A Boy With Sword
Kulit Ariana bagai dicium lusinan cakar tajam selagi ia berjuang meraih setangkai apel yang tergantung mengejek di sebuah dahan. Pohon ini belum terjamah oleh hewan, apalagi manusia. Tandanya, tidak ada bekas gigitan di kulit merah mulus menggodanya. Sayang sekali, hadiah menggiurkan itu berada di antara lautan semak belukar sehingga yang berhasil ia raih hanya beberapa buah berukuran kecil belum matang di ranting yang agak menjorok ke luar. Apel yang ranum dan merah segar sama sekali tak tergapai. Meski demikian, tetap saja ia masukkan buah-buah yang sudah ia petik ke dalam kantung kulit terikat di pinggang.
Kantungnya kini sudah penuh dan hasilnya lumayan jika dibandingkan dengan membawa pulang umbi jalar saja. Ini pun harus mengambil risiko menjajak lahan liar di pinggiran hutan tempat tinggal mereka. Daerah yang berbahaya sesungguhnya. Di luar tapal batas, para tentara kejam mondar-mandir untuk berburu di sabana. Kalau ia tidak beruntung, mungkin saja akan berpapasan dengan mereka.
Perasaan "tidak aman" dan "angin kematian" berembus hebat semenjak serbuan para penjajah asing di tanah kekuasaan Zarya. Cerita kekejaman tentang sang ratu pun sudah sampai ke telinganya. Seorang ayah dengan putra kecil yang bercerita. Mereka adalah pengungsi terakhir selamat yang tidak sengaja terdampar di pondok tersembunyi di jantung hutan. Pondok itu adalah kediaman mereka.
Seharusnya, mereka ikut orang-orang itu pergi. Andai saja saat itu Chantal sang adik tidak sedang tergolek lemah akibat radang paru-paru— warisan musim dingin di tahun sebelumnya yang ganas dan membuat banyak pengungsi tumbang tanpa persiapan memadai. Bagaimana tidak? Jalur pengungsian mereka dihadang oleh sebuah gunung dengan sungai gletser abadi di lerengnya. Pergi ke sana tanpa persiapan matang berarti mati.
Keluarga kecil mereka tergolong beruntung tidak bernasib naas seperti keluarga lain yang tidak berdaya harus mengalami kehilangan anggota. Berakhir di ujung senjata atau terpisah di pengungsian, itulah kabarnya. Namun, sampai kapan mereka akan bertahan? Musim dingin sebentar lagi akan tiba bagai ancaman pasti kabar kematian karena lumbung pangan mereka telah kosong. Mereka hanya seorang ibu dengan dua orang putri remaja, juga tanpa bekal memadai ... mengungsi adalah pilihan yang nyaris mustahil. Memilih bertahan juga membunuh mereka pelan-pelan.
"Kuak ... kuak ...!" Kewaspadaan Ariana kembali. Tiba-tiba saja beberapa ekor gagak terbang di atas kepala.
"Hussh!" Ariana mencoba mengusir dengan melempari mereka batu, tetapi sia-sia saja. Burung itu berputar-putar tidak mau beranjak pergi.
Ah, ini bukan apa-apa. Gadis itu mencoba tetap tenang. Mitos jelek tentang gagaklah yang akhirnya ia usir dari benaknya. Namun, tetap saja bulu kuduk di sekujur tubuhnya meremang. Ia merasa tidak nyaman, seakan ada bahaya sedang mengintai dan memaksanya untuk segera pulang.
Ia kencangkan ikatan kantung di pinggang sebelum menyeberangi sungai dangkal dengan dasar berbatu yang memisahkan hutan dan perbatasan. Sial, sebuah godaan melintas di dekat kakinya—tampak seekor ikan besar berkeliaran di dasar sungai yang jernih. Ariana bimbang sesaat. Peringatan ibunya dan pancaran kebahagiaan di wajah keluarganya jika ia membawa seekor tangkapan pulang kini berperang hebat dalam batin.
Ikan itu kembali menyenggol kaki telanjang Ariana.
Ikan ini mungkin saja bernilai nyawaku, Ariana mencoba mengabaikan godaan itu lantas gagal. Yang ia perbuat justru diam tidak bergerak, menunggu saat yang tepat untuk memerangkap sang ikan. Diam, bernapas perlahan. Detak jantungnya pun mulai berirama kencang. Jemarinya terentang lebar siap menjaring.
Sssrrrk!
Helaan napas kasar mengisi paru-parunya seketika. Entah dari mana sebuah anak panah menerjang nyaris menyerempet kakinya lalu menancap di bebatuan—si ikan kabur lalu terdengar bunyi decap menjijikkan dan benda berat jatuh menggelinding di belakang Ariana.
Astaga. Ariana menatap anak panah bermata besi yang kini terpaku di dasar sungai. Jaraknya tadi dengan kematian hanya sejengkal kesalahan, lalu ... bunyi apa itu tadi?!
Ariana refleks memutar tubuh ke belakang. Ia pun menyesal karena melakukannya. Embusan angin menghantarkan aroma tajam darah di udara ke rongga hidung Ariana. Aromanya menyelusup masuk bercampur dengan aroma samar misik. Sumbernya berasal dari sana, sesosok asing yang sedang berdiri membelakangi matahari dalam perjalanan tenggelam. Ariana tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, ia bahkan tidak tahu laki-laki atau perempuankah. Akan tetapi, siluetnya memperlihatkan rambut panjang kelam yang tersibak kaku setiap kali angin menerpa sesosok tubuh yang tidak lebih tinggi dari orang dewasa.
Ketika mata Ariana menangkap siluet sebuah pedang besar teracung di tangan sosok itu, kakinya serasa lebur dalam air dan kuak gagak memenuhi pikirannya walaupun burung itu sekarang tidak sedang berputar di atas kepala.
Pedang itu ... kenapa ada di tangannya? Apakah dia ... yang diceritakan orang-orang?
Lari! Otaknya memerintahkan demikian. Ya, ia masih punya kesempatan untuk kabur. Namun, baru saja berniat lepas dari ketergemingan, pedang itu meluncur tajam ke sisi tubuhnya, membuat lubang retak di bebatuan sekitar.
Aaargh! Jeritan yang lolos dari mulut Ariana lenyap tertelan di kerongkongan. Pita suaranya gagal bergetar karena udara dari paru-parunya tersedot keluar dalam gejolak ketakutan yang bangkit seketika.
Lalu, masih ada yang lebih mengerikan seolah misteri kotak Pandora sedang terbuka di hadapannya sekarang—pedang itu meluncur balik ke tangan pemiliknya bagai ditarik dengan sebuah tali tak kasatmata. Sekejap saja, benda itu teracung lagi ke arahnya siap untuk diluncurkan.
Ariana gagal mencerna kemungkinan apa yang sedang terjadi. Yang kini ia sadari adalah secarik kenyataan betapa genting nasib yang sedang menantinya. Mungkin saja waktu yang tersisa untuknya tidak lama lagi. Apa yang harus ia lakukan?
Tidak ingin waktunya yang berharga tersia-sia dengan meneruskan rencana kabur lantas ditikam dari belakang, Ariana memilih untuk menentang tatapan malaikat kematian misterius yang tersembunyi dalam bayang-bayang. Namun, yang ia lihat kemudian justru adalah bayangan wajah Amarylis dan Chantalope yang sedang menunggunya di rumah. Seharusnya, ia mendengarkan peringatan sang ibunda untuk tidak pergi ke perbatasan.
Maafkan aku ....
Detik-detik berlalu dalam dada Ariana. Ia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia tunggu. Ciuman kematian belum juga menjemputnya padahal ia yakin akan segera merasakan tebasan pedang itu. Tetapi, benda itu malah diturunkan dan orang itu berbalik pergi menyisakan berjuta misteri dan pertanyaan. Hanya suara pedang diseret terdengar sebagai perpisahan.
Apa itu tadi mimpi? Ariana nyaris menepuk-nepuk pipinya tidak percaya ... ia masih hidup!
Hingga pada bagian ia menemukan sesosok tubuh teronggok dengan leher menganga dalam kubangan darah dan sebuah kepala dengan mata menyorot hampa berada tidak jauh dari tepian sungai tempat ia berdiri. Ariana menjerit sejadi-jadinya.
***
Splash!
"Aaa ...!" Chantalope memekik. Lekas ia tarik tubuh ibunya untuk menghindari siraman air panas yang tumpah dari periuk di tangan Amarylis.
"Ibu, kenapa tidak hati-hati?" Chantalope memandang cemas ke wajah sang ibu lantas berganti menatap ngeri uap panas yang mengepul di lantai dapur. Amaryllis pucat pias dengan tubuh ringkih bergetar di dekapan putri tiga belas tahunnya.
"Canthalope, saudarimu ...." Amaryllis mencengkeram lengan Chantalope dengan kuat. "Ariana. Oh, Ariana ...." Amaryllis tidak bisa mengendalikan diri lantas terisak.
"Kenapa Ariana, Ibu?" Kecemasan sang ibu menular pada Chantalope.
"Tiba-tiba ... Ibu merasa ia dalam bahaya. Apakah Ariana belum pulang juga, Chantalope?" Cengkeraman Amaryllis di tangan Chantalope semakin mengerat.
Chantalope jadi kebingungan dan tidak tahu harus menjawab apa karena Ariana belum pulang sedari tadi. Padahal, biasanya sebelum matahari bergulir jatuh ke barat, kakaknya sudah tiba di rumah dengan membawakan bahan makanan. Lagi pula, ibunyalah yang seharusnya lebih tahu, bukan?
Wajah bingungnya semakin membuat Amaryllis ketakutan.
"Chantalope, Ariana belum juga pulang?" tanyanya setengah menangis. Chantalope mengangguk lalu ikut-ikutan menangis.
Amaryllis terhuyung, ia terduduk di kursi. Didekapnya kedua lengan kurusnya sembari memikirkan Ariana yang belum nampak batang hidungnya. Disumpalnya mulut yang ingin menangis lagi dengan buku jari. Ia seolah bisa merasakan gelombang bahaya besar sedang mengancam jiwa putri sulungnya saat ini.
"Ibu, jangan menangis, biar aku mencari Ariana ...!" Chantalope memeluk sedih tubuh ibunya. Amarylis tidak butuh tambahan kesedihan lagi untuk membuat tubuh rapuhnya menderita.
"Tidak, Chantalope! Kau tidak kuizinkan pergi! Seandainya terjadi sesuatu pada Ariana, dan mungkin Ariana sekarang—" Amaryllis melirih sedih, "—aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu juga. Ibu tidak ingin kehilanganmu, Chantalope ...!" Amaryllis menggenggam tangan anaknya dengan kuat.
"Tapi, Ibu—"
"Chantalope, berkeliaran di luar sana sangat berbahaya. Tentara jahat ada di mana-mana! Sudahlah, Nak, kita tunggu saja Ariana." Selanjutnya, wanita itu tidak sanggup lagi berkata-kata. Air matanyalah yang menggantikan.
Terbayang sekilas sebuah perasaan takut mengiris ulu hati ... seperti Ariana yang merasakannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top