End

Kita tidak pernah memulai meski ada di lingkaran yang serupa, dan ketika kita mencapai garis final, kita tidak pernah memiliki akhir.

***

Aku sedang berada di dapur pengungsian, membuat minuman hangat untuk Dhyra. Beberapa relawan juga melakukan hal yang sama, mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Tadi, kebetulan ada satu kompor yang menganggur, kumanfaatkan saja. Kasihan Dhyra, ia pasti kedinginan. Udara di sini sedang turun, membuat kami harus bertahan dengan mencari kehangatan. Minuman adalah salah satu hal yang bisa membantu.

"Ris..."

Aku menoleh, ada Annelies di sana. Ia memakai jaket tebal, rambutnya dikuncir rendah. Lies--aku biasa menyapanya begitu--menghampiriku sambil membawakan setangkup roti selai.

"Kamu belum makan, makan dulu."

"Nggak perlu repot-repot, Lies."

Lies menggeleng, pandangannya jatuh pada gelas minum yang sejak tadi menjadi objek pekerjaanku.

"Buat siapa?"

"Dhyra," kataku. Lies tersenyum masam.

Saat tengah menuangkan air ke dalamnya, tak sengaja air panas itu mengenai tanganku. Rasa panas dan perih langsung menjalar seketika, Lies memekik, memekakkan telinga.

"Astaga! Kamu nggak papa?"

Aku menggeleng, hanya terkena sedikit. Tidak masalah.

"Tunggu di sini, aku nyari saleb dulu. Aku bawa saleb luka bakar di tas, tapi tunggu dulu, aku harus nyari temenku. Dia yang tadi bawa tasku."

"Lies nggak perlu, aku mau ke tenda kesehatan, nganter minum."

"Nggak papa. Nanti aku samperin kamu ke sana. Bentar ya."

Aku membuang napas. Annelies sudah pergi, ia bilang akan mencari temannya untuk mendapatkan saleb itu. Sejak dulu, saat bepergian, Annelies memang sering membawa obat-obatan di dalam tasnya. Perhatiannya tak pernah berkurang.

***

Barak pengungsian kembali ramai, para wartawan sibuk mengambil gambar korban tanah longsor. Rombongan relawan di kampusku akan pulang esok hari, setelah menyerahkan bantuan dari dana mahasiswa dan birokrasi.

Tangis Dhyra baru saja reda. Tubuhnya masih mengigil. Selimut yang ia pakai ssperti tak membantu, kami berada di ruang tenda kesehatan. Beberapa anak yang mengkhawatirkan Dhyra datang sejak tadi, namun saat ini sudah sepi. Di tenda ini hanya ada beberapa korban, tak banyak, karena sebagian yang parah sudah dirujuk ke rumah sakit. Itu pun mereka sudah tidur.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu tadi diam saja di saat semua orang berlari? Dan di mana Dewa tadi?" tanyaku tak sabar, heran mengapa tadi aku tidak melihat keberadaan Dewa saat longsor susulan.

"Kami menemukan jasad. Ya, aku melihat tangan seorang gadis di antara timbunan tanah. Dewa mencari bantuan untuk mengambil jasad itu, dan aku menunggu sendiri di sana. Aku benar-benar tak memikirkan apa pun sekalin gadis yang tertimbun di sana," ungkap Dhyra, tubuhnya masih menggigil.

Aku tidak tega melihat giginya hampir bergemelatuk. Dengan segala kesadaran aku merangkulnya, mencoba memberinya kehangatan, dia tidak boleh terkena hipotermia. Tubuhnya tak merespons, mungkin ia terkejut, pandanganku fokus pada Dhyra, jantungku berdegup tak tentu ritmenya. Aku menoleh ke arahnya. Mematapnya dalam, seakan ingin memberitahunya bahwa dia memiliki tempat khusus di hatiku, walau saat ini--karena janjiku pada ayah untuk fokus kuliah--aku belum mengatakan perasaanku padanya. Semua memang butuh waktu.

"Kamu pemberani," kataku setelah kami dibungkam keheningan.

"Kamu lebih berani," balasnya.

"Kamu tipikal cewek yang akan membalas pujian seseorang, kayak cewek pada umumnya."

Aku mengejek sambil mengacak rambut tebalnya.

"Aku bukan cewek semacam itu. Aku kan beda," ujarnya, ia tampak tak terima. Dhyra kelihatan lucu.

"Tidak apa, kan itu berarti kamu cewek betulan."

Dahinya mengerut, ia kenapa?

"Selama ini aku bukan cewek betulan?"

"Lah, tadi katanya nggak mau disamakan kayak cewek pada umunya. Berarti bukan cewek betulan, kan?" aku menggodanya lagi, mengasikan sekali menggoda Dhyra.

"Oke, aku tarik pujianku tadi. Kamu bukan pemberani!"

"Seperti itu, ya?" kataku. Gemas, kuacak lagi rambutnya.

"Hentikan," katanya yang kemudian mengalihkan tanganku, dia tampak terkejut dengan sebuah luka di tanganku.

"Kamu terluka?"

"Cuma tersiram air panas."

Lagi pula tidak ada yang serius, hanya luka kecil, dibandingkan kaki Dhyra yang tadi terluka. Ini tidak seberapa.

"Apa sakit?" ia bertanya sambil mengusap tanganku.

"Dhyra!" panggil seseorang yang masuk ke barak ini. Tenyata itu Dewa dengan wajah cemasnya, kalau boleh jujur, aku tidak menyukai wajah cemas Dewa untuk Dhyra.

"Aris, tadi ada cewek cari-cari kamu," tambah Dewa padaku.

"Mungkin itu Annelies," ucap Dhyra pelan.

Aku lalu berdiri, membiarkan Dewa duduk di samping Dhyra--menggantikanku. Lalu, aku izin pada Dhyra untuk menemui Lies, ia hanya tersenyum. Dalam hati, sebenarnya aku berharap ia mencegahku. Membuang napas, sudahlah. Sudah ada Dewa.

Tapi, di depan pintu barak, aku terpaku. Kakiku seakan kaku, tidak bisa digerakan. Mataku fokus menatap kedekatakan Dhyra dan Dewa, senyum hangat Dewa untuk Dhyra seperti melukaiku. Menohokku, karena sampai saat ini aku belum mampu mengatakan aku menyukainya. Karena terlalu fokus memandang Dhyra dan Dewa, aku tidak sadar kalau saja mata Dhyra bersirobok dengan mataku, ia tampak terkejut. Mengalihkan tatapanku, kuputuskan untuk segera pergi, Annelies pasti mengkhawatirkanku.

***

Dari atas sini, desa itu tampak hancur mengenaskan. Tidak ada kehidupan yang tersisa, yang ada hanya hamparan tanah dan sisa puing-puing bangunan. Sejak subuh tadi aku berada di bukit ini, bersandar pada pohon pinus, memandang kehidupan di bawah sana yang betakhir. Longsor telah merenggut semua kebahagiaan mereka, membuat mimpi-mimpi anak-anak yang tertimbun di bawahnya turut padam.

Aku mendengar suara langkah kaki yang menghampiri tempat ini. Seorang perempuan yang amat kukenali berdiri tak jauh dari diriku, pandangannya nanar menatap hamparan tanah di bawah. Ia tak menyadari kehadirkanku, karena mungkin tubuhku terhalang pohon tadi.

"Kamu di sini juga?" tanyaku menghampirinya.

"Setiap manusia punya perasaan, bukan?" tanyanya tiba-tiba, aku melihat ke arahnya--hanya sekilas, pandanganku kembali fokus ke bawah. "Aku membayangkan perasaan orang-orang yang mengungsi di sana ketika menyaksikan bagaimana kondisi tempat tinggal mereka yang tertimbun."

"Sakit. Ya, sangat menyakitkan," jawabku sekenanya.

"Kamu tahu sesuatu, Ris?"

"Tahu apa?" kataku, lalu menoleh lagi padanya.

"Selalu ada perasaan yang tersembunyi. Tidak diungkapkan, tetapi butuh disadari," katanya, membuatku bingung. Ia hendak mengatakan apa sebenarnya?

"Aku nggak ngerti maksudmu."

Dia diam sebentar, saat itu aku melihat banyak keraguan di matanya, banyak hal yang ingin ia sampaikan tapi ia mungkin saja bingung. Dhyra menatapku dengan sorot lemah.

"Dewa, dia meminta kesempatan padaku. Apa menurutmu dia orang yang baik?" tanyanya. Dewa, ia mengatakan Dewa?

Wajahku kaku, aku mencoba menahan segala gejolak yang tiba-tiba muncul. Demi Tuhan, aku tidak rela, mati-matian aku mengontrol emosi. Mencoba bersikap biasa saja di depan Dhyra, sial aku pasti gagal. "Aku tidak bisa menghakimi orang lain. Aku hanya percaya kalau kamu bisa memilih dengan benar," kataku. Aku teringat dengan benda di saku celana, tanganku merogohnya.

"Apa itu?"

Aku menunjukkan sebuah ikat rambut miliknya yang kemarin kulepas saat ia sedang terluka.

"Kamu adalah Dhyra ketika kamu mengikat rambutmu," ucapku. Aku beralih ke belakang, lalu mulai mengikat rambutnya. Di mataku, dia akan selalu jadi Dhyra dengan rambut yang terikat.

Tubunya kaku. Aku tidak tahu apa yang terjadi, aku sedang membelakangi tubuhnya. Tak mampu membaca emosi di wajahnya. Perkataannya tentang Aris tadi masih memenuhi kepalaku. Jika aku memintanya menunggu, mampukah Dhyra? Atau memang dia bukan takdir yang diberikan Tuhan padaku, sehingga dengan mudahnya dia memberi kesempatan laki-laki lain?

"Aku ingin membantu di bawah," ujarku saat selesai mengikat rambutnya. Aku benar-benar butuh udara segar, menghindarinya. Aku butuh berpikir, lebih dari sekadar berpikir. Aku butuh menata hatiku. Bukankah Dhyra sudah memilih Dewangga? Aku pecundang yang kalah sebelum berperang.

Dia tak lagi menoleh, tak mengatakan apa pun, membiarkan aku pergi. Ya, Dhyra sudah memilih.

End
Wasalam.

Terima kasih sudah mengikuti cerita ini. Duetku sama @sebutkan pengguna

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top