A Mission

Prilly memandangi layar handphonenya. Galau mau mengirimkan sebuah pesan whatsapp pada seorang pria yang tadi pagi mendapati dirinya sedang bersikap perhatian. Belum lagi kejadian kemarin, situasinya jadi semakin bikin aneh. Tapi rasa penasaran Prilly mengalahkan semua egonya. Dia harus melakukan hal ini sekarang juga.

Dia mulai mengetik dengan kedua jempolnya.

"Al Ghazali,"

Sent.

Hanya ada lambang 2 centang di samping teks yang dia kirimkan barusan. Belum berubah warna menjadi warna hijau. 5 menit dia menunggu dengan setia. Tak lama notifikasi hp miliknya berbunyi. Buru-buru dia membacanya.

"Ya, Prilly?"

"Lagi ngapain lo?"

"Lagi balas whatsapp elo, ada apa? Baru juga tadi pagi ketemu, udah kangen lagi??"

"Nggak lucu."

"Kenapa?"

"Serius, lo lagi ngapain? Sibuk nggak?"

"Gak juga sih, ada apa?"

"Kalau nggak sibuk, mau ajak ketemuan, bs ga?"

Tak dibalas. Al malah langsung menelepon. "Halo," ucap Prilly.

"Ckckck neeng..habis pulsa lo ya pasti cuma nyisa paket internet aja,"

"Kok tahu?" Prilly jadi malu sendiri.

"Biasanya kalau penting ya telepon. Gue nggak bisa balas lagi, gue lagi nyetir jadi mending gue telepon. Ada apa lo ngajak ketemuan? Bukannya lo hari ini full ngajar?" Tanya Al lalu mengecek jam tangannya. Pukul 3 sore.

"Udah beres, tapi gue masih di kantor nih lagi duduk duduk aja di luar. Lo jadi ke rumah sakit?"

"Jadi, ini udah pulang dari rumah sakit,"

"Sama siapa?"

"Mau tahu banget kayaknya,"

"Please deh, Al"

"Hahahahaha..." Al merasa senang menggoda Prilly.

"Ya udah kan gue cuma nanya doang. Kalo lo bisa ketemuan sekarang kita janjian di satu tempat. Tapi kalo lo lagi sama ehem ehem lo atau koleksi wanita lo ya udah besok lagi aja," ketus Prilly.

"Cie.. dari nadanya kok kayak mancing pengen tahu gue lagi sama siapa ya?"

"Al, asli ini telepon gue tutup juga nih!"

"Hehe. Gue sendirian, ya udah kalau gitu, sekarang gue bisa kok, nggak ada acara apa-apa lagi. Kalau besok gue nggak bisa. Hmm..bisa sih tapi agak siang karena paginya gue ada job motret di studio langganan. Moto prewed teman,"

"Siapa?" Prilly langsung menyesal bertanya. Dia baru ngeh pertanyaannya sangat mengandung unsur posesif.

Al yang mendengarnya di seberang sana langsung tersenyum lebar. "Ini kepo atau posesif?"

"Ah sudah lupakan, ya udah ketemu dimana nih?"

"Di depan mata," ujar Al yang lalu memberikan klakson kencang dan berkali-kali sampai Prilly terlonjak dari duduknya lantaran terdengar jelas dan nyaring di telinga Prilly, karena klakson itu bukan hanya terdengar dari speaker handphonenya tapi juga di depan dia.

"Semprul!!" maki Prilly. Prilly langsung mematikan sambungan hp dengan Al dan menghampirinya. "Al! Berisik tau! Malu kan kalau kedengaran murid-murid gue...,"

"Hehe,"

"Kok lo ada di sekitaran sini? Jangan-jangan lo lagi stalkerin gue ya? Kan rumah sakit dekat rumah agak jauh ke sini, jalurnya beda," Prilly bertanya sambil menaikkan alisnya.

Alih-alih menjawab, Al malah meminta Prilly untuk segera masuk ke dalam mobil.

"Lha? Gue kan bawa motor, bagaimana caranya gue ikut? Motor gue gimana?"

"Ya motor lo tinggalin aja di sini, lo titip sama satpam sini, suruh masukkin ke dalam," Al menjawab dari dalam sambil menongolkan kepala ke luar kaca jendela mobil.

"Yee, enak aja lo ngomong, nggak mau ah. Itu hadiah dari almarhum bokap, tau!"

"Ssst, ya udah nggak usah galak-galak kenapa sih?" Al mematikan mesin mobilnya kemudian turun dari mobil. "Terus gimana?"

"Nggak tahu, lagian elo ngapain sih bawa mobil segala?"

"Ya kan gue abis pergi, wajar dong bawa mobil. Ya udah sekarang begini aja..., gue telepon Pak Ginyo dulu biar Pak Ginyo ke sini ambil motor lo, gimana? Lebih tenang nggak hati lo?"

Prilly menggigit-gigit bibirnya. "Ya udah kalau gitu gue setuju,"

"Meanwhile, lo masuk dulu ke mobil, cuaca lagi panas banget, jangan sampe lo pingsan gara-gara dehidrasi," Al membukakan pintu mobil untuk Prilly.

"Sebentar, gue titip kunci motornya dulu ke resepsionis," Prilly kembali masuk ke dalam tempat les. Di dalam sana terlihat oleh Al kalau Prilly sepertinya banyak diidolakan oleh murid-muridnya, terutama kaum adam, terbukti dari sapaan dan ajakan ngobrol mereka pada Prilly sampai harus membuat Al menunggu selama 15 menit.

"Daaahh kak Prilly! Hati-hati di jalan yaa!" Ujar salah satu murid cowok yang diikuti sorak centil oleh para anggota geng di belakangnya.

Prilly membalasnya dengan lambaian tangan.

"Lamaaa beneer" Al berucap malas.

"Nggak usah sirik gitu, mereka itu tim sayang Prilly," ujar Prilly, dia lalu masuk ke dalam mobil meninggalkan Al yang masih memandangi murid-murid ganjen tersebut.

"Heh, ayoo. Lo ngapain lagi sih?"

Ada sedikit perasaan cemburu tatkala melihat kejadian barusan. Ternyata Prilly jadi guru idola di sana. Bukan hanya diidolakan anak-anak SD tapi sampai ke anak SMA yang lagi puber pun dia disukai.

Al memundurkan mobil dan keluar dari parkiran. "Terkenal banget ya lo di kalangan murid," celetuk Al.

Prilly tertawa. "Fans besar Prilly itu..gak punya ya lo? Makanya siriik,"

"Eh enak aja gue gak sirik kok, gue juga punya fans besar Al,"

"Terserah elo deh, Al,"

"Kita kemana nih?"

"Hmm.. kita ke Hotel Bidakara, Al,"

"Wih lo mau ngapain gue pake dibawa bawa ke hotel??"

Prilly melengos. "Lo mau gue training! Udah gak usah banyak tanya pokoknya kita ke sana,"

"Ada masalah apa sih, Pril? Sampe lo ngajak gue ketemuan. Tentang apa?"

"Nanti aja kalau udah sampai,"

"Nggak apa-apa juga kali lo cerita sekarang, Jakarta kan macet. Walaupun gue senang juga macet kan jadi bisa...,"

Al dan Prilly sama-sama menoleh. "Eh maksud gue jadi bisa ngobrolin ini gitu, ngobrolin yang elo mau obrolin," Al berusaha ngeles dari alasan sebenarnya yaitu dia bisa berlama-lama menikmati pemandangan indah yang duduk di sampingnya.

Prilly berdehem. "Tadi pagi gue menemukan berkas lain di dalam berkas yang buat ke Denmark itu, punya Kim,"

"Berkas apa?"

"Perjanjian dengan hotel, tentang sewa meeting room untuk wedding event,"

"Wedding event? Siapa yang mau nikah?"

"Justru itu yang gue harus cari tahu, atau.. lo sudah tahu?"

Al menggeleng.

"Beneran nggak bohong??"

"Sumpah, gue baru tahu dari elo barusan ini,"

Prilly menghela napas. "Perasaan gue nggak enak aja..., daritadi gue kepikiran,"

"Lo nggak tanya Kim?"

"Nggak, gue mau cari tahu sendiri dulu. Dimulai dari datang ke hotel itu, gue ajak lo karena... karena lo teman dekat Kim, tadinya gue pikir lo tahu mengenai ini..., tapi dengar jawaban lo barusan... gue makin kepikiran,"

"Emangnya apa yang ada di pikiran lo, hm?"

"Banyak...," Prilly memainkan rambutnya. "Nggak tau lah,"

"Ya udah, sabar aja dulu ya, lo yang tenang, kan ada gue,"

"Pret,"

"Eh, gue turunin sekarang juga nih,"

"Coba kalau berani??" Prilly menantang.

"Urgh! Dasar anak kecil!" Al meremas gemas seluruh muka Prilly dengan tangan kirinya.

"Aduh, Al. Makeup gue!"

---

Begitu sampai di hotel yang dituju, Prilly dan Al langsung disambut oleh seorang wanita dengan pakaian formal berwarna hitam, lengkap dengan blazer dan kemeja putih, sepatu berhak tinggi serta rambut yang dia cepol modern.

"Halo, saya dengan Endah. Bagaimana Mba dan Masnya? Ada yang bisa saya bantu?"

"Begini Mba, maksud kedatangan kami ke sini untuk...," Al mulai menjawab.

"Eng.. ini Mba, kenalkan saya Prilly, ini calon suami saya, Al. Kami rencananya mau menikah bulan depan, jadi kami ke sini mau cari tanggal kosong untuk pemakaian gedung, bisa dibantu nggak, Mba?" Prilly memotong ucapan Al. Al yang sedang tanggung bicara akhirnya menahan kata-kata dengan menelan ludah.

"Oh begitu, bisa sekali kok, Mba. Kalau gitu kita ke ruangan saya saja, sekalian saya cek untuk tanggal kosong, mari," Mba Endah mempersilakan Al dan Prilly untuk mengikutinya. Dengan gaya canggung mereka pun berjalan di belakang Mba Endah. Melihat muka Prilly yang sedikit tegang, Al langsung menarik tangannya dan menyisipkan jari-jarinya ke sela jari milik Prilly. Prilly kaget melihatnya.

"Al, jangan memanfaatkan situasi ya!" bisik Prilly.

"Kan gue calon suami lo. Lo mau gue gandeng apa nggak? Kalau nggak ya udah gue lepas lagi...,"

Prilly akhirnya mengalah dan membiarkan pria ganteng itu menggandengnya. Toh dia memang sedang merasa butuh ditemani, digandeng, dan ditenangkan hatinya saat itu.

"Kalau boleh tahu, tanggal pastinya kapan ya, Mba?" tanya Mba Endah mengecek laptopnya. Mereka kini sudah berada di ruang mungil nan sejuk milik Mba Endah.

Al melirik Prilly.

"Errh..., tanggal.., yang kosong tanggal berapa ya?"

"Mostly weekdays, Mba. Dan maaf banget untuk bulan depan, kami sudah full di tiap weekend," jawab Mba Endah.

Prilly menyebutkan setiap tanggal di hari weekend dan Mba Endah selalu menggeleng. "Aduh maaf banget, Mba Prilly dan Mas Al, saya tidak bisa bantu banyak,"

"Sudah DP semua?" tanya Al.

"Belum semua sih..,"

"Kalau boleh tahu yang sudah DP di tanggal berapa aja ya, Mba Endah?" tanya Al lagi.

"Sebentar..., dari sebelas pasangan, ada enam pasangan sudah DP dan tiga pasangan sudah lunas,"

Selagi Mba Endah berkonsentrasi pada laptopnya. Al mencolek Prilly.

"Tanggal berapa yang musti di cek?" tanya Al tanpa suara pada Prilly. Prilly mencoba mengingat kembali tulisan di lembar kertas tadi pagi, seingat dia ada tanggal tapi dia tidak memperhatikan dengan seksama lantaran mendengar Iqbaal yang disangka Al terbatuk-batuk.

'Come on, Pril... ingat-ingat lagi...,'

"Wah yang sudah lunas udah tidak bisa diganggu gugat dong ya? Itu tanggal berapa aja tuh, Mba?" kata Al.

"Iya nih, sudah tidak bisa diganggu gugat. Tiga orang ini di tanggal delapan November, dua puluh satu November dan Mba Kimberly di tanggal dua puluh delapan November," jawab Mba Endah yang menyebutkan nama Kimberly di akhir katanya.

Al dan Prilly langsung tersentak girang mendengarnya.

"Orang bule itu ya Mba, namanya Kimberly," canda Al memancing.

"Mukanya agak bule sih memang, Mas Al. Tapi bukan kok, calon suaminya juga bukan bule,"

"Calon suami!?" tanpa disadari Prilly berseru hingga membuat Mba Endah keheranan. Mulut Prilly setengah menganga dan pikirannya melayang kemana-mana.

"Maaf, Mba Prilly? Apa ada yang salah dari kata-kata saya barusan ya?"

"Oh nggak.. nggak..," Al mengangkat kedua tangannya tanda tidak ada masalah. "Calon istri saya ini kadang-kadang masih suka tidak percaya dengan kata-kata seperti calon pengantin.. calon suami.. calon mertua.. yah begitulah Mba Endah, kami.. terutama dia masih harus adaptasi, apalagi tinggal sebulan tapi kami belum dapat gedung sama sekali," Al langsung memberikan alasan.

"Oh begitu..., iya memang pencarian gedung salah satu yang suka bikin stress pengantin. Biasanya mereka cari gedung dari tahun lalu, Mas,"

Al merangkul Prilly.

"Maaf sekali ya Mba Prilly dan Mas Al, saya tidak bisa bantu banyak..,"

"Sebenarnya kami ingin tanggal dua puluh delapan November tadi, tapi sayang banget udah ada yang lunas. Siapa tadi namanya?"

"Mba Kimberly dan Mas..."

Begitu mendengar nama calon suami Kimberly, Prilly terkejut bukan main, Al pun juga tak kalah terkejutnya hingga dia merasa jantungnya nyaris copot.

---

Prilly masuk ke dalam rumah dengan muka setengah menahan emosi. Al mengikuti di belakangnya. Kim sedang asyik nonton TV sambil tiduran di sofa.

Al menarik lengan Prilly. "Sabar, tahan emosi lo,"

Prilly nyaris menangis saat itu juga. Tapi dia tahan, dia lalu menghampiri kakaknya tersebut.

"Eh, udah pulang? Lho? Kok sama elo, Al?"

Al bersiap menjawab, tapi keduluan Prilly.

"Nggak usah larang larang gue lagi ketemu sama Al, jalan sama Al atau apapun yang lo larang ke gue. Gue udah gede, lagipula Al nggak pernah rese sama gue!" bentak Prilly. Dia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.

"Eh, eh? Ada apa ini? Pulang-pulang kok langsung emosi begini?" Kim merubah posisinya menjadi duduk.

Hidung dan muka Prilly mulai memerah, dia tak mampu lagi menahan tangis.

"Lho kok sekarang nangis? Al? Ada apa ini?"

"Bukan ranah gue menjelaskan, Kim," jawab Al. Prilly mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah dokumen dengan map milik Hotel Bidakara.

"Coba lo jelasin ke gue sekarang juga tentang ini!" Prilly melempar map tersebut ke atas meja. Kim hanya terpaku.

"Jadi.. kalian sudah tahu?" ujar Kim.

"Kalian sudah tahu!? Cuma itu tanggapan lo!? Kim! Gue ini adik lo! Adik kandung lo! Bisa-bisanya lo menyembunyikan ini dari gue!?"

"Gue nggak menyembunyikan apapun, Pril. Gue memang berencana akan cerita semua ke elo, ke Al. Ke semuanya tentang ini,"

"Kapan!? Pas besoknya akad nikah??"

"Kita lagi menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan semua, terutama menunggu pengumuman short course di Denmark, setelah itu gue memang mau umumin ke semua tentang hubungan kami,"

"Jujur sama gue, Kim. Sejak kapan lo berhubungan sama Coach Jevin?"

"Please.. lo jangan mikir macam-macam, gue dan Coach Jevin memutuskan untuk bersama sampai akhirnya ke jenjang pernikahan setelah istrinya meninggal,"

"Hebat lo ya, hebat banget lo berdua ya! Lo anggap gue apa, Kim!? Kenapa lo selama ini nggak pernah cerita ke gue!? Lo selama ini udah sukses bohongin gue!"

"Gue nggak ada maksud buat bohongin elo. Gue mohon lo mengerti, Pril, bahwa berhubungan dengan seorang duda itu tidak pernah gampang untuk dimengerti orang, that's why gue butuh waktu untuk bisa publikasikan semua ini, terutama ke elo. Tanggung jawab gue begitu besar atas elo, proses gue menerima Coach Jevin untuk menjadi suami gue nggak gampang, gue juga harus mikirin perasaan elo,"

"Tapi elo nggak mikirin perasaan gue sekarang kan??"

"Tidak pernah sedetik pun gue berhenti memikirkan adik gue...,"

"Basi!"

"Demi Allah, Prill..., please dengarin dulu penjelasan gue...," Kim berusaha menggapai tangan Prilly.

"Percuma! Gue udah kecewa sama lo! Gue merasa tidak dihargai! Dibohongi!" Prilly menepis keras tangan Kim dan berlari pergi masuk ke kamarnya, meninggalkan Kim dan Al di ruang keluarga.

"Pril!" Kim mengejar Prilly ke kamar, tapi sayang pintu kamar langsung dikunci. Kim mengetuk lirih. "Pril.. dengarin gue dulu, please buka pintunya. Gue janji akan jelaskan semuanya ke elo, kalau perlu Coach Jevin dan Om Fedi gue suruh datang malam ini untuk bantu menjelaskan ke elo...,"

"Om Fedi!?" tanya Prilly sambil berteriak dari dalam. "Om Fedi tahu dan gue adik lo sendiri nggak!? Benci gue sama lo, Kim! Tinggalin gue sendiri!"

"Priill...,"

"Kim, udah.., jangan dipaksa. Prilly lagi emosi, biarkan dia tenang dulu, nanti kalau sudah enak keadaannya, baru kita ajak bicara baik-baik," ujar Al.

Kim pun menangis tersedu. "Gue nggak ada maksud bohongin dia Al,"

"Sejujurnya gue juga kecewa sih sama elo. Gue nggak pernah sangka kalau kedekatan lo dan Coach Jevin lebih dari sekedar pelatih dan asisten. Selama ini gue nggak pernah menaruh curiga sama lo, gue pikir Kim masih sama seperti dulu. Galak sama cowok dan belum kepikiran buat pacaran, sampai kejadian hari ini merubah semua pandangan gue antara percaya dan nggak percaya. Tapi... gue nggak boleh egois. Di satu sisi gue juga mikir, lo pasti punya alasan kenapa akhirnya memilih Coach Jevin, dan gue tenang begitu tadi dengar jawaban lo kalau lo dekat sama Coach setelah dia ditinggal istrinya,"

"Please lo harus percaya sama gue, asli gue nggak selingkuh ataupun merebut. Bahkan sampai sebelum kita memutuskan untuk bersama pun, gue selalu menganggap dia sosok ayah buat gue, Al," lirih Kim.

Al memeluk Kim erat. "Ya sudah lah Kim, nasi sudah jadi bubur, sekarang mendingan itu bubur lo olah jadi enak, lo tambah kacang, daging ayam, tambah kecap, telur dan lainnya biar enak dinikmatin semua orang. Ngerti kan lo maksud gue?"

Kim mengangguk. "Iya, Al. Gue tahu gue salah, harusnya sedari dulu gue bisa cerita dan jujur ke kalian. Harusnya kalian tahu dari mulut gue sendiri, bukan dengan cara seperti ini,"

"Sabar. Oke? Soal Prilly... kalau lo mengijinkan, gue boleh nggak masuk ke dalam buat bantu menjelaskan ke dia?"

"Silakan aja.. kalau Prilly ngebolehin,"

Atas seijin sahabatnya tersebut, Al pun mengetuk pelan pintu kamar Prilly.

"Pril? Ini gue, Al. Gue boleh masuk nggak?"

Tidak ada jawaban. Samar-samar terdengar suara isakan tangis dari dalam.

"Gue bawain segala yang lo butuh. Ada bahu gue, dada gue yang bidang, dan tangan gue..., pleasee?" ucap Al yang masih saja becanda. Tapi tak disangka, hal itu malah membuat luluh Prilly. Dia membuka kunci pintu kamarnya.

Kim berniat ikut masuk. Tapi dicegah Al. "Jangan dulu. Tenang.. adik lo nggak gue apa-apain, lo percaya gue kan?"

Meski merengut, akhirnya Kim setuju.

CKLEK. Al membuka pintu pelan-pelan. Dia pun masuk. Prilly kembali menguncinya.

"Waduh, jangan dikunci dong, nanti si Kim mikirnya yang bukan-bukan,"

"Biarin aja dia mikir yang bukan-bukan tentang kita. Kayak dia yang paling benar sedunia aja," Prilly duduk di sofa dekat jendela kamarnya. Dia sibuk mengelap air mata dengan tisu yang Al lihat sudah banyak berserakan di lantai kamar.

Al mengambil posisi duduk di samping Prilly. "Pril,"

"Al, lo nggak usah sok nasehatin gue deh," ujar Prilly menatap wajah Al. Terlihat jelas raut kecewa dan sedih dari muka gadis itu.

"Ya terus, lo mau sampai kapan bersikap kayak begini? Lo harus kasih kesempatan Kim buat menjelaskan, Pril,"

Air mata bertubi-tubi keluar dari mata Prilly. "Gue kecewa Al, kecewa. Dia itu cuma punya gue di keluarga ini, begitu pun gue cuma punya dia. tapi apa? Dia lebih memilih untuk bercerita ke Om Fedi, adiknya Papa tentang ini. dia anggap gue ini apa? Kalau dia berpikir gue ini masih terlalu kecil dan tidak dewasa menerima hubungan dia dengan seorang duda, dia salah! Harusnya dia sudah tahu bahwa selama ini gue selalu menganggap Coach Jevin adalah bagian dari keluarga kita, dia nggak harus backstreet atau menyembunyikan semua ini dari gue,"

"Gue tahu Kim dan Coach Jevin kayak gimana, dan gue yakin mereka punya pertimbangan sendiri dalam menjalani hubungan mereka. Gue pun merasa dibohongi sama Kim, Pril. Gue ini sahabat dia dari piyik, dari SD. Selama ini gue tahunya dia nggak pernah pacaran, dia galak sama cowok, bahkan gue merasa berdosa sempat berpikir dia menyimpang. Tapi gue juga sadar, gue nggak bisa egois jadi sahabat. Selama di perjalanan tadi, mungkin lo lihat gue bisa tenang dan sok cool, tapi gue juga mikirin tentang ini, Pril. Gue mikir... apa yang dipilih oleh Kim pasti itu sudah final decision. Karena Kim yang gue kenal, dan gue yakin lo lebih tahu hal itu. Dia nggak sembrono dalam mengambil sebuah keputusan. Jadi gue pun sesegera mungkin memutuskan untuk menghargai keputusan dia. Walau nggak enak, karena gue tahu soal ini dari mulut Mba Endah yang notabene orang lain. Tapi gue tetap menghargai dia karena membenci keputusan dia bukanlah hal yang bijaksana saat ini. Gue tahu kalian hidup hanya berdua, kalau gue memutuskan untuk membenci Kim hanya karena hal ini... itu sama saja gue meninggalkan Kim sendirian. Dan itu bukan gue," jelas Al.

Mendengar penjelasan Al, Prilly tiba-tiba melingkarkan tangannya ke pinggang Al dan merebahkan kepalanya di dada Al. Dia peluk Al dengan erat sambil menangis.

"Gue takut, Al... Hal ini yang selalu gue khawatirkan sejak dulu.. sejak Mama dan Papa pergi. Bagaimana kalau Kim menikah.. bagaimana kalau dia pergi meninggalkan gue sendirian? Gue nggak siap.. gue takut sendirian..., cuma Kim yang gue punya.." isak Prilly.

"Pril, lo gak akan pernah sendirian. Gue tahu Kim. Dari dulu, dari SD yang dia pikirkan itu cuma bagaimana caranya melindungi elo. Cuma elo yang dia pikirin, Pril. Apalagi semenjak Mama dan Papa kalian nggak ada, Kim semakin membatasi diri dan dia hanya fokus ke elo, bagaimana menjaga elo dengan baik, bagaimana mengurus dan melindungi elo. Buktinya aja gue yang sahabat dia, yang dia udah kenal luar dalam, masih aja dilarang buat ngedeketin elo. Alasannya dia nggak mau elo sakit hati. Gue saluuut banget sama Kim. Mungkin dia adalah sosok kakak terbaik yang pernah gue temui. Gue aja masih suka nggak peduli sama Iqbaal dan Sierra, tapi Kim nggak begitu. Percaya sama gue apapun kondisinya, Kim tidak akan pernah meninggalkan elo. Tapi lo harus ingat kalau lo nggak boleh egois..., lo harus menghormati pernikahan dia.. hormati suaminya,"

Prilly semakin memeluk Al erat dengan isak tangisnya, menenggelamkan wajahnya di dada Al.

"Sekali lagi.. lo kasih dia kesempatan buat menjelaskan, lo ingat nggak? Lo sendiri yang kepingin Kim nggak selalu mikirin elo. Sekarang pas sudah dikabulkan, elo malah begini. Harusnya bersyukur karena Kim bisa menemukan kebahagiaannya sendiri, ya nggak?"

Prilly mengangguk.

"Terima kasih, Al...,"

Al mengusap lengan Prilly. "Sama-sama. Abis ini lo keluar, ngobrol sama dia, tanya kita bisa bantu apa untuk pernikahannya? Ya?"

"Iya," Prilly menengadah pada Al dan menatap pria itu. Sesekali dia menarik ingusnya. "Terima kasih sekali lagi, udah membiarkan gue menangis sepuasnya di bahu lo,"

"Salah satu ciri lelaki idaman wanita adalah yang mendengarkan dan membiarkan wanita menangis.. di bahunya," jawab Al dengan senyuman. Dia lalu mengecup kepala Prilly, kemudian dilanjutkan kecupan jidatnya, lalu pelan-pela  tangan kanannya beralih menarik dagu Prilly agar lebih menengadah padanya. Prilly memejamkan mata. Hatinya terasa dag dig dug tidak karuan. Dia seperti kehabisan napas membiarkan Al melakukan itu semua. Al menatap dalam-dalam memperhatikan wajah wanita itu. Wajahnya yang mulus, hidungnya yang mancung, alisnya yang tebal dan bibir mungilnya tak kuasa menahan hasrat Al untuk melanjutkan kecupan demi kecupan.

Terlebih lagi Prilly kali ini tidak menampik apa yang Al lakukan padanya. Al pun menyusul mengecup hidung Prilly. Kemudian perlahan dengan penuh kasih sayang dia menurunkan bibirnya, mensejajarkan dengan bibir Prilly kemudian menarik lembut untuk dia cium.

Mereka berciuman.

'Hmm..bibirnya hangat manis dan lembut' ucap Al dalam hati.

Begitupun bibir Al terasa basah dan menggoda di bibir Prilly. Meski pikiran Prilly mengatakan jangan, namun hati dan organ tubuh bagian atas Prilly berkata lain. Dia menyambut pasrah penuh semangat bibir Al yang menempel masuk ke dalam mulutnya.

Merasakan tak ada penolakan, Al kembali menarik mesra bibir Prilly yang sudah berada di dalam mulutnya untuk dilumat lebih dalam. Bunyi kecupan dan desahan kedua napas mereka terdengar pelan.

Tangan Al mulai bermain membelai lembut leher Prilly. Tak butuh waktu lama bagi Prilly untuk membalasnya lagi dengan lumatan ciuman disertai gigitan mesra pada bibir Al.

Al menekan bibirnya lebih dalam dan mendekap Prilly lebih erat. Menciumnya lebih intens dan semakin intens. Begitupun Prilly yang terlarut pada ciuman menggugah iman tersebut.

Tapi lalu Prilly tersadar akan sesuatu. Dia pelan-pelan menghentikan ciuman itu dan melepas bibir Al dari bibirnya.

Al sedikit keheranan tapi lalu ia menghormati keinginan Prilly tersebut. Toh dia juga baru melanggar kata-katanya pada Kim barusan bahwa dia tidak akan ngapa-ngapain Prilly. Nyatanya dia mencium adik sahabatnya itu.

Mata mereka saling beradu. Tanpa ada kata-kata mereka melemparkan senyuman yang tersirat rasa bahagia, gugup dan canggung. Prilly lalu mengecup sayang kening Al dan memilih kembali memeluk pria itu. Memilih untuk lebih merasa nyaman di dadanya ketimbang mencium bibir Al yang membuat dia kehabisan napas, takut tidak akan bisa berhenti.

***

Haaaayyy ... maaf buat yang nanyain nextnya kemarin ya *salim*

Silakan membacaa share your vote dan comment juga ya. Enjoy read then! *ketjup satu2*

Ciao!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top