Sang Raja harus membagi waktunya untuk memperbaiki masalah-masalah di kerajaan, Nak. Kau tak bisa serta-merta mengartikan ketidakpeduliannya ketika Yang Mulia tak mengacuhkanmu."
Tubuh Veyn bergeming. Visual dan suara-suara penuh kenangan itu membuatnya terserap dan terpaku. Rematan pada pedang yang siap ia tarik pun melonggar.
"Kau tak percaya dengan pengetahuan sang Ratumu ini untuk mendongengkan kisah-kisah para manusia di dunia mereka?"
Secarik perkamen yang berterbangan di dalam perpustakaan keluar menyapu kulit wajah Veyn, sehingga menutupi pandangannya. Tidak disangka-sangka, sosok wanita tinggi menjulang menoleh cepat ke arahnya, dan mengarahkan lurus-lurus tentakelnya keluar.
Veyn tercekat, setelah detik berikutnya menyadari, bebatan tentakel itu lebih dulu mencengkeram lehernya.
"Kau masih juga tidak mendengarkan sang Ratumu ini, Nak! Apa yang baru saja aku katakan?"
Cekikan itu meninggalkan rasa terbakar di leher Veyn. Tangannya mencoba menarik-narik cengkeraman, tetapi justru kian menjerat. Seiring tubuhnya digantung tinggi-tinggi, membuat remasan itu semakin menghambat jalur napas. Ditambah tentakel lain muncul dari arah yang tidak diduga, membebat tangan kiri sang kesatria yang hendak mengeretekkan jemarinya.
Sekarang, tentakel demi tentakel mulai melewati perbatasan cermin dan memperpendek jarak keduanya.
"Apa yang kau lihat sekarang!?"
Dengung suara itu menjadi semakin jelas hinggap di telinga Veyn. Lantas ia melirik ke bawah, melihat pedangnya teronggok di belakang tentakel.
"Apakah Putraku sekarang ini akan berani memenggal kepala sang Ratu?"
Arah pandang sang kesatria kembali bergulir ke muka. Napasnya nyaris terhenti, ketika detail lekuk wajah sang Ratu terpampang nyata di ujung hidungnya.
"Yang Mulia ..., izinkan aku menjawabnya ...," ucap Veyn di sela sulitnya mengeluarkan kata-kata sekaligus bernapas. "Kali ini ... aku tidak yakin dengan apa yang kulihat. Maka dari itu ... aku mendengarkanmu, sang Ratu." Ia memikirkan cara lain untuk memanggil kekuatannya keluar.
Saking kuatnya bebatan tentakel itu, menggesek gigi taring dengan sudut bibir di saat berbicara. Tetesan darah yang seharusnya merembes turun, justru melayang dan menyebar, membentuk berekor-ekor gagak merah.
Pasukan jiwa gagak yang dipanggil Veyn terbang berhamburan menyerang sosok yang mengambil maujud sang Ratu. Begitu serbuan itu berhasil membuat cengkeraman tentakel mengendur, Veyn lompat turun, segera kemudian menyambar pedangnya.
Jari kirinya yang terasa kebas, ia paksa untuk melakukan ritual keretek buku-buku jari.
Secercah sinar berkilat memenuhi badan bilah tajam itu. Sementara, sang Ratu tengah sibuk mengusir gagak merahnya. Tanpa keraguan, Veyn melangkah cepat, mendaki gulungan tentakel itu sebelum menyerang balik lebih ganas, sekali lalu ia ayunkan tepat di urat leher yang tertutupi kerah gaun bertabur manik-manik berlian itu.
Kepala berhiaskan diadem yang menyerupai matahari itu pun menggelinding di pijakan. Seketika tubuh tinggi menjulangnya melebur bersama pecahan kaca yang turut pecah berserakan menyelimuti tubuh Veyn.
Sang kesatria menyeret kakinya mendekat pada kepala sang Ratu. Lututnya tertunduk ke bawah, ada gejolak dalam sanubari yang mengguncang emosi. Ia melepaskan diadem itu perlahan. Napasnya sempat tercekat ketika rambut berona kelopak lavender terurai menyentuh lembut kakinya, memaparkan sesosok wajah rata, tanpa mata.
Veyn menarik napas dalam-dalam, lalu ia embusan dengan panjang.
"Apakah kau yakin dengan apa yang di depan matamu sekarang, Nak?"
Sekelebat suara mampir seperti angin sore hari di ladang rumput kandang kuda. Kali ini suara lain yang cukup asing, tetapi entah mengapa meninggalkan kesan seolah pernah memiliki ikatan kuat di masa lalu. Veyn mencari sumber suara, tetapi tidak menemukan sosok lain apa pun. Hanya terdapat barikade dinding cermin yang memantulkan visual dirinya.
Baru saja sang kesatria mendapatkan jeda waktu untuk mencerna apa yang telah terjadi, terdengar derak dari arah belakang. Veyn kembali mengeratkan gagang pedangnya manakala melihat retakan kaca dari arah seberang mulai menjalar.
Di antara semua larikan barikade cermin yang mengalami keretakan, ada sebidang cermin di sudut masih utuh. Veyn bergegas berlari menghampiri cermin itu.
Sebuah memoar lain muncul. Pemandangan langit senja, di balkon perpustakaan sayap barat. Sosok serupa wanita tadi tengah meninabobokan seorang bocah ingusan yang merebahkan kepalanya di pangkuan.
"Yang Mulia Ratu, bolehkah Veyn bertanya?"
Langkah Veyn terhenti, mengamati setiap kenangan dengan tatapan menyelidik. Ia berusaha untuk tidak kembali terhanyut.
"Tanyakanlah, jika jawabanku bisa memuaskan hasratmu."
"Kenapa wujud manusia sama seperti sebagian dari kaum kita? Siapa sebenarnya manusia itu?"
Visual sang Ratu dalam cermin itu menoleh dan bertumbuk pandang pada Veyn.
"Jika kau ingin tahu kebenarannya, lakukan apa yang ada di dalam sanubari keyakinanmu, Nak."
Veyn kali ini menarik pedangnya tanpa keraguan. Ia hunuskan tepat di tengah titik bidang cermin.
Tidak diduga, dorongan kuat menciptakan benturan cermin yang tercerai-berai secara masif. Gempuran barikade cermin luluh lantak menerjang tubuh Veyn, hingga pada akhirnya tenggelam dalam lautan pecahan kaca. Serbuan bilah pecahan cermin mengoyak, mendorong, sekaligus menjungkirbalikkan tubuh sang kesatria.
Indra yang dimiliki Veyn mati rasa semua beriringan dengan kesadarannya yang perlahan lesap.
Namun, sebelum lenyap seutuhnya, di antara jajaran bulu mata Veyn yang nyaris mengatup sempurna, samar-samar ia menangkap sepasang kaki putih berlumuran darah berjalan terseok-seok ke arahnya.
"Apakah kau yakin ... dengan apa yang ada di depan matamu sekarang, Nak?"
"Suara siapa itu ...?"
♟️
♟️♟️
Yahalo, sampai pada chap 1 akhirnya menetas juga!
Gimana menurut kamu chap 1 ini?
Sudah menemukan gambaran ini cerita bakal ngapain?
Bagian mana yang menurut kamu paling menarik di chap ini?
Bagian yang gak banget atau kurang buat kamu di chap ini ada gak?
Apa itu?
Ada saran supaya lebih menarik?
Kamu ada yang fobia sama binatang?
Binatang apa itu?
Lalu cara ngatasin ketakutan itu gimana?
Tekan ★ kalau kamu suka, share juga ke temanmu biar makin asyik, dan jangan lupa simpan ke library!
See ya!
♟️
with a passion - JoAl
16Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top