Sekutu

"Mati bukanlah pilihan, Bu."

Chantalope meremas jemari, teringat sawala dengan sang ibu. Semenjak kepergian Ariana, penopang utama keluarga mereka, ia menolak untuk diam pasrah tanpa berbuat apa-apa. Ia tahu, Ammarylis terlalu takut untuk memberi sang putri kesempatan menginjakkan kaki keluar, apalagi setelah pagi berlalu di mana sang kakak menghilang; waktu itu, ia menemukan Ammarylis membeku dengan tatapan kosong seolah nyawa sudah tercerabut dari raganya. Chantalope tidak paham persis apa yang terjadi, ibunya enggan bicara. Namun, kini ia pun menolak untuk berdiam diri seperti yang diperintahkan oleh wanita itu. Jadi, Chantalope menunggu hingga rumah kosong, lalu pergi tanpa sepengetahuan Ammarylis yang kini mungkin sedang mengaduk-aduk umbi di rawa seperti yang Ariana biasa lakukan.

Sebagai si bungsu kesayangan dalam keluarga, Chantalope memang dimanjakan oleh semua orang. Kulitnya yang halus dan berseri hampir tidak pernah disentuh oleh kasarnya tanah dan bebatuan musim gugur yang dingin. Gadis seumur jagung itu lebih banyak menghabiskan waktu membantu sang ibu mengerjakan tugas rumah yang lebih ringan seperti menyulam atau membuat pai apel yang manis untuk disantap oleh ayah dan saudarinya selepas memanen buah di ladang. Namun, kini jelas ia tidak bisa duduk lagi seperti dulu. Chantalope menyampirkan tudung menutupi kepala bermahkota emas miliknya untuk melindungi dari sergapan udara, sementara kakinya yang tenggelam dalam bot nyaris selutut menabrak kerikil dengan ceroboh. Ia bahkan tidak pernah belajar untuk bergerak dalam keheningan demi menghindari keributan yang dapat membangunkan seekor beruang tidur di tengah hutan. Makhluk-makhluk berbulu cokelat hangus itu. Ayah mereka bilang, hewan itu hampir punah oleh perburuan musim semi yang menggila setiap tahun. Chantalope pun jadi tidak terlalu menakutkan keberadaan mereka. Yang harus ia khawatirkan sekarang hanyalah kematian konyol karena diserang tawon berbisa atau kesialan bertemu tentara pemburu.

Musim dingin bisa saja mengurung dan membunuh mereka di tempat ini, tetapi Chantalope diam-diam mengetahui sebuah rahasia bahwa hutan menyimpan harta karun berharga. Ia berusaha mengingat perjalanan kecil musim gugur bersama Ariana ke suatu bagian hutan favorit mereka, tempat di mana pohon-pohon maple tumbuh dan menggelar permadani jingga jika hawa dingin mulai menusuk, mengirimkan pesan cuaca bersalju yang sebentar lagi tiba. Mereka tumbuh di hutan dan punya sedikit hiburan untuk dinikmati bersama perjalanan musim yang kadang tidak ramah.

Akan tetapi, bukan pertunjukan itu yang sedang ingin Chantalope saksikan. Ia hanya ingin memastikan keberadaan tempat itu. Di musim dingin, ia bertekad akan kembali ke sana dan menyadap gula salju seperti yang sering kakaknya lakoni bersama sang ayah dulu. Chantalope belum pernah melakukannya, tetapi Ariana bilang, jejak peninggalan penyadapan beserta tong-tong penyimpanan dibiarkan saja bertahun-tahun dan mungkin bisa ia gunakan kembali tahun ini.

Kemudian, ada satu lagi tempat yang ingin ia kunjungi. Jika beruntung, di sekitar tempat itu ada beberapa pohon medlar yang buahnya bisa mereka petik di musim dingin. Chantalope tidak keberatan untuk memakan buah busuk itu kali ini, ada cukup banyak serbuk gergaji di gudang sebagai tempat bletting. Semoga Ammarylis bisa membuat selai dan gin yang akan menghangatkan mereka di musim dingin nanti.

Chantalope pun berseru tiba-tiba ketika ia sampai di depan sepasang pohon linden dan oak-ia dan Ariana menyebutnya gerbang menuju dunia ajaib, tempat kesayangan mereka di tengah hutan yang penuh warna menyala musim gugur. Tak jauh dari deretan maple, tampak beberapa rumpun medlar dengan gradasi daun dari hijau, kuning, merah, dan kecokelatan yang indah. Untuk sesaat, gadis itu melayang ke lain matra. Ujung telapak kakinya dalam sepatu berjinjit, Chantalope sedang dalam pengaruh kebahagiaan semu yang membawanya menari berputar di lantai penuh helai maple. Tidak ada yang menghentikan aksi kegilaan sesaat tersebut, kecuali kesadaran Chantalope bahwa ia sanggup tinggal di tempat ini sepanjang musim dingin andai dirinya adalah seekor kelinci yang punya lubang nyaman di bawah pohon. Selebihnya, Chantalope mesti memikirkan bagaimana cara membujuk Ammarylis untuk mengunjungi tempat ini dan mengamankan persediaan makanan mereka beberapa pekan lagi.

Untuk saat ini, kepala Chantalope hanya bisa tertunduk lesu. Dengan satu usapan penuh harap, tangannya membelai pohon maple terdekat dan berujar pelan, "Aku akan kembali untuk kalian. Tunggulah!"

Selanjutnya, gadis tanggung itu melangkah pergi meninggalkan tamasya singkat yang terasa seperti perjalanan pulang selamanya. Di hari yang biasa, ia pasti akan menghabiskan waktu lebih lama bermain bersama teman-temannya. Namun, tidak hari ini. Ada kabar yang ingin ia sampaikan pada Ammarylis tanpa harus menunda lagi. Sang ibu tidak akan pergi jauh dalam situasi yang serba tidak stabil. Wanita itu sebentar lagi pasti akan pulang ke rumah dan ia tidak ingin kedapatan menjelajah jauh ke dalam hutan hingga perasaan wanita itu sedikit melunak untuk bersedia mendengarkan rencana bertahan hidup darinya.

***

Rasanya, ia baru pergi sebentar, tetapi pintu rumah yang terbuka dalam keadaan tidak wajar dengan engsel sedikit copot di bagian atas hingga bilah pintu tampak miring, menghempaskan angan-angan Chantalope dalam sekejap ke dasar bumi.

"Ibu!"

Chantalope berteriak kesetanan memanggil Ammarylis, berharap masih ada tanda kehidupan di dalam rumah. Ruang tamu masih berantakan seperti saat penyerbuan di rumah mereka beberapa hari lalu. Di sisi meja dengan percikan darah misterius di atasnya, Ammarylis berdiri dengan wajah tegang. Napas Chantalope terembus tajam. Sekelebat pemikiran merasuk ke dalam gadis itu-matanya nyalang menyasar senjata terdekat yang bisa ia raih kemudian, lalu berkhayal memiliki kekuatan untuk merobek leher seekor warthog liar yang tiba-tiba menyerang kediaman mereka karena ibunya tidak sendirian di sana.

***

Ariana mematung di depan pintu sebelum Leon mendorongnya masuk dengan tidak sabar. Gadis itu nyaris terjungkal dan menabrakkan hidung ke meja besar di tengah ruangan, satu-satunya pemisah antara dia dan si monster.

Sial bagi Ariana, anak aneh itu segera terbangun menyadari kehadiran pengunjung lain di kamar. Sepasang mata dingin mendelik pada gadis itu. Ajaibnya, si tangan pedang tidak berusaha untuk menyentuh apalagi berniat menyiksa kali ini. Ia hanya memandangi Ariana dengan tatapan yang sanggup melumerkan pedang mainan dari timah yang malah menggigilkan sekujur tubuh Ariana.

"Lihatlah baik-baik, dia sama sekali tidak persis Libby, bukan? Libby yang kuingat lebih berisi daripada si karung kempes ini dan rambutnya tidak berwarna kusam." Leon sibuk mencerocos sambil mengunyah manisan ceri yang entah sejak kapan sudah berpindah dari piring di atas meja ke mulut pemuda itu.

"Kaubilang, aku berilusi lagi?" cela si tangan pedang dengan alis menukik.

"Persisnya tidak, Pangeran. Mungkin, waktu itu terlalu gelap hingga Anda salah mengenali orang dengan hanya memperhatikan pita birunya saja." Pembicaraan antara dua orang itu mengalir begitu saja. Si pria tua menyusul masuk ke dalam, lalu menutup pintu rahasia di belakang mereka yang berada di balik dinding tipuan dengan cawan minyak tergantung di temboknya. Dinding itu menjerit keras selagi ia mendorong dengan sekuat tenaga. Pintu satu arah yang hanya bisa dibuka jika temboknya digeser itu pun tertutup dengan rapi.

"Aku masih bisa mencium bau darah Regis." Si pangeran berujar muak.

"Dia memang seperti anjing liar yang habis diserang beruang. Mungkin itulah sebabnya."

Geraman gusar dan perbincangan yang sedang berlangsung di luar dirinya tersebut, langsung bergabung dengan sensasi ketidaknyamanan pada sekujur otot Ariana, berusaha menarik kesadarannya ke segala arah, meskipun kini ia berusaha mati-matian bersembunyi dalam pikiran yang enggan berdamai. Namun, usaha Ariana tidak bertahan lama karena sesuatu yang bertepi tajam sedang menyandung kepalanya dengan gerakan tidak sabar. Seseorang mungkin sedang menodongkan sebilah pedang, lalu Ariana menyadari bahwa itu adalah pinggiran gelas dari logam ketika ia bereaksi dengan menggerakkan kepala ke samping untuk mencari tahu. Sedikit isinya tumpah memerciki wajah gadis itu.

"Pangeran, dia tidak akan berguna jika kehilangan kepala." Suara Leon mendesak sang pangeran yang sedang mencoba berbuat sesuatu terhadap kepala Ariana untuk berhenti. Embusan lega terdengar ketika tampaknya usaha Leon berhasil. Ariana membuka kelopak mata dengan agak tersengat akibat minuman yang menimbulkan sensasi perih. Kejadian itu berlangsung cepat, seolah ia berputar-putar dalam mimpi kacau ketika gelas itu melayang mendatanginya sekonyong-konyong. Kedamaian di dalam ruangan ternyata tidak bertahan lama.

"Jari Kelingking, kau tidak diizinkan jatuh pingsan sekarang!" Bisikan Leon menampar sisi kepala Ariana yang mulai terasa nyeri. Pemuda itu segera meraih gelas yang masih melayang di udara.

"Apakah dia bagian dari rencanamu?" Sosok yang masih berbaring santai di atas sofa memandang ia dan Leon dengan sorot mata dingin.

"Bukan saya, Pangeran ... tapi Yang Mulia Ratu." Leon juga berhasil memaksa Ariana tetap berdiri tenang di tempat dengan merengkuhnya di tengkuk. Ujung kuku pada jemari kasar pemuda itu terasa mengiris kulit yang berada di bawah kerah baju Ariana.

"Menghormatlah, Jari Kelingking. Kau patut berterima kasih atas belas kasihan Pangeran kali ini."

Diperintah seperti itu oleh Leon di depan sosok yang menjadi sumber mimpi buruknya, Ariana tanpa sadar melawan tangan Leon yang menundukkan kepalanya paksa. Sebaliknya, leher gadis itu mendongak lebih kencang hingga otot-otot leher beradu kekuatan dengan tangan Leon.

"Kenapa kau mengesalkan sekali?" Leon memaki pelan, selagi sang pangeran mengamati mereka dengan tatapan yang sama sekali tidak menyenangkan.

"Apa yang kaulakukan?" Pertanyaan dari sang pangeran seolah menuduh Leon. Apa pun kedudukan Leon, pastilah orang ini tidak dipandang sebelah mata. Pemuda itu masih mampu berbicara dengan penuh percaya diri walupun ada kegamangan kentara dalam sisa nada bicaranya kemudian. Sepertinya, Leon sedang bertaruh besar . Namun, Ariana tidak peduli. Leon tidak tahu apa-apa tentang pangeran terhormatnya ataupun kenapa dirinya bisa berakhir di tempat ini.

"Pangeran, dia memang bebal seperti hewan liar, tapi saya pastikan kita bisa melatihnya dengan baik."

Ariana tahu bahwa tidak pantas jika kemudian ia melayangkan tinju ke wajah Leon yang tidak menduga tindakannya sama sekali. Pemuda itu bagaimanapun telah menyelamatkannya berkali-kali. Namun, tidak ada yang yang menghentikan Ariana untuk melompat ke arah si pangeran, lalu mendesis di depan wajah anak lelaki yang kini menatap terpicing ke arahnya.

"Kenapa kau belum juga membunuhku?"

Beberapa detik kemudian, Ariana tidak sempat menjerit karena merasakan seluruh tubuh dan kepalanya didorong tengkurap dengan keras ke lantai. Bukan anak itu pelakunya, tetapi Leon. Pemuda itu menggeram marah kepadanya.

"Apa kau sudah gila?"

Ariana hanya mampu tunduk dan melenguh pasrah di atas permukaan batu yang berpasir dan terasa hangat oleh sesuatu yang ia sadari kemudian adalah keringatnya sendiri. Ia ketakutan, tetapi tetap melawan tanpa harapan. Rasanya bagai kejatuhan kedua yang tidak mampu ia hadapi setelah diculik dari keluarganya. Ia merasa benar-benar kosong.

"Dia lebih menyusahkan daripada Regis." Sang pangeran menyela dengan sinis. Tekanan Leon di atas tengkuk Ariana pun berkurang, gadis itu menarik napas dengan sesak. Ia tidak tahu apa arti perbincangan mereka karena Leon malah tertawa sumbang sebagai tanggapan.

"Anda benar, Pangeran. Jadi, apa yang harus saya lakukan padanya sekarang?"

"Buat ia menyesal."

Napas Leon di atas Ariana terembus kasar dengan cepat. Pemuda itu belum sepenuhnya merasakan kelegaan karena tekanan di tengkuk Ariana kini bertambah berat.

"Sudah kubilang, keberuntunganmu tidak datang dua kali, Jari Kelingking!" Leon berujar setengah memaki, lantas menepuk belakang kepala Ariana sebagai ganjaran.

"Sudah, cukup!" Si pria tua mengakhiri segala ketegangan. Merasa cukup menonton, ia maju ke arah si pangeran dengan sikap dan tutur penuh waspada. Pria tua itu agak membungkuk di depan si tangan pedang.

"Gadis ini sekarang adalah tanggung jawab saya, Yang Mulia."

"Ayah!" Leon terperanjat.

"Maafkan kelancangan saya. Saya tidak mau lagi kehilangan seorang pelayan untuk bersih-bersih hanya karena ia terlalu cantik sampai menjadi korban atau terlalu ketakutan hingga kabur lantas dibunuh. Gadis ini kelihatannya cukup kuat secara mental dan fisik untuk bertahan di tempat ini."

"Baiklah, permintaanmu dikabulkan."

Di luar dugaan, sang pangeran menyetujui dengan cepat, hingga napas Leon mendengkus tak percaya dengan keras.

"Begitu saja?" tanya pemuda itu keheranan luar biasa.

"Dengan satu syarat." Si tangan pedang menyambung. "Jika ia kabur, aku sendiri yang akan membunuhnya."

"Pak Tu-"

Si pria tua lekas beralih dan membekap mulut Ariana, menarik gadis itu menjauh dari si pangeran yang kemudian lantas larut kembali dalam tidurnya seakan tidak terjadi apa-apa. Sia-sia saja Ariana melawan kekuatan sang pria yang ternyata tidak seringkih usia dengan warna rambut pirang memudar tersebut. Ia dibawa ke dalam ruangan yang lebih kecil seperti lemari pakaian di balik dinding, lalu disuruh duduk menunggu di sana.

Baru saja Ariana keluar dari ruang bawah tanah, kini ia harus kembali menempati bilik sempit penuh debu dan berbau apak pakaian lama. Sayang, ia sudah terlampau lelah, mengantuk, dan lapar untuk mengumpat kesal. Dalam pelukan gaun-gaun usang yang sudah lama tak disentuh, gadis itu jatuh tertidur tanpa sadar, menggeloyor begitu saja di atas lantai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top