Prolog II

|Sebelum membaca tolong biasa kan lah untuk vote dan comment. Satu komentar kalian itu udah kayak penyemangat Orca untuk terus nulis. Apalagi ngeliat kalian mencak-mencak semakin semangat Orca buat nulis|

*****

Dibawah terpaan cahaya matahari, aku berlari melewati taman kecil yang ibu buat untukku. Tanpa alas kaki, aku dapat merasakan tanah yang lembek dan bercampur rumput kering. Semenjak ayah membuang kami—aku, ibu, Bibi Hana, dan Cerry—di gedung kumuh belakang duchy, aku hanya bisa bermain di taman kecil ini. Tidak sebesar dan secantik taman milik Nyonya Perebut kesayangan ayah memang, tetapi cukup untuk diriku bermain.

Disini juga ada bunga, kok! Ada mawar liar, melati, dandelion, dan berbagai bunga liar lain. Bisa saja Bibi Hana memekarkan bunga lain yang lebih berkelas, hanya saja tidak diperkenankan oleh ibu. Ibu takut memancing atensi penghuni duchy lain dan berakhir membuat kami sebagai pusat perhatian. Tch, memang susah, ya, berurusan dengan orang yang mudah iri hati.

Dari tempatku berdiri, kuperhatikan bangunan duchy yang tampak megah yang terdiri dari berbagai kastil. Bagaikan sebuah istana kerajaan, ada banyak kastil yang menjulang ke langit yang biasanya diisi oleh pegawai-pegawai milik ayah ataupun penyihir yang mengabdi untuk tanah Dexter. Dari kejauhan pula, tampak orang-orang dengan berbagai macam seragam. Mereka masuk dan keluar dari gedung utama dengan berjalan kaki, maupun terbang menggunakan sihir.

Pandanganku teralih pada bangunan kumuh yang berada tak jauh dibelakangku. Bangunan berbentuk persegi biasa dengan cat putih yang telah mengelupas, bahkan dibeberapa bagian telah tumbuh lumut dan tanaman merambat. Masih cukup kokoh untuk ditinggali empat orang. Hanya bangunan kecil itu tampak secuil saja jika disandingkan dengan duchy yang begitu megah.

Ayahku seorang kaya raya yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan sang kaisar, bukan? Lalu, mengapa ia biarkan kami tinggal di tempat kumuh ini? Apakah ini salah satu cara ia mengujiku sebagai pewaris yang layak?

Ya, sepertinya begitu.

Huft, aku menghirup udara lalu menahannya dipipi hingga terlihat menggembung. Udara itu kubuang sambil meninju udara keatas.

Aku bertekad! Aku akan selalu kuat dengan segala ujian yang ayah berikan! Usiaku sudah menginjak enam tahun dan aku adalah anak pertama, wajar jika dia keras padaku. Aku paham, sangat paham. Dia pasti sangat mencintaiku dan ibu sehingga tidak ingin terlalu memanjakan kami agar tidak lemah.

Fufufu, santai saja ayah, aku pasti akan jadi kuat! Dengan begitu dia pasti akan mencintaiku, bukan?

Kakiku kembali berlari menjauh dari kawasan duchy menuju hutan belantara. "Snow! Jangan bermain terlalu jauh!" Suara ibu terdengar mengudara dari kejauhan. Aku menoleh kearahnya tanpa menghentikan langkah kakiku. Senyuman lima jari terbit dibibir tatakala mendapati sosok wanita berambut hitam berdiri tak jauh dari gedung tempatku tinggal.

"Iya!" Tapi bohong!

*****

Hailey memandangi kepergian sang putri sambil berkacak pinggang. Helaan napas lelah lolos dari bibir merah wanita tersebut. Tanpa diselidiki pun, ia sudah tahu bahwa putri semata wayangnya itu tidak akan mendengarkan dirinya. Sebagai seorang ibu, Hailey paham betul dengan sifat keras kepala dan arogan yang dimiliki oleh Snow, termasuk kehidupan kelamnya di waktu yang akan datang.

"Calista, ikuti dia," perintahnya pada sesosok wanita bersurai pirang yang tengah bertengger diatas pohon sembari memakan apel. Pipi gadis itu tampak bergerak akibat kegiatan mengunyah apel. Iris merahnya memandang kearah hutan yang dituju oleh Snow.

Wanita itu mendengus kasar lalu membuang apel digenggamannya sembarangan. Apel merah nan ranum itu jatuh bebas dari atas pohon lalu menghantam tanah, sebelum akhirnya diinjak oleh Calista. Gaun putih yang dikenakan wanita itu tampak mengembang dengan lembut hingga menampakkan kaki jenjangnya yang dibalut oleh sendal bertali dari kulit buaya berwarna krem.

"Anakmu itu tidak cocok hidup berdampingan dengan manusia biasa," Calista berkomentar pedas. Ia kembali menambahkan, "dia seharusnya ditahan didalam kerangkeng agar tidak mengganggu keseimbangan alam."

Iris sewarna batu delima milik Hailey melirik Calista tajam dari ujung matanya. Ia sama sekali tidak terima dengan komentar pedas dari adik kekasih gelapnya. "Sayangnya, di kekaisaran ini mayoritas ditempati oleh penyihir, tidak ada manusia biasa di tempat ini."

"Ha!" Calista mengibaskan rambut sewarna emas bergelombang miliknya yang indah. "Selama hampir enam tahun gadis itu lahir, hanya itu alasan yang terus kau gunakan. Tidak ada bantahan yang lain?"

Hailey mengusap wajahnya kasar. Ia kembali melirik wanita muda yang berdiri tak jauh darinya. Kali ini menilainya dari atas ke bawah. "Bagaimana denganmu? Selama enam tahun kau selalu menggunakan ejekan yang sama? Tidak ada motivasi membuat ejekan lain? Aku bosan mendengarnya," balas wanita beranak satu itu lebih pedas.

Wanita bersurai pirang itu mendecih tak senang. Dalam hitungan detik, wujud Calista berubah menjadi seorang gadis berusia 11 tahun dengan rambut cokelat susu dan mata berwarna hijau muda. Gaun putihnya pun ikut berubah menjadi seragam berwarna hitam putih, khas pelayan duchy.

Melihat perubahan yang dialami Calista, Hailey langsung berujar, "pastikan dia pulang sebelum matahari terbenam. Lewat dari itu, aku akan melaporkan tabiatmu kepada Ayres."

Sepasang manik sewarna daun itu membelalak. Sontak ia menoleh kearah Hailey dengan wajah pias. "Hei!" pekik Calista tak senang. "Itu tidak adil!"

"Cukup adil mengingat kebiasaanmu yang sering 'bercocok tanam' dimana-mana," ujaran menohok dari wanita bersurai hitam itu membuat wajah Calista berubah merah bagaikan tomat.

"OKE!" pekik gadis kecil itu saat menyadari bahwa percuma saja berdebat dengan Hailey. Wanita itu adalah kekasih kesayangan kakak laki-lakinya, mana mungkin dirinya yang terkenal bandel bisa menang begitu saja. 

Calista mendecih, "'bercocok tanam' dia bilang? Tidak sadar diri! Dia bahkan lebih sering melakukannya dengan Grand Duke Ubanan itu." Sambil menggerutu ketidaksukaannya terhadap Hailey dan seluruh keluarga Count of Grey, gadis kecil itu mulai berjalan menuju hutan dimana Snow menghilang.

"Anda baik-baik saja, Yang Mulia?"

Hailey tersentak. Ia segera berbalik badan dan menemukan seorang wanita dengan surai cokelat susu berdiri tak jauh dari dirinya. "Oh, astaga, Hana! Kau mengejutkanku!"

Hana terkekeh lembut dengan tangan mengepal didepan mulut. "Tampaknya Anda mulai menua, My Ladyship," ujar wanita itu yang menohok ke dalam hati Hailey.

Wanita selaku ibu kandung Snow itu menggaruk tengkuk tak enak. Akhir-akhir ini, entah mengapa hawa di sekitar Hana terasa tidak enak. Apa ... dia sudah tahu?

Sang grand duchess yang terbuang itu menoleh dengan cepat kearah Hana. Maniknya memandang 'ibunda' dari Cerry itu dengan pandangan skeptis. Tidak mungkin dia menyadarinya, bukan?

Alis tebal milik Hana tertaut. Ia memandang wanita yang telah ia layani sejak kecil itu dengan penuh kebingungan. "Anda baik-baik saja, Yang Mulia?"

Lamunan wanita itu terpecah, dalam hati ia menertawakan dirinya sendiri yang begitu bodoh. Tentu saja tidak mungkin, Hailey. Mana mungkin ada penyihir yang bisa mengelabui sihir milik raja para dengel.

Dengan raut cengengesan, ia langsung mengadu pada Hana perihal sikap Cerry yang mulai sulit diatur. "Cerry itu sungguh sulit untuk diberitahu, ya? Padahal dia dulu sangat manis dan tenang, sekarang malah menjadi anak badung. Aku jadi takut Snow akan melakukan hal yang sama."

Wanita bersurai cokelat susu itu terkikik pelan. "Begitulah anak-anak, Yang Mulia. Semakin bertambah usia, mereka semakin sulit untuk dikenali."

Hailey tersenyum tanggung. Ada kejanggalan dibalik kata-kata Hana, ia sangat sadar itu. "Ah, omong-omong Hana, aku kembali duluan. Aku lupa mematikan kompor." Setelah mendapatkan anggukan paham dari Hana, ia langsung berlalu kedalam gedung dimana dirinya bernaung.

Wanita bersurai cokelat susu itu memandang kepergian sang majikan dari balik punggung dengan tatapan tajam. Pupil mata Hana yang sebelumnya bulat dan lebar, berubah menjadi lonjong mirip pupil mata reptil. Pandangannya kemudian beralih pada hutan yang menjadi tempat bermain Snow dan 'anaknya'.

Seolah-olah mendapatkan sinyal dari dalam hutan, senyuman lebar terukir di wajah wanita itu. Bukanlah senyuman manis yang ia tunjukkan tadi, melainkan sebuah seringai mengerikan yang menyebarkan teror kepada siapapun yang melihatnya.

"Mata harus dibalas dengan mata. Bukankah begitu, Yang Mulia?"

*****

Kakiku terus melangkah jauh kedalam hutan. Melewati semak mulberi, bertemu dengan kelinci, melompati akar akasia, hingga bermain dengan kawanan rusa liar. Tanpa menggunakan alas kaki, kaki mungilku ini sempat beberapa kali menginjakkan batu tajam. Tetapi tidak ada masalah, barangkali ada luka gores kecil tapi tidak sakit, kok!

Aku harus kuat! Jika tidak menjadi kuat, ayah tidak akan bisa mempercayaiku untuk menjadi pewaris. Kekayaan dukedom ini harus jatuh ketanganku, tidak boleh ke orang lain. Apalagi harus jatuh ke tangan bocah bau kencur itu.

"Woah! Kupu-kupu!" seruku tatkala mendapati seekor kupu-kupu terbang diatas kepala.

Kakiku spontan melompat dengan tangan meraih keatas. Dengan sekali lompatan, kupu-kupu itu langsung tertangkap. Sayap kupu-kupu itu mengepak heboh yang langsung kutahan menggunakan jari. Kupu-kupu ini memiliki dua pasang sayap yang cantik dengan warna biru muda dan dibingkai dengan garis dan titik-titik hitam. Warna birunya mengingatkanku dengan warna mata ayah.

Ayah pasti suka!

Tanpa basa-basi, aku langsung merobek sayap kupu-kupu itu hingga menyisakan bagian tubuh dan kaki saja. Seolah-olah berteriak kesakitan, serangga bersayap itu terus menggelepar tatkala aku merobek sayapnya dengan sekali tarikan. Hanya dalam hitungan detik, serangga itu tidak lagi bersayap.

Kupandangi dua pasang sayap itu sesaat lalu memasukkannya kedalam saku, sementara bagian tubuh kupu-kupu itu kubuang keatas tanah. Tak lupa, kuinjak-injak kupu-kupu tak bersayap itu agar lebih cepat mati. Daripada mati secara perlahan dan penuh akan kesakitan, lebih baik dibunuh saja 'kan?

Dengan dibunuh, dia akan mati lebih cepat dan lebih sedikit merasakan sakit. Ibu bilang tidak baik menyiksa seseorang dengan cara yang keji dan perlahan, kalau begitu lebih baik dengan cara yang lebih keji dan cepat, bukan?

Setelah merasakan kupu-kupu tak bersayap itu tidak lagi bergerak, aku kembali melanjutkan perjalanan. Bibirku menyenandungkan lagu anak-anak yang sering dinyanyikan Cerry untukku, begini bunyinya:

Burung kakak tua

Sungguh sudah tua

Jarang diberi sandang

Hingga tersisa tulang

Keren 'kan?

Omong-omong tentang Cerry, aku rasa dia sedang mengikutiku dari belakang. Pasti ibu yang menyuruhnya untuk mengawasiku. Cerry itu keren tahu, dia tahu berbagai macam hal di dunia ini. Dia bahkan tahu bagaimana cara membuat bayi. Sangat keren.

Terlalu sibuk menyenandungkan lagu keren ciptaan Cerry, aku tanpa sadar telah masuk jauh ke dalam hutan. Pohon-pohon menjulang tinggi nan rimbun hampir menutupi cahaya matahari. Suasana yang begitu gelap dan mencekam. Tubuhku seketika menggigil kedinginan karena hawa yang mulai dingin.

Spontan, diriku berlari menuju salah satu titik yang mana terkena sinar matahari. Kudongakkan kepala guna melihat cahaya yang menyelip dari balik sela-sela daun dan jatuh keatas tanah yang kupijaki. Rasanya hangat. Senyum lebar terukir diwajahku ketika merasakan tubuhku tidak lagi menggigil kedinginan.

"Halo, nona kecil."

Sinyal dikepalaku berbunyi menandakan ada hal yang berbahaya. Tubuhku sontak membalikkan tubuh, tak lupa belati dari es tercipta begitu saja tatkala aku membayangkannya. Dari balik sisi gelap hutan, aku dapat melihat siluet seseorang berjalan keluar. Sosok itu menggunakan jubah berwarna hitam yang menutupi ujung kepala hingga ujung kaki. Terdapat corak berbentuk aneh pada jubah orang itu.

Aku menyipitkan mata untuk memperjelas corak pada jubah orang itu. Sinyal tanda bahaya kembali berbunyi didalam kepalaku saat menyadari bentuk corak jubah itu adalah simbol terlarang. Corak berbentuk kambing dengan tanduk berbelit yang menyimbolkan sosok Satan sang iblis terkutuk.

"Ka-kau!" Aku memekik tertahan saat menyadari ada lebih banyak orang mengenakan jubah yang sama, berjalan dibelakang sosok itu. "Kalian para satanis! Berani-beraninya kalian menunjukkan diri!"

Sosok yang memanggilku pertama kali terkekeh pelan. Kentara sekali suaranya itu yang terdengar seperti seorang wanita.

"Keturunan Marcail memang cerdas, ya," wanita itu berujar yang entah mengapa membuatku merinding.

Sosok itu menarik tudungnya menampakkan surai berwarna oranye yang dipotong sebahu. Manik yang berwarna merah pekat itu menandakan dirinya sudah menjual jiwa kepada iblis. Ia mengarahkan tangannya kearahku lalu kembali berucap, "kecerdasan yang kamu miliki sangat cocok untuk tuan kami, Satan Yang Terkutuk."

Dalam kedipan mata, mana berwarna hitam itu menghantam tubuhku. Terlalu cepat sehingga diriku tidak menyadari telah menubruk pohon beringin yang kubelakangi. Kepalaku terasa pening dengan pandangan yang berkunang-kunang. Belati es yang telah kugenggam entah terlempar kemana.

Hal terakhir yang kulihat hanyalah sekelompok satanis tadi terlempar akibat diserang oleh wanita bersurai pirang. Wanita itu tampak samar-samar berdiri menjulang dihadapanku. Gaun putihnya yang terkena angin, melambai-lambai menampar wajahku berulang kali. Sakit, tapi aku tidak bisa menggerakkan tubuh sedikitpun.

Di detik-detik terakhir aku dapat mendengar suara Cerry, sebelum akhirnya kegelapan menjemput diriku.

*****

M

ANA CERITA SCI-FI-NYA??!!!😭😭😭

Plis lah bagi kalian penulis baru, ngasih tag itu sesuai dengan isi buku. Jangan diborong semua!!!!😭

Jumat, 1 September 2023

Orca_Cancii🐳

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top