Kutukan Pita Biru

Dinding kamar sang tuan putri yang megah bagai warna kwinsi matang lagi ranum di pinggiran hutan musim gugur, terasa taksa berpadu dengan pedang besar berujung lengkung yang bersandar di salah satu sudutnya. Aroma tajam misik turut mengacaukan indra Ariana, bercampur asamnya kwinsi menyengat lidah dan membuat air liurnya menetes deras di dalam mulut; bukan lantaran berselera, tetapi tersiksa. Ammarie biasanya menyuguhkan beri ajaib sebelum menyantap buah musim gugur ini agar rasanya lebih bersahabat kala disantap.

Lepaskan pita. Frasa itu menggaung dari balik dinding, lalu menyelusup ke dalam benak Ariana secepat sambaran kilat. Melewatkan satu malam bagai neraka, nasihat sederhana yang keluar dari sang pria tua, ayah si rambut merah, jelas sebuah simpul tipuan yang siap menjerat mati andai dia keliru menafsirkan.

Tetap saja Ariana waswas, berharap tidak ada tipuan dalam isi nasihat itu. Jemarinya gagal mengurai pita yang terikat di puncak kepala. Leon mengikatnya sungguh erat-semakin keras ia tarik, pita itu mencekik kepalanya makin kuat. Si rambut merah sengaja melakukannya! Maka, belum genap usaha kerasnya berbuah, tubuh Ariana terangkat beberapa jengkal dari lantai gamping kelabu, lalu meluncur deras ke arah si tuan putri palsu yang menatap cowong pada matra semu di antara mereka. Lengan Ariana terperangkap di antara sepasang tangan dingin; tajam misik merebak menyerbu segala indra pengecap. Manik bercorak sonokeling di hadapannya melebar seakan menghimpun bayangan dirinya di depan netra.

Sejenak, Ariana yakin dirinya akan dibanting-banting seperti boneka atau dibelah dua dari puncak kepala seperti ancaman yang sudah-sudah. Namun, tindak-tanduk si anak lelaki bagai dua sisi cermin yang terpisah. Manik mata gelap itu kini menggeletar, sudut bibir dan alisnya melengkung turun. Seketika wajah besinya retak berganti rupa dan karsa.

"Libby .... Kaukah itu?"

Ariana bersumpah anak ini sedang kerasukan. Bulir air mata merembes turun dari balik kelopak hingga bening kacanya berkilau basah. Mata elang lapar bagai ingin mencincang diri dan keluarganya tadi malam, lenyap sudah. Sebaliknya, mata itu serapuh keping salju terakhir di musim semi, meleleh tanpa daya. Gentar dalam hati Ariana berubah wujud menjadi percikan pijar yang kembali memperoleh kuasanya setelah diganyang oleh si mata elang.

"Tahukah, kau, Libby? Dia mematahkan keempat tungkai Regis. Regis ... Regis sangat kesakitan. Jadi ... aku membunuhnya!" Anak itu menggerung dengan suara terpecah ke langit-langit. Bahunya berguncang kasar hingga menyentak tubuh Ariana bagai gempa.

"Turunkan aku!" perintah Ariana kesal, berusaha menyingkirkan pergelangan yang menahan dirinya. Perutnya yang telah penuh oleh makanan terasa mual. Anehnya, , anak itu melakukan tanpa membantah. Namun bukan ke lantai, tetapi ke dalam gendongannya. Bahkan, anak itu menenggelamkan wajah ke salah satu bahu Ariana sehingga arus kesedihan mengalir deras dalam tumpahan emosi.

Sumpah serapah teredam di balik keliman rapat bibir Ariana. Gemeletuk rahang membuat dirinya sakit. Masih lekat dalam ingatan Ariana peristiwa pilu malam tadi. Kelingking kirinya yang raib terasa kembali berdenyut bersama bayang ratapan sang ibu. Namun, itu juga tidak mampu menghentikan si mata elang yang kini bertingkah jinak.

Sayang, buah yang terjatuh tidak akan kembali pada pokoknya. Begitu pula dengan perbuatan tercelanya. Tidak akan memperoleh simpati sedikit pun dari Ariana. Sengkarut apa pun yang berkelindan dalam diri si mata elang, mata hati Ariana tidak akan tertipu apalagi tersentuh.

"Libby, kenapa bau tubuhmu seperti Leon?"

Ariana tercekat ketika anak itu mengendus-endus kulit di balik gaun pelayan yang ia kenakan. Darahnya tersirap ketika samar aroma besi justru memasuki rongga hidung dan menyesaki penciuman bersama misik yang kuat. Ia bergidik membayangkan itu adalah bekas yang tertinggal dari para korban malang pembunuhannya. Sudah berapa nyawa diperas percuma oleh scimitar yang tergolek di dinding? Diri dan keluarganya pun sempat pula merasakan ancaman kematian yang dibawa oleh pedang itu. Oleh pemiliknya yang sekarang hilang akal?

"Singkirkan hidungmu dari bahuku, Pembunuh!" Ariana mengumpat tanda terganggu. Sial. Permintaannya barusan malah mengundang sesal. Mata anak itu lantas terangkat menyusuri wajah tanpa ranum keremajaan miliknya. Netra gelap bak elang berpijar melempar tanda seru sekaligus tanya.

"Dari mana saja kau, Libby? Apakah kau lebih senang berteman dengan Leon daripada aku?" Apakah anak ini masih membicarakan soal aroma? Tentu saja Ariana punya aroma Leon. Ia baru saja mandi di tempat Leon dan menggunakan minyak dengan aroma yang sama!

"Ap-"

"Kau dan Regis, kenapa kalian meninggalkanku? Apa kau juga membenciku seperti ratu padaku?" Pertanyaan dari anak itu makin meninggi dan menuntut. Manik matanya yang semula redup, kini bergerak liar mencari jawaban.

"Aku bukan Libby siapa pun orang yang kaumaksud!"

"Bohong!"

"Turunkan aku, B*r*ngs*k! Mereka pasti meninggalkanmu karena takut pada dirimu!"

"Diam!" Ariana seolah mampu merasakan gelombang energi melibas sisi telinganya, lalu terdengar bunyi patah nyaring berasal dari benda di belakang-ia tebak, sebuah tiang tempat tidur telah menjadi sasaran. Perasaannya sendiri berbaur aneh tatkala menyaksikan anak di hadapannya menutup kedua telinga rapat seakan takut disambar oleh guruh petir di musim berbadai.

"Libby, jangan tinggalkan aku ...."

Ariana memutuskan untuk tidak larut dalam tipu daya sang iblis. Hanya makhluk lemah yang menjadi santapan empuk baginya. Akan tetapi, ia tidak bersedia ditundukkan oleh wajah bermuka topeng itu.

"Sudah kubilang, aku bukan Libby!" pekik Ariana gusar ketika anak itu menurukan dirinya, lalu malah bersimpuh memeluk salah satu kaki gadis itu. Ariana bermaksud keluar dari ruangan penuh kegilaan dan sandiwara, tetapi inilah yang terjadi. Ia sentak kaki itu kuat, tetapi rengkuhan di pergelangan betisnya terlampau erat. Bagian bawah gaunnya sampai terangkat hingga ke lutut. Anak lelaki itu memeluknya begitu kokoh bagai sedang memeluk sebatang pohon.

"Lepaskan!"

"Jangan keluar, Libby! Regis sudah mati. Sebentar lagi pasti giliranmu!" kata anak di bawah kakinya panik.

"Persetan! Aku bukan Libby! Lihat ... lihat!" Dengan sepenuh tenaga, Ariana berusaha menyisipkan jari ke balik pita yang mencengkeram batok kepalanya. Beberapa helai rambut turut tertarik dan membuatnya meringis, tetapi ia terlanjur kalap untuk berhenti. Ariana jijik harus menghadapi sandiwara sang iblis yang memuakkan. Lalu, ia masih harus menariknya lagi dengan sekuat tenaga. Susah sekali melakukan itu dengan satu jari kelingking telah hilang dari pangkal.

"ARGH!" Sebuah teriakan gusar memuluskan usaha Ariana. Pita sialan itu terlepas bersama helai rambut yang tercerabut dari akar. Ia lemparkan benda berwarna biru malam itu ke atas lantai di depan si anak yang tampak terkejut menyaksikan perbuatannya. Anak itu berpaling menatap dirinya dengan mata nyalang. Perlahan, urat saraf wajahnya yang semula kendur bak lilin yang liat, kini mengeras. Otot-otot rahangnya menegas membentuk ekspresi garang. Matanya yang redup pun bergelora membara. Seketika firasat Ariana menjelma sangat buruk. Pembunuh kejam yang memburu diri dan keluarganya tadi malam, seolah hadir kembali ke hadapannya.

Teriakan berdentum memenuhi kamar dan dalam sekejap, tubuhnya telah terhempas menghantam dinding di sisi ranjang sang putri. Kesadaran dan ketakutan bercampur dalam pandangan berkabut Ariana. Tubuhnya doyong, lunglai ke lantai. Dunia seakan berpilin dalam ombak penglihatan yang mendera indra dan pusat keseimbangan. Telinganya tuli mendadak. Namun, sorot matanya masih mampu menangkap si pembunuh bertangan pedang tengah terpancang tegak di seberang ruangan. Auranya bak melipat matra di antara mereka dan menggelugut segenap keberanian Ariana yang semula berkuasa.

Ariana segera menyadari bahwa dirinya mungkin mengalami cedera pascabenturan yang menyakitkan tadi. Namun, tidak ada waktu untuk memulihkan diri. Ia menjatuhkan diri serejang untuk berguling ke bawah ranjang, lalu melenguh disiksa oleh nyeri hebat mendera bagian belakang kepala. Tubuhnya seakan diguncang gempa dan meliuk berputar hingga sensasi arahnya kacau-balau. Uh, sekuat tenaga ia menahan gejokak isi perut yang berontak. Ariana merasakan mual yang teramat hebat hingga kesusahan bernapas. Mungkin, tindakannya sekarang bukan pilihan paling tepat. Namun setidaknya, kegelapan di bawah sini akan menyembunyikan dirinya sejenak dari dunia benderang di luar sana yang penuh mara bahaya.

Ariana menghela di antara jeda senyap. Sejak malam naas, ia bagai berpindah dari satu neraka ke neraka lain yang hanya berbeda ruang dan masa. Pupil matanya membesar berusaha menjaring sekadar cahaya, terpana menunggu bunyi atau gerakan di luar tempat persembunyian. Gadis itu tahu nasibnya belumlah niscaya. Selama detik-detik celaka itu, tiba-tiba saja ia berserdawa karena perutnya terlampau sebah. Ariana sadar keberadaannya amat kentara. Tanpa petunjuk itu pun, dirinya tinggal menunggu waktu untuk diseret keluar oleh si pemilik kamar. Sementara, sisi naifnya menafikan dan sedikit harapan kecil tercipta agar dirinya dibiarkan lolos begitu saja.

Terlena dalam jeda, neraka ternyata membayangi setiap keingingan terdalamnya. Ariana melihat langkah berterompah mendekati sudut berupa ceruk kecil tempat ia meringkuk. Bukannya berbelok dan berlalu dari tepi ranjang, langkah itu berhenti di seberang hidung mungil milik Ariana yang kini kembang kempis berlomba dengan asa.

Tak pelak, biduk nasib tidak menentu yang terjadi padanya, mulai menjelma menjadi putus asa. Kaki itu bergerak turun memperlihatkan sepasang lutut dan pinggiran handuk. Kemudian, rambut panjang hitam menyapu lantai dan sepasang wajah muncul mengintip ke bawah. Ke arah dirinya.

Ariana tahu bahwa tidak ada gunanya tergemap sekarang. Gadis itu mengabaikan nyeri pada bagian belakang kepala dan punggung, lalu berguling secepat kilat ke arah sebaliknya untuk keluar dari bawah ranjang bagai tertangkap basah oleh malaikat kematian. Ariana menyelamatkan nyawanya yang kini berada di ujung tanduk.

Usahanya bergulir mulus. Namun sayang, si tangan pedang memang bukan tandingan makhluk lemah seperti dirinya. Bahkan, prajurit perkasa pun belum tentu mampu menghadapinya. Maka, Ariana memekik dalam bisu tatkala dirinya tertarik ke belakang sebelum berhasil mencapai pintu untuk kabur. Tubuhnya terbanting keras ke atas ranjang dan menghantam patahan tiang yang melintang. Hanya bulir air matanya keluar untuk mengaduh menahan nyeri luar biasa merajam kepalanya yang cedera. Ketika wajah anak bertampang kejam itu terbit bak kutukan gerhana di atas kepalanya, kesadaran Ariana akan dunia lamat-lamat memudar.

***

"Libby, apa yang kaulakukan pada dirimu?"

Samar-samar suara serak berbisik seperti berasal dari depan wajahnya. Suara itu bercampur dengan gemerisik ingus dan air mata yang disedot kuat dalam rongga hidung. Ariana tidak tahu apa sedang terjadi. Penglihatannya kabur ketika sebentuk bayangan wajah berada di luar titik pandang. Ariana bisa merasakan gerakan jemari yang menyelusup pada anakan rambutnya yang tumbuh di pangkal leher. Sejemang ia tidak tahu apa yang tengah dilakukan oleh pemilik suara tadi. Hingga sebuah lilitan terasa mencekik erat kulit kepala beserta akar rambut yang berada di dalamnya, Ariana pun tahu bahwa sebuah benda telah diikatkan pada kepalanya. Darahnya berdesir membayangkan itu adalah pita biru yang sama dan diikatkan oleh Leon.

"Kau tahu, bukan, Libby? Aku terpaksa melakukan ini agar kau tidak tertangkap dan dibawa ke altar. Jangan berpikir aku jahat. Kau dan Regis yang paling kusayang di dunia ini."

Demi semua kegilaan buntu tanpa jalan keluar, lidah Ariana terpasung kelu. Ia menutup mata rapat saat tubuhnya bagai terbalik hingga darah terasa berkumpul di puncak kepala, tertarik oleh gravitasi. Indra perasa di sekujur tubuhnya memang masih tumpul, tetapi pikirannya awas. Jadi, Ariana tahu saja bahwa ia sedang dibawa pergi entah ke mana.

Kepalanya makin terasa sakit bagai dibebat, baik dari luar maupun dalam. Bunyi tapak langkah terdengar dekat di kepalanya. Menusuk-nusuk gendang telinga yang mulai mendebur oleh aliran darah. Cukup lama tubuhnya terayun-ayun dan orang yang membawanya kiranya berbelok beberapa kali di tikungan, hingga akhirnya langkah itu berhenti. Bunyi benda berat bergeser memerikan telinga. Geligi Ariana seakan turut berkertak. Lalu, ia dan pemanggulnya kembali bergerak ke dalam sebuah ruangan-Ariana merasa yakin tatkala kelembapan hawa menyergap kulitnya. Pengap. Sepertinya, ia dibawa turun menyusuri tangga karena ayunan tubuhnya semakin liar dan sensasi gerakannya mendeteksi penurunan dan kecuraman. Rupanya, cukup dalam lantai yang mereka tuju. Setelah tiba di ujung anak tangga, mereka kembali bergerak. Hidung Ariana segera diserbu oleh bau busuk bercampur apak menjijikkan. Apakah ia ada di saluran limbah ruang bawah tanah?

Ariana merasa tubuhnya diturunkan perlahan lantas didudukkan; tampaknya sebuah kursi dengan sandaran tinggi. Punggungnya membentur keras dan dipaksa membujur kaku. Sekali oleng, tata letaknya kembali diluruskan. Setelah dirinya bergeming, barulah langkah kaki itu menjauh. Setelah bunyi tapak pada anak tangga memelan dan terdengar bunyi bergeser yang berat, Ariana sadar bahwa ia kini sendirian. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan hingga memutuskan untuk membuka sepasang kelopak mata yang enggan berpisah.

Bunyi melangkau pendengaran, bergaung menabrak dinding ruangan. Matanya cekatan memindai ada beberapa kursi di ruangan itu. Satu yang ia tempati, sedangkan tiga lainnya telah berisi. Tiga jasad. Mumi dengan sisa daging bagai bekas terbakar menyerang segenap keberanian. Ariana takluk pada ketakutan dan menjerit histeris seketika.

Namun, mulutnya kemudian dibekap dari belakang. Lengkingnya teredam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top