Kawan Atau Lawan
Fajar baru menyingsing saat kuda mereka tiba di hilir sungai yang membelah batas kota. Dulu, pemandangan di tempat ini bagai di neraka. Jasad-jasad mengambang di permukaan atau tersangkut di bagian sungai yang dangkal. Banyak di antaranya yang masih berpegangan tangan atau berpelukan erat. Ayah dan putra, ibu dan bayinya, sanak saudara, tua, muda, semuanya bercampur baur dalam genangan darah dan air mata alam. Tidak ada seorang pun yang selamat sudi berhenti sekadar memberi simpati. Orang-orang terlalu sibuk menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing.
Hingga sebuah keajaiban terjadi; air yang banyak tertumpah dari langit dan meluapkan permukaan sungai. Arus kuat menggulung dari hulu ke hilir menyapu semua yang ada di jalannya. Bagai sihir, sungai licin tandas tanpa jejak penderitaan tersisa berserta sejarah kelam yang pernah terukir. Jasad-jasad tanpa nama itu telah hanyut ke dasar samudra dan terkubur dalam palung kesunyian. Sirna.
Yang hiduplah kini yang bertahan.
Si antagonis yang belum diketahui namanya turun dari punggung kuda dengan sebuah lompatan ringan meskipun tersampir pedang besar di punggung. Ia lepaskan pedang itu dari sarung lantas senjata itu dilesakkan cukup dalam pada tanah lempung bercampur pasir dan kerikil. Ia sendiri masuk ke air bersama terompah yang perlahan basah ditembus anasir kehidupan. Dalam satu sentakan kaki, benda itu melayang ke tengah sungai, disusul oleh pasangannya.
Ia sungguh tidak ambil pusing ketika arus mencoba mencuri sepasang terompah yang terapung pergi. Tangannya terentang sejenak dan keduanya meluncur membelah arus kembali pada tuannya. Yang membuat kulit di keningnya kerisut adalah saat ia bertekad untuk meraup air. Bukannya naik ke atas seperti yang ia harapkan, tetapi air itu malah memencar lengkung berlapis dalam pantulan gelombang ibarat diterpa angin pada permukaannya. Ia mendengkus kesal dan sekejap dinding air tersingkir menyingkap dasar bebatuan sungai yang landai sebelum akhirnya kembali sediakala.
Ia memang tidak pernah mampu memerintah air.
Merasa tidak ada harapan, ia ambil sebelah terompah lalu menciduk air menggunakan benda itu. Ia penuhi isinya lalu ia siramkan ke atas kepala hingga air menetes dari sela-sela rambut panjang yang agak kusut dimakan cuaca tadi malam. Tindakan itu ia lakukan berulang kali hingga seluruh tubuhnya basah. Zirah tipis yang masih melekat di badannya pun turut basah karena ia tidak mau repot-repot melepaskan benda itu.
Entah apakah ia kedinginan berbasah-basahan bersama lapisan logam yang melekat pada tubuhnya di akhir musim gugur menggelugut tulang. Belum cukup juga dengan mengguyur tubuh, ia menenggak air dari dalam terompah, lalu mata elangnya berpaling pada sesosok gadis yang terkulai tidak sadarkan diri di punggung kuda. Terompah yang berat bobotnya akibat basah itu ia lemparkan telak menimpa kepala dengan rambut gelap terjuntai.
***
Seberkas rasa sakit di kepala membangunkan Ariana. Sakit itu makin memuncak ketika ia berusaha menggerakkan kepala karena terbangun dalam posisi mencium perut kuda. Baunya sungguh tidak menyenangkan; aroma apak bulu basah terkena hujan menyengat indra penciuman. Oh ... rasanya sakit sekali. Sudah berapa lama kepalanya dalam posisi tergantung seperti ini?
Ariana sudah sadar sepenuhnya dan kini panik. Lenguhan derita meronta berhamburan keluar dari bibirnya karena pinggangnya serasa nyaris patah akibat melengkung semalaman, tetapi anehnya berhasil menyamarkan rasa lapar yang menggigit lambung. Ia kemudian menekuk siku hingga membentur punggung kuda lalu beringsut bermaksud untuk bangkit, tetapi yang terjadi selanjutnya malah dirinya tergelincir jatuh ke bawah dengan posisi terlentang menghadap langit.
Syok dan tidak berdaya, itulah rasanya. Sungguh cara bangun yang menyakitkan dan tubuhnya yang lemah sama sekali tidak membantu. Kepalanya meneleng ke samping lalu ekor matanya jatuh pada jari kelingking kiri yang tinggal separuh dengan darah telah mengering. Pasti inilah sebabnya. Kehilangan darah yang berharga selagi tidak ada apa-apa sebagai pengganjal perut sejak tadi malam. Ariana tidak tahu mana yang lebih menyiksa sekarang; gejolak di perut atau jari yang terputus dengan luka menganga.
Oh, itu tidak penting sekarang! Ariana nanar menatap langit yang mulai biru cerah dengan putus asa. Bagaimana keadaan ibu dan Chantalope? Apakah mereka bisa menemukan makanan hari ini? Tanpa sadar, kedua sudut mata di wajah pucat itu basah menganak sungai. Ia rela menukar nyawanya demi memastikan mereka baik-baik saja. Andai ia punya daya untuk membawa kedua orang yang ia cintai itu pergi dari sini.
Pandangannya mengabur untuk sepersekian detik sebelum matanya refleks terpejam ketika semburan air menempias wajahnya. Sebuah hardikan menyudahi senandika Ariana.
"Apa kau berharap ingin mati sekarang?"
Suara itu. Ariana berpaling giris ke arahnya. Si tangan pedang sedang menunggu jawaban Ariana sementara air sungai menenggelamkan kakinya semata betis. Tubuhnya basah kuyup seakan baru menyelam. Melihatnya saja membuat Ariana bergidik kedinginan, apalagi ditatap oleh mata sedingin salju itu. Ia sadar betul akan posisinya kini yang sangat tidak menguntungkan, dari segi kekuatan maupun keyakinan. Satu-satunya yang ada dalam pikirannya sekarang adalah tetap hidup! Agar bisa kembali pulang pada Ammarylis dan Chantalope.
Sayang, tubuhnya tidak sepakat. Kepalanya berputar dan matanya berkunang-kunang tatkala mencoba bangkit. Ia pikir dirinya sebentar lagi pasti pingsan andai tidak ada semburan air ke dua.
"Siapa yang mengizinkanmu tidur? Kudaku sudah kerepotan membawamu semalaman. Seharusnya kutinggalkan saja kau di tengah hutan dan dimakan beruang atau kau lebih suka berakhir di ujung pedang?"
Paru-paru gadis itu gemetar bersama usahanya yang kukuh menyesap udara. Bibirnya digigit getir. Rupanya, apa yang terjadi semalam bukanlah akhir karena membunuh dirinya masih terlintas dalam pikiran anak gila ini.
Tidak. Harus bertahan. Harus.
"Lepaskan aku ...." Meski si iblis di depannya ini tak punya hati, tetap saja ia memohon.
"Baiklah." Di luar dugaan, jawaban itulah yang ia dengar. Semangat Ariana membumbung tinggi ke udara seketika.
Anak lelaki itu berjalan mengambil terompah yang terantuk-antuk menabrak batu dan sepasang lagi di dekat Ariana yang masih terperangah tidak percaya akan permainan nasib. Terompah itu ia tenteng begitu saja di pundak lalu ia menuju pedangnya yang masih tertancap di pinggir sungai.
Ariana masih saja terpaku dalam euforia ketika si anak naik ke atas punggung kuda. Ia dan tunggangannya berputar sebentar di sekitar Ariana, lalu berkata, "Berharaplah tidak bertemu kematian dan menyesal. Aku sudah memberimu pilihan yang mudah, tetapi kau sudah menolak."
Anak itu lalu pergi memacu kuda menyeberangi sungai meninggalkan Ariana yang terpaku memikirkan maksud kata-katanya tadi. Secepat ia datang, secepat itu pula si anak misterius pergi.
Akal sehat Ariana langsung bekerja setelahnya. Di mana dirinya sekarang? Sial, kenapa ia tidak sempat bertanya dan sudikah si penculik tadi memberi tahunya? "Berharaplah tidak bertemu kematian dan menyesal." Pasti itu kata kuncinya.
Di hadapannya sekarang terbentang sungai. Dari arusnya yang dangkal, seharusnya ia masih tidak berada tak jauh dari hulu. Namun, ini sudah pagi dan ia tidak tahu berapa lama telah pingsan. Kalau mereka berkuda semalaman, semestinya ia sekarang sudah berada di tapal batas pinggiran kota.
Tunggu .... Napas Ariana tercekat sekarang dan euforia yang sempat mengangkasa tadi terjun bebas merantak di bawah kaki.
Ya, tidak salah lagi! Ariana langsung mengingat bagian sungai yang ini. Ia ingat sekarang, dulu ia melewati bagian ini setiap kali ikut bersama Ayah ke kota, dan ini sama sekali tidak berada di hulu, melainkan di hilir! Batas kota, dan itu artinya ... kematian.
Kepanikan menyergap Ariana seketika. Nalarlah kemudian yang memerintahkan gadis itu untuk segera bersembunyi, tetapi sebelumnya ia sempatkan sejenak berlari masuk ke air hanya sekedar membasahi tenggorokan dan mencuci luka yang belum sempat dibersihkan di arus yang dingin.
Dinginnya membekukan rasa, dan itu bagus, nyeri di pangkal jarinya lumayan mereda. Sekarang, ia bisa melihat tulang putih susu yang mengintip di balik daging tanpa bercak-bercak darah yang mengotori. Darahnya sudah lama berhenti. Satu-satunya masalah kemudian adalah dia harus menutupi luka ini karena tidak mau mengalami infeksi. Oh, andai dia punya kain kering yang bersih.
Ariana menatap gaun tidur tipis berlapis ganda yang ia kenakan. Pakaian ini tidak bisa dibilang suci hama, tetapi ia tidak punya pilihan yang lebih baik. Setidaknya, ini kering karena ia tidak punya waktu untuk mencuci dan menjemurnya sekarang. Waktunya sungguh terbatas. Dengan cekatan, ia memilah bagian mana yang akan ia sobek dan pilihan itu jatuh pada bagian lengan yang sepertinya tidak terlalu bernoda oleh bercak tanah dan tetesan darah. Mau tidak mau, Ariana teringat lagi akan penyeretan tadi malam dan kuduknya meremang sebentar.
Di hari yang biasa, ia kadang mengeluhkan gaun tidur yang sudah uzur dan lapuk ini. Bahkan, ia harus melapisinya untuk mengusir dingin di malam hari. Di beberapa tempat, seratnya sudah jarang dan tipis layaknya kasa. Ibu dan adiknya sering melontarkan guyonan tentang hal ini sekadar untuk menghibur diri. Kata mereka, gaun ini bahkan tidak pantas dipakai untuk menyeduh rajangan herbal atau mengayak arang karena ampas dan serbuk akan lolos dengan mudah melewatinya. Namun, ini memudahkan sekarang untuk dirobek lapisan luarnya di bagian lengan. Seharusnya, memang sejak dulu ia lakukan; menyulap gaun bekas ini menjadi kasa gulung yang akan disimpan dalam kotak pengobatan mereka, tetapi ia terlalu sayang karena ini adalah gaun lama pemberian sang ayah dan ia sangat menyukainya.
Bukan nasib gaun yang sebelah lengannya kini buntung harus ia pikirkan sekarang, tetapi nasib dirinya sendiri. Di mana ia harus bersembunyi? Tepi sungai dipenuhi oleh pepohonan tinggi dan berbatang besar sehingga butuh tenaga luar biasa dan tali pengaman untuk memanjat. Ariana memandang pada kelingking kiri yang kini terbalut kain. Ia tidak bisa melakukannya dalam kondisi ini karena sama saja artinya dengan bunuh diri. Pegangannya bisa terlepas dengan mudah dan itu malah akan membahayakan nasib dirinya.
Ariana lantas memandang padang rumput dengan bagian hutan yang agak jarang di seberang sungai. Jelas tidak di sana. Terlalu terbuka. Semoga saja tidak ada beruang karena ia kemudian memutuskan untuk tetap bertahan di sisi ini.
Namun, oh ... perutnya lapar sekali.
Diamlah, perut! Ariana merutuk. Yang harus ia lakukan sekarang adalah terus bergerak dan jangan sampai bertemu siapa pun. Bila ia menyusur sungai, pasti akan kembali ke hulu, ke tempat ia dan si iblis kecil itu bertemu pertama kali. Lalu, dari sana ia bisa pulang ke rumah.
Baiklah, kedengarannya akan menjadi sebuah rencana yang mulus. Sayang, tiba-tiba saja sekelompok orang berkuda mengepung dari berbagai sisi, entah dari mana asal mereka. Ariana tak memercayai penglihatannya bagai sedang menangkap basah sesosok pengkhianat. Orang-orang itu terlihat bengis. Mereka adalah pria dewasa berbadan kekar bercambang atau berjanggut lebat dan kebanyakan berambut merah. Orang-orang itu tertawa melihat ekspresi ketakutan di wajah si gadis.
"Bunuh?" Salah seorang melirik sesama kawanannya nyalang yang lantas disahuti sebuah siulan penuh antusias.
"Tunggu." Barisan pengepung itu disela oleh sesosok lain berkuda yang menyeruak menyingkirkan kerumunan ke samping. Lagi-lagi seorang remaja lelaki, rambut pendek merah dan sebaris senyum musang yang licik tersungging di bibir. Ada apa dengan anak-anak ini?! Apakah dunia sudah gila?
"Biar sang ratu yang menentukan. Nah, gadis. Siapa namamu?" Remaja itu mengulurkan tangan dari atas kuda.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top