Chapter 21
"Natasha, maaf. Dia ibumu."
"Ibuku?"
Aku kembali menggeleng pelan, tak percaya dengan perkataannya. Tidak mungkin selama ini ibuku menghilang hanya karena masuk ke dunia yang sama denganku.
Ace kembali meyakinkanku. "Ya, dia yang memberi tahuku setelah ia mendengar penjelasan Ray yang kebetulan menyebut namamu," jawabnya lagi.
Serasa dihantam suatu benda yang keras, pening kembali datang dan mengaburkan pandanganku. Serangkaian cerita memori berputar dalam ingatanku, mengingatkanku kembali di mana di hari ulang tahunku yang ketiga belas, aku kehilangan sosok ibu yang sebenarnya. Ia menghilang bak ditelan bumi, membuatku terpaksa tinggal bersama kejamnya kehidupan panti. Setahun berselang, aku kembali dipertemukan oleh rasa kejam yang sejenis, seorang wanita yang baru saja kehilangan suaminya mengadopsiku.
Aku masih bisa mengingat perlakuannya padaku yang menyuruhku untuk membersihkan rumah, menyiapkan sarapan pagi untuknya, pulang tepat waktu sambil mengancam, tidak boleh keluar rumah, dan beberapa hal lain yang membuatku terlihat seperti anak yang kesepian.
Aku menghapus air mataku sambil mencoba untuk tersenyum. Jadi selama ini, ibu menghilang karena masuk ke dalam dunia ini. Dan ternyata, ia adalah manusia pertama yang membuka jalan permainan ini.
Aku mencoba untuk mengingat sesuatu. Apa yang ibu lakukan hari itu, di mana aku kehilangannya dan menelepon polisi untuk mencari keberadaannya.
"Natasha? Apa kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," jawabku cepat.
Aku bersyukur penerangan di lorong ini sangat minim, sehingga dapat membuatku lega karena Ace tidak mungkin bisa melihatku menangis.
"Aku harus ke sana," putusku lagi.
"Aku tidak bisa memaksa. Tapi menyuruhmu mengikuti perkataanku memang susah," ujarnya pelan samnil terbatuk-batuk.
Aku semakin khawatir dengan kondisinya. Dan bodohnya lagi, aku mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginannya. Aku tahu, dia mencoba untuk melindungi orang lain. Tapi aku memang harus bertemu dan memastikan, bahwa peri bernama Daniella itu adalah ibuku, yang selama ini menghilang, dan mengakibatkanku tertelan oleh kejamnya kehidupan.
"Maaf Ace. Meski sudah berulang kali, aku janji, ini yang terakhir kalinya aku melanggar perkataanmu," bisikku pelan.
"Jangan meminta maaf, ini bukan perintah, aku hanya memintamu agar tidak pergi ke sana. Kalau kau memang mau, itu kehendakmu, aku tidak bisa memaksa," balasnya lagi dengan suara yang semakin parau, membuatku semakin takut dengan kondisinya.
"Kau tidak apa-apa?"
"Nata, dengarkan aku. Setelah memasuki ruangan itu, kuharap kau tidak mengacaukan pertengkaran antar dua saudara itu, bertahanlah hidup entah bagaimana caranya, dan katakan pada Malca, bahwa seluruh manusia harus kembali sekarang. Tidak ada gunanya menunggu, seperti ini, banyak peri di luar sana yang sekarat, menahan rasa sakit seorang diri." Ia menjeda perkataannya karena mulai terbatuk lagi.
"Berjanjilah padaku, kau melakukan semua itu, untuk kami, untukku. Maafkan aku Nata," lanjutnya lagi dengan suara yang hampir tidak bisa kudengar.
Hatiku mencelus ketika mendengarnya. Sakit.
Kenapa bisa dalam kondisinya yang seperti ini ia membuatku merasa sakit?
"Ace?"
Hening, tak ada jawaban darinya. Dahiku mengernyit bingung. Baru saja Ace menceramahiku panjang lebar, tapi tiba-tiba tertidur dan tidak menjawab panggilanku.
"Ace?"
Setitik cahaya mulai menguar dari tubuhnya. Membuatku menjerit takut dan panik. Cahaya itu semakin besar, seolah ingin melahap dan menjauhkannya dariku.
Reflek aku memeluknya, agar ia tak dibawa oleh cahaya aneh itu.
"Maaf Nata. Lakukan apa yang kuminta, aku akan mengawasimu. Permainanku sudah selesai dan aku hanya bisa menunggu. Permainanmu belum, jadi kumohon, selamatkan kami. Terima kasih."
Suaranya bergema di telingaku, meninggalkan sayatan penuh luka di dalam hati. Aku terlalu bodoh untuk menyadari. Penyelamatku yang sangat ingin kuselamatkan sudah pergi dan tidak bisa menemaniku lagi. Aku terlambat menyadari, terlambat menyelamatkannya. Aku terlalu bodoh dan naif untuk memercayainya bahwa tidak akan ada yang terjadi padanya setelah ia berkata 'tidak apa-apa'
Aku benci pembohong dan aku benci diriku. Aku benci diriku yang tidak memiliki banyak teman, hingga tidak tahu bagaimana perasaan mereka. Aku menangis seorang diri di lorong itu. Tidak ada lagi Ace yang akan menyelamatkanku. Dibanding luka fisik, hal ini lebih menyakitkan dan tidak bisa kutafsir seberapa sakitnya rasa itu.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku mencoba untuk bangkit dan mempersiapkan hati untuk melakukan tugas terakhirku.
Semua ini akan berakhir. Aku akan menepati janji itu, tekadku dalam hati.
Dengan langkah mantap dan emosi yang bisa dibilang tidak stabil, aku tidak peduli mau seperti apa reaksi mereka yang ada dalam ruangan, aku akan mengakhiri permainan bodoh ini.
Kedua tanganku membuka paksa pintu ruangan dan membiarkannya terbuka lebar. Perdebatan yang rupanya masih berlanjut sedari tadi pun terhenti akibat ulahku. Sepasang mataku mulai menyusuri setiap bagian ruangan dan menemukan seorang wanita yang selama ini kucari.
"Mohon maaf karena telah mengganggu, tapi saya memohon pada anda, Ratu Malca dan Ratu Tiana. Mohon jelaskan segala informasi tentang dunia ini dan permainan itu," ucapku berusaha terdengar tegas, walau pada kenyataannya suaraku bergetar.
Daniella berdiri dan menatapku dengan tatapan tidak percaya. Aku dapat membaca gerakannya yang ingin menghampiriku, aku pun begitu, tapi ucapan Ratu Malca menghentikan keinginan kami untuk saling melepas rindu.
"Berani sekali kau mengganggu acaraku! Kau hanyalah seorang manusia bodoh yang terjerat dalam permainanku," balas Ratu Malca murka.
"Kalau begitu, lebih baik anda mengeluarkan semua manusia dari permainan bodoh ini, baru melanjutkan acara debat kalian," balasku tak mau kalah.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Dan jangan harap kau bisa bertindak sesuka hatimu, aku akan melenyapkanmu bersama pemain lainnya dan menunggu permainan ini usai. Jangan menghakimiku!"
Tanpa kuduga sama sekali, Ratu Malca melancarkan sebuah serangan sihir padaku. Dengan reflek kurapalkan mantra dan kuciptakan sebuah pelindung sihir berelemen angin. Dentuman keras dan gemuruh terjadi di sekitar kami karena pertemuan antara dua kekuatan sihir.
Aku terdorong ke belakang akibat terkena serangannya, meski sihir pelindungku sudah berupaya untuk menyelamatkanku.
Ratu Malca kembali menggeram.marah dan mengarahkan tangannya padaku. Ia mulai merapalkan mantra yang membuatku terus mengawasinya. Aku tidak boleh terkena serangannya yang maha dasyat itu. Sepertinya dalam sekali serang, nyawaku bisa melayang. Dan permainanku akan berakhir.
Serangan kedua datang dan dengan cepat aku terbang menghindarinya, hingga serangan itu berakhir menghancurkan dinding yang ada di belakangku.
Aku dapat mendengar suara jeritan ibu yang meneriaki namaku. Ratu Tiana pun juga bertindak, ia menyuruhku turun dan memerintahkan penyihir kelas atas untuk melindungiku.
"Apa yang ia katakan adalah benar, Malca. Jangan kau buat penderitaan manusia bertambah. Cepat atau lambat, semua manusia yang hidup di dunia ini juga akan tahu, apa yang sebenarnya terjadi."
Ratu Malca mendengus tidak suka, sedangkan Ratu Tiana menatapnya dengan wajah datar.
"Pembelaanmu terhadapnya bisa menghancurkan dirimu sendiri, Tiana," desisnya tajam.
"Silakan saja, kalau demi mereka, apa pun akan kulakukan, meski harus berduel denganmu, adikku sendiri," jawabnya tegas, seolah tak ada satu pun keraguan dalam ucapannya.
"Daniella, apa kau berada di pihakku?"
"Dengan segala bentuk permohonan maaf, aku mengundurkan diri."
Aku kembali menatap Ratu Malca yang kini menatap nyalang semua peri yang berada di ruangan ini.
"Daniella, sesuai janji yang pernah kuberikan pada seluruh penganutku, aku beri kau kebebasan, untuk selesai melakukan tugasmu dalam permainan ini dan menunggu permainan ini usai," ucapnya sambil mengarahkan sebuah bola api besar dan batasan ruang duel antara Daniella dan Ratu Malca.
Aku menjerit keras saat melihat kejadian yang tiba-tiba itu. Aku berteriak dan terbang menghampirinya, tetapi tubuhku ditarik oleh sebuah sihir pengekang milik salah satu penyihir kelas atas.
Aku terus meronta, berharap aku bisa menyelamatkan nyawanya. Tidak ada yang boleh menunggu permainan ini usai, kita bisa menyelesaikannya bersama-sama. Kini aku sadar, kenapa Ace tidak menginginkan aku berada di ruangan ini.
Karena ia tahu, ibuku pasti harus mati karena melanggar janjinya pada Ratu Malca.
************************************
Published : 23 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top