Part 1
21 November
Sepanjang koridor lantai satu dan dua, para siswa sibuk bergosip tentang seorang murid baru, anak konglomerat pemilik Bhintara Group yang notabenenya pemilik SMA Bhintara tempat mereka menjejak saat ini. Sontak hal itu menjadi trending topic baik di kalangan murid maupun guru. Wajahnya yang di atas rata-rata dan gelarnya sebagai ahli waris kekayaan Bhintara Group membuatnya jadi dua kali lipat lebih menarik untuk dibicarakan.
Berbeda dengan perempuan berambut hitam sepunggung yang sedang melangkahkan kaki berbalut Flatshoes mahalnya di koridor, hanya ada perasaan risih karena koridor yang ramai dan ia jadi banyak bersentuhan dengan orang lain, perempuan bernama lengkap Revani Nasta itu menghela nafas.
Bruk ...
Bahunya yang tiba-tiba disenggol dengan keras membuatnya menjatuhkan kopi Starbucks yang tadi dibelinya sebelum ke sekolah, kopi itu jatuh mengenai sepatu kakak tingkat yang langsung marah-marah. Revani buru-buru menundukkan kepalanya meminta maaf.
"Lo punya mata gak sih?! Ini sepatu mahal!" bentak kakak tingkat itu kesal.
"Maaf Kak, saya bersihin ya?"
"Harus dong."
Revani berjongkok dan mengeluarkan sapu tangannya dari saku, lalu mulai membersihkan sepatu kakak tingkatnya. Ia mengangkat kepalanya dan mencari si penabrak, tatapannya terpaku pada punggung mungil yang berjalan tanpa menoleh di depan sana, hal itu membuat hatinya berdenyut nyeri.
"Magi ...," bisiknya lirih.
Tidak lama kemudian, entah dari mana datangnya seorang siswa laki-laki tiba-tiba menahan bahu Magi dan memaksa perempuan itu berhenti melangkah. Laki-laki itu menatap Revani yang masih jongkok dan juga sedang menatap ke arahnya dengan bingung, sedangkan Magi mendongak menatap laki-laki yang lebih tinggi darinya itu.
"Minta maaf," katanya dengan sorot mata tajam yang mana membuat Magi mengerutkan kening menatap laki-laki itu.
"Hah?"
"Minta maaf."
Laki-laki itu mengulangi ucapannya seiring dengan mata hitam pekatnya menatap Magi makin tajam, seolah tatapan matanya itu akan mampu membuat Magi takut, sayangnya Magi hanya mendengus kesal. Ia lalu menepis kasar tangan laki-laki yang tidak dikenalinya itu dari bahunya, bibirnya mendesis sinis sambil melirik Revani yang hanya bisa menghela napas pasrah.
"Minta maaf buat apa?" tanya Magi sinis.
"Gue lihat apa yang lo lakuin, minta maaf."
"Lo pikir gue peduli lo lihat atau enggak?"
Magi mendengus lagi, ia sudah akan melanjutkan langkahnya saat laki-laki itu menarik pergelangan tangannya dan menyentaknya kasar sampai membuat Magi berbalik, tatapan matanya menyorot makin tajam seolah malam gelap yang dingin sedang menatap Magi sekarang.
"Minta maaf," paksanya geram.
"Gak mau budeg! Apaan sih lo?! Lepasin tangan gue!"
Suara Magi yang naik satu oktaf membuat mereka menjadi pusat perhatian, apalagi saat laki-laki berwajah datar itu menarik Magi ke hadapan Revani yang sudah berdiri. Ia mengacuhkan ringisan di bibir Magi karena lengannya yang sakit diseret-seret seperti itu, juga mengacuhkan rontaan Magi.
"Gue bilang minta maaf." Suara laki-laki itu makin tajam, membuat Magi mendengus.
"Kenapa gue harus minta maaf cuma karena lo nyuruh gue? Lo pikir lo siapa?"
"Gue bilang, minta maaf karena lo nabrak dia."
"Dengar ya, gue gak akan minta maaf dan dari pada lo maksa-maksa gue, mending lo urusin si sampah itu."
Magi menyentakkan tangannya kasar sampai terlepas, bibirnya meringis ngilu melihat pergelangan tangannya memerah. Ia mendelik tajam pada laki-laki berwajah datar itu, tapi bukannya mengikuti kata-kata Magi, laki-laki itu malah menggeram marah dengan rahang mengeras.
"Minta maaf atau gue buat lo nyesal," ancamnya serius dan itu hanya membuat Magi merasa jengkel.
"Oh ya? Takut banget nih gue," cibir Magi dengan nada menyebalkan.
Magi kemudian tertawa dengan cara paling menyebalkan, lalu menatap Revani tajam. Perempuan yang sejak tadi diam itu langsung menunduk bersalah, tak berani menatap balik Magi.
"Dasar sampah," decih Magi tak suka.
"Gue bilang minta maaf!"
Bentakan kasar yang datang tiba-tiba dari laki-laki itu membuat Magi mundur selangkah karena terkejut. Magi sama sekali tidak menyangka akan ada yang berani membentaknya, tapi kemudian ia balas menatap laki-laki asing aneh yang berani menyuruh-nyuruhnya dengan lebih tajam.
"Gue gak akan minta maaf. Sekalipun gue harus mati, gue gak akan pernah minta maaf, puas?" tekan Magi di depan wajah laki-laki itu.
Ia lalu memutar badan ke arah Revani yang menatapnya bersalah dengan mata berkaca-kaca, tapi itu hanya mengundang tatapan sinis Magi, ia menunjuk Revani tajam.
"Dan lo, jangan tunjukin muka lo depan gue lagi."
Magi berbalik, kakinya melangkah dengan cepat meninggalkan kerumunan. Ia mengumpat kasar saat menabrak seseorang, tapi tetap berusaha menerobos kerumunan, sedangkan Revani tersenyum miris dan mengusap pipinya yang basah.
"Iya, aku gak akan muncul depan kamu lagi," ucap Revani pelan.
Laki-laki itu menatap Revani dengan wajah datar dan satu tanda tanya besar muncul di pikirannya, kenapa ia tidak marah dihina seperti itu? Tidak lama kemudian seorang anak laki-laki yang lebih muda mengenakan seragam SMA Bhintara berdiri di samping laki-laki berwajah datar tadi.
"Kenapa bang?" tanya laki-laki yang baru saja daaing itu.
"Gue ada tugas buat lo."
"Ya?"
"Gue harus taklukin cewek itu."
"Yang mana?"
Dagu laki-laki itu terangkat menunjuk punggung Magi yang kecil, si lebih muda menatap ke arah yang sama, kemudian mengangguk. Sang Kakak berbalik pada Revani kemudian, memperhatikan seluruh tubuh perempuan itu, mencari sesuatu yang salah.
"Lo gak apa-apa?" tanyanya, suaranya hampir tanpa intonasi.
"Ya?"
"Lo, gak ada yang luka?"
"Gak ada kok, makasih ya."
"Lain kali kalau lo dibully lo harus lawan, atau laporin ke BK, paham?"
"I-iya, paham."
Dianggukkan kepalanya dengan puas, kemudian berbalik pergi meninggalkan Revani yang menatapnya dengan sorot haru sekaligus terpesona. Baru kali ini ada yang mau membelanya dari Magi, tapi kenapa? Dan apa maksudnya barusan? Menaklukan siapa?
"Hei? Kok bengong?" tanya laki-laki yang lebih muda itu sambil mengguncang bahu Revani.
"Eh? Iya, kenapa?"
"Lo, kok bengong?"
"Gak apa-apa, maaf kalau aku nyusahin."
Kening laki-laki itu berkerut, apanya yang nyusahin? Apa berbicara dengannya sangat menyusahkan? tapi ia kemudian tertawa dan mengulurkan tangan, bibirnya tersenyum ramah.
"Gue Andru," ucapnya sambil tersenyum bersahabat.
"O-oh, aku Revani Nasta, panggil Revani aja."
"Salam kenal ya, Revani. Gue masih mau ngobrol, tapi gue harus nyusul Abang gue, pamit ya Revani."
Laki-laki bernama Andru itu segera berlari menyusul laki-laki yang dipanggilnya Abang, sedangkan Revani yang baru sadar kalau bel sudah berbunyi sejak tadi segera berlari menuju kelasnya, pantas saja sejak tiba-tiba sudah tidak ada orang di koridor.
***
Sampai di apartemennya nyaris larut malam, Magi membuka pintu apartemen dengan senyum kecut. Ia berharap sekali saja ia pulang dan seseorang menyambutnya atau memarahinya karena pulang terlalu larut, tapi ia kemudian ingat bahwa ia tinggal sendirian dan tidak punya siapa-siapa untuk melakukan tugas itu.
Dilepasnya sepatunya dan ditaruh di rak samping pintu, lalu masuk menuju kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya ke atas kasur super mahal miliknya tanpa melepas seragam, matanya menatap langit-langit kamarnya dengan menerawang.
"Mama Kakak baik ya? Aku pengen punya Mama kayak Mama Kakak."
"Tapi kan Mama Kakak Mama Adek juga."
"Emang boleh, Adek jadi anak Mama?"
"Boleh Sayang, Kakak sama Adek itu saudara, jangan berantem ya."
"Oke Mama."
Magi mendengus, ia dengan cepat menghapus bayangan-bayangan yang diciptakan otaknya. Ia masih menatap langit-langit dan tersenyum sinis, lalu berdiri dan berjalan ke kamar mandi setelah mengambil handuk, saat itu matanya tanpa sengaja menangkap sebuah bingkai foto di atas laci yang sengaja disimpannya, foto bocah perempuan kecil yang dipeluk wanita dewasa. Senyum Magi berubah dingin.
"Lo sama sekali bukan saudara gue."
Ia kemudian masuk ke kamar mandi dan membanting pintu, mencoba menenangkan pikirannya dengan berendam walaupun sekarang sudah larut malam.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top