Ratu Ruby Rose

Mereka berjalan cukup jauh menyusuri sebuah lorong hingga akhirnya tiba di sebuah pintu besar yang tinggi— pintu dengan lambang kerajaan Zarya berupa simbol air dan biji gandum, sesuai dengan wajah lanskap negeri mereka yang dibelah oleh sebuah sungai memanjang memisahkan antara barat dan timur. Jika masa panen gandum tiba, ladang-ladang hijau di wilayah barat akan menguning, sementara wajah timurnya adalah area perbukitan dan hutan dengan kanopi yang cukup lebat, tempat tinggal bagi beberapa binatang buas yang sudah cukup jarang ditemui, yaitu beruang. Lebih jauh lagi ke timur adalah pegunungan dengan puncak salju abadi yang curam dan mustahil untuk didaki.

Kerajaan mereka adalah wilayah cinta damai dengan pertahanan alam yang boleh dikatakan nyaris sempurna oleh adanya lanskap tadi. Jadi, tidak ada yang menyangka ketika sebuah serbuan dari tanah asing langsung meluluhlantakkan Zarya dalam semalam.

Para lelaki berambut merah yang menggiringnya ini adalah orang-orang yang sama. Mereka adalah bagian dari pasukan yang membantai rakyat Zarya sehingga negeri mereka menjadi tanah mati. Seorang lelaki di depan mereka kemudian menyuruh dua orang penjaga untuk membukakan pintu dan Ariana seolah menahan napas saat pintu berat itu mengeluarkan suara derit menyakitkan.

Ia melirik pemuda rambut merah di sebelahnya. Leon. Hanya itu yang Ariana ketahui tentangnya. Ketenangan di wajah pemuda itu malah membuat jantungnya berdebar lebih kencang dan ia gagal menutupi rasa gugup. Jadi, ia beringsut mendekat pada Leon berusaha menyembunyikan diri di balik punggungnya. Saat pemuda itu berjalan masuk, ia tetap merapat di belakang sambil mengintip, sampai Leon mendorongnya ke depan setelah tiba di sebuah singgasana. Ariana belum pernah masuk istana, tetapi ia yakin bahwa ini adalah singgasana milik penguasa sebelumnya.

"Apa yang kaubawa kali ini, Leon?" Suara seorang wanita menjengkit kesadaran Ariana. Akhirnya ia bertemu dengan sesama kaumnya setelah sehari semalam berurusan dengan para lelaki.

"Sesuatu yang mungkin Anda suka, my Lady." Leon membungkuk hormat, begitu pula lelaki-lelaki di sekitar mereka. Ariana mengamati bingung. Apa ia harus membungkuk juga? Namun, demi mendengar cara Leon menyebutnya dengan istilah "sesuatu" tadi, kehormatan dalam diri Ariana berontak. Ia memang di posisi sulit dan nyaris mati sekarang, tetapi bukan berarti tidak punya harga diri.

"Bukankah dia sungguh berani, Leon?"

Ratu Ruby Rose turun dari singgasana, memperlihatkan wajahnya yang semula tersamar di balik bayang-bayang. Wanita itu mendekati Ariana sehingga barisan lelaki di kanan kirinya mundur memberi jalan. Sialnya, Ariana kemudian malah terkesima.

Seperti namanya, wajah Ratu Ruby Rose sangatlah elok, tegas, dan sempurna dengan mata hitam cemerlang yang menghias indah. Ariana berani bertaruh, ini adalah wanita tercantik yang pernah ia lihat seumur hidup.

"Namanya Arian—" Belum selesai Leon memperkenalkan Ariana, sang ratu mendorong kepala gadis itu sehingga terjengkang ke belakang. Para lelaki pun tertawa, sementara Leon hanya meringis aneh dengan wajah memerah.

"Dia bahkan tidak sanggup berdiri!" Gemuruh tawa terdengar makin kencang akibat kelakar sarkas yang dilontarkan oleh Ratu Ruby Rose. Seakan malah dirinya yang disindir, Leon menyentak punggung Ariana ke atas agar berdiri tegak di atas kedua kakinya. Entah apa yang sedang pemuda ini lakukan, bahkan Ariana menganggapnya konyol setengah mati.

"Berdirilah dengan tegap atau kupotong kakimu!" ancam Leon di telinga Ariana. Ariana menelan ludah menahan lelah, lapar, dan rasa takut. Namun, ia tidak boleh gentar apalagi jatuh pingsan. Ia tidak boleh terlihat lemah di mata orang-orang ini. Wajah ibu dan adiknya melintas di depan mata.

"Kenapa kau membawa si ceking ini, Leon?" tanya Ratu Ruby Rose geli. Wanita itu kehilangan minat sepenuhnya dari Ariana dan tidak sudi memandang gadis itu untuk kedua kali.

"Si anak bawang melarang kami membunuhnya, Yang Mulia," sahut seorang lelaki berjanggut sepanjang dada dengan penuh sesal. Ucapan lelaki itu dihadiahi oleh Leon dengan tatapan maut penuh hasrat membunuh.

"Akhir-akhir ini sulit menemukan gadis yang bagus!" Leon berusaha membela diri.

"Dan kau asal comot saja, bocah!" Lelaki itu membalas.

"DIAM! BERANINYA KALIAN BERTENGKAR DI HADAPANKU!" Jantung Ariana nyaris melorot mendengar suara menggelegar bak guntur tadi.

"Jadi, apa yang harus kulakukan dengannya?" tanya Ratu Ruby Rose kembali mencermati Ariana. Wanita itu kini berputar mengelilinginya sehingga gadis itu merasa seperti seekor ternak yang sedang dinilai sebelum disembelih saja.

"Dia terlalu kurus, pasti dagingnya rasanya alot. Wajahnya kecut dan tidak cantik, pasti darahnya juga tidak manis. Dan siapa yang mau mengepel lantai dengan rambutnya yang kusut itu?" Apa yang wanita ini bicarakan?

"Argh!" Terdengar geraman putus asa dari mulut Leon seperti kalah taruhan saja. "Tapi lihatlah Yang Mulia! Gadis ini mampu membuat kami semua basah!" Leon bangkit tantrum seperti anak kecil yang merajuk karena usahanya tidak dihargai. Sang ratu akhirnya mengangkat alis heran.

"Menarik, bukan?" Senyum Leon terbit penuh kemenangan. Pemuda itu lantas mengedipkan sebelah matanya jenaka.

Tawar-menawar gila apa ini sebenarnya? Ariana benar-benar cemas sekarang, sadar bahwa betapa anehnya semua orang yang ada di ruangan ini. Ia merasa seperti tikus yang sedang disekap oleh sekawanan kucing saja. Lalu, jangan tanya kenapa para lelaki itu basah. Dia hanya mencoba kabur secepat mungkin lewat jalur sungai.

Di luar dugaan, Ratu Ruby Rose tertawa keras, tetapi kali ini hanya Leon yang menyambut tawanya karena yang lain memandang gusar pada si pemuda.

"Ah, aku tahu !" Mata Ratu Ruby Rose berbinar penuh semangat dan dagunya terangkat angkuh sekarang. Wanita itu kemudian menepuk pundak Leon senang.

"Leon, mandikan si Arian karena dia kotor sekali seperti tikus comberan! Ikat rambutnya dengan pita dan pakaikan baju yang bagus! Lalu kirimkan dia ke kamar tuan putri! Aku ingin tahu bagaimana reaksinya ...." Wanita itu berdenyar mengulum bibir senang. Leon terbatuk kecil mendengar titahnya, sepertinya tidak menyangka kalau perintah itu yang bakal ia terima, tetapi pemuda ini jelas tidak berani membantah. Ia hanya mengangguk patuh.

"Kau beruntung karena ratu memutuskan tidak membunuhmu. Diam dan berjalanlah lebih cepat!" delik Leon tajam saat menyeret Ariana pergi dari balairung istana. Mereka berhenti di ujung lorong sayap kanan istana. Leon lalu mengetuk pintu sebuah ruangan dan seorang lelaki tua dengan rambut dan cambang penuh uban muncul. Lelaki itu melihat Ariana ibarat melihat hantu. Leon segera mendorong Ariana masuk ke dalam dengan kasar.

"Seorang gadis?" tanya lelaki itu sangat terkejut sekaligus ketakutan.

"Ya, Ayah. Jangan tanya bagaimana. Aku berhasil menyelamatkannya di hutan, tapi sekarang dia harus dimandikan dan diserahkan pada tuan putri. Hebat, bukan?"

"Kenapa?"

"Lakukan saja Ayah, demi keselamatan kita berdua. Kumohon!" Ariana terperenyak mendengar perkataan Leon. Kata-kata pemuda itu terdengar familier di telinganya dan ia tidak bodoh kalau sekarang nyawanya dipertaruhkan sebagai tameng di sini. Tapi, kenapa?

"Tolong, jangan sebutkan namamu!" pinta lelaki itu pada Ariana ketika Leon telah meninggalkan mereka berdua saja di dalam kamar yang tidak terlampau luas, penuh buku dan alat tulis di atas sebuah meja besar.

"Tolong, lepaskan pakaianmu!" perintah lelaki itu lagi membuat Ariana terkejut. Refleks, ia sembunyikan rapat tubuhnya di balik lengan. Lelaki tua itu menatapnya prihatin.

"Nak, aku pernah melihat yang lebih mengerikan dari ini. Percayalah, melihat tubuh perempuan kini hanya membuatku ingin muntah," keluh lelaki itu penuh derita. Ariana tidak mengerti maksudnya, tetapi juga tidak lantas menurutinya.

"Cepat atau lambat, kau harus melakukannya. Atau kau lebih senang bila Leon yang menyuruhmu? Sebentar lagi, dia akan datang, dan dia bisa sangat kasar. Percayalah padaku." Suara lelaki itu terdengar kesal. Entah kenapa Ariana percaya. Nalurinya, lelaki ini tidak berbohong. Akhirnya, ia melakukan apa yang disuruh oleh lelaki itu, menanggalkan seluruh pakaian yang melekat di badan.

Lelaki itu lalu menyuruhnya masuk ke sebuah ruangan dengan bak mandi di dalamnya. Terlihat airnya masih hangat mengepul, seperti sengaja dipersiapkan untuk digunakan oleh seseorang. Gadis itu bahkan patuh menggosok badannya di sana sini sesuai perintah si lelaki. Tatkala mendengar perut Ariana berbunyi nyaring, lelaki itu menyuguhinya sebuah hidangan selagi ia berada di dalam bak mandi. Ini ... berlebihan.

"Kenapa Anda baik sekali terhadap saya?" Akhirnya, Ariana bicara. Lelaki ini tidak membuatnya takut sama sekali, itulah alasannya. Jadi, ia merasa punya keberanian untuk berbicara lagi setelah kejadian-kejadian tadi. Namun, lelaki itu hanya menatapnya sedih dan membuat perasaannya tidak enak. Lebih-lebih ketika Leon datang membawakan baju ganti pelayan yang penuh renda lengkap dengan pita rambut, wajah lelaki itu tertekuk muram. Ariana merasa sedang diantarkan pada kematian saja. Ia memang tidak paham ada apa sebenarnya. Tapi, orang-orang ini jelas tidak normal!

Satu-satunya yang normal adalah kesedihan di wajah lelaki itu dan desahan napas Leon ketika memaksa untuk mengikatkan pita di rambut Ariana karena menurutnya gadis itu melakukannya dalam cara yang salah. Keahlian yang aneh untuk dimiliki oleh seorang pemuda bertangan kasar dan terbiasa memegang pedang. Namun, Ariana tidak berminat menanyakannya, terlalu menakutkan.

Si lelaki tua mencekal lengannya kuat sesaat hingga terasa sakit. Susah payah lelaki itu berusaha menutupi mendung di wajah kelabunya.

"Gadis siapapun namamu, berjanjilah tetap hidup! Kau harus tetap hidup apa pun yang terjadi!"

"Apa maksud Anda, Tuan?"

"Jangan pernah membuat Tuan Putri marah!"

"Marah kenapa?"

"Lepaskan pita—"

"Ayah!" bisik Leon gusar di telinga pria itu. Lelaki itu seolah tersadar dan menahan ucapannya. Namun, terlambat. Ariana sempat mendengar sebagian instruksinya tadi. Mungkin saja "lepaskan pita" tadi adalah penentu hidup dan matinya. Ia tidak ingin mati, setidaknya sampai meyakinkan ibu dan adiknya selamat ....

Lalu, terdengar ketukan keras di pintu. Seseorang menjemputnya. Rupanya, beberapa orang lelaki yang bersama Leon di tepi sungai. Lelaki-lelaki berambut merah itu kini menyeringai senang melihat penampilannya sekarang.

"Bakal ada pertunjukan menarik malam ini," ujar salah satu dari mereka yang dibalas oleh seringaian temannya.

"Nah, Anak Bawang, tugasmu sudah selesai. Serahkan si Arian pada kami."

"Selamat tinggal, Ariana!" ujar Leon mengucapkan salam perpisahan yang terdengar sarkas sekarang.

"Leon?" panggil Ariana merasa takut sekarang ketika para lelaki membawanya pergi. Namun, Leon hanya menyaksikan dari balik birai pintu dan si lelaki tua sudah tidak terlihat lagi. Ariana merasa sendirian sekarang setelah sebelumnya bagai terdampar di sebuah oase. Ia kini digiring ke kamar sang tuan putri sesuai perintah Ratu Ruby Rose. Memangnya, akan segila apa tuan putri ini?

Lagi-lagi mereka berjalan menyusuri lorong, tetapi kali ini letaknya berada tidak jauh dari kamar Leon berada. Hanya beberapa tikungan, maka tibalah ia di sana. Kamar ini punya pintu yang lumayan besar walau tidak sebagus pintu ruang balairung. Pasti ini kamar si tuan putri yang dimaksud. Pintu itu tidak terkunci sehingga para lelaki dengan leluasa mendorongnya masuk ke dalam, lalu menguncinya dari luar. Sungguh? Cara mereka memperlakukannya, Ariana merasa seperti sedang diumpankan saja.

Suara pintu berdebum di belakangnya seolah teredam ketika Ariana menyaksikan pemandangan yang ada di hadapannya. Lututnya serasa lemas seketika. Kejadian buruk yang ia alami sejak semalam kini seolah mimpi buruk saja karena dia sekarang ada di dalam kamar seorang putri. Semua hal yang ada di kamar ini adalah impian para gadis!

Gadis mana yang tidak pernah memimpikan sebuah kamar indah dengan tempat tidur bertiang emas berkilau dengan tirai mewah? Semua perabotnya bahkan dipoles mengilap dan sedap dipandang mata. Juga hiasan-hiasan pada dinding yang cantik dan khas remaja putri. Nyaris saja Ariana melemparkan diri ke atas kasur yang empuk karena terbawa oleh suasana, tetapi pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda di sisi meja rias dengan cermin besar. Teronggok di dinding, bersandar sebuah pedang besar.

Lidah Ariana kelu. Aroma tajam misik pun menguar ketika seseorang keluar dari dalam sebuah ruangan yang sepertinya kamar mandi karena rambut panjang hitamnya meneteskan air ke lantai dan separuh tubuhnya yang kini polos tak lagi tertutup baju zirah terlihat segar.

Si tuan putri palsu itu menelengkan kepala. "Kau?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top