chapter 20
"Mereka menamainya Snow Globe. Permainan akan berakhir saat salah satu dari kita ada yang mati dan terhapuskan dari dunia ini."
"Lalu, apa mereka bisa kembali?"
"Ya, mereka akan melupakan seluruh kejadian yang mereka alami termasuk dunia ini, saat kembali. Mereka akan kembali di waktu yang sama dengan manusia pertama yang memutuskan untuk masuk dan membuka jalur manusia lainnya masuk ke dunia ini."
"Baiklah, kalau begitu, bunuh aku."
Suara tegas yang diucapkan Ratu Tiana membuat emosiku semakin naik.
Bagaimana jika Malca berbohong?
Apa Ratu Tiana benar-benar ingin menyerahkan hidupnya di tangan saudarinya sendiri dengan cara seperti itu?
"Kau kelewatan sekali Ratu Malca!" Sela suara seorang wanita, yang terdengar familiar bagiku.
"Ella, lancang sekali kau berbuat seperti itu!" balas Ratu Malca, terdengar Murka.
"Maaf, aku tidak bisa menahan diri lagi. Selama ini aku hanya kau jadikan sebagai seorang pasukan? Dan ternyata pasukan itu hanya kau gunakan untuk melawan saudarimu sendiri? Aku Daniella, selaku salah satu dari ratusan manusia, seorang manusia pertama yang dengan begitu bodohnya masuk ke dunia ini, memohon agar engkau mengembalikan kami!"
Aku tersentak. Suara itu mengingatkanku pada seseorang. Aku berjalan menuju pintu ruangan dan berniat untuk masuk untuk melihat apa yang terjadi.
Ella? Nama yang begitu familiar. Tapi seingatku banyak orang yang kukenal yang bernama Ella. Tapi siapa?
Namun, lagi-lagi langkahku terhenti saat mendengar sebuah rintihan kecil yang tidak jauh dariku. Ah sial, aku harus memilih. Namun pada akhirnya aku memutuskan untuk meredam seluruh rasa penasaranku dan mengikuti sumber suara itu. Aku berharap, aku memang menyelamatkan orang dan hal ini bukanlah sebuah jebakan untukku.
Suara erangan kesakitan itu semakin keras. Aku mengepakkan sayapku dan melaju kencang hingga menemukan seorang peri berambut cokelat meringkuk di lantai sambil mengerang kesakitan.
Tanpa berkata apa pun lagi, dengan paniknya aku mengambil sisa obat yang kubawa. Aku tahu, siapa peri itu. Ada rasa lega sekaligus sakit, saat melihatnya.
"Tenanglah, aku membawa sedikit ramuan untukmu."
Aku tidak yakin apa suaraku ini terdengar olehnya, yang pasti aku begitu gugup dan panik saat melihat kondisinya.
Aku membantunya duduk dan menyandarkannya di dinding lorong.
Aku dapat melihat bercak darah di sepanjang lorong, yang kuyakini sebagai bentuk usahanya menyelamatkan diri.
Perlahan, aku mengoleskan sisa obat yang kumiliki pada lukanya dan membiarkannya menutup.
"Terima kasih," ucapnya parau.
"Aku minta--" ucapanku terhenti seketika.
Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menyikapi hal ini, tapi sepertinya aku merasa...
"Tenanglah, ini semua bukan salahmu."
Aku dapat mendengar suaranya lebih jelas dan merasakan tangannya yang menepuk pelan kepalaku. Aku tidak tahu harus bagaimana, apa aku harus membalas pelukannya atau membalas ucapannya, aku tidak bisa melakukan itu semua. Tiba-tiba saja aku merasa tidak bisa menggerakkan tubuhku, dan mungkin saja, jantungku ikut berhenti sementara.
Tangannya gemetar, setidaknya itu yang dapat aku rasakan. Kondisinya begitu menyedihkan. Baru saja kusadari, sayap indah miliknya sudah tak ada di sana.
Penyiksaan macam apa yang ia terima?
Dengan panik aku mencari cari obat dan ramuan penetral rasa sakit, semacam obat bius, kalau di dunia manusia. Ace terkekeh pelan lalu mulai terbatuk-batuk. Aku mengerutkan kening dan menatapnya dengan rasa heran. Kenapa malah tertawa?
"Sayapku sudah tidak bisa tumbuh lagi, obat itu tidak akan mempan," balasnya santai.
Aku hanya bisa menggeleng dan memaksanya menggunakan obat dan ramuan itu.
"Setidaknya obat dan ramuan ini bisa menetralisir rasa sakit. Kau harus meninumnya!" balasku sambil menyodorkan ramuan padanya secara paksa.
"Aku tidak selemah itu Natasha. Tidak perlu sepanik itu. Wajahmu lucu sekali," responnya sambil terus terkekeh walau aku tahu, keadaannya tidak kunjung membaik.
"Maaf, aku tidak bisa lama-lama, aku harus kembali dan menguak semuanya," balasku lagi, mencoba acuh dengan perasaanku sendiri.
"Jangan!" peringatnya sambil terbatuk-batuk.
Aku mengernyit bingung. "Kenapa tidak? Di sana ada seseorang yang harus kutemui. Aku perlu mengetahui sesuatu yang terjadi di ruang pertemuan."
"Aku akan menjelaskannya padamu. Dari awal sampai akhir. Pokoknya berjanjilah padaku, jangan ke sana. Kau ingat saat terakhir kali kau melanggar peraturan yang kuberikan?"
Aku mengangguk pasrah. Setiap aku melanggar peraturan yang ia berikan, aku selalu mendapatkan nasib buruk. Aku menghela napas pasrah, kuakui, aku sangat penasaran dengan manusia pertama yang memasuki dunia ini.
"Kau memikirkannya?"
"Apa?"
"Manusia pertama?"
Aku tidak bisa menahan rasa terkejutku. "Ya, dari mana kau tahu itu?"
"Menebak saja. Kau selalu penasaran dan menurutku hal yang memicu rasa penasaranmu adalah saat manusia pertama itu membuka mulut di ruang pertemuan. Benar, kan?"
Aku tidak menjawab. Ace selalu benar, menurutku.
"Lalu? Apa yang ingin kau beri tahu?"
"Sebentar lagi, kita bisa kembali ke dunia kita. Itulah perjanjian yang Ratu Malca berikan pada penghuni Dark Land jika ia bertemu dengan Ratu Tiana. Setelah pertemuan ini, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Kita semua akan saling melupakan,dan kembali ke masa lalu, di mana semua kekacauan ini muncul untuk pertama kalinya," jelasnya yang membuatku merasa lega sekaligus merasakan sesuatu yang amat sangat menyesakkan.
Akan saling melupakan?
"Dan saat aku dibawa oleh Ray dan Luca ke hadapan ratu Malca, sesuai perjanjian yang Ray berikan padaku, Ratu Malca memberitahu rahasia permainan ini padaku. Juga berniat menipumu, ia begitu yakin, bahwa kau akan menyelamatkanku."
Ia memberi jeda sejenak, sedangkan aku sendiri tidak tahu bagaimana cara mengontrol detak jantungku.
Sihir ini lagi, batinku kesal.
"Dan ternyata kau memang seorang gadis naif yang selalu takut berbuat salah. Setiap kesalahan yang bukan sepenuhnya kesalahanmu, kau malah ingin menyusulku dengan tujuan menyelamatkanku. Jujur, sebenarnya ada atau tidaknya kau malam itu, tetap saja aku akan dibawa menghadap Ratu Malca. Kalau saja kau tidak ada, mungkin aku sudah tidak ada di sini, menunggu permainan ini usai di atas sana. Terima kasih."
"Berhentilah berterima kasih pada orang yang selalu merepotkanmu," balasku pada akhirnya.
Ia mengendikkan bahu seolah tak peduli dengan perkataanku. Aku ingin memukulnya karena kesal, tapi kuurungkan niat itu saat kembali mengingat kondisinya yang jauh dari kata normal.
"Lalu, apa yang sebaiknya kita-- maksudku semua manusia peri lakukan? Tidak ada cara lain yang bisa menghentikan kedua ratu bukan?"
Ace mengangguk menyetujui perkataanku. Aku menghela napas. Seperti inikah balasan untukku, yang sudah ikut campur dalam urusan dunia ini? Dan kenyataan bahwa aku akan melupakan segalanya, Ace, Regis, Emerald, termasuk dunia ini, itu cukup menyesakkan.
"Tidak ada cara lain selain menunggu. Semua ini terjadi karena keegoisan Ratu Malca sendiri, tapi itu juga bukan kesalahannya, karena sifat itu timbul karena perlakuan lingkungan sekitar padanya."
"Ace, apa Ratu Malca memberi tahumu tentang bagaimana caranya kita masuk ke dunia ini? Dengar-dengar, benda itu berupa Snow Globe?"
Ace mengiyakan lalu mulai menjelaskan, "Ya, benda itu adalah Snow Globe. Bentuknya menarik dan berbeda dari Snow Globe pada umumnya. Snow Globe itu terus bergulir dari satu tangan ke tangan yang lain. Bisa jadi kau mendapatkannya dari temanmu atau kau membelinya di sebuah toko. Snow Globe yang merupakan portal antar dimensi dunia ini hanya dapat aktif jika kau membaca peraturan penggunaannya. Dan seperti yang bisa kita simpulkan, kita akan terbangun di sebuah padang bunga Dandelion, lalu mulai memilih arah, antara Bright Land dan Dark Land."
Aku mengusap wajahku dengan kasar. Seingatku, aku memang penggemar Snow Globe, semenjak ibu kandungku menghilang bak ditelan bumi. Koleksi Snow Globe milik ibu, tak ada satu pun yang kubuang, kecuali --
"Natasha," panggilnya pelan.
"Ya?" balasku kaku, karena sepertinya aku tertangkap basah sedang melamun.
"Kalau kau ingin tahu siapa wanita yang membuatmu penasaran. Aku bisa memberi tahumu."
Aku mengangguk antusias. Tentu saja aku ingin mengetahuinya. Suara wanita itu begitu familiar untukku. Mungkin ia salah satu kenalanku. Guruku mungkin? Oh apa jangan-jangan, dia teman dekatku?
Ace menarik napas panjang lalu membuangnya, seperti melakukan sebuah persiapan matang untuk mengatakannya. Aku menatapnya heran, apa mengucapkan identitas Wanita itu begitu sulit untuknya?
"Natasha, maaf. Dia ibumu."
************************************
Published : 16 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top