Kali Pertama
Sudah 2 hari semenjak Al dapat kabar dari Andoy alias Andika, sahabatnya, tentang status Tatjana yang ternyata sudah memiliki kekasih. Al masih belum memutuskan harus bagaimana dengan perasaannya. Satu sisi dia berharap semua berita itu bohong tapi di sisi lain, berita itu juga seakan menjawab sikap Tatjana yang tidak jelas pada Al.
Ah, Al mungkin hanya butuh waktu cooling down, berpikir jernih. Lagipula sudah 2 hari belakangan ini dia pun sedang dipusingkan dengan kegiatan lain. Latihan bulu tangkis, persiapan kebutuhan beasiswa S2 dan klien fotografinya. Contohnya saja hari ini, Al ada janji dengan 3 klien. Dia akan memotret kuliner untuk kebutuhan promosi sebuah restoran, siang menjelang sore dia akan memotret pre wedding di Kota Tua dan menjelang tengah malam dia diminta menjadi fotografer acara ajojing.
Seabreg kesibukan tersebut membuat Al merasa sedikit tertolong, dia bisa mengalihkan pikirannya dari Tatjana sejenak. Dia sendiri sudah bertekad untuk menyelesaikannya. Entah caranya bagaimana. Entah kapan. Tapi pasti.
Al memang bukanlah pria yang diidamkan oleh Tatjana. Mungkin memang Al tidak sedewasa pria yang menjadi pendamping Tatjana sekarang. Bukan orang penting, bukan seorang artis seperti yang diinfokan oleh Andoy. Al hanya seorang fotografer dan atlet dengan muka ganteng yang membuat dia juga diminati para wanita. Mungkin Tata memandang sebelah mata akan kehidupan Al yang dinilai kekanak-kanakan, cuek dan belum jelas masa depannya. Tapi di dalam diri Al tersimpan segudang impian yang dia sendiri sudah berjanji akan memenuhinya. Apa yang sedang ia jalani sekarang merupakan sebuah proses kan?
Tiba-tiba Al teringat sebuah quote "the best revenge is when you can prove and show to the world what are you capable of".
"One day, Tata akan berpikir ulang dan menyesal sudah berbuat seperti ke gue.." Al bicara sendiri.
"Eh tapi kan gue juga belum tahu alasan dia begini kenapa. Gue musti tahu apa alasan dia, gue nggak boleh suuzon dulu," Al buru-buru menepis rasa kesalnya.
Hhh. Dasar pria baik!
Al mengambil tasnya dan kembali berkaca untuk mengecek penampilan dia sebelum berangkat. Pria dengan hidung bangir dan mata coklat tersebut merapikan rambut skin head sampingnya yang membuat dia tampak lebih segar. Dia menyemprotkan parfum di sekujur tubuh dan mengecek wanginya dengan mencium kedua ketek.
"Oke. Sip!" Al pun keluar kamar dan menuju ke bawah. "Ibu?! Buu?!" Panggil Al setengah berteriak mencari Ibu. Dia membuka tudung saji dan melihat nasi goreng sosis dan roti gandum sebagai menu sarapan.
"Bu?! Bapak?! Iqbaal?! Sierra?!" Panggil Al lagi. Tak ada yang menyahut. "Pada kemana sih?"
"Bisa kaan panggilnya gak pake teriak-teriak segala?? Kan bisa dicari dulu orangnya baru dipanggil," Ibu datang dari dapur dan menegur anak sulungnya itu. Ia membawa sepiring telor ceplok. "Kebiasaan deh kamu ini, ini bukan hutan lho!" Ibu menjewer pelan Al.
"Aduduuh... yaa maaf buu..hehe. Habis sepi banget, pada kemana sih Bu?"
"Sudah pada jalan,"
"Lho, kok Al ditinggal??"
"Ya kamu paling susah dibangunin. Sudah berapa kali Ibu bangunin kamu, malah tarik selimut. Nanti kalau beasiswanya jadi terus tinggalnya berjauhan dari Ibu gimana coba? Bisa telat melulu kamu. Terus kamu telat gak sekarang?"
Al melihat jam tangannya. "Nggak sih, masih aman, masih jam setengah tujuh. Kok tumben pada berangkat pagi-pagi banget?"
"Bapak ada meeting pagi-pagi, Sierra ada try out di sekolahnya, sedangkan Iqbaal ada UTS pagi-pagi juga. Kalau kamu ada apa?"
"Aku? Di hati aku ada Ibu..," jawab Al sambil nyengir.
"Halaah, ada Ibu apa Tatjana?"
Raut muka Al sedikit berubah kala Ibu mengangkat tema Tatjana. Al tersenyum maksa. "Gimana kamu sama dia? Kok Ibu perhatikan sudah lama kayaknya kamu nggak jalan sama dia,"
"Baik-baik aja kok," Al mengambil sepotong roti gandum. "Hmm... Al berangkat sekarang aja deh,"
Ibu menaikkan alisnya. "Lho, katanya tadi masih aman?"
"Takut macet,"
"Bukan karena takut membahas Tatjana kan?" Ibu seakan-akan mengerti apa yang sedang terjadi pada Al.
"Nggak kok. Sama sekali nggak. Tenang aja, Ibu nggak usah jealous gitu, di hati Al ini," Al menunjuk dadanya. "Cuman ada 1 wanita, my birthgiver, Ibu," ucap Al yang lalu mengecup kening Ibu. Ah, anak itu memang paling bisa membuat hati Ibu berbunga-bunga.
"Ya udah deeehh kalau nggak mau cerita...," Ibu yang sebenarnya memancing Al untuk bercerita akhirnya mengalah lantaran melihat putranya tersebut sepertinya sedang butuh waktu berpikir.
"Kamu mau naik apa? Ojek atau taksi?"
"Ya motorku dong, Bu,"
"Lho, memangnya kamu belum tahu?" tanya Ibu ikut mengantarkan Al yang bersiap-siap berangkat.
"Apa?"
"Ban motor kempes, udah dari sore kemarin,"
"Haa?? Bekas dipakai siapa?"
"Iqbaal kemarin pergi sebentar ke warung depan, pulang-pulang kempes,"
"Lho, kenapa nggak langsung ditambal? Kan itu motor aku sering aku pakai,"
"Niatnya hari ini, sudah jangan emosi gitu, Iqbaal buru-buru juga tadi,"
Al menepok jidatnya sambil berkacak pinggang dia meratapi motornya yang hanya bisa nangkring di garasi. Tidak bisa dipakai.
"Mobil yang satu lagi dipakai nggak?" tunjuk Al ke mobil city car berwarna merah milik Ibu.
"Err..., nanti rencananya Ibu mau pergi, Nak. Maaf ya...," Ibu menyeringai pada anaknya.
"Haduuh, bagaimana ini," Al mengecek-ngecek aplikasi di HPnya. Langit pagi ini sih memang cerah tapi sayangnya nggak secerah fasilitas transportasi buat Al. "Ya udah deh aku pesan ojek dulu,"
Tiba-tiba terdengar suara cempreng dari kejauhan menyapa Al dan Ibu yang sedang berada di teras depan rumah. "Pagii Tantee... Pagi Aaaaalll!" sapa seorang wanita dengan setelan jaket kulit, masker dan helm bersiap untuk berangkat aktivitas. Dia menghentikan motor maticnya tepat di depan rumah Al.
Al menoleh dengan cepat. Mencoba menerka siapa gerangan di balik masker itu. Begitu juga dengan Ibu. Wanita itu membuka maskernya. "Eh sampai lupa buka masker. Ini Prilly!" Prilly membuka maskernya.
"Eeehh.. Nak Piyiii, selamat pagi juga..., kamu mau kemana?"
"Biasa..mau kerja," jawab Prilly. Saat ini dia memang sedang kerja di sebuah bimbingan belajar. Mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris untuk pelajar SD sampai SMA. Dia memang belum berniat mencari pekerjaan dengan komitmen yang serius karena dia berniat melanjutkan S2 dengan upaya beasiswa.
Al menatap Prilly dalam-dalam. Dia mengerenyitkan kening kemudian menggigit bibir lalu mengetuk-ngetukkan jari telunjuk ke bibirnya. "Hmm,"
"Ngapain sih ni orang?" Prilly bertanya-tanya dalam hati.
"Ya udah ya Tante, Prilly berangkat dulu. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam,"
Belum juga ngegas, Al sudah menghadang jalan Prilly. Dia berdiri tepat di depan motor. "Eh, tunggu, tunggu. Lo mau ke arah mana, Pril?"
"Ke Tebet,"
"Nah! Pas kalau gitu, gue nebeng lo aja. Minggir, biar gue yang nyetir," tanpa basa-basi lagi, Al meminta Prilly untuk turun. "Eh iya, lupa helem. Sebentar," Al mengambil helem dari dalam garasi. Prilly masih terbengong. Pun begitu dia tetap nurut sama apa yang diminta Al.
"Eh tunggu, tunggu, gue kan belum bilang boleh,"
"Ya nggak mungkin lah lo nggak bolehin, siapa tahu orang-orang pada berdecak kagum nyangkain lo punya pacar secakep gue, ya kan??"
"Idiih, pede amat. Yang ada ngejatuhin pasaran gue kali!"
"Dibolehin nggak nih?" Al bertanya dengan posisi siap menyetir, menunggu Prilly naik diboncengnya.
"Eh tapi kan gue mau ngajar, Al. Gimana caranya coba? Bisa telat!"
"Nggak akan, nih nanti lo turunin gue di tempat janjian gue. Terus kalau lo udah beres ngajar nanti jemput gue lagi,"
"Lah, dikata ojek apa? Enak aja!"
Al terkekeh. Ibu hanya senyam-senyum melihatnya, "Ya udah maunya gimana? Emang lo mau kemana aja sih?"
"Ngajar doang,"
"Sampai jam berapa?"
"Siang, jam sebelasan,"
"Abis itu kemana lagi?"
"Nggak kemana-mana" jawab Prilly menggeleng.
"Naahh!! Cocok deh! Pas! Kalau gitu lo sekalian temenin gue beraktivitas hari ini!" seru Al. "Ayo naik!"
"Mau kemana aja emang?"
"Ya udah naik dulu, nanti kita telat,"
Tanpa membantah lagi, Prilly pun naik ke atas motor. Duduk tepat dibelakang Al. Tangannya tak berani menyentuh Al, dia malah memegang besi di belakang jok motor.
"Lo nggak pegangan?"
"Udah nih,"
Al menengok Prilly yang sedang mengenggam erat besi tersebut.
"Emang besinya lebih aman daripada lo pegangan sama gue ya?"
"Kayaknya sih begitu,"
"Ini sih sama aja lo anggap gue tukang ojek, Piyii! Sini pegangan ke pinggang gue!" perintah Al.
"Nggak mau!"
Al menarik tangan Prilly dan mengikatkannya di lingkar pinggang Al. "Udah sih, nggak usah sok-sokan nggak enak. Lebih baik pegangan sama gue. Prinsip naik motor itu kan kebersamaan, ngerem sama-sama, melaju sama-sama. Jatuh pun sama-sama. Kalau terjadi apa-apa kan lo bisa berpegangan sama gue, menggantungkan hidup ke gue, sebagai supir penjaga penumpang, yaitu elo," ujar Al sambil tersenyum dan mengerlingkan matanya.
"Ih gemes amat sih nih cowok!" ucap Prilly dalam batin.
Tapi apa yang dikeluarkan mulut Prilly berbeda jauh dari di pikirannya. "Dasar wewe Gombal! Pantesan aja ceweknya banyak!"
"Eh sorry ya, gue baru pacaran empat kali ya! Emang lo nggak?"
"Ah cuman selisih satu. Udah ah jalan! kenapa jadi ngomongin mantan sih?"
"Hahahaha, nah elooo duluan yang mulai,"
"Ckckck! Kalian ini bukannya jalan malah berdebat, sudah sana jalan nanti telat!" seru Ibu.
"Ya udah kita jalan. Bu, berangkat ya! Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam,"
Prilly melambaikan tangan pada Ibun. Motor yang membawa mereka pun melaju. "Pril!"
"Hmmm??"
"Motor gue yang bawa aja boleh nggak? Nanti lo gue jemput, gimana?"
Bukannya menjawab, Prilly sedang serius menikmati harumnya badan Al yang berhembus melalui angin menuju hidungnya. Ini kali pertama selama kenal dengan Al, dia mempunyai momen seperti ini. Seyogyanya si kontrol hati dan perasaan yang selama ini berhasil Prilly lakukan. Mendadak sedikit goyah. Gawat ini namanya!
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top