Si Jari Kelingking

"Ssst, kau akan membangunkan seseorang jika berteriak!"

Seseorang? Siapa? Salah satu dari tiga jasad itu?

Peringatan itu sama sekali tidak membantu di saat ia sedang terkurung di ruang bawah tanah bersama tiga jasad yang duduk di kursi berada persis di pusat ruangan serta digelayuti juntaian tebal serat laba-laba tak berpenghuni.

Tidak. Ada orang lain. Orang itu menggagalkan lengking yang nyaris keluar dari pita suara Ariana hingga berganti dengan bunyi batuk tersumbat yang parau. Hardikan barusan terdengar tidak asing. Setidaknya, sampai beberapa saat lalu, sebelum ia dijejalkan paksa ke bawah sini oleh si anak iblis.

Ariana tidak bisa menahan diri untuk segera berbalik dan urat sarafnya lantas kendur seketika mendapati Leon sedang bersandar di sisi kursi. Sel-sel batang retinanya menangkap sepasang kerutan di tengah alis yang terangkat miring di wajah pemuda itu. Pertanda tidak bagus.

"Senang melihatku lagi, Jari Kelingking?" Sapaan Leon membuat ia terhuyung jatuh, lalu merangkak menjauh dari deretan kursi para orang mati. Ketika ia jelas-jelas tak sudi untuk berhenti bergerak, Ariana merasakan rengkuhan kasar di pundak dengan kekuatan yang sanggup membalik tubuh ringkihnya dengan sekali sentak. Ia lalu terperenyak kalah di lantai, menghadap Leon yang kini bersimpuh di atasnya. Dalam keremangan cahaya ruang bawah tanah, Leon dan rambut merah serupa darah pekat menjelma bagai makhluk yang baru saja muncul dari kedalaman neraka. Sekujur pori-pori di kulit Ariana merinding akibat kelegaan bercampur kegelisahan, ironisnya.

"Ke-kenapa kau ada di sini?" Tenggorokan Ariana tercekat oleh ludah menggumpal.

"Jangan berpikir kalau aku sedang berusaha menyelamatkanmu lagi!" Leon mendengkus kesal. "Pak Tua itu memintaku mengikutimu."

Ayah Leon? Bola mata Ariana berbinar sempurna bak kilau purnama. Ia merasa secercah kehangatan mentari menembus dada hingga ruang bawah tanah sesaat berpijar oleh harapan yang meledak. Di antara sekian banyak orang yang menginginkan kematian gadis itu sejak malam berbadai, ada satu yang peduli, dan itu sungguh menghangatkan perasaan.

"Terima kasih." Ia pun bergumam lirih.

"Huh. Simpan itu nanti!"

"Bukan hanya itu, juga atas pertolonganmu pagi tadi, saat di sungai, dan di depan si ratu jahat." Tidak ada yang akan mendengar kata-kata berani itu di bawah sini dan ia juga tidak merasa sungkan sama sekali terhadap si rambut merah. Betapa naif, Ariana justru berharap bahwa Leon akan sepakat dengannya soal wanita mengerikan dalam gaun kebesaran sekelam bulu gagak dan punya sorot mata buas tersebut.

"Sudah kubilang, aku bukan penyelamatmu!" Suara Leon meninggi, setengah menghardik.

"Lalu ..., kenapa kau melakukan ini?"

Leon menepuk sisi kepala hingga berdebuk nyaring dan memantul ke seluruh dinding bawah tanah yang apak dan berdebu. Seekor laba-laba besar merambat dalam gerakan diam selagi menjelajahi salah satu sarang di pojok dinding, menghidupkan kesan ruang bawah tanah ini serupa peti mati terlantar berhiaskan pintalan sutra halus keperakan. Manik mata Ariana tak punya waktu untuk mengamati, ia sibuk terpaku pada Leon yang sedang menatap dengan segenap emosi tak terbaca. Hanya urat-urat di wajah pemuda itu yang bisa Ariana lihat mengeras.

"Jika kau ingin berterima kasih, maka diamlah! Aku tidak suka membicarakannya karena sekarang keberadaanmu menjadikan posisiku sulit!"

Ariana menelan ludah, lantas mengangguk. Pilihan yang lebih bijak daripada memancing monster di hadapannya keluar. Sudah cukup dengan pengalaman berhadapan dengan tuan putri palsu hari ini. Ia tidak tahu jika Leon akan menjadi seperti apa karena orang-orang aneh ini bisa lebih kejam dari prakiraan.

"Pertama, lepaskan pita konyol sialan ini! Yang Mulia Ratu kadang sangat menyebalkan dengan leluconnya yang tidak lucu!" Leon menarik lepas ikatan pita di kepala Ariana dengan kasar hingga gadis itu kesakitan karena ada beberapa helai rambut turut tercerabut. Posisi yang tidak menguntungkan membuat Ariana tidak berdaya. Syukurlah, Leon tidak menghimpit atau mencekik dia hingga kehabisan napas karena ia yakin Leon mampu melakukannya jika pemuda itu mau.

"Nah, Jari Kelingking-" Agaknya, Leon memutuskan akan menyukai panggilan itu selama beberapa waktu ke depan-jika Ariana berhasil hidup melewati semua ini. "-kini, tunggulah dengan manis dan lihat apa yang bisa kami lakukan padamu esok hari. Pak Tua sepertinya punya rencana dan mungkin ia kini sedang berbicara dengan Pangeran Agate, berusaha menyihir pikirannya-semoga sihirnya kali ini akan berhasil!" Leon menepuk pipi Ariana yang kebingungan.

"Pangeran? Siapa?"

"Tentu saja bukan aku! Berhentilah bersikap bodoh dengan banyak bertanya. Oh, kau harus lebih pintar untuk layak dikhawatirkan oleh ayahku! Apa, sih, yang dipikirkan Pak Tua itu?" Leon menggerutu kepada diri sendiri dengan memutar bola mata. Perkataannya justru membuat Ariana lebih tercengang.

"Aku ... benar-benar bingung."

"Bagus. Berarti banyak hal yang bisa kaupikirkan untuk menghabiskan waktu semalaman ini."

"Maksudmu, kau tidak akan mengeluarkanku dari sini?"

"Hah-hah." Leon tertawa sinis. "Aku tidak sudi cari mati, Jari Kelingking. Sudah kubilang, kan, aku bukan penyelamatmu? Waktuku tidak banyak, aku harus kembali sebelum pangeran itu curiga."

"Leon, aku takut!" Ariana tahu bahwa sia-sia saja ia mencekal lengan Leon sekarang, berusaha berpegangan sekuat tenaga pada seseorang yang mungkin terakhir kali dilihatnya di bawah sini sebelum jantungnya berhenti berdetak oleh kengerian. Ia pun berusaha untuk tidak mengintip ke balik punggung Leon. Sesaat, ia berpikir bahwa ia akan merangsek keluar bersama pemuda itu, membawa dirinya sejauh mungkin dari ruang bawah tanah menakutkan beserta tiga penghuni di dalamnya. Namun, siapa sangka ia justru akan ditinggalkan sendirian di sini? Rencana gila!

"Lihatlah dirimu! Sekali saja bertemu dengan Pangeran Agate, pikiranmu sudah tidak lurus. Siapa bilang kau harus berada di sini? Larilah ke tangga di belakangmu dan naiklah ke atas! Lalu, tunggu di belakang pintu seperti gadis pintar. Tiga orang ini sudah mati, mereka tidak akan mengejarmu. Paham? Dan, jangan coba-coba mengikutiku. Kau hanya akan celaka jika nekat melakukannya! Cobalah untuk lebih pintar kali ini, maka jari kelingkingmu tidak akan dikunyah beruang seperti waktu itu."

Perintah Leon sungguh panjang, lugas, dan tidak terbantahkan. Dengan sekerah tenaga, pemuda itu mendorong Ariana agar merangkak naik ke tangga dan melakukan apa yang ia suruh. Ariana menggigit geraham kesal dengan sudut mata memanas. Pipinya sudah setengah basah ketika ia berhasil merangkak naik dengan kedua tangan dan kaki menabrak pintu batu yang tak kalah dingin oleh sikap Leon. Tidak ada yang bisa diharapkan dari pemuda itu. Seperti kata Leon, pemuda itu bukanlah seorang penyelamat, tetapi hanya pengirim pesan-nasib pemuda itu jauh lebih beruntung daripada seorang gadis yang kini meringkuk menahan gigil akibat dingin serta ketakutan. Orang-orang di bawah mungkin sudah mati dan tidak akan bergerak, tetapi bayangan teror tentang masa lalu kematian mereka akan menghantuinya sepanjang malam. Siapa orang-orang itu? Leon tidak akan sudi menjawab. Pemuda itu telah menghilang seperti kemunculannya yang mendadak. Leon tidak keluar dari pintu yang sekarang ia sandari, Ariana yakin bahwa Leon pasti datang melalui jalur rahasia di ruangan ini, dan ia terlalu takut kembali ke bawah untuk mencari tahu. Akibat ancaman Leon, juga keberadaan tiga jasad di sana. Hanya ada ketakutan kemudian menggerakkan beragam bayangan absurd dalam kegelapan yang menunggu di bawah tangga.

Beragam pemikiran tak masuk akal merasuk. Pangeran, ruangan ini, dan juga, Leon keliru akan satu hal. Pemuda itu tidak tahu apa-apa tentang jari kelingkingnya.

Ariana mencoba menyibukkan isi kepala dengan hal yang mestinya tak ia lupakan, tetapi terabaikan akibat beragam kejadian dalam waktu kurang dari 24 jam yang amat menguras kewarasan-ia menciptakan bayangan wajah ibu dan adiknya, segera saja melintas kemungkinan tragis yang bisa saja terjadi pada dua orang tersebut. Hanya mereka berdua yang Ariana miliki, tetapi kini jauh dari genggaman. Harapan apa yang masih tersisa jika ia bisa saja kehilangan Ammarylis dan Chantalope akibat musim dingin yang akan tiba sebentar lagi? Ariana melengkungkan tubuh serapat mungkin memeluk kedua lutut dan membenamkan kepala di sana. Bisa saja terjadi sebaliknya; keluarganyalah yang justru akan kehilangan dirinya, mengingat betapa dekat jarak ancaman dari si pemilik hati sedingin salju dan tangan setajam pedang dengan dia sekarang, bagai jari manis dan kelingking yang berdampingan. Oh.

Tidak. Ia harus bertahan hidup. Setidaknya, hingga seseorang kembali sebelum ada yang bangkit dari kematian di bawah sana.

Ariana lantas menutup daun telinga. Bunyi dari gerakan samar apa pun kini membangkitkan ilusi tak termaafkan dalam benak. Indranya seperti beratus kali lebih peka dibandingkan saat berada dalam kebebasan di luar. Ia seolah mampu mendengar gemerisik kaki laba-laba yang merayap di dinding atau bunyi tetesan air yang entah berasal dari mana, sepertinya dari suatu tempat di atasnya, menyelusup di antara langit-langit dari batu berpasir yang bisa runtuh kapan saja. Paling tidak, bukan dari harapan yang runtuh, dan sebaiknya bukan berasal dari bunyi derit kursi atau langkah ganjil seperti diseret yang pasti akan membuat Ariana melolong akibat pikirannya sendiri. Gadis itu makin merapatkan punggung ke pintu sambil berharap benda itu akan terbuka sendiri dengan ajaib.

Sial. Itu harapan belaka. Takkan ada orang yang membuka pintu ini selain si anak iblis dan lebih baik ia bersiap-siap jika orang aneh itu kembali.

Bersiap-siap untuk apa? Lari ke bawah menuju aroma kematian?

Merenung semalaman di tempat ini sungguh menyiksa akal sehat. Ariana sampai mengabaikan satu hal penting; seseorang bisa datang dari pintu di belakangnya atau dari ujung tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Terlalu gelap untuk melihat apa yang ada di balik sana dari titik keberadaannya sekarang. Ketika ketakutan itu menjelma menjadi bunyi langkah nyata yang berasal dari bawah, Ariana tersentak bangkit, lalu menggedor pintu di belakangnya dengan kepanikan luar biasa. Bukan tanpa sebab, ada lebih dari sepasang kaki yang mengetuk lantai menuju ke arahnya. Mustahil Leon datang membawa bala bantuan hanya untuk menjemput dirinya, bukan? Itu pasti bukan Leon!

Lalu, gendang telinganya menangkap gelombang bunyi yang lebih mengerikan merambat di pengap udara. Derit kaki kursi.

"Leon!" Ariana berteriak senyaring mungkin, berharap Leon akan benar-benar membalas. Namun, usahanya cukup menghentikan langkah-langkah kaki di ujung tangga untuk sementara.

"Leon?" Ia memanggil serak sekali lagi.

Debuk benda jatuh dengan gaduh seperti saling bertubrukan memicu ketegangan yang telah memyesaki udara. Ariana memekik tertahan, sekali. Ia merasa sudah cukup terlampau kacau hingga nekat menghimpun nyali untuk menyaksikan akhir dari situasi yang sedang berlangsung. Langkah beberapa makhluk terdengar makin mendekat. Sebentar lagi, Ariana mungkin akan jatuh pingsan atau detak jantungnya berhenti seketika. Namun, sorot manik gelap yang tiba-tiba muncul dan terus merayap perlahan di anak tangga, memaku segenap indra gadis itu hingga mati rasa. Lalu, sebaris kalimat menggaung menyaingi debar aliran darah yang menggempur gendang telinganya.

"Ha! Dia masih hidup. Kita tidak perlu repot-repot menyeretnya di lorong."

Ariana mengumpati pemikiran aneh paling tidak masuk akal yang menjadi kenyataan. Di antara sekian banyak harapan, ia tidak menyangka Leon akan benar-benar menepati janji, dan pemuda itu menjemput dia bersama bala bantuan sungguhan. Ironis. Hanya untuk seorang gadis yang bernasib di ujung tanduk, kehadiran si tangan pedang agaknya terlalu berlebihan.

***

"Gadis yang malang."

Ariana segera disambut oleh seuntai empati mendalam dari si pria tua yang melihat ia nyaris runtuh di puncak tangga. Kecemasan dan kurang tidur sempat membuat khayalan gadis itu menjadi liar bahwa yang muncul bersama Leon adalah si tangan pedang.

Seolah tidak ingin membuang waktu, si pria tua tidak berkata apa-apa dan membiarkan Leon menuntun mereka turun ke ruang bawah tanah. Ariana nyaris tidak punya energi untuk bertanya, hingga ia sama sekali tidak membantah ketika harus kembali ke ruang penuh rumah laba-laba dan berpamitan sebentar dengan tiga penghuni setia yang duduk di kursi, lalu menyusuri lorong gelap berdebu hanya dengan mengandalkan ketajaman intuisi dari daya ingat Leon yang sudah terlatih bertualang dalam kegelapan perut bumi bertahun-tahun. Si rambut merah bagai mengenal jalur rahasia seolah-olah pemuda itu sendirilah yang merancang tempat itu sebagai area bermainnya.

Akan tetapi, tetap saja jalan tikus sempit yang mungkin sudah dibangun setua Istana Zarya menyerang indra penciuman Ariana yang tidak terbiasa berada jauh dari sinar matahari. Serbuan debu pekat terusik oleh langkah di bawah mereka, berusaha mencekik tenggorokan gadis itu hingga terdengar suara napas yang dihela susah-payah dalam kegelapan, sementara Leon menggeram tak senang karena perjalanan mereka terancam berlangsung lebih lama.

"Jangan mengeluh!" Leon menghardik. Si pria tua pun mendorong bahu Ariana agar bertahan, khawatir kalau-kalau gadis itu jatuh pingsan.

Bau tempat ini sungguh buruk, batin Ariana nelangsa. Kakinya tersaruk mengikuti langkah kedua orang tersebut, tergesa-gesa ingin keluar secepat mungkin dari terowongan bawah tanah yang menyiksa. Untunglah, Leon tidak menambah kadar kesulitan Ariana dengan melontarkan komentar-komentar kejam. Mereka sedang tidak bertamasya dan istana ini tidak seindah cerita dongeng yang sering gadis itu dengar dari sang ayah semasa kecil. Andai Chantalope tahu, adiknya pasti tidak bakal menyangka. Ia sendiri pun tidak. Apa yang ia harapkan? Harta karun tersembunyi?

Semua ini hanya mimpi. Ariana mencamkan kalimat itu keras-keras dalam hati. Sebentar lagi, ia mungkin akan terbangun dan di ujung lorong telah menanti sebuah pintu penuh cahaya harapan yang akan membawa ia pulang ke rumah. Ariana sampai tidak sadar jika langkah Leon di depan kemudian melambat ketika mereka berjalan agak menanjak, lalu langkah pemuda itu kemudian benar-benar berhenti. Hidung Ariana tidak sengaja menabrak bahu liat Leon hingga ia mengaduh pelan, tetapi tertelan oleh derit nyaring sesuatu di depan. Pada akhirnya, Ariana sadar bahwa Leon sedang membuka sebuah pintu yang tampak berat dengan engsel agak berkarat. Seketika, cahaya samar dari luar menembus kegelapan dan menyilaukan penglihatan. Di depan mereka, tampak sebuah kamar yang memantik ingatan Ariana sejenak. Kamar si pria tua, tempat Leon membawa ia pertama kali. Terowongan rahasia ternyata berakhir di tempat ini.

Ariana merasakan kelegaan yang meledak luar biasa dalam rongga dada. Nyaris ia menghambur keluar, tidak memedulikan Leon yang masih berdiri menghalangi antara dirinya dan pintu, tetapi bola mata Ariana membulat seketika.

Di dalam ruangan, si Tuan Putri palsu tengah bersandar santai di atas sebuah sofa panjang.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top