Part 2
Jabatan Ketua Osis sudah ditanggalkan Magi sejak 6 bulan yang lalu, ia juga tidak pernah lagi menyambangi ruangan Osis, menyapa anggota Osis yang pernah jadi bawahannya pun tidak pernah dilakukannya lagi.
Perempuan itu bahkan mengabaikan setiap anggota Osis yang menyapanya, tapi tetap saja meski dia bukan lagi Ketua Osis, masih banyak siswa yang menyapanya dengan ramah, mereka berharap mendapatkan sapaan balik dan senyum manis seperti yang biasa dilakukan Magi dulu. Sayangnya itu tidak akan pernah terjadi lagi, senyuman itu tak pernah ada lagi sejak Magi mengundurkan diri sebagai bagian dari Osis.
"Pagi Kak Magi," sapa seorang adik kelas dengan senyum penuh sopan santun.
Magi tak menjawab sapaan itu dan hanya mengangguk sekilas kemudian berlalu begitu saja. Banyak yang merindukan mantan Ketua Osis mereka, merindukan Magi yang selalu tersenyum hangat pada mereka semua, dan memberi nasihat yang tak menyakitkan hati saat ada yang melanggar. Saat Magi menjabat sebagai Ketua Osis, intensitas siswa terlambat berkurang drastis.
Alasan semua itu adalah karena Magi yang ramah, Magi yang cantik, Magi yang baik, Magi yang akan dengan senang hati memberi telinganya untuk mendengar sambil tersenyum, dan Magi yang tidak pernah berpihak pada siapapun kecuali kebenaran. Semuanya menghilang 6 bulan yang lalu saat Magi keluar dari Osis, sayangnya bahkan Guru dan Kepala Yayasan tidak bisa merubah keputusan Magi.
Bug ...
Magi meletakkan tasnya ke atas meja, lalu duduk di kursi dan menatap ke depan tanpa mempedulikan sekitarnya, ia duduk di baris kedua dari depan. Alasan ia duduk di kursi itu sangat sederhana, Magi tidak mau bergabung dengan geng apapun di kelas, semua orang pasti tahu pojok belakang kelas adalah tempat berkumpulnya geng-geng tidak jelas, karena itu Magi memilih duduk di depan dari pada bergabung duduk di pojokan.
"Morning guys," sapa Mr. Arief selaku Guru Bahasa Inggris dan wali kelas XI Ips 4.
"Morning, Sir," balas murid-murid serempak.
Magi tak terlalu memperhatikan dan hanya menunduk menatap menjanya yang tidak ada noda, sekolah rutin membersihkan meja-meja siswa setiap semester baru. Magi masih tak peduli saat bisik-bisik di balik punggungnya terdengar berisik, apapun itu Magi tidak mau peduli.
Sampai kemudian suara langkah kaki menuju ke arahnya membuatnya terusik, ia mengangkat wajahnya menatap sosok jangkung yang sekarang berdiri di samping mejanya. Sekejap kemudian Magi memutar bola matanya malas melihat siapa yang berdiri di sana.
"Lo mau apa lagi?" tanya Magi malas.
Suara bisik-bisik di belakangnya makin menjadi, kali ini menyebut-nyebut nama Magi dengan nada cemas.
"Magi kenal sama Rama?"
"Gak tahu lah, tapi kayaknya iya deh, kan orang tuanya Magi donatur."
"Oh iya ya, gak mungkin Rama yang punya sekolah gak kenal anak donator tetap."
"Tapi kok mereka kayak musuhan sih?"
Magi sekarang mengerti, laki-laki jangkung dengan tinggi 182cm yang mau tak mau diakui Magi terlihat cukup mengintimidasinya karena tingginya ini. Laki-laki yang menyeret-nyeretnya kemarin, laki-laki yang keras kepala menyuruhnya minta maaf, laki-laki sialan itu adalah anak konglomerat Adhiyaksa.
Terama Adhiyaksa, anak pertama dari dua bersaudara keluarga Adhiyaksa, anak pemilik SMA Bhintara di mana Magi berpijak sekarang. Sekarang lihatlah bagaimana angkuhnya Rama menatapnya sekarang, laki-laki itu seolah menunjukkan siapa Raja-nya di sini.
"Lo tahu siapa bos-nya sekarang," ucap Rama angkuh.
Terserah sialan!
Magi mengumpat dalam hati, bukan karena ia merasa terancam atau takut, tidak pernah ada dalam kamus Magi ia akan takut pada seseorang seperti Rama. Laki-laki itu harusnya tidak merasa bisa berkuasa hanya karena harta orang tuanya, Magi jelas tidak akan pernah membiarkan Rama semena-mena padanya.
Magi tersenyum tipis, "Terama Adhiyaksa ya, anak sulungnya Tarendra Adhiyaksa, kan?"
Sebelah alis Rama terangkat menatap Magi yang masih tersenyum, ia tak mengerti kenapa perempuan itu tersenyum setelah tahu siapa yang berdiri di hadapannya sekarang.
"Apa? Lo heran kenapa gue belum sujud di kaki lo sekarang?" kata Magi dengan nada seolah kehidupan Terama Adhiyaksa sangat membosankan.
Orang-orang seperti Rama ini terlalu gampang ditebak, ia hanya salah satu sampah yang harus dijauhinya, Laki-laki dengan seribu pesona dan harta berlimpah tidak pernah menjadi kombinasi yang menyenangkan, bagi Magi mereka tidak ada bedanya dengan beban-beban bumi di luaran sana yang harus dihindari Magi.
Pada saat itu Rama balas tersenyum miring dan menggeleng seolah memahami isi kepala Magi. Rama melepas tas ranselnya dari punggung, dan meletakkannya di atas meja tepat di samping Magi diikuti dengan tatapan tidak suka sekaligus penasaran dari Magi.
"Gak perlu, lo cuma perlu dengerin gue," ucap Rama seraya duduk diatas meja.
Magi sungguh benci dengan drama apalagi di depan orang sebanyak ini, tapi ia memutuskan menunggu sambil menatap tajam mata yang juga menatapnya tajam. Rama menundukkan kepalanya sedikit dan mempertegas jarak tinggi mereka.
"Pertama, mulai hari ini kita semeja, tolong perlakukan gue dengan baik ya, Magi." Ucapannya diiringi senyum manis pura-pura.
Mata Magi langsung jatuh ke kursi sampingnya dan baru menyadari bahwa siswi berkacamata yang duduk dengannya itu sudah tidak ada di sana. Ia melirik kursi di belakangnya dan menemukan si nerd sialan itu duduk sambil meringis minta maaf padanya.
"Terus,” Rama belum selesai rupanya, ia menahan dirinya untuk tidak tertawa saat Magi menatapnya jengkel, “ sebagai murid baru, lo perlu ngebimbing gue untuk kelas tambahan. Mohon bantuannya ya."
Rama masih tersenyum pura-pura walau matanya masih menyorot Magi mengejek, berusaha memancing reaksi marah Magi, dan tentu saja ia berhasil. Perempuan itu melotot tak percaya, kemudian berdiri dan memukul keras meja di depannya yang langsung disesalinya, karena saat berdiri pun Rama tinggi banget, sialan.
"Lo gak berhak semena-mena buat keputusan cuma karena lo pemilik sekolah ini, gue masuk ke sini bayar mahal, gak numpang beasiswa sama lo," geram Magi tak terima.
"Gue gak punya pilihan,” kata Rama dengan nada sedih yang dibuat-buat, seolah-olah ia sangat terpaksa, “kalau ada yang lebih baik dari pada lo, gue gak akan repot-repot ngerepotin lo."
Magi mendecih sinis, gak ada yang lebih baik? Entah Rama yang terlalu bodoh atau memang orang ini sedang main-main. Jelas-jelas saat ini Magi duduk di kelas IPS 4.
"Buta ya? Gue cuma salah satu siswa jurusan IPS kelas sebelas 4, ada siswa lain yang lebih pintar dari gue di kelas sebelas satu, jangan main-main sama gue."
Rama menyeringai tipis, ia mengangkat tangannya untuk menahan Mr. Arief yang bermaksud melerai mereka. Tidak boleh ada yang mengganggunya sekarang, Guru sekalipun. Permainan ini sungguh sangat menyenangkan, sampai Rama tidak mau menyelesaikannya sekarang.
"Peringkat paralel 1 tahun kemarin gak mungkin bohong."
Ucapan penuh kemenangan Rama itu membuat Magi tak bisa berkutik, ia sama sekali tidak tahu siapa yang dihadapinya saat ini. Magi tidak pernah menganggap Rama akan memasuki hidupnya bahkan saat laki-laki itu menkonfrontasinya kemarin, tapi Rama jelas tidak berpikir begitu, buktinya ia sudah lebih dulu mencari tahu siapa lawan mainnya. Sialan!
“Nyari tahu latar belakang orang lain itu gak sopan, sialan,” desis Magi tidak suka.
Rama lalu tertawa kecil dan menjulurkan tangannya untuk menepuk kepala Magi yang menatapnya tajam, lucu sekali. Rama awalnya hanya ingin mencari satu atau dua kelemahan Magi untuk ia pergunakan menaklukan perempuan itu, tapi ia berubah pikiran saat tahu Magi yang selalu menduduki peringkat satu paralel malah duduk di kelas IPS 4 yang sama sekali bukan kelas terbaik.
Rasa tertarik Rama makin menjadi saat menemukan dulunya Magi adalah siswa jurusan IPA kelas 1, kemudian tiba-tiba ia meminta dirinya dipindahkan ke IPS 4 enam bulan yang lalu. Hal itu tentu tidak bisa dilewatkan Rama dan membuatnya bertanya-tanya siapa sebenarnya perempuan ini?
Rama menunduk karena perbedaan tinggi yang jauh dan sengaja menatap main-main Magi, hanya untuk membuat perempuan itu makin kesal.
“Kalau gitu gue rasa yang satu ini bisa buat lo gak bisa nolak."
Karena bahkan sebelum permainan ini dimulai, Rama sudah menang. Magika Zalardi hanya terlalu menarik untuk dilewatkan tanpa bermain-main dulu.
"Hah?"
"Sa-phi-ra."
Rama mengucapkannya persuku kata, dengan sengaja memperlambat ucapannya untuk melihat ekspresi Magi, dan tepat dugaannya. Perempuan itu terkejut, matanya melebar dan ia menahan napas, seolah apa yang dikatakan Rama membuatnya jantung berhenti berdetak sebentar.
Magi menatap Rama dengan tatapan luar biasa benci. Saat kata itu masuk ke indra pendengarannya dan di proses otaknya, Magi tahu Rama akan masuk lebih jauh dalam kehidupannya meski Magi tak suka, tapi memangnya takdir pernah memihak Magi sekali saja selama ini?
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top