Sing
Gadis itu sedang menikmati suasana cafe di pinggir sungai dekat kawasan One Fullerton. Dengan kacamata hitamnya, dia asyik memandangi gedung-gedung di sekelilingnya, termasuk Marina Bay yang berada di seberang dia. Sudah 3 hari dia di Singapore. Kim bilang dia kabur dari masalah. Tapi bukan itu juga, dia memang butuh waktu menyendiri. Untuk berpikir sejauh mana kedewasaan dia, keikhlasan dia. Dan akan bagaimana hubungan dia nanti dengan Al.
"Pril!" Panggil Gibran setengah berlari memanggil Prilly yang sedang jogging di Gelora Bung Karno.
"Eh hay, Gibran." Sapa Prilly seraya melempar senyum.
Gibran menyamai langkah cepat Prilly. "Sendirian?"
"Gak.. gue sama Ricky. Tapi dia udah kecapekan duluan. Jadi lagi istirahat, tapi palingan sih lagi makan," jawab Prilly sambil nyengir. "Lo sendirian?"
"Iya" Gibran mengangguk.
"Ooh.. tumben.. gak sama yang lain?" Tanya Prilly yang sebenarnya memancing keberadaan Al. Saat itu dia masih sebal gara-gara kejadian Kenny telanjang dada.
"Mereka lagi sibuk."
"Sibuk apa?"
"Nanya kesibukan semua atau satu orang aja?" Gibran menyadari arah pertanyaan Prilly.
Prilly memelankan larinya. Dia memilih untuk berjalan santai. Dengan legging hitam dan kaus pink serta headband yang dia jadikan bandana, Prilly nampak sporty dan fresh. Rambut panjangnya dia cepol agar tidak mengganggu olahraganya.
Dia mengelap keringat dengan saputangan handuknya. "Ya tanya semua lah,"
"Bukan tanya kesibukan Al?"
Alih-alih menjawab, Prilly memilih bertanya balik pada Gibran. "Eh eh gimana rasanya kuliah S2? Susah nggak sih?"
"Yaa kalau susah atau gampang itu kan persepsi masing-masing asal kita fokus. Lo gimana?"
"Minggu ini ada tes dan wawancara. Doain aja."
"Aamiin,"
"Pril? Hmm...,"
"Kenapa?"
"Katanya lo lagi dekat sama Al,"
"Kata siapa?"
"Al yang cerita," jawab Gibran. Masih setia menemani olahraga sore Prilly.
Prilly menaikkan sebelah alisnya. "Cerita apa dia?"
"Cuma cerita kalau dia lagi dekat sama lo aja,"
"Ooh..,"
"Jadi? Betul kalian lagi dekat?"
"Itu sih tergantung persepsi kita masing-masing aja ngelihatnya gimana," jawab Prilly membalas dengan perkataan yang sama. Dia menambahkan cengiran isengnya.
"Dih, kok jawabnya ikut-ikut sih?"
"Hehe. Gimana ya? Aduh.. gue bingung. Ada pertanyaan lain nggak? Lo nggak kesini cuma buat niat nanyain gue hal ini kan??" tanya Prilly tertawa kecil.
Gibran tidak membalas dengan tawa. Dia memberikan ekspresi super serius menanti jawaban Prilly sampai Prilly kikuk sendiri.
"Oh oke, berarti lo memang niat nanyain gue hal ini."
"Memang," jawab Gibran singkat.
"Buat apa? Siapa yang nyuruh?"
"Gue yang nyuruh,"
Prilly berhenti berjalan. Dia memastikan jawaban Gibran dengan menatapnya lekat.
"Gue lagi nggak pengen becanda," Prilly memilih pergi dan kembali berjogging.
Gibran menarik napas dalam-dalam.
"Pacaran yuk, Pril!" Serunya sampai beberapa orang yang sedang jogging di sekitar mereka menoleh cepat. Prilly berhenti. Dia berbalik badan.
"Ha?"
"Kita pacaran. Mau gak?" Gibran berusaha setengah mati menyembunyikan perasaan gugupnya.
Prilly menghampiri Gibran. Lalu memegang jidatnya. "Lo nggak lagi sakit kan?"
"Gue serius. Gue serius ajak lo pacaran. Minta lo jadi cewek gue. Lo belum jadian kan sama Al? Berarti gue punya kesempatan kan untuk jadi pacar lo?"
Prilly memasang tampang tidak percaya. Mata dia menari kemana-mana.
'Ada angin apa sih Gibran tiba-tiba ngomong kayak gini?'
"Lo ngelantur ya? Selama ini lo nggak pernah kasih kode atau hal yang menunjukkan lo suka gue dan sekarang lo minta gue jadi pacar lo?"
"Iya."
"Gibs, kita ini satu SMA lho. Kasih perhatian lebih ke gue aja nggak. Udah ah, lo jangan ngawur," ucap Prilly yang berniat kembali berjogging.
"Pril, tunggu. Gue serius. Oke, gue akui gue salah dan bodoh karena selama ini gue menyimpan rapi perasaan gue ke elo. Gue takut lo gak suka sama gue. Tapi sekarang gue memutuskan memberanikan diri gue untuk meminta lo jadi cewek gue. Bukan cewek Al. Gue nggak bisa lihat lo sama dia,"
"Kenapa?" Prilly penasaran.
"..."
"Lo kan temannya, harusnya lo bisa kasih info yang baik tentang dia ke gue kan?"
"Justru karena gue teman Al dan gue tahu banget dia. Gue nggak rela kalau lo pacaran sama dia. Al gak cukup baik buat lo, Pril. Lo nggak akan bisa nyambung dengan dunia dia. Percaya sama gue. Apa lo akan bisa sanggup dengan kehidupan dia yang sering keluar kota untuk motret travel atau pas dia lagi ada job motret event di klub? Atau motret model-model cantik? Sedangkan elo yang seorang guru yang jauh berbeda timpang banget sama dunianya Al?"
Prilly menelan ludahnya. Kata-kata Gibran tidak sepenuhnya salah. Walaupun yang sedang dia lakukan sekarang menunjukkan bahwa dia teman yang brengsek. Gibran banyak betulnya malah.
"Lo tahu mantan-mantannya Al kan? Lo nggak sebanding sama mereka,"
"Maksud lo??"
"Eh sorry, sorry maksud gue justru baik, elo ini nggak bisa dibandingkan sama mereka. You're too good to be true, Prilly. Sayang banget kalau wanita kayak elo bersanding dengan Al, harusnya mutiara yang tidak tersentuh seperti itu bukan untuk Al....."
Prilly menyeletuk.
"Gibran, dengar, gue berterima kasih banget atas semua pengakuan lo, tapi saat ini gue lagi nggak mau mikirin cinta, mikirin hati, perasaan atau apapun itu. Bukan Al atau bukan elo. Kalaupun lo bertanya tentang hubungan gue dan Al, biarlah gue yang merasakan. Gue bukannya belain Al, tapi... biarlah semua resiko tentang siapapun nanti yang gue pilih itu gue yang nanggung," jawab Prilly.
Gibran tak lagi menjawab pernyataan Prilly. Dia pasrah kalau pernyataannya hari ini tidak menghasilkan apa-apa.
"Harusnya sesekali lo ajak gue jalan. Atau lebih sering menghubungi gue. Mungkin gue bisa lebih aware sama perasaan lo," lanjut Prilly lagi. Dia lalu kembali jogging dan pergi meninggalkan Gibran yang hanya terpaku menatap kepergian Prilly.
"Ini kopinya," ujar Gibran menyodorkan segelas hot cappucino untuk Prilly hingga membuat si cantik yang sedang melamun itu setengah tersentak atas kehadiran Gibran. Dia sampai lupa nitip minuman pada Gibran.
"Oh. Iya.. terima kasih," Prilly menerima kopi itu.
"Melamun lagi?" Tanya Gibran sambil mengambil duduk tepat di samping Prilly.
"Nggak kok, cuma lagi menikmati pemandangan aja,"
"Oh gitu..."
"...."
"Hm.. kita sudah tiga hari disini, apa nggak ada niatan buat pulang, Pril? Lo mau sampai kapan di sini?"
"Gue nggak pernah minta lo untuk ikut," jawab Prilly ketus.
Gibran menghela napas, dia harus rela menerima kenyataan bahwa selama berada di Singapore bersama Prilly, begitulah sikap yang dia terima dari Prilly. Ketus dan datar. Dia memang harus ikhlas bahwa usaha dia menemani Prilly ke negara singa ini bukanlah usaha yang membuahkan hasil positif.
"Sorry,"
"Kenapa lo minta maaf?"
"Ya... gue tahu dan sadar diri kalau menemani elo kesini adalah keinginan gue yang setengah memaksa. Tapi gue juga sangat sadar kenapa lo akhirnya menerima permintaan gue?"
Prilly melirik Gibran.
"Semua karena Al, ya kan? Lo mau bikin panas dia? Lo pengen tahu sejauh mana Al akan memperjuangkan elo, ya kan?"
Prilly tidak menampik perkataan Gibran. "Kalau memang lo mikirnya seperti itu, terus kenapa lo masih di sini? Lo udah bisa pulang kapan pun kan?"
Tawa kecil keluar dari bibir Gibran. "It's okay, mungkin terdengar aneh, tapi gue justru merasa senang bisa membuat Al panas. Gue senang bisa membantu elo,"
Prilly merapikan rambutnya yang terkena angin. "Gibran," katanya.
"Hmm?"
"Gue sangat-sangat berterima kasih karena lo udah menemani gue selama di sini. Tapi lo tahu kan kalau hal ini bukan berarti gue...,"
"Paham," Gibran mengangguk meski dalam hatinya kecewa.
Mereka saling terdiam. "Kenapa sih? Kenapa lo musti datang dengan cara seperti ini?"
"Memang salah gue..., gue baru memberanikan diri ketika teman gue sudah selangkah lebih maju mendekati elo, gue seperti kebakaran jenggot," jawab Gibran. Pria berlesung pipi itu melepas kacamata hitamnya. "Ya sudahlah... jangan jadikan ini pikiran buat elo. Gue harap lo masih membiarkan gue melakukan hal ini untuk lo, menemani elo disini sampai elo siap balik ke Indonesia. Boleh kan?"
Prilly mengangguk. "Mungkin kita pulang dua hari lagi, itu juga karena ada jadwal wawancara beasiswa yang kemarin gue mohon untuk ikut gelombang selanjutnya,"
"Pril, kalau lo lulus, lo ke Denmark kan? Bukannya Al juga ke sana?"
"Iya,"
"Apa salah satu alasan lo memilih Denmark biar bisa dekat dengan Al?"
"Hmm... daripada kita ngobrolin Al, gimana kalau kita jalan-jalan aja? Kita belum ke Sentosa kan?" ajak Prilly.
"Oke deh, yuk,"
--
"SINGAAPOOOOREEEE HERE I AAAAMMM!!" teriak Ricky sekuat tenaga sambil membentangkan kedua tangannya begitu berada di luar Bandara Changi.
"Heh, norak amat sih lu! Diliatin orang-orang, tau!" Andoy menoyor kepala Ricky.
"Ih, suka-suka gue dong! Lagian yaa.. kita ke Singapore ini udah kayak lagi grup vacation! Ada elo dan ada Iqbaal. Kalau Iqbaal sih nggak apa-apa, tapi elu??" Ricky melengos judes pada Andoy.
"Sembarangan! Ada juga elu yang ngapain ikut!?"
"Gue kan temannya Prilly, week! Elu siapa?"
"Temannya Al, ape lo?"
"Eh eh udah! Lo berdua pada berisik banget, mendingan sekarang kita pikirin mau kemana, musti mulai cari Prilly dimana? Gue ajak Iqbaal karena dia pernah magang di Singapore selama sebulan, jadi minimal dia lebih paham lokasi dari pada lo berdua. Gue butuh Andoy karena dia sahabat gue. Dan elo sahabat Prilly, oke? Jadi sssstt," ujar Al.
Al tampak sangat menawan dengan jeans biru, kaos warna putih bertuliskan s.e.(n).i.m.a.n, sepatu keds warna biru dan kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung bertahi lalat itu. Sedangkan adiknya, Iqbaal tidak kalah keren dengan sepatu keds warna putih, jeans hitam, kaos polos warna putih, kacamata Ray-ban warna silver serta snapback hat yang dipakai terbalik.
"Sebentar, kita wefie dulu," Ricky mengeluarkan tongsisnya. "Cheerrss"
CKREK. Tidak ada yang tersenyum kecuali Ricky. "Huh! Pada sok cool semua! Sebeeeell!"
Al tersenyum geli melihat sahabatnya Prilly tersebut.
"Hmm.., mendingan kita cari makan dulu yuk, kita ke daerah Orchard aja, dari situ kita kan bisa jalan kemana-mana," ajak Iqbaal.
"Okee, naik taksii kaan?" tanya Ricky.
"MRT lah, taksi mahal kali," jawab Iqbaal santai.
"Tapi kan jalannyaa itu lhooo, capek kali Baal!"
"Biarin, biar perut Kak Ricky kempes!"
Andoy dan Al tertawa.
"Huh, gak sopan," Ricky ngedumel sambil memainkan hp-nya. Dia barusan memposting hasil foto mereka ber-4 di Instagram dengan location : Changi Singapore. Caption : On the way to Orchard!
Di tempat lain, Prilly yang sedang menunggu Gibran membeli cemilan langsung tersenyum puas kala melihat postingan terbaru dari sahabatnya itu.
***
"Sudah empat hotel backpackers di Orchard ini kita datangi, nggak ada yang check in atas nama Prilly atau Gibran. Gue benar-benar blank musti gimana. Well sebenarnya gue benar-benar nggak tahu gue ngapain di sini. Gue ke sini cuma berharap bisa ketemu Prilly di antara ratusan ribu manusia di sini yang lalu lalang dengan cepat, berharap gue bisa menemukan wajah dia di salah satu kerumunan orang-orang. Ya coba sekarang lo semua bayangin, pikirkan. I have no clue at all dimana Prilly. Gue cuma tahu dia di Singapore. Udah! Dia bisa aja sekarang lagi nongkrong di restoran, atau lagi tiduran di hotel atau lagi wisata ke Chinatown, Little India, Sentosa, Universal, apapun lah!" Al melempar tangan kosongnya. Lelah. Setengah frustasi.
Iqbaal, Ricky, dan Andoy melihatnya dengan tatapan prihatin.
"Prilllyyy! Benar-benar deh ngerjain gue banget! Mana perginya sama Gibran pula! Arrrgghh!"
"Bro, tenangkan diri lo dulu. Kita coba berpikir lagi. Bahkan kalau perlu kita berpencar ke tempat-tempat yang kiranya Prilly akan datangi, tempat-tempat umum yang sering dikunjungi orang di sini, kan ada Iqbaal. Lagian di sini kan cenderung aman, kita nyari sampai dini hari pun buat gue nggak masalah. Yang penting ada titik terang," ujar Andoy.
Andoy. Oh Andoy. Dia benar-benar tulus menjadi seorang sahabat bagi Al. Al menepuk bahu Andoy. "Thanks, Ndoy,"
"Iya kak, baru juga setengah hari, masih sore kok, kita teruskan mencari. Benar kata Kak Andoy, mendingan kita berpencar, kita kasih batas waktu sampai jam dua malam nanti, baru deh kita kumpul di hotel tempat kita nginep,"
"Thanks, adik gue.., tapi kakak masih bingung, kita mulai dari mana? Hotel di sini kan banyak banget, Prilly dan Gibran ada dimana?"
"Pokoknya jangan nyerah dulu kak, baru deh kalau hasil kita nihil hari ini, kita pikirkan lagi harus gimana, oke?" ujar Iqbaal.
"Oke lah," Al mengangguk-angguk.
"Tapi kalau jam dua malam, nggak takut ada kuntilanak atau begal nek?" tanya Ricky.
"Elo tuh yang gue begal!" Andoy gemas sendiri.
"Aaa... Al..., Andoy tuuuh,"
Al hanya geleng-geleng kepala.
"Eh, sebentar. Kak Prilly online nih, dia barusan update status," ujar Iqbaal. Tanpa mikir lagi, Al langsung merebut handphone Iqbaal. Ke-4 manusia itu saling berdempetan ingin melihat isi layar handphone milik Iqbaal.
"Status Path, gambar, what a nice view from here," Al mengucapkan ulang status Prilly.
"Itu dimana, Bal?" tanya Andoy.
"Sebentar, ini ada patung merlion, kayaknya dia lagi di Sentosa deh, mau siap-siap nonton dancing fountain,"
"Pinter! Ya udah kita kesana sekarang juga!"
"Eh tapi kok tumben-tumbenan banget si Prilly sekarang update status setelah sekian lama dia nggak update pas menghilang itu, dia kayak kasih kode, Al. Jangan-jangan dia tahu kita disini, dan ini kayak permainan dari dia. Ya nggak sih?" Andoy berlagak detektif. Pelan-pelan dia melirik Ricky. Disusul Al dan Iqbaal yang juga menatap curiga pada Ricky.
"Kok lo semua pada ngeliatin gue begitu sih? Sueerr gue nggak kasih tahu Prilly kalau kita lagi di Singapore kok. Eeehh.. tapi tadi gue update foto di instagram sih abis kita wefie di bandara. Apa gara-gara itu ya dia jadi tahu?" Ricky berpikir keras sambil mengetuk-ngetuk telunjuk pada hidungnya.
"Dan dia menguji gue dengan memberikan teka-teki dimana dia berada. Oke lah, tantangan gue terima, siapa takut." Al menyunggingkan senyum kemenangan di bibirnya. "Kalau gitu lo sekarang upload foto lagi, lo foto gue ceritanya lagi candid. Muka orang kecapekan, kebingungan, trus lo upload bilang pemandangannya bagus,"
"Hee? Elu maksudnya pemandangannya bagus?" tanya Ricky.
"Tapi benar kan?" Al tersenyum.
"Hiih, dasar lu Al.. ya deh untung lo beneran cakep, cakep ngakuin cakep sih gue rela. Asal jangan si Andoy aja yang minta caption kayak begitu. Ya udah, sana lo ama Iqbaal foto,"
"Kok mereka berdua doang?" Andoy protes.
"Kalau ada elo blur, Ndoy,"
"Woooouuh, minta dikempesin nih anak!"
Setelah mengambil gambar dengan pose Al dan Iqbaal yang terlihat sangat kelelahan. Dan ya, tanpa Andoy di dalam frame. Ricky langsung mengupload foto tersebut ke Instagram. Dengan caption : Pemandangan yang bagus. Kasian capek. Tapi nggak akan lelah demi sesuatu, Sentosaa we're comiiing.
***
Sudah 8 hari nggak update. Maapin author ya.. author kemaren seminggu full abis nguli di lapangan ampe item kulit author butuh sentuhan salon. LOL
mudah-mudahan part ini bisa mengobati kerinduan *sah elaah*
Sebetulnya Author masih harus nguli lagi minggu ini, tapi Inshaa Allah pelan-pelan dilanjutkan. Semangat!!
Vote comment kalian sangat berartih ya pemirsah
Happy reading, ciaao!
Ps. ada yang tahu kenapa novel Dilan hilang dari reading list saya ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top